Home / Romansa / The Last Hug / Janji untuk mentraktir kopi

Share

Janji untuk mentraktir kopi

Author: Dewi Pedang
last update Last Updated: 2021-11-11 18:34:01

 Jam yang terpampang jelas di dinding ruangan tersebut sudah menunjukkan pukul 15. 00 atau pukul 3 sore yang berarti sudah waktunya untuk para pekerja menghentikan aktivitasnya dan pulang untuk beristirahat dari segala pekerjaan yang telah dilakukannya hari ini.

 Sambil membereskan beberapa file yang berada di mejanya, TV melirik sedikit-sedikit pada layar ponsel yang berada di sebelah kiri tangan Nuri. Sebuah kabar Yang dinanti oleh Nuri meskipun pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak akan masuk kedalam aplikasi yang berada dalam ponsel Nuri. Sampai file yang dibereskannya pun rapi, tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut akan diterima oleh Nuri. 

 Saat orang lain sudah membubarkan diri dari ruangan tersebut, Nuri masih saja duduk di kursinya dan melamun sejenak. Sosok pria yang dicintainya terus saja membayangi pikiran Nuri sehingga ia tidak bisa tenang sedikitpun.

 Tanpa Nuri sadari, seseorang diam-diam memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat. Saat semua orang sudah pergi meninggalkan tipis seorang diri, pria itu masih tetap duduk di kursinya dan berniat untuk menemani Nuri hingga ia benar-benar keluar dari ruangan tersebut.

 Sudah sekitar 5 menit lebih Nuri melamun dan tidak melakukan apapun. Hal itu membuat seseorang yang memperhatikannya merasakan khawatir jika Nuri sedang mengalami masalah yang berat. Segera saja ia berjalan mendekat pada Nuri. 

 “Hei! Apa yang sedang kau pikirkan dari tadi?” tanyanya dengan raut wajah yang sangat penasaran. Sebuah tepukan pelan dari orang tersebut mampu membuat Nuri sadar dari lamunannya.

 “EH? Apa yang sedang kau lakukan disini? Bukankah waktu bekerja telah usai?” tanya Nuri pada orang tersebut.

 “Hei harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa yang sedang kamu lakukan di sini sedangkan waktu bekerja telah usai?” tanyanya pada Nuri dengan menyebutkan kata yang tadi dilontarkan oleh Nuri.

 “Aku tidak melakukan apapun. Sekarang aku akan segera pulang,” jawab Nuri seraya bangkit dari kursinya.

 “Kau belum membayar hutang untuk mentraktir kopi,” kata pria tersebut saat Nuri baru menggerakkan kakinya sebanyak dua langkah. Mendengar penuturan orang tersebut, Nuri Menghentikan langkahnya dan berbalik untuk melihat kepada orang tersebut.

 “Kopi?” tanya Nuri merasa sedikit heran.

 “Ya kopi. Kau sudah berjanji untuk membelikanku kopi karena aku sudah melindungimu dari amarah Bos,” katanya.

 “Ah iya itu. Aku hampir lupa,” ujar Nuri.

 “Untung saja aku ingatkan kalau tidak mungkin kamu tidak akan mentraktir kopi.”

 “Baiklah, baiklah. Mari sekarang kita ke kedai kopi kemudian aku akan pulang dan beristirahat,” kata Nuri seraya melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut dan menuju lift untuk turun ke lantai 1. Orang yang tadi berbincang dengan Nuri mengikutinya dari arah belakang dan bergegas masuk ke dalam lift saat pintunya sudah tertutup setengah. Beruntung saja orang tersebut bergerak dengan cepat, Jika ia sedikit lambat maka Nuri tidak akan mau menunggunya dan sudah pasti meninggalkannya ke lantai bawah.

