Saat melihat nama Mas Dendi di layar ponsel, betapa senangnya Nuri terlihat dari raut wajahnya yang menunjukkan ekspresi tersenyum bahagia dengan sudut mata yang mengkerut. Dengan satu kali usapan menggunakan ibu jari pada layar ponselnya, Nuri menyambungkan panggilan telepon dari sang kekasih.
“Halo Mas,” ucap Nuri untuk mengawali pembicaraan di antara mereka. “Ya halo Vi,” halo seseorang di seberang sana. “Bagaimana kabarnya Mas? Proses pemeriksaan kemarin berjalan lancar saja kan?” Tanya Nuri. “Iya baik-baik saja.” “Syukurlah jika begitu Mas. Nanti pulang kerja, aku ke rumah ya Ma?” “Tidak perlu. Kamu bekerja saja dengan fokus. Setelah pulang jangan kemana-mana lagi. Ke rumah saja langsung. Aku juga ingin istirahat dan tidak ingin diganggu,” kata Dendi. Tanpa menunggu jawaban dari Nuri, Dendi langsung memutuskan sambungan telepon. Baru saja Nuri membuka mulutnya untuk berbicara, tapi suara panggilan terputus terdengar di telinganya. Mendengar suara khas dari panggilan yang telah terputus, membuat Nuri merasakan sedikit kesal. Tapi sesaat kemudian ia mencoba untuk menghilangkan rasa kesal tersebut karena harus memahami keadaan kekasihnya yang sedang berjuang dalam memulihkan kondisinya. “Baiklah sepertinya aku harus memberikan waktu pada Mas Dendi agar ia bisa beristirahat dengan tenang tanpa gangguan dari segala omongan tidak jelasku,” monolog Nuri. Karena tidak mau membuang waktu, Nuri bergegas melangkahkan kakinya keluar kamar dan segera berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk pergi kerja. Setelah menyusuri setiap jengkal di rumah tersebut tapi tidak menemukan sang bunda dan ayah. Akhirnya Nuri melangkah ke depan rumah dan ternyata ayah beserta bundanya sedang bercengkrama sambil menyiram tanaman. “Ayah, Bunda, Nuri nyariin di dalam tadi tidak ketemu. Ternyata ada di sini,” ucap Nuri begitu melihat kedua orang tuanya. “Udah mau berangkat Sayang,” kata bundanya. “Iya Bun. Nuri takut keburu macet kalau terlalu siang berangkat,” balas Nuri. “Tunggu sebentar di sini, bunda ambilkan dulu salad yang kamu minta.” Bunda kemudian berjalan memasuki rumah dan kembali lagi setelah beberapa saat dengan sebuah toples yang berisi salad buatannya sebagai bekal kerja untuk anak semata wayangnya. “Terima kasih Bunda!” ujar Nuri seraya mengecup pipi sang Bunda. Kini giliran Nuri untuk memeluk sang ayah. Keluarga mereka memang harmonis dan sangat diidamkan oleh orang-orang di luaran sana. Banyak orang memandang keluarga Nuri adalah keluarga yang sempurna dengan harta yang mewah, kehidupan yang enak, pekerjaan yang sangat ideal, dan juga keharmonisan mereka, membuat beberapa tetangga iri pada kehidupan keluarga Nuri. Padahal, di belakang pandangan orang-orang tersebut, Nuri menyimpan berbagai rahasia yang mungkin orang-orang tidak akan lagi iri pada Nuri. Dari hasil tersebut hanya diketahui oleh dirinya sendiri, bahkan kedua orang tuanya pun tidak tahu dengan rahasia Nuri. “Kamu pergi naik apa, Nak?” tanya sang ayah sebelum melepas pelukannya pada Nuri. “Aku pergi naik gojek, Yah.” “Loh kok naik go-jek sih? Kenapa tidak membawa mobil sendiri saja?” tanya sang ayah keheranan. Padahal Nuri sudah mempunyai mobil sendiri, tapi kenapa Ia masih menggunakan gojek sebagai kendaraannya untuk berangkat ke kantor. “Supaya cepat nyampe ke kantor Yah. Kalau mobil dipakainya jika sedang santai saja dan jika saat Bunda ingin jalan-jalan keluar maka aku akan memakai mobilnya,” jawab Nuri. “Baiklah jika begitu. Hati-hati di jalan ya. Pesan pada tukang ojeknya supaya tidak membawa motor ngebut ngebut.” “Iya Ayah terima kasih atas perhatiannya. Kalau begitu Nuri berangkat kerja dulu ya.” “Iya Sayang,” jawab kedua orang tuanya secara serempak. Nuri kemudian berjalan menuju gerbang gerbang tinggi berwarna hitam yang membatasi rumahnya dengan lingkungan luar. Saat gerbang terbuka, ojek online yang sudah dipesan oleh Nuri sudah ada di depan gerbang