Home / Romansa / The Last Hug / Dia yang pernah pergi

Share

Dia yang pernah pergi

Author: Dewi Pedang
last update Last Updated: 2021-10-16 09:24:45

 “Ayahhh!” teriak Nuri seraya berdiri dari kursinya. Ia berlari menuju ruang keluarga lalu memeluk sosok yang sangat dirindukannya. Sudah lama dirinya itu tidak bertemu dengan sosok pria tangguh yang menjadi kebanggannya.

 Sang ayah membentangkan kedua tangannya untuk memberikan pelukan pada anak semata wayangnya. Nuri menyambut tangannya ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh sang ayah. Sebuah lengan yang besar membelai rambutnya. Pucuk kepala Nuri terasa hangat karena dicium oleh sang ayah.

 Tanpa terasa, buliran bening yang hangat menetes di pipi Nuri. Perasaan didalam hatinya tak bisa disembunyikan dengan baik. Ia benar-benar bahagia atas keberadaan sang ayah yang sudah lama tidak ia temui.

 Sang ayah yang memang bekerja di luar negeri menjadi Kedutaan Besar Indonesia di Negara India, mengharuskan dirinya tinggal disana dan pulang selama beberapa bulan sekali. Sehingga Nuri hanya tinggal berdua dengan sang bunda saat papanya sedang bertugas di India sana.

 “Ayah. Nuy kangen Ayah. Kenapa Ayah baru pulang saat ini? Apa Ayah tidak ingat dengan Nuri dan Bunda selama beberapa bulan ini?” tanya Nuri dengan beberapa air mata di ujung matanya.

 “Tentu saja Ayah rindu dengan anak Ayah dan istri Ayah. Ayah tidak pulang selama beberapa bulan karena memang sedang bekerja ‘kan.”

 “Tapi kenapa Ayah tidak pernah menelepon pada Nuri dan memberikan kabar? Padahal setiap hari Nuy menatap foto Ayah yang ada di ponsel. Setiap kali Nuy telepon, Ayah selalu sibuk dan tidak menjawab. Nuy jadi sedih saat hilang komunikasi dengan Ayah,” tutur Nuri dengan suara yang sedikit serak supaya dirinya tetap bisa bersuara di tengah isakan tangisnya.

 “Ayah sering menelepon Bunda. Setiap kali Ayah bertanya tentangmu, Bunda mengatakan kalau kamu sedang bekerja. Apa uang yang Ayah kirim tidak cukup untuk Nuri dan Bunda? Kenapa Nuri capek-apek bekerja?” tanya sang ayah seraya menatap wajah Nuri dengan penuh kasih sayang.

 “Bukan begitu Ayah. Setelah selesai wisuda, Nunuy bosan tinggal di rumah terus. Jadi Nuy menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan besar kepada Nuy.”

 “Tak terasa anak Ayah sudah sebesar ini. Sudah mau mandiri untuk mencari kesibukan sendiri. Ayah senang jika kamu tumbuh dengan baik seperti ini. Maafkan Ayah karena sellau sibuk bekerja dan tidak membantu Bunda untuk membimbingmu.”

 “Ayah sudah membimbingku dengan baik kok. Ayah itu memberi contoh pada Nuy untuk selalu melakukan hal-hal yang baik. Dan Bunda juga sama baiknya dalam membimbing Nuy. Betapa bahagianya Nuy saat menjadi anak dari kedua orang hebat ini,” tutur Nuri seraya memeluk kedua orang tuanya yang duduk di samping kiri dan kanan.

 Keluarga kecil tersebut tampak begitu bahagia. Meskipun mereka hanya bertiga, tapi kasih sayang mereka seluas samudra.

 Keesokan harinya, Nuri begitu manja pada sang ayah sebelum dirinya berangkat bekerja. Ia yang memang sudah lama tak berjumpa dengan sang ayah membuat dirinya ingin menghabiskan waktu lebih lama untuk berbincang panjang lebar dengan sosok kebangganyaanya itu.

 Tapi waktu yang sudah menunjukkan pukul 7.30, mengharuskan Nuri untuk segera berangkat. Jika dirinya terlambat sedikit saja maka jalanan akan mulai raai dan membuat Nuri harus ikut bermacet-macetan dengan pengendara lainnya.

 “Ayah, Bunda, Nuy berangkat kerja dulu ya,” ucap Nuri pada kedua orang tuanya begitu mereka selesai sarapan.

 “Kamu berangkat dengan siapa?” tanya sang ayah seraya menatap mata Nuri.

 “Sendiri dong Yah. Nuri ‘kan sudah besar jadi tidak perlu diantar oleh Ayah atau pun Bunda,” tutur Nuri seraya tersenyum.

 “Memangnya kemana Rendi? Apa dia tidak akan mengantarmu?” wanita paruh baya yang disebut Bunda tiba-tiba menghentikan aktivitasnya saat membereskan piring kotor lalu terdiam mematung. Nuri pun sama reaksinya dengan sang bunda. Entah apa yang membuat mereka mendadak jadi patung begitu.