 Sesampai di lantai 1, Nuri segera melangkahkan kaki keluar dari gedung tersebut dan berjalan ke arah kiri untuk mencari kedai kopi yang katanya terkenal enak dan ramai oleh pengunjung. Dengan langkah yang sedikit cepat, Nuri masuk ke dalam kafe yang tidak terlalu ramai oleh pengunjung karena jam tersebut belum banyak perkantoran yang bubar untuk pulang.

 Seorang pelayan mendekati meja Nuri dan pria tersebut. Ya menyerahkan sebuah buku menu yang berisi tentang beberapa minuman dan makanan yang disediakan oleh cafe tersebut. Karena tidak ingin ditunggu oleh pelayannya, Nuri kemudian menyuruh orang tersebut untuk menunggunya dipanggil.

 “Kau mau pesan apa?” tanya Nuri pada pria yang duduk di seberangnya.

 “Aku pesan menu yang dipesan olehmu,” jawabnya.

 “Baiklah.” Nuri kemudian mengangkat tangan kanannya untuk memberikan isyarat kepada pelayan bahwa ia memanggilnya. Beberapa saat kemudian pria tersebut datang ke meja Nuri dan menuliskan beberapa menu yang disebutkan oleh Nuri sebagai pesanannya.

3 menit sudah berlalu, tapi keduanya masih diam membisu. Nuri yang sibuk melihat ponselnya, dan saya di seberangnya yang sibuk memperhatikan Nuri. Sepertinya banyak yang ingin disampaikan oleh lelaki tersebut pada Nuri. Tapi a menahan diri untuk tidak banyak omong di tempat umum seperti ini apalagi pada saat mood kurang baik seperti saat itu karena terpancar jelas dari raut wajahnya Nuri bahwa ia tidak bersemangat.

 “Vi, apa Nanti hari Minggu kau ada waktu luang?” tanya pria tersebut seraya menatap pada wajah Nuri.

 “Entahlah,” jawab Nuri singkat. Ia seperti tidak mempunyai semangat untuk mengobrol dengan siapapun. 

 Pria di seberangnya itu kemudian menutup mulut dan tidak ingin banyak berbicara yang kiranya akan membuat Nuri semakin badmood dan akhirnya pasti pergi begitu saja. Pria tersebut ingin memanfaatkan momen bersama Nuri meskipun tidak banyak omongan yang mereka bicarakan. Baginya, duduk berdua bersama Nuri seperti itu bisa menjadi hal yang membahagiakannya. 

 Setelah sekian lama mereka terdiam dan terkunci dengan suasana canggung, akhirnya suasana tersebut dapat terpecahkan dengan datangnya pesanan yang diantar oleh pelayanan. Saya meminum kopinya, Nuri memandang keluar jendela dance antar hati kan setiap orang-orang yang berlalu lalang di depan cafe tersebut. Ada yang duduk di seberangnya pun mengikuti arah pandangan Nuri.

 “Vi, bagiamana mungkin aku bisa bahagia saat melihatmu terus murung seperti ini?” celetuk pria di seberang Nuri. Matanya menatap lekat pada wajah Nuri. Mendengar pertanyaan seperti itu, Fifi menolehkan wajahnya dan membalas tatapannya.

 “Kenapa kau mengatakan hal itu?” tanya Nuri.

 “Karena aku ingin bahagia meskipun sumber bahagiaku tidak berada di pihakku. Jadi di manapun dan dengan siapa pun dirimu, Jika kamu bahagia maka aku pun bahagia. Dan saat kamu murung, mana mungkin aku bisa bahagia?” 

 “Aku bukan sumber bahagiamu.”

 “Tapi bagiku, sumber bahagiaku adalah kamu.” Tatapan mata mereka beradu dengan sangat dalam. Keduanya seperti menyampaikan kata-kata tersendiri lewat pandangannya itu. Mungkin kata-kata yang dilontarkan oleh pria tersebut tidak sama dengan yang dilontarkan oleh Nuri pada pandangan tersebut.