dan sedang menunggu Nuri. Setelah dikonfirmasi bahwa ojek online tersebut benar-benar pesanan Nuri, maka Nuri langsung naik ke motornya dan meminta sopir tersebut untuk segera berangkat agar tidak terlalu siang dan kena macet. Sekitar 20 menit Nuri dan sopir tersebut membelah jalanan kota yang sudah ramai oleh para pengendara motor dan mobil. Asap kendaraan yang sudah menyeruak membuat udara menjadi panas pertanda bahwa aktivitas orang-orang sudah mulai padat. Saat jam yang melingkar di pergelangan lengan kirinya sudah menunjukkan pukul 8 lebih 25 menit, Nuri sampai di tempat kerja nya. Ia kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar ojek online tersebut. Sebelum masuk ke gedung tinggi yang berada di depannya, Fifi menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Rutinitas itu selalu ia lakukan sebelum masuk ke dalam tempat bekerjanya. Itu sebagai kebiasaan bahwa Nuri sedang mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala hal yang terjadi di dalam gedung tersebut baik itu terkait pekerjaan ataupun hal-hal diluar pekerjaan. “Mari kita bekerja!” ujar Nuri dengan tegas untuk menyemangati dirinya sendiri. Langkah demi langkah menuntun Nuri hingga masuk ke ruangan nya yang yang berada di lantai lima dari keseluruhan lantai di gedung tersebut. Teman-teman lain sudah terlihat duduk dengan rapi di kursinya masing-masing. Nuri yang baru saja masuk ke dalam, melihat ke arah kiri dan kanan memastikan bahwa bosnya itu belum datang ke ruangan tersebut. “Huft.” Nuri menghembuskan nafas dengan kasar merasa tenang bahwa bosnya itu itu belum datang. Sebuah tepukan pada pundak Nuri dari arah belakang, membuat Nuri kaget dan dan jantungnya berdebar dengan kencang karena merasa bahwa yang menepuknya itu adalah bosnya. Dengan sangat hati-hati, Nuri membalikan badan untuk menyapa bosnya tersebut. “Halo,” ujar pria di depan Nuri seraya melambaikan tangannya dan menampilkan senyum terbaiknya. “Heh! Ngapain sih ngagetin aku saja! Kukira bos yang menepuk pundakku!” kata Nuri pada orang tersebut dengan nada bicara yang sangat ketus karena merasa kesal sudah dibuat berdebar tanpa alasan. “Hahaha. Maafkan aku jika perbuatanku tadi membuatmu terkejut,” kata pria tersebut dengan tawa yang sangat renyah. Tanpa menjawab atau menerima Maaf dari pria tersebut, Nuri langsung berjalan menuju kursinya dan duduk dengan manis menghadap pada layar komputer besar di depannya. Tangannya langsung bergerak lincah memainkan mouse ke kanan dan ke kiri untuk menggerakkan kursor supaya bisa membuka beberapa file yang akan diperiksa olehnya. Pria Yang tadi mengagetkannya mendekati Nuri dan memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Nuri yang sedang fokus pada layar komputer. Tingkah laku pria tersebut sebenarnya terlihat dari sudut mata Nuri, tapi ia lebih memilih untuk mengabaikannya dan tidak ingin melakukan banyak interaksi dengannya. “Hei Apa kau sedang tidak ingin diganggu olehku?” Tanyanya Setelah sekian lama diabaikan oleh Nuri. Mendengar pertanyaan tersebut, tiba-tiba saja pipi teringat pada seseorang yang tadi pagi meneleponnya untuk tidak mengganggu orang tersebut dan membiarkannya beristirahat. Entah kenapa sebersit pikiran tidak baik muncul pada otak Nuri tentang pria tersebut.Jangan lupa tinggalkan jejak si kolom komentar. Follow juga ya@dewi_pedang🌻
Jam yang terpampang jelas di dinding ruangan tersebut sudah menunjukkan pukul 15. 00 atau pukul 3 sore yang berarti sudah waktunya untuk para pekerja menghentikan aktivitasnya dan pulang untuk beristirahat dari segala pekerjaan yang telah dilakukannya hari ini.Sambil membereskan beberapa file yang berada di mejanya, TV melirik sedikit-sedikit pada layar ponsel yang berada di sebelah kiri tangan Nuri. Sebuah kabar Yang dinanti oleh Nuri meskipun pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak akan masuk kedalam aplikasi yang berada dalam ponsel Nuri. Sampai file yang dibereskannya pun rapi, tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut akan diterima oleh Nuri.Saat orang lain sudah membubarkan diri dari ruangan tersebut, Nuri masih saja duduk di kursinya dan melamun sejenak. Sosok pria yang dicintainya terus saja membayangi pikiran Nuri sehingga ia tidak bisa tenang sedikitpun.Tanpa Nuri sadari, seseorang diam-diam memperhatikannya dari jar
