Beranda / Romansa / The Last Hug / Bersiap-siap

Share

Bersiap-siap

Penulis: Dewi Pedang
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-08 17:08:27

  Dengan tubuh yang lemas, Nuri bangikit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Mulutnya sedikit terbuka karena mneguap, namun mulutnya itu ia tutupi dengan tangan kanannya supaya tidak serangga yang masuk. Dengan mata yang masih perih, Nuri berjalan seraya mengucek matanya. 

 Aroma masakan Bunda tercium hingga ke kamar mandi. Nuri yang sedang menggosok gigi segera saja menyelesaikan aktivitasnya itu untuk cepat-cepat membersihkan diri. Sekitar 5 menit berlalu, Nuri akhirnya selesai mandi. Begitu kelaur dari kamar mandi, Nuri menajamkan indera penciumannya untuk membaui aroma yang dihasilkan dari masakan Bunda. Nasi goreng! Itulah aroma yang tercium oleh hidung Nuri.

 “Bunda…” sapa Nuri seraya memeluk sang bunda dari arah belakang.

 “Hmm,” balas bundanya tanpa menoleh sedikitpun pada Nuri. Beliau masih fokus dengan masakannya.

 “Bun, nanti buat bekal kerja, Nuri mau bikin salad ya. Supaya nanti pas istirahat itu segar kembali saat makan salad,” ujar Nuri kemudian melepaskan pelukannya dari sang bunda. Posisinya kini berada di samping kiri sang bunda dengan mata yang menatap pada nasi yang berada di atas penggorengan.

 “Iya boleh. Kamu mau buat sendiri atau dibuatkan oleh Bunda?”

 “Buat sendiri saja deh Bun. Kalau sama Bunda terus, Nuri jadi merepotkan ya hehe.”

 “Merepotkan apanya? Kalau untuk Ayah dan Nunuy, Bunda tidak pernah merasa direpotkan.”

 “Bunda memang yang terbaik deh!” seru Nuri kemudian duduk di kursi. 

 Sang bunda yang sudah selesai masak, segera menyajikan masakannnya di meja makan. Beberapa jenis makanan sudah tersaji dengan rapi di tengan-tengah meja bundar tempat mereka menikmati makanan.

 Gorengan yang di sajikan di atas piring, begitu menggoda Nuri. Ludah yang berada di mulutnya di telan dengan refleks sehingga saliva Nuri terlihat sedikit turun ke bawah. Pandangan Nuri begitu lekat pada gorengan tersebut, hingga tangan kanannya bergerak untuk mengambilnya.

 “Sudah minum belum kamu?” tanya sang bunda yang membuat Nuri menarik tangannya kembali dan mengalihkan pandangan pada sang bunda.

 “Oh iya belum, Bun,” jawab Nuri.

 “Minum dulu. Terus mandi. Nanti kita sarapan bersama setelah ayahmu siap.”

 “Ih Nuri sudah mandi Bunda.”

 “Terus kenapa masih pake baju tidur?” tanya sang bunda seraya melihat pada pakaian yang dikenakan Nuri saat itu.

 “Ya sudah kalau begitu panggilkan ayahmu agar kita bisa segera sarapan bersama,” titah Bunda pada Nuri.

 “Baik Ratu hehe,” ujar Nuri sambil sedikit terkekeh. Sang bunda hanya tersenyum dan menggeleng perlahan mendengar penuturan dari sang anak.

 Jarak dari ruang makan ke kamar orang tua Nuri memang tidak jauh. Mungkin jika dihitung dengan langkah ada kurang lebih sekitar 20 langkah. Sambil bersenandung, Nuri menyusuri setiap jengkal dari rumah besar itu. Meskipun mereka hanya tinggal bertiga, tapi rumah yang mereka tempat cukup untuk menampung 10 orang. Sehingga rumah selalu terasa sepi jika Nuri dan sang ayah pergi bekerja. 