 “Jangan mengharapkan kebahagiaan dariku.” Nuri melontarkan kata tersebut dengan tatapan mata yang tajam. Ia kemudian memalingkan wajahnya dan kembali melihat pada jalanan. Seperti jarum suntik yang menusuk kulit dengan perlahan tapi memberi sedikit kesakitan yang sebenarnya tidak berefek besar.

 Diberikan perkataan yang seperti itu, Rendi, pria yang duduk di seberang Nuri, tidak bisa berkata-kata lagi. Wajahnya itu terlihat murung namun seperti ingin disembunyikan dari pandangan Nuri. Meskipun kata-kata yang sering dilontarkan oleh Nuri membuat hatinya resah, tapi ia tidak pernah menyimpan rasa benci sedikitpun pada Nuri.

Setiap kata-kata tajam yang dilontarkan oleh Nuri tidak pernah membuat dirinya lelah untuk berdiri di samping Nuri bagaimanapun keadaannya. 

Related chapters

  • The Last Hug   Karena dibuntuti

    Sejak siang tadi, hati Nuri merasa tidak enak. Rasanya hati Nuri sangat berat namun entah apa yang membuatnya terasa seperti itu. Dorongan kuat dalam hatinya untuk menghubungi sang kekasih begitu menyiksanya. Isi hati Nuri menyuruhnya untuk menelpon Mas Dendi. Tapi pikirannya mencegah ia untuk melakukan hal tersebut dengan alasan ia harus membiarkan kekasihnya itu beristirahat supaya cepat pulih.Karena tidak ingin terus burung saat memikirkan kekasihnya, Nuri berniat untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di luar sembari menikmati senja dan keindahan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.Langkah kaki Nuri membawanya pada sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Sebuah alun-alun kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan tersebut terlihat begitu ramai oleh anak-anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya.Sinar jingga kekuningan dapat dinikmati dengan jelas dari tempat tersebut. Nuri yang memang ber

    Last Updated : 2021-11-15
  • The Last Hug   Tidak ingin bercerita

    “Ayah, Nuri masuk kamar dulu ya,” ujar Nuri untuk menghindari pertanyaan dari sang ayah. Bukannya tidak mau menjelaskan terkait hubungannya dengan Rendi, tapi Nuri takut jika nanti Rendi terkena omelan dari sang ayah yang memang bersifat begitu tegas dan sedikit pemarah jika ada orang yang menyakiti anak semata wayangnya.Nuri melakukan hal tersebut untuk melindungi Rendi dari amukan sang ayah bukan karena dia masih mencintai Rendi, tapi Nuri hanya tidak ingin terjadi perdebatan antara ayahnya dengan mantan kekasihnya. Rasanya tidak perlu lagi hubungan mereka menghasilkan perdebatan. Jika sang ayah tahu anak perempuannya disakiti oleh orang lain, pasti sang ayah akan merasa marah dan lebih dalamnya merasakan kesedihan. Nuri tidak ingin jika nanti sang ayah mengetahui jika dirinya pernah terluka karena laki-laki. Kini biarlah luka itu sembuh dan mengering tanpa dicongkel lagi.“Loh kok ke kamar sih? Kita ‘kan masih bincang-incan

    Last Updated : 2021-11-15
  • The Last Hug   Pulang lebih awal

    “Mas, hari ini aku pulang lebih awal. Jadi aku bisa mengantarmu untuk kontrol ke rumah sakit,” kata seorang wanita pada seseorang lawan bicaranya di seberang telepon.“Baguslah jika kamu pulang lebih awal, jadi waktu beristirahat kamu lebih banyak,” sahut pria dari seberang telepon.“Aku nanti langsung berangkat ke rumah kamu ya Mas sepulang kerja. Aku tidak akan pulang ke rumah dulu. Nanti biar aku menelepon saja ke Bunda.”“Kamu pulang saja. Tidak perlu repot-repot mengantarku ke rumah sakit. Aku diantar sama Papa dan Mama kok, jadi kamu tenang saja ya.”“Aku mau ikut Mas. Pokoknya nanti aku langsung ke rumahmu!” kata wanita tersebut dengan tegas lalu menutup sambungan telepon dengan pria yang disebut Mas. Ia kemudian menyimpan ponselnya di meja dan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.Matanya ia pejamkan sejenak untuk melepas penat yang ia rasa