Sejak siang tadi, hati Nuri merasa tidak enak. Rasanya hati Nuri sangat berat namun entah apa yang membuatnya terasa seperti itu. Dorongan kuat dalam hatinya untuk menghubungi sang kekasih begitu menyiksanya. Isi hati Nuri menyuruhnya untuk menelpon Mas Dendi. Tapi pikirannya mencegah ia untuk melakukan hal tersebut dengan alasan ia harus membiarkan kekasihnya itu beristirahat supaya cepat pulih.Karena tidak ingin terus burung saat memikirkan kekasihnya, Nuri berniat untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di luar sembari menikmati senja dan keindahan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.Langkah kaki Nuri membawanya pada sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Sebuah alun-alun kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan tersebut terlihat begitu ramai oleh anak-anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya.Sinar jingga kekuningan dapat dinikmati dengan jelas dari tempat tersebut. Nuri yang memang ber
“Ayah, Nuri masuk kamar dulu ya,” ujar Nuri untuk menghindari pertanyaan dari sang ayah. Bukannya tidak mau menjelaskan terkait hubungannya dengan Rendi, tapi Nuri takut jika nanti Rendi terkena omelan dari sang ayah yang memang bersifat begitu tegas dan sedikit pemarah jika ada orang yang menyakiti anak semata wayangnya.Nuri melakukan hal tersebut untuk melindungi Rendi dari amukan sang ayah bukan karena dia masih mencintai Rendi, tapi Nuri hanya tidak ingin terjadi perdebatan antara ayahnya dengan mantan kekasihnya. Rasanya tidak perlu lagi hubungan mereka menghasilkan perdebatan. Jika sang ayah tahu anak perempuannya disakiti oleh orang lain, pasti sang ayah akan merasa marah dan lebih dalamnya merasakan kesedihan. Nuri tidak ingin jika nanti sang ayah mengetahui jika dirinya pernah terluka karena laki-laki. Kini biarlah luka itu sembuh dan mengering tanpa dicongkel lagi.“Loh kok ke kamar sih? Kita ‘kan masih bincang-incan
“Mas, hari ini aku pulang lebih awal. Jadi aku bisa mengantarmu untuk kontrol ke rumah sakit,” kata seorang wanita pada seseorang lawan bicaranya di seberang telepon.“Baguslah jika kamu pulang lebih awal, jadi waktu beristirahat kamu lebih banyak,” sahut pria dari seberang telepon.“Aku nanti langsung berangkat ke rumah kamu ya Mas sepulang kerja. Aku tidak akan pulang ke rumah dulu. Nanti biar aku menelepon saja ke Bunda.”“Kamu pulang saja. Tidak perlu repot-repot mengantarku ke rumah sakit. Aku diantar sama Papa dan Mama kok, jadi kamu tenang saja ya.”“Aku mau ikut Mas. Pokoknya nanti aku langsung ke rumahmu!” kata wanita tersebut dengan tegas lalu menutup sambungan telepon dengan pria yang disebut Mas. Ia kemudian menyimpan ponselnya di meja dan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.Matanya ia pejamkan sejenak untuk melepas penat yang ia rasa
Kala itu,cuaca di luar ruangan begitu muram. Wajah langit sudah mulai memucat. Matahari tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam sehingga keindahan sinarnya yang kekuningan tak terlihat dan tidak terasa kehangatannya.Sepoi-sepoi angin terasa begitu dingin menghantam. Meskipun telah menggunakan pakaian yang sangat rapat, tapi rasanya angin tersebut masih bisa menembusnya sehingga bulu-bulu halus di sekitar tangan menjadi berdiri karena saking dinginnya udara yang menerpa.Seorang wanita terlihat berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan tangannya yang sibuk memegang ponsel dan matanya sibuk menatap layar datar tersebut. Raut wajahnya tampak seperti orang yang terburu-buru. Entah apa yang membuatnya terlihat demikian.“Ah kenapa tidak ada satu pun yang nyangkut sih?! Padahal aku sedang terburu-buru sekali,” keluh wanita tersebut. Entah apa yang dimaksud dengan kata nyangkut tersebut. Tapi tampaknya raut wajah dari gadis te