 Bunda yang memang hanya sebagai ibu rumahan, selalu merasa bosan jika suami dan anaknya pergi bekerja. Apalagi sang suami yang selalu bekerja di luar kota dalam waktu yang lama, membuat ia tidak punya teman berbincang selain Nuri. Dan jika Nuri sedang bekerja, ia hanya bisa menghabiskan waktunya untuk membaca ataupun menjahit baju karena memang kegemarannya adalah dua hal itu.

 “Ayah,” pangil Nuri seraya mengetuk pintu kamar dengan perlahan.

 “Iya Nuy sebentar,” sahut seseorang dari dalam kamar dengan suara yang terdengar khas di telinga Nuri. Suara berat yang selalu membuat Nuri tenang ketika mendengarnya.

 Tak lama kemudian, keluar seseorang dengan tubuh tinggi dan badan yang masih kekar walaupun usianya sudah menginjak kepala 5. Senyumannya selalu membuat Nuri tersenyum juga. Raut wajahnya yang selalu bersinar selalu membuat Nuri betah untu melihatnya.

 “Ayah, Bunda sudah siapkan sarapan. Mari kita sarapan bersama,” ajak Nuri pada sang ayah.

 “Oke mari kita habiskan makanan Bunda dengan lahap!” sahut sang ayah.

 Keduanya kemudian berjalan menuju ruang makan dengan senyuman yang menghiasi wajah mereka. Ayah dan anak itu terlihat sangat serasi dan saling melengkapi. 

 “Bunda!” seru Nuri dan sang ayah. Keduanya memanggil wanita bertubuh langsing yang sedang menyiapkan piring pada meja makan.

 “Selamat pagi Ayah,” sahut Bunda dengan menunjukkan bibir yang tersenyum.

 “Pagi kembali Bun,” balasa sang ayah.

 “Ayo kita sarapan bersama sebelum makanannya dingin,” ajak wanita berusia 45 tahun tersebut.

 “Iya Bunda,” jawab Nuri dan sang ayah. Keduanya selalu saj aterlihat kompak.

 Sekitar 15 menit mereka bertiga sarapan dengan makanan hangat yang disajikan oleh sang bunda dengan kasih sayang dan cinta yang meneyrtai dalam proses memasaknya. Saat jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 7 lewat 30 menit, Nuri segera bangkit dari kursinya untuk menyiapkan diri sebelum berangkat kerja. 

 Sudah 10 menit Nuri memilih baju yang ada di lemarinya. Ia merasa kebingungan dengan pakaian yang akan dikenakannya hari ini. Karena terlalu asik memilih baju, Nuri sampai lupa dengan niatnya yang akan membawa salad untuk bekal ke kantor. 

 Begitu jam sudah menunjukkan pukul 7.450, Nuri dengan cepat memilih kemeja putih berlengan panjang dengan rok berwarna hijau mint. Rambut panjangnya ia ikat menjadi satu bagian dengan ikat rambutberwarna hitam. Lengan kanannya ia pasangkan jam tangan berwarna silver yang sangat cocok dengan kulit putihnya.

 Saat Nuri hendak menyapukan bedak ke pipinya, suara dering telepon berbunyi dengan nyaring. Gegas saja Nuri mencari benda yang bersuara tersebut. Pada saat Nuri hendak melihat nama penelepon, Nuri tidak bisa melihat keberadaan ponselnya tersebut. Ia kemudian mencarinya di meja dekat tempat tidur, di bawah bantal, dan juga meja rias. 

 Beberapa saat kemudian, suara dering tersebut tidak terdengar lagi. Hal itu membuat Nuri semakin kesulitan menemukan benda elektronik yang merupakan salah satu barang pentingnya karena banyak data-data pekerjaan di ponselnya tersebut.

 “Ih dimana sih sebenarnya aku meletakan ponsel itu?!” tanya Nuri pada diirnya sendiri. Ia harus cepat menemukan benda tersebut sebelum waktu menunjukkan pukul 8 karena ia harus segera berangkat pada jam tersebut atau nanti akan kena macet jika berangkat melewati jam 8.