 “Kenapa kalian pada diam? Apa ada yang salah?” tanya sang ayah yang melihat reaksi kedua wanita di depannya itu.

 Nuri tak mau menjawab pertanyaan tersebut. Ia malah menginginkan dirinya untuk menghentikan obrolan tersebut lalu pergi untuk bekerja. Entah kenapa pertanyaan dari ayahnya itu malah seperti sembilu tajam yang menghunus pada otak dan hatinya. Lidahnya pun tiba-tiba terasa seperti kelu.

 “Nuy, ayo cepat berangkat. Nanti kalau telat sedikit kamu pasti akan kena macet,” tutur bunda pada Nuri seraya menuntunnya untuk berjalan keuar rumah. Sang bunda tahu betul jika Nuri tidak nyaman dan tidak enak saat diberikan pertanyaan mengenai Rendi. 

 Tanpa bertanya pun, bundanya mengetahui bahwa Nuri menjadi badmood dilihat dari raut wajahnya yang berubah lesu. Senyuman yang sebelumnya mengembang, kini malah menghilang. 

 “Tidak usah dipikirkan pertanyaan Ayah ya. Biar Bunda yang jelaskan kepada Ayah. Ayah juga pasti mengerti jika dijelaskan dengan sangat hati-hati. Pokoknya kamu jangan mikirin ini. Kamu senang-senang dengan pekerjaanmu ya. Pertanyaan tadi jangan sampe bersarang di pikiran dan hati kamu.”

 “Iya Bun. Kalau begitu Nuy berangkat kerja dulu ya.”

 “Iya Sayang. Tuh gojek pesanan kamu sudah datang,” kata sang bunda saat melihat sebuah motor berhenti di depan rumahnya. 

 Meskipun Nuri mempunyai mobil pribadi yang dibelikan oleh ayahnya setahun lalu, tapi dirinya tidak terlalu sering menggunakan kendaraan roda empat tersebut. Ia lebih sering menggunakan angkutan umum jika bepergian sendiri. Tapi jika ia berjalan-jalan dengan sang bunda, ia pasti akan menggunakan mobilnya supaya sang bunda merasa nyaman melakukan perjalanan bersamanya.

 Ia kemudian pergi menginggalkan sang bunda lalu berjalan mendekati kurir tersebut. Bibirnya ia paksakan untuk tersenyum supaya harinya tidak rusak oleh mood yang dibuatnya sendiri.

 Membutuhkan waktu sekitar 25 menit bagi Nuri untuk bisa sampai ke tempatnya bekerja. Begitu ia turun dari motor kurir yang mengantarnya, Nuri berdiri mematun d hadapan gedung yang menjulang tinggi tersebut.

 Matanya menyapu setiap lantai dari bangunan itu. Semakin tinggi ia menatap ke atas, semakin sakit matanya karena sinar matahari yang langsung jatuh ke retinanya tanpa ada halangan apapun. Saking silaunya, Nuri kemudian menundukkan pandangannya dan menatap bumi yang sedang ia pijak.

 ‘Kenapa harus bertemu lagi? Apa perpisahan kemarin tak cukup untuk memisahkan kita berdua?’ tanya Nuri dalam hati.

 Hatinya menjadi murung lagi. Padahal sebelumnya ia memaksakan diri untuk tersenyum supaya hatinya ceria. Tapi setelah menatap gedung tersebut, ia malah bersedih lagi. 

 “Hayo ngapain kau berdiam diri disini?” suara seseroang mengejutkan Nuri yang sedang melamun. Suara itu benar-benar membuat dirinya mengangkat wajah dan menatap pada orang yang mengejutkannya.

 Orang tersebut tersenyum begitu manis. Kedua lesung di pipinya menambah kesan manis pada dirinya. Sorot matanya benar-benar membuat Nuri diam terpaku. Suara yang ingin ia kelurkan malah tercekat di tenggorokannya.

Related chapters

  • The Last Hug   Luapan emosi

    “Bisakah hubungan kita berdua usia tanpa ada pertemuan atau pertanyaan dari siapapun lagi?” tanya Nuri begitu tenaganya terkumpul. Ia berucap dengan hati yang sangat berat. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya menyakitkan bagi orang yang ditanya dan bagi yang bertanya.“Bisakah orang-orang terdekatku melupakanmu dengan mudah layaknya kau yang melupakanku dalam jangka waktu yang lama. Tak bisakah ingatan tetangmu terhapus begitu saja dari pikiran orang-orang tersayangku?” tanya Nuri dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak mata.Orang yang diberikan pertanyaan tersebut hanya diam terpaku mendengar Nuri melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk di jawab. Waktu serasa berhenti dan hanya menyisakan mereka berdua di tengah suasana yang menyayat hati.“Tidakkah kau memikirkan tentang perasaan orang-orang tersayangku begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya? Tidakkah kau mengetahui seberapa hancurnya pe