Karena bajunya sudah basah seluruhnya, Nuri bergegas membersihkan dirinya dari sisa-sisa air hujan dan segera mengganti bajunya dengan pakaian yang sangat hangat supaya bisa menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi membalut dirinya.Seraya Nuri mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, matanya terus saja melirik ke arah layar ponsel yang berada tak jauh dari posisinya saat itu. Dengan harap-harap cemas, Nuri menunggu sebuah pesan atau telepon dari seseorang yang dinantikannya sejk tadi siang.Beguti lama dirinya menunggu, hingga akhirnya sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya tepatnya pada sebuah aplikasi berwarna hijau. Dengan gesit tangan Nuri meraih benda pipih tersebut dan memencet pesan tersebut.Tapi sayang, ternyata pesan yang datang tersebut bukan dari orang yang sedang dinantinya. Pesan itu berasal dari seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang selalu ada di setiap kehidupannya. Namun Nuri tidak tahu kehadiran o
“Ayahhh!” teriak Nuri seraya berdiri dari kursinya. Ia berlari menuju ruang keluarga lalu memeluk sosok yang sangat dirindukannya. Sudah lama dirinya itu tidak bertemu dengan sosok pria tangguh yang menjadi kebanggannya.Sang ayah membentangkan kedua tangannya untuk memberikan pelukan pada anak semata wayangnya. Nuri menyambut tangannya ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh sang ayah. Sebuah lengan yang besar membelai rambutnya. Pucuk kepala Nuri terasa hangat karena dicium oleh sang ayah.Tanpa terasa, buliran bening yang hangat menetes di pipi Nuri. Perasaan didalam hatinya tak bisa disembunyikan dengan baik. Ia benar-benar bahagia atas keberadaan sang ayah yang sudah lama tidak ia temui.Sang ayah yang memang bekerja di luar negeri menjadi Kedutaan Besar Indonesia di Negara India, mengharuskan dirinya tinggal disana dan pulang selama beberapa bulan sekali. Sehingga Nuri hanya ti
“Bisakah hubungan kita berdua usia tanpa ada pertemuan atau pertanyaan dari siapapun lagi?” tanya Nuri begitu tenaganya terkumpul. Ia berucap dengan hati yang sangat berat. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya menyakitkan bagi orang yang ditanya dan bagi yang bertanya.“Bisakah orang-orang terdekatku melupakanmu dengan mudah layaknya kau yang melupakanku dalam jangka waktu yang lama. Tak bisakah ingatan tetangmu terhapus begitu saja dari pikiran orang-orang tersayangku?” tanya Nuri dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak mata.Orang yang diberikan pertanyaan tersebut hanya diam terpaku mendengar Nuri melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk di jawab. Waktu serasa berhenti dan hanya menyisakan mereka berdua di tengah suasana yang menyayat hati.“Tidakkah kau memikirkan tentang perasaan orang-orang tersayangku begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya? Tidakkah kau mengetahui seberapa hancurnya pe
“Ayah, Nuri masuk kamar dulu ya,” ujar Nuri untuk menghindari pertanyaan dari sang ayah. Bukannya tidak mau menjelaskan terkait hubungannya dengan Rendi, tapi Nuri takut jika nanti Rendi terkena omelan dari sang ayah yang memang bersifat begitu tegas dan sedikit pemarah jika ada orang yang menyakiti anak semata wayangnya.Nuri melakukan hal tersebut untuk melindungi Rendi dari amukan sang ayah bukan karena dia masih mencintai Rendi, tapi Nuri hanya tidak ingin terjadi perdebatan antara ayahnya dengan mantan kekasihnya. Rasanya tidak perlu lagi hubungan mereka menghasilkan perdebatan. Jika sang ayah tahu anak perempuannya disakiti oleh orang lain, pasti sang ayah akan merasa marah dan lebih dalamnya merasakan kesedihan. Nuri tidak ingin jika nanti sang ayah mengetahui jika dirinya pernah terluka karena laki-laki. Kini biarlah luka itu sembuh dan mengering tanpa dicongkel lagi.“Loh kok ke kamar sih? Kita ‘kan masih bincang-incan