 Karena pusing mencari barangnya tersebut, Nuri akhirnya memutuskan untuk berhenti dan berniat berangkat kerja tanpa membawa ponsel. Ia kemudian mengambil tas yang biasa digunakannya saat berangkat ke kantor. 

 Pada saat tasnya itu dijinjing, Nuri mendengar lagi suara dering ponsel yang sangat khas dengan suara nada dering ponselnya. Suara tersebut terdengar sangat dekat. Sesaat, Nuri menajamkan indera pendengarannya. Nuri merasa jika suara tersebut berasal ari dalam tasnya. Dengan perlahan, Nuri menangkat tas yang sdang dijinjingnya ke samping telinga. 

 Benar saja dugaan Nuri, bahwa suara tersebut berasal dari dalam tasnya. Dengan cepat Nuri membuka tasnya itu lalu mencari benda pipih berwarna hitam yang sedang berbunyi. Dipegangnya benda tersebut dengan tangan kiri. Tertera nama Mas Dendi di ponselnya itu.

Bab terkait

  • The Last Hug   Telepon dari Mas Dendi

    Saat melihat nama Mas Dendi di layar ponsel, betapa senangnya Nuri terlihat dari raut wajahnya yang menunjukkan ekspresi tersenyum bahagia dengan sudut mata yang mengkerut. Dengan satu kali usapan menggunakan ibu jari pada layar ponselnya, Nuri menyambungkan panggilan telepon dari sang kekasih.“Halo Mas,” ucap Nuri untuk mengawali pembicaraan di antara mereka.“Ya halo Vi,” halo seseorang di seberang sana.“Bagaimana kabarnya Mas? Proses pemeriksaan kemarin berjalan lancar saja kan?” Tanya Nuri.“Iya baik-baik saja.”“Syukurlah jika begitu Mas. Nanti pulang kerja, aku ke rumah ya Ma?”“Tidak perlu. Kamu bekerja saja dengan fokus. Setelah pulang jangan kemana-mana lagi. Ke rumah saja langsung. Aku juga ingin istirahat dan tidak ingin diganggu,” kata Dendi. Tanpa menunggu jawaban dari Nuri, Dendi langsung memutuskan sambungan telepon.Baru saja Nuri membuka mulutnya untuk berbicara, tapi suara panggilan terputus ter

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-11
  • The Last Hug   Janji untuk mentraktir kopi

    Jam yang terpampang jelas di dinding ruangan tersebut sudah menunjukkan pukul 15. 00 atau pukul 3 sore yang berarti sudah waktunya untuk para pekerja menghentikan aktivitasnya dan pulang untuk beristirahat dari segala pekerjaan yang telah dilakukannya hari ini.Sambil membereskan beberapa file yang berada di mejanya, TV melirik sedikit-sedikit pada layar ponsel yang berada di sebelah kiri tangan Nuri. Sebuah kabar Yang dinanti oleh Nuri meskipun pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak akan masuk kedalam aplikasi yang berada dalam ponsel Nuri. Sampai file yang dibereskannya pun rapi, tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut akan diterima oleh Nuri.Saat orang lain sudah membubarkan diri dari ruangan tersebut, Nuri masih saja duduk di kursinya dan melamun sejenak. Sosok pria yang dicintainya terus saja membayangi pikiran Nuri sehingga ia tidak bisa tenang sedikitpun.Tanpa Nuri sadari, seseorang diam-diam memperhatikannya dari jar

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-11
  • The Last Hug   Karena dibuntuti

    Sejak siang tadi, hati Nuri merasa tidak enak. Rasanya hati Nuri sangat berat namun entah apa yang membuatnya terasa seperti itu. Dorongan kuat dalam hatinya untuk menghubungi sang kekasih begitu menyiksanya. Isi hati Nuri menyuruhnya untuk menelpon Mas Dendi. Tapi pikirannya mencegah ia untuk melakukan hal tersebut dengan alasan ia harus membiarkan kekasihnya itu beristirahat supaya cepat pulih.Karena tidak ingin terus burung saat memikirkan kekasihnya, Nuri berniat untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di luar sembari menikmati senja dan keindahan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.Langkah kaki Nuri membawanya pada sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Sebuah alun-alun kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan tersebut terlihat begitu ramai oleh anak-anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya.Sinar jingga kekuningan dapat dinikmati dengan jelas dari tempat tersebut. Nuri yang memang ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-15
  • The Last Hug   Tidak ingin bercerita