    Last Updated : 2021-10-16
  • The Last Hug   Hari yang muram

    Kala itu,cuaca di luar ruangan begitu muram. Wajah langit sudah mulai memucat. Matahari tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam sehingga keindahan sinarnya yang kekuningan tak terlihat dan tidak terasa kehangatannya.Sepoi-sepoi angin terasa begitu dingin menghantam. Meskipun telah menggunakan pakaian yang sangat rapat, tapi rasanya angin tersebut masih bisa menembusnya sehingga bulu-bulu halus di sekitar tangan menjadi berdiri karena saking dinginnya udara yang menerpa.Seorang wanita terlihat berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan tangannya yang sibuk memegang ponsel dan matanya sibuk menatap layar datar tersebut. Raut wajahnya tampak seperti orang yang terburu-buru. Entah apa yang membuatnya terlihat demikian.“Ah kenapa tidak ada satu pun yang nyangkut sih?! Padahal aku sedang terburu-buru sekali,” keluh wanita tersebut. Entah apa yang dimaksud dengan kata nyangkut tersebut. Tapi tampaknya raut wajah dari gadis te

    Last Updated : 2021-10-16
  • The Last Hug   Dia yang dinanti

    Karena bajunya sudah basah seluruhnya, Nuri bergegas membersihkan dirinya dari sisa-sisa air hujan dan segera mengganti bajunya dengan pakaian yang sangat hangat supaya bisa menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi membalut dirinya.Seraya Nuri mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, matanya terus saja melirik ke arah layar ponsel yang berada tak jauh dari posisinya saat itu. Dengan harap-harap cemas, Nuri menunggu sebuah pesan atau telepon dari seseorang yang dinantikannya sejk tadi siang.Beguti lama dirinya menunggu, hingga akhirnya sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya tepatnya pada sebuah aplikasi berwarna hijau. Dengan gesit tangan Nuri meraih benda pipih tersebut dan memencet pesan tersebut.Tapi sayang, ternyata pesan yang datang tersebut bukan dari orang yang sedang dinantinya. Pesan itu berasal dari seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang selalu ada di setiap kehidupannya. Namun Nuri tidak tahu kehadiran o

    Last Updated : 2021-10-16
  • The Last Hug   Dia yang pernah pergi

    “Ayahhh!” teriak Nuri seraya berdiri dari kursinya. Ia berlari menuju ruang keluarga lalu memeluk sosok yang sangat dirindukannya. Sudah lama dirinya itu tidak bertemu dengan sosok pria tangguh yang menjadi kebanggannya.Sang ayah membentangkan kedua tangannya untuk memberikan pelukan pada anak semata wayangnya. Nuri menyambut tangannya ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh sang ayah. Sebuah lengan yang besar membelai rambutnya. Pucuk kepala Nuri terasa hangat karena dicium oleh sang ayah.Tanpa terasa, buliran bening yang hangat menetes di pipi Nuri. Perasaan didalam hatinya tak bisa disembunyikan dengan baik. Ia benar-benar bahagia atas keberadaan sang ayah yang sudah lama tidak ia temui.Sang ayah yang memang bekerja di luar negeri menjadi Kedutaan Besar Indonesia di Negara India, mengharuskan dirinya tinggal disana dan pulang selama beberapa bulan sekali. Sehingga Nuri hanya ti