Sejak siang tadi, hati Nuri merasa tidak enak. Rasanya hati Nuri sangat berat namun entah apa yang membuatnya terasa seperti itu. Dorongan kuat dalam hatinya untuk menghubungi sang kekasih begitu menyiksanya. Isi hati Nuri menyuruhnya untuk menelpon Mas Dendi. Tapi pikirannya mencegah ia untuk melakukan hal tersebut dengan alasan ia harus membiarkan kekasihnya itu beristirahat supaya cepat pulih.Karena tidak ingin terus burung saat memikirkan kekasihnya, Nuri berniat untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di luar sembari menikmati senja dan keindahan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.Langkah kaki Nuri membawanya pada sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Sebuah alun-alun kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan tersebut terlihat begitu ramai oleh anak-anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya.Sinar jingga kekuningan dapat dinikmati dengan jelas dari tempat tersebut. Nuri yang memang ber
Jam yang terpampang jelas di dinding ruangan tersebut sudah menunjukkan pukul 15. 00 atau pukul 3 sore yang berarti sudah waktunya untuk para pekerja menghentikan aktivitasnya dan pulang untuk beristirahat dari segala pekerjaan yang telah dilakukannya hari ini.Sambil membereskan beberapa file yang berada di mejanya, TV melirik sedikit-sedikit pada layar ponsel yang berada di sebelah kiri tangan Nuri. Sebuah kabar Yang dinanti oleh Nuri meskipun pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak akan masuk kedalam aplikasi yang berada dalam ponsel Nuri. Sampai file yang dibereskannya pun rapi, tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut akan diterima oleh Nuri.Saat orang lain sudah membubarkan diri dari ruangan tersebut, Nuri masih saja duduk di kursinya dan melamun sejenak. Sosok pria yang dicintainya terus saja membayangi pikiran Nuri sehingga ia tidak bisa tenang sedikitpun.Tanpa Nuri sadari, seseorang diam-diam memperhatikannya dari jar
Saat melihat nama Mas Dendi di layar ponsel, betapa senangnya Nuri terlihat dari raut wajahnya yang menunjukkan ekspresi tersenyum bahagia dengan sudut mata yang mengkerut. Dengan satu kali usapan menggunakan ibu jari pada layar ponselnya, Nuri menyambungkan panggilan telepon dari sang kekasih.“Halo Mas,” ucap Nuri untuk mengawali pembicaraan di antara mereka.“Ya halo Vi,” halo seseorang di seberang sana.“Bagaimana kabarnya Mas? Proses pemeriksaan kemarin berjalan lancar saja kan?” Tanya Nuri.“Iya baik-baik saja.”“Syukurlah jika begitu Mas. Nanti pulang kerja, aku ke rumah ya Ma?”“Tidak perlu. Kamu bekerja saja dengan fokus. Setelah pulang jangan kemana-mana lagi. Ke rumah saja langsung. Aku juga ingin istirahat dan tidak ingin diganggu,” kata Dendi. Tanpa menunggu jawaban dari Nuri, Dendi langsung memutuskan sambungan telepon.Baru saja Nuri membuka mulutnya untuk berbicara, tapi suara panggilan terputus ter
Dengan tubuh yang lemas, Nuri bangikit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Mulutnya sedikit terbuka karena mneguap, namun mulutnya itu ia tutupi dengan tangan kanannya supaya tidak serangga yang masuk. Dengan mata yang masih perih, Nuri berjalan seraya mengucek matanya.Aroma masakan Bunda tercium hingga ke kamar mandi. Nuri yang sedang menggosok gigi segera saja menyelesaikan aktivitasnya itu untuk cepat-cepat membersihkan diri. Sekitar 5 menit berlalu, Nuri akhirnya selesai mandi. Begitu kelaur dari kamar mandi, Nuri menajamkan indera penciumannya untuk membaui aroma yang dihasilkan dari masakan Bunda. Nasi goreng! Itulah aroma yang tercium oleh hidung Nuri.“Bunda…” sapa Nuri seraya memeluk sang bunda dari arah belakang.“Hmm,” balas bundanya tanpa menoleh sedikitpun pada Nuri. Beliau masih fokus dengan masakannya.“Bun, nanti buat bekal kerja, Nuri mau bikin salad ya. Supay