    “Ayah, Nuri masuk kamar dulu ya,” ujar Nuri untuk menghindari pertanyaan dari sang ayah. Bukannya tidak mau menjelaskan terkait hubungannya dengan Rendi, tapi Nuri takut jika nanti Rendi terkena omelan dari sang ayah yang memang bersifat begitu tegas dan sedikit pemarah jika ada orang yang menyakiti anak semata wayangnya.Nuri melakukan hal tersebut untuk melindungi Rendi dari amukan sang ayah bukan karena dia masih mencintai Rendi, tapi Nuri hanya tidak ingin terjadi perdebatan antara ayahnya dengan mantan kekasihnya. Rasanya tidak perlu lagi hubungan mereka menghasilkan perdebatan. Jika sang ayah tahu anak perempuannya disakiti oleh orang lain, pasti sang ayah akan merasa marah dan lebih dalamnya merasakan kesedihan. Nuri tidak ingin jika nanti sang ayah mengetahui jika dirinya pernah terluka karena laki-laki. Kini biarlah luka itu sembuh dan mengering tanpa dicongkel lagi.“Loh kok ke kamar sih? Kita ‘kan masih bincang-incan

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-15
  • The Last Hug   Pulang lebih awal

    “Mas, hari ini aku pulang lebih awal. Jadi aku bisa mengantarmu untuk kontrol ke rumah sakit,” kata seorang wanita pada seseorang lawan bicaranya di seberang telepon.“Baguslah jika kamu pulang lebih awal, jadi waktu beristirahat kamu lebih banyak,” sahut pria dari seberang telepon.“Aku nanti langsung berangkat ke rumah kamu ya Mas sepulang kerja. Aku tidak akan pulang ke rumah dulu. Nanti biar aku menelepon saja ke Bunda.”“Kamu pulang saja. Tidak perlu repot-repot mengantarku ke rumah sakit. Aku diantar sama Papa dan Mama kok, jadi kamu tenang saja ya.”“Aku mau ikut Mas. Pokoknya nanti aku langsung ke rumahmu!” kata wanita tersebut dengan tegas lalu menutup sambungan telepon dengan pria yang disebut Mas. Ia kemudian menyimpan ponselnya di meja dan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.Matanya ia pejamkan sejenak untuk melepas penat yang ia rasa

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16
  • The Last Hug   Hari yang muram

    Kala itu,cuaca di luar ruangan begitu muram. Wajah langit sudah mulai memucat. Matahari tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam sehingga keindahan sinarnya yang kekuningan tak terlihat dan tidak terasa kehangatannya.Sepoi-sepoi angin terasa begitu dingin menghantam. Meskipun telah menggunakan pakaian yang sangat rapat, tapi rasanya angin tersebut masih bisa menembusnya sehingga bulu-bulu halus di sekitar tangan menjadi berdiri karena saking dinginnya udara yang menerpa.Seorang wanita terlihat berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan tangannya yang sibuk memegang ponsel dan matanya sibuk menatap layar datar tersebut. Raut wajahnya tampak seperti orang yang terburu-buru. Entah apa yang membuatnya terlihat demikian.“Ah kenapa tidak ada satu pun yang nyangkut sih?! Padahal aku sedang terburu-buru sekali,” keluh wanita tersebut. Entah apa yang dimaksud dengan kata nyangkut tersebut. Tapi tampaknya raut wajah dari gadis te

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16
  • The Last Hug   Dia yang dinanti