    Last Updated : 2021-10-16
  • The Last Hug   Luapan emosi

    “Bisakah hubungan kita berdua usia tanpa ada pertemuan atau pertanyaan dari siapapun lagi?” tanya Nuri begitu tenaganya terkumpul. Ia berucap dengan hati yang sangat berat. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya menyakitkan bagi orang yang ditanya dan bagi yang bertanya.“Bisakah orang-orang terdekatku melupakanmu dengan mudah layaknya kau yang melupakanku dalam jangka waktu yang lama. Tak bisakah ingatan tetangmu terhapus begitu saja dari pikiran orang-orang tersayangku?” tanya Nuri dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak mata.Orang yang diberikan pertanyaan tersebut hanya diam terpaku mendengar Nuri melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk di jawab. Waktu serasa berhenti dan hanya menyisakan mereka berdua di tengah suasana yang menyayat hati.“Tidakkah kau memikirkan tentang perasaan orang-orang tersayangku begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya? Tidakkah kau mengetahui seberapa hancurnya pe

    Last Updated : 2021-10-16
  • The Last Hug   Bersiap-siap

    Dengan tubuh yang lemas, Nuri bangikit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Mulutnya sedikit terbuka karena mneguap, namun mulutnya itu ia tutupi dengan tangan kanannya supaya tidak serangga yang masuk. Dengan mata yang masih perih, Nuri berjalan seraya mengucek matanya.Aroma masakan Bunda tercium hingga ke kamar mandi. Nuri yang sedang menggosok gigi segera saja menyelesaikan aktivitasnya itu untuk cepat-cepat membersihkan diri. Sekitar 5 menit berlalu, Nuri akhirnya selesai mandi. Begitu kelaur dari kamar mandi, Nuri menajamkan indera penciumannya untuk membaui aroma yang dihasilkan dari masakan Bunda. Nasi goreng! Itulah aroma yang tercium oleh hidung Nuri.“Bunda…” sapa Nuri seraya memeluk sang bunda dari arah belakang.“Hmm,” balas bundanya tanpa menoleh sedikitpun pada Nuri. Beliau masih fokus dengan masakannya.“Bun, nanti buat bekal kerja, Nuri mau bikin salad ya. Supay

    Last Updated : 2021-11-08

Latest chapter

  • The Last Hug   Tidak ingin bercerita

    “Ayah, Nuri masuk kamar dulu ya,” ujar Nuri untuk menghindari pertanyaan dari sang ayah. Bukannya tidak mau menjelaskan terkait hubungannya dengan Rendi, tapi Nuri takut jika nanti Rendi terkena omelan dari sang ayah yang memang bersifat begitu tegas dan sedikit pemarah jika ada orang yang menyakiti anak semata wayangnya.Nuri melakukan hal tersebut untuk melindungi Rendi dari amukan sang ayah bukan karena dia masih mencintai Rendi, tapi Nuri hanya tidak ingin terjadi perdebatan antara ayahnya dengan mantan kekasihnya. Rasanya tidak perlu lagi hubungan mereka menghasilkan perdebatan. Jika sang ayah tahu anak perempuannya disakiti oleh orang lain, pasti sang ayah akan merasa marah dan lebih dalamnya merasakan kesedihan. Nuri tidak ingin jika nanti sang ayah mengetahui jika dirinya pernah terluka karena laki-laki. Kini biarlah luka itu sembuh dan mengering tanpa dicongkel lagi.“Loh kok ke kamar sih? Kita ‘kan masih bincang-incan

  • The Last Hug   Karena dibuntuti

    Sejak siang tadi, hati Nuri merasa tidak enak. Rasanya hati Nuri sangat berat namun entah apa yang membuatnya terasa seperti itu. Dorongan kuat dalam hatinya untuk menghubungi sang kekasih begitu menyiksanya. Isi hati Nuri menyuruhnya untuk menelpon Mas Dendi. Tapi pikirannya mencegah ia untuk melakukan hal tersebut dengan alasan ia harus membiarkan kekasihnya itu beristirahat supaya cepat pulih.Karena tidak ingin terus burung saat memikirkan kekasihnya, Nuri berniat untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di luar sembari menikmati senja dan keindahan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.Langkah kaki Nuri membawanya pada sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Sebuah alun-alun kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan tersebut terlihat begitu ramai oleh anak-anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya.Sinar jingga kekuningan dapat dinikmati dengan jelas dari tempat tersebut. Nuri yang memang ber