    Last Updated : 2021-10-16
  • The Last Hug   Bersiap-siap

    Dengan tubuh yang lemas, Nuri bangikit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Mulutnya sedikit terbuka karena mneguap, namun mulutnya itu ia tutupi dengan tangan kanannya supaya tidak serangga yang masuk. Dengan mata yang masih perih, Nuri berjalan seraya mengucek matanya.Aroma masakan Bunda tercium hingga ke kamar mandi. Nuri yang sedang menggosok gigi segera saja menyelesaikan aktivitasnya itu untuk cepat-cepat membersihkan diri. Sekitar 5 menit berlalu, Nuri akhirnya selesai mandi. Begitu kelaur dari kamar mandi, Nuri menajamkan indera penciumannya untuk membaui aroma yang dihasilkan dari masakan Bunda. Nasi goreng! Itulah aroma yang tercium oleh hidung Nuri.“Bunda…” sapa Nuri seraya memeluk sang bunda dari arah belakang.“Hmm,” balas bundanya tanpa menoleh sedikitpun pada Nuri. Beliau masih fokus dengan masakannya.“Bun, nanti buat bekal kerja, Nuri mau bikin salad ya. Supay

    Last Updated : 2021-11-08
  • The Last Hug   Telepon dari Mas Dendi

    Saat melihat nama Mas Dendi di layar ponsel, betapa senangnya Nuri terlihat dari raut wajahnya yang menunjukkan ekspresi tersenyum bahagia dengan sudut mata yang mengkerut. Dengan satu kali usapan menggunakan ibu jari pada layar ponselnya, Nuri menyambungkan panggilan telepon dari sang kekasih.“Halo Mas,” ucap Nuri untuk mengawali pembicaraan di antara mereka.“Ya halo Vi,” halo seseorang di seberang sana.“Bagaimana kabarnya Mas? Proses pemeriksaan kemarin berjalan lancar saja kan?” Tanya Nuri.“Iya baik-baik saja.”“Syukurlah jika begitu Mas. Nanti pulang kerja, aku ke rumah ya Ma?”“Tidak perlu. Kamu bekerja saja dengan fokus. Setelah pulang jangan kemana-mana lagi. Ke rumah saja langsung. Aku juga ingin istirahat dan tidak ingin diganggu,” kata Dendi. Tanpa menunggu jawaban dari Nuri, Dendi langsung memutuskan sambungan telepon.Baru saja Nuri membuka mulutnya untuk berbicara, tapi suara panggilan terputus ter

    Last Updated : 2021-11-11
  • The Last Hug   Janji untuk mentraktir kopi

    Jam yang terpampang jelas di dinding ruangan tersebut sudah menunjukkan pukul 15. 00 atau pukul 3 sore yang berarti sudah waktunya untuk para pekerja menghentikan aktivitasnya dan pulang untuk beristirahat dari segala pekerjaan yang telah dilakukannya hari ini.Sambil membereskan beberapa file yang berada di mejanya, TV melirik sedikit-sedikit pada layar ponsel yang berada di sebelah kiri tangan Nuri. Sebuah kabar Yang dinanti oleh Nuri meskipun pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak akan masuk kedalam aplikasi yang berada dalam ponsel Nuri. Sampai file yang dibereskannya pun rapi, tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut akan diterima oleh Nuri.Saat orang lain sudah membubarkan diri dari ruangan tersebut, Nuri masih saja duduk di kursinya dan melamun sejenak. Sosok pria yang dicintainya terus saja membayangi pikiran Nuri sehingga ia tidak bisa tenang sedikitpun.Tanpa Nuri sadari, seseorang diam-diam memperhatikannya dari jar

    Last Updated : 2021-11-11
  • The Last Hug   Karena dibuntuti

    Sejak siang tadi, hati Nuri merasa tidak enak. Rasanya hati Nuri sangat berat namun entah apa yang membuatnya terasa seperti itu. Dorongan kuat dalam hatinya untuk menghubungi sang kekasih begitu menyiksanya. Isi hati Nuri menyuruhnya untuk menelpon Mas Dendi. Tapi pikirannya mencegah ia untuk melakukan hal tersebut dengan alasan ia harus membiarkan kekasihnya itu beristirahat supaya cepat pulih.Karena tidak ingin terus burung saat memikirkan kekasihnya, Nuri berniat untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di luar sembari menikmati senja dan keindahan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.Langkah kaki Nuri membawanya pada sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Sebuah alun-alun kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan tersebut terlihat begitu ramai oleh anak-anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya.Sinar jingga kekuningan dapat dinikmati dengan jelas dari tempat tersebut. Nuri yang memang ber

    Last Updated : 2021-11-15
  • The Last Hug   Tidak ingin bercerita

    “Ayah, Nuri masuk kamar dulu ya,” ujar Nuri untuk menghindari pertanyaan dari sang ayah. Bukannya tidak mau menjelaskan terkait hubungannya dengan Rendi, tapi Nuri takut jika nanti Rendi terkena omelan dari sang ayah yang memang bersifat begitu tegas dan sedikit pemarah jika ada orang yang menyakiti anak semata wayangnya.Nuri melakukan hal tersebut untuk melindungi Rendi dari amukan sang ayah bukan karena dia masih mencintai