    Karena bajunya sudah basah seluruhnya, Nuri bergegas membersihkan dirinya dari sisa-sisa air hujan dan segera mengganti bajunya dengan pakaian yang sangat hangat supaya bisa menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi membalut dirinya.Seraya Nuri mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, matanya terus saja melirik ke arah layar ponsel yang berada tak jauh dari posisinya saat itu. Dengan harap-harap cemas, Nuri menunggu sebuah pesan atau telepon dari seseorang yang dinantikannya sejk tadi siang.Beguti lama dirinya menunggu, hingga akhirnya sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya tepatnya pada sebuah aplikasi berwarna hijau. Dengan gesit tangan Nuri meraih benda pipih tersebut dan memencet pesan tersebut.Tapi sayang, ternyata pesan yang datang tersebut bukan dari orang yang sedang dinantinya. Pesan itu berasal dari seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang selalu ada di setiap kehidupannya. Namun Nuri tidak tahu kehadiran o

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16
  • The Last Hug   Dia yang pernah pergi

    “Ayahhh!” teriak Nuri seraya berdiri dari kursinya. Ia berlari menuju ruang keluarga lalu memeluk sosok yang sangat dirindukannya. Sudah lama dirinya itu tidak bertemu dengan sosok pria tangguh yang menjadi kebanggannya.Sang ayah membentangkan kedua tangannya untuk memberikan pelukan pada anak semata wayangnya. Nuri menyambut tangannya ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh sang ayah. Sebuah lengan yang besar membelai rambutnya. Pucuk kepala Nuri terasa hangat karena dicium oleh sang ayah.Tanpa terasa, buliran bening yang hangat menetes di pipi Nuri. Perasaan didalam hatinya tak bisa disembunyikan dengan baik. Ia benar-benar bahagia atas keberadaan sang ayah yang sudah lama tidak ia temui.Sang ayah yang memang bekerja di luar negeri menjadi Kedutaan Besar Indonesia di Negara India, mengharuskan dirinya tinggal disana dan pulang selama beberapa bulan sekali. Sehingga Nuri hanya ti

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16

Bab terbaru

  • The Last Hug   Tidak ingin bercerita

    “Ayah, Nuri masuk kamar dulu ya,” ujar Nuri untuk menghindari pertanyaan dari sang ayah. Bukannya tidak mau menjelaskan terkait hubungannya dengan Rendi, tapi Nuri takut jika nanti Rendi terkena omelan dari sang ayah yang memang bersifat begitu tegas dan sedikit pemarah jika ada orang yang menyakiti anak semata wayangnya.Nuri melakukan hal tersebut untuk melindungi Rendi dari amukan sang ayah bukan karena dia masih mencintai Rendi, tapi Nuri hanya tidak ingin terjadi perdebatan antara ayahnya dengan mantan kekasihnya. Rasanya tidak perlu lagi hubungan mereka menghasilkan perdebatan. Jika sang ayah tahu anak perempuannya disakiti oleh orang lain, pasti sang ayah akan merasa marah dan lebih dalamnya merasakan kesedihan. Nuri tidak ingin jika nanti sang ayah mengetahui jika dirinya pernah terluka karena laki-laki. Kini biarlah luka itu sembuh dan mengering tanpa dicongkel lagi.“Loh kok ke kamar sih? Kita ‘kan masih bincang-incan

  • The Last Hug   Karena dibuntuti

    Sejak siang tadi, hati Nuri merasa tidak enak. Rasanya hati Nuri sangat berat namun entah apa yang membuatnya terasa seperti itu. Dorongan kuat dalam hatinya untuk menghubungi sang kekasih begitu menyiksanya. Isi hati Nuri menyuruhnya untuk menelpon Mas Dendi. Tapi pikirannya mencegah ia untuk melakukan hal tersebut dengan alasan ia harus membiarkan kekasihnya itu beristirahat supaya cepat pulih.Karena tidak ingin terus burung saat memikirkan kekasihnya, Nuri berniat untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di luar sembari menikmati senja dan keindahan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.Langkah kaki Nuri membawanya pada sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Sebuah alun-alun kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan tersebut terlihat begitu ramai oleh anak-anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya.Sinar jingga kekuningan dapat dinikmati dengan jelas dari tempat tersebut. Nuri yang memang ber