  • The Last Hug   Janji untuk mentraktir kopi

    Jam yang terpampang jelas di dinding ruangan tersebut sudah menunjukkan pukul 15. 00 atau pukul 3 sore yang berarti sudah waktunya untuk para pekerja menghentikan aktivitasnya dan pulang untuk beristirahat dari segala pekerjaan yang telah dilakukannya hari ini.Sambil membereskan beberapa file yang berada di mejanya, TV melirik sedikit-sedikit pada layar ponsel yang berada di sebelah kiri tangan Nuri. Sebuah kabar Yang dinanti oleh Nuri meskipun pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak akan masuk kedalam aplikasi yang berada dalam ponsel Nuri. Sampai file yang dibereskannya pun rapi, tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut akan diterima oleh Nuri.Saat orang lain sudah membubarkan diri dari ruangan tersebut, Nuri masih saja duduk di kursinya dan melamun sejenak. Sosok pria yang dicintainya terus saja membayangi pikiran Nuri sehingga ia tidak bisa tenang sedikitpun.Tanpa Nuri sadari, seseorang diam-diam memperhatikannya dari jar

  • The Last Hug   Telepon dari Mas Dendi

    Saat melihat nama Mas Dendi di layar ponsel, betapa senangnya Nuri terlihat dari raut wajahnya yang menunjukkan ekspresi tersenyum bahagia dengan sudut mata yang mengkerut. Dengan satu kali usapan menggunakan ibu jari pada layar ponselnya, Nuri menyambungkan panggilan telepon dari sang kekasih.“Halo Mas,” ucap Nuri untuk mengawali pembicaraan di antara mereka.“Ya halo Vi,” halo seseorang di seberang sana.“Bagaimana kabarnya Mas? Proses pemeriksaan kemarin berjalan lancar saja kan?” Tanya Nuri.“Iya baik-baik saja.”“Syukurlah jika begitu Mas. Nanti pulang kerja, aku ke rumah ya Ma?”“Tidak perlu. Kamu bekerja saja dengan fokus. Setelah pulang jangan kemana-mana lagi. Ke rumah saja langsung. Aku juga ingin istirahat dan tidak ingin diganggu,” kata Dendi. Tanpa menunggu jawaban dari Nuri, Dendi langsung memutuskan sambungan telepon.Baru saja Nuri membuka mulutnya untuk berbicara, tapi suara panggilan terputus ter

  • The Last Hug   Bersiap-siap

    Dengan tubuh yang lemas, Nuri bangikit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Mulutnya sedikit terbuka karena mneguap, namun mulutnya itu ia tutupi dengan tangan kanannya supaya tidak serangga yang masuk. Dengan mata yang masih perih, Nuri berjalan seraya mengucek matanya.Aroma masakan Bunda tercium hingga ke kamar mandi. Nuri yang sedang menggosok gigi segera saja menyelesaikan aktivitasnya itu untuk cepat-cepat membersihkan diri. Sekitar 5 menit berlalu, Nuri akhirnya selesai mandi. Begitu kelaur dari kamar mandi, Nuri menajamkan indera penciumannya untuk membaui aroma yang dihasilkan dari masakan Bunda. Nasi goreng! Itulah aroma yang tercium oleh hidung Nuri.“Bunda…” sapa Nuri seraya memeluk sang bunda dari arah belakang.“Hmm,” balas bundanya tanpa menoleh sedikitpun pada Nuri. Beliau masih fokus dengan masakannya.“Bun, nanti buat bekal kerja, Nuri mau bikin salad ya. Supay