“Bisakah hubungan kita berdua usia tanpa ada pertemuan atau pertanyaan dari siapapun lagi?” tanya Nuri begitu tenaganya terkumpul. Ia berucap dengan hati yang sangat berat. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya menyakitkan bagi orang yang ditanya dan bagi yang bertanya.“Bisakah orang-orang terdekatku melupakanmu dengan mudah layaknya kau yang melupakanku dalam jangka waktu yang lama. Tak bisakah ingatan tetangmu terhapus begitu saja dari pikiran orang-orang tersayangku?” tanya Nuri dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak mata.Orang yang diberikan pertanyaan tersebut hanya diam terpaku mendengar Nuri melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk di jawab. Waktu serasa berhenti dan hanya menyisakan mereka berdua di tengah suasana yang menyayat hati.“Tidakkah kau memikirkan tentang perasaan orang-orang tersayangku begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya? Tidakkah kau mengetahui seberapa hancurnya pe
“Ayahhh!” teriak Nuri seraya berdiri dari kursinya. Ia berlari menuju ruang keluarga lalu memeluk sosok yang sangat dirindukannya. Sudah lama dirinya itu tidak bertemu dengan sosok pria tangguh yang menjadi kebanggannya.Sang ayah membentangkan kedua tangannya untuk memberikan pelukan pada anak semata wayangnya. Nuri menyambut tangannya ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh sang ayah. Sebuah lengan yang besar membelai rambutnya. Pucuk kepala Nuri terasa hangat karena dicium oleh sang ayah.Tanpa terasa, buliran bening yang hangat menetes di pipi Nuri. Perasaan didalam hatinya tak bisa disembunyikan dengan baik. Ia benar-benar bahagia atas keberadaan sang ayah yang sudah lama tidak ia temui.Sang ayah yang memang bekerja di luar negeri menjadi Kedutaan Besar Indonesia di Negara India, mengharuskan dirinya tinggal disana dan pulang selama beberapa bulan sekali. Sehingga Nuri hanya ti
Karena bajunya sudah basah seluruhnya, Nuri bergegas membersihkan dirinya dari sisa-sisa air hujan dan segera mengganti bajunya dengan pakaian yang sangat hangat supaya bisa menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi membalut dirinya.Seraya Nuri mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, matanya terus saja melirik ke arah layar ponsel yang berada tak jauh dari posisinya saat itu. Dengan harap-harap cemas, Nuri menunggu sebuah pesan atau telepon dari seseorang yang dinantikannya sejk tadi siang.Beguti lama dirinya menunggu, hingga akhirnya sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya tepatnya pada sebuah aplikasi berwarna hijau. Dengan gesit tangan Nuri meraih benda pipih tersebut dan memencet pesan tersebut.Tapi sayang, ternyata pesan yang datang tersebut bukan dari orang yang sedang dinantinya. Pesan itu berasal dari seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang selalu ada di setiap kehidupannya. Namun Nuri tidak tahu kehadiran o
Kala itu,cuaca di luar ruangan begitu muram. Wajah langit sudah mulai memucat. Matahari tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam sehingga keindahan sinarnya yang kekuningan tak terlihat dan tidak terasa kehangatannya.Sepoi-sepoi angin terasa begitu dingin menghantam. Meskipun telah menggunakan pakaian yang sangat rapat, tapi rasanya angin tersebut masih bisa menembusnya sehingga bulu-bulu halus di sekitar tangan menjadi berdiri karena saking dinginnya udara yang menerpa.Seorang wanita terlihat berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan tangannya yang sibuk memegang ponsel dan matanya sibuk menatap layar datar tersebut. Raut wajahnya tampak seperti orang yang terburu-buru. Entah apa yang membuatnya terlihat demikian.“Ah kenapa tidak ada satu pun yang nyangkut sih?! Padahal aku sedang terburu-buru sekali,” keluh wanita tersebut. Entah apa yang dimaksud dengan kata nyangkut tersebut. Tapi tampaknya raut wajah dari gadis te