  • The Last Hug   Janji untuk mentraktir kopi

    Jam yang terpampang jelas di dinding ruangan tersebut sudah menunjukkan pukul 15. 00 atau pukul 3 sore yang berarti sudah waktunya untuk para pekerja menghentikan aktivitasnya dan pulang untuk beristirahat dari segala pekerjaan yang telah dilakukannya hari ini.Sambil membereskan beberapa file yang berada di mejanya, TV melirik sedikit-sedikit pada layar ponsel yang berada di sebelah kiri tangan Nuri. Sebuah kabar Yang dinanti oleh Nuri meskipun pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak akan masuk kedalam aplikasi yang berada dalam ponsel Nuri. Sampai file yang dibereskannya pun rapi, tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut akan diterima oleh Nuri.Saat orang lain sudah membubarkan diri dari ruangan tersebut, Nuri masih saja duduk di kursinya dan melamun sejenak. Sosok pria yang dicintainya terus saja membayangi pikiran Nuri sehingga ia tidak bisa tenang sedikitpun.Tanpa Nuri sadari, seseorang diam-diam memperhatikannya dari jar

  • The Last Hug   Telepon dari Mas Dendi

    Saat melihat nama Mas Dendi di layar ponsel, betapa senangnya Nuri terlihat dari raut wajahnya yang menunjukkan ekspresi tersenyum bahagia dengan sudut mata yang mengkerut. Dengan satu kali usapan menggunakan ibu jari pada layar ponselnya, Nuri menyambungkan panggilan telepon dari sang kekasih.“Halo Mas,” ucap Nuri untuk mengawali pembicaraan di antara mereka.“Ya halo Vi,” halo seseorang di seberang sana.“Bagaimana kabarnya Mas? Proses pemeriksaan kemarin berjalan lancar saja kan?” Tanya Nuri.“Iya baik-baik saja.”“Syukurlah jika begitu Mas. Nanti pulang kerja, aku ke rumah ya Ma?”“Tidak perlu. Kamu bekerja saja dengan fokus. Setelah pulang jangan kemana-mana lagi. Ke rumah saja langsung. Aku juga ingin istirahat dan tidak ingin diganggu,” kata Dendi. Tanpa menunggu jawaban dari Nuri, Dendi langsung memutuskan sambungan telepon.Baru saja Nuri membuka mulutnya untuk berbicara, tapi suara panggilan terputus ter

  • The Last Hug   Bersiap-siap

    Dengan tubuh yang lemas, Nuri bangikit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Mulutnya sedikit terbuka karena mneguap, namun mulutnya itu ia tutupi dengan tangan kanannya supaya tidak serangga yang masuk. Dengan mata yang masih perih, Nuri berjalan seraya mengucek matanya.Aroma masakan Bunda tercium hingga ke kamar mandi. Nuri yang sedang menggosok gigi segera saja menyelesaikan aktivitasnya itu untuk cepat-cepat membersihkan diri. Sekitar 5 menit berlalu, Nuri akhirnya selesai mandi. Begitu kelaur dari kamar mandi, Nuri menajamkan indera penciumannya untuk membaui aroma yang dihasilkan dari masakan Bunda. Nasi goreng! Itulah aroma yang tercium oleh hidung Nuri.“Bunda…” sapa Nuri seraya memeluk sang bunda dari arah belakang.“Hmm,” balas bundanya tanpa menoleh sedikitpun pada Nuri. Beliau masih fokus dengan masakannya.“Bun, nanti buat bekal kerja, Nuri mau bikin salad ya. Supay

  • The Last Hug   Luapan emosi

    “Bisakah hubungan kita berdua usia tanpa ada pertemuan atau pertanyaan dari siapapun lagi?” tanya Nuri begitu tenaganya terkumpul. Ia berucap dengan hati yang sangat berat. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya menyakitkan bagi orang yang ditanya dan bagi yang bertanya.“Bisakah orang-orang terdekatku melupakanmu dengan mudah layaknya kau yang melupakanku dalam jangka waktu yang lama. Tak bisakah ingatan tetangmu terhapus begitu saja dari pikiran orang-orang tersayangku?” tanya Nuri dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak mata.Orang yang diberikan pertanyaan tersebut hanya diam terpaku mendengar Nuri melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk di jawab. Waktu serasa berhenti dan hanya menyisakan mereka berdua di tengah suasana yang menyayat hati.“Tidakkah kau memikirkan tentang perasaan orang-orang tersayangku begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya? Tidakkah kau mengetahui seberapa hancurnya pe

  • The Last Hug   Dia yang pernah pergi

    “Ayahhh!” teriak Nuri seraya berdiri dari kursinya. Ia berlari menuju ruang keluarga lalu memeluk sosok yang sangat dirindukannya. Sudah lama dirinya itu tidak bertemu dengan sosok pria tangguh yang menjadi kebanggannya.Sang ayah membentangkan kedua tangannya untuk memberikan pelukan pada anak semata wayangnya. Nuri menyambut tangannya ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh sang ayah. Sebuah lengan yang besar membelai rambutnya. Pucuk kepala Nuri terasa hangat karena dicium oleh sang ayah.Tanpa terasa, buliran bening yang hangat menetes di pipi Nuri. Perasaan didalam hatinya tak bisa disembunyikan dengan baik. Ia benar-benar bahagia atas keberadaan sang ayah yang sudah lama tidak ia temui.Sang ayah yang memang bekerja di luar negeri menjadi Kedutaan Besar Indonesia di Negara India, mengharuskan dirinya tinggal disana dan pulang selama beberapa bulan sekali. Sehingga Nuri hanya ti

  • The Last Hug   Dia yang dinanti

    Karena bajunya sudah basah seluruhnya, Nuri bergegas membersihkan dirinya dari sisa-sisa air hujan dan segera mengganti bajunya dengan pakaian yang sangat hangat supaya bisa menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi membalut dirinya.Seraya Nuri mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, matanya terus saja melirik ke arah layar ponsel yang berada tak jauh dari posisinya saat itu. Dengan harap-harap cemas, Nuri menunggu sebuah pesan atau telepon dari seseorang yang dinantikannya sejk tadi siang.Beguti lama dirinya menunggu, hingga akhirnya sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya tepatnya pada sebuah aplikasi berwarna hijau. Dengan gesit tangan Nuri meraih benda pipih tersebut dan memencet pesan tersebut.Tapi sayang, ternyata pesan yang datang tersebut bukan dari orang yang sedang dinantinya. Pesan itu berasal dari seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang selalu ada di setiap kehidupannya. Namun Nuri tidak tahu kehadiran o

  • The Last Hug   Hari yang muram

    Kala itu,cuaca di luar ruangan begitu muram. Wajah langit sudah mulai memucat. Matahari tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam sehingga keindahan sinarnya yang kekuningan tak terlihat dan tidak terasa kehangatannya.Sepoi-sepoi angin terasa begitu dingin menghantam. Meskipun telah menggunakan pakaian yang sangat rapat, tapi rasanya angin tersebut masih bisa menembusnya sehingga bulu-bulu halus di sekitar tangan menjadi berdiri karena saking dinginnya udara yang menerpa.Seorang wanita terlihat berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan tangannya yang sibuk memegang ponsel dan matanya sibuk menatap layar datar tersebut. Raut wajahnya tampak seperti orang yang terburu-buru. Entah apa yang membuatnya terlihat demikian.“Ah kenapa tidak ada satu pun yang nyangkut sih?! Padahal aku sedang terburu-buru sekali,” keluh wanita tersebut. Entah apa yang dimaksud dengan kata nyangkut tersebut. Tapi tampaknya raut wajah dari gadis te

DMCA.com Protection Status