  • The Last Hug   Luapan emosi

    “Bisakah hubungan kita berdua usia tanpa ada pertemuan atau pertanyaan dari siapapun lagi?” tanya Nuri begitu tenaganya terkumpul. Ia berucap dengan hati yang sangat berat. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya menyakitkan bagi orang yang ditanya dan bagi yang bertanya.“Bisakah orang-orang terdekatku melupakanmu dengan mudah layaknya kau yang melupakanku dalam jangka waktu yang lama. Tak bisakah ingatan tetangmu terhapus begitu saja dari pikiran orang-orang tersayangku?” tanya Nuri dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak mata.Orang yang diberikan pertanyaan tersebut hanya diam terpaku mendengar Nuri melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk di jawab. Waktu serasa berhenti dan hanya menyisakan mereka berdua di tengah suasana yang menyayat hati.“Tidakkah kau memikirkan tentang perasaan orang-orang tersayangku begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya? Tidakkah kau mengetahui seberapa hancurnya pe

  • The Last Hug   Dia yang pernah pergi

    “Ayahhh!” teriak Nuri seraya berdiri dari kursinya. Ia berlari menuju ruang keluarga lalu memeluk sosok yang sangat dirindukannya. Sudah lama dirinya itu tidak bertemu dengan sosok pria tangguh yang menjadi kebanggannya.Sang ayah membentangkan kedua tangannya untuk memberikan pelukan pada anak semata wayangnya. Nuri menyambut tangannya ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh sang ayah. Sebuah lengan yang besar membelai rambutnya. Pucuk kepala Nuri terasa hangat karena dicium oleh sang ayah.Tanpa terasa, buliran bening yang hangat menetes di pipi Nuri. Perasaan didalam hatinya tak bisa disembunyikan dengan baik. Ia benar-benar bahagia atas keberadaan sang ayah yang sudah lama tidak ia temui.Sang ayah yang memang bekerja di luar negeri menjadi Kedutaan Besar Indonesia di Negara India, mengharuskan dirinya tinggal disana dan pulang selama beberapa bulan sekali. Sehingga Nuri hanya ti

  • The Last Hug   Dia yang dinanti

    Karena bajunya sudah basah seluruhnya, Nuri bergegas membersihkan dirinya dari sisa-sisa air hujan dan segera mengganti bajunya dengan pakaian yang sangat hangat supaya bisa menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi membalut dirinya.Seraya Nuri mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, matanya terus saja melirik ke arah layar ponsel yang berada tak jauh dari posisinya saat itu. Dengan harap-harap cemas, Nuri menunggu sebuah pesan atau telepon dari seseorang yang dinantikannya sejk tadi siang.Beguti lama dirinya menunggu, hingga akhirnya sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya tepatnya pada sebuah aplikasi berwarna hijau. Dengan gesit tangan Nuri meraih benda pipih tersebut dan memencet pesan tersebut.Tapi sayang, ternyata pesan yang datang tersebut bukan dari orang yang sedang dinantinya. Pesan itu berasal dari seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang selalu ada di setiap kehidupannya. Namun Nuri tidak tahu kehadiran o

  • The Last Hug   Hari yang muram

    Kala itu,cuaca di luar ruangan begitu muram. Wajah langit sudah mulai memucat. Matahari tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam sehingga keindahan sinarnya yang kekuningan tak terlihat dan tidak terasa kehangatannya.Sepoi-sepoi angin terasa begitu dingin menghantam. Meskipun telah menggunakan pakaian yang sangat rapat, tapi rasanya angin tersebut masih bisa menembusnya sehingga bulu-bulu halus di sekitar tangan menjadi berdiri karena saking dinginnya udara yang menerpa.Seorang wanita terlihat berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan tangannya yang sibuk memegang ponsel dan matanya sibuk menatap layar datar tersebut. Raut wajahnya tampak seperti orang yang terburu-buru. Entah apa yang membuatnya terlihat demikian.“Ah kenapa tidak ada satu pun yang nyangkut sih?! Padahal aku sedang terburu-buru sekali,” keluh wanita tersebut. Entah apa yang dimaksud dengan kata nyangkut tersebut. Tapi tampaknya raut wajah dari gadis te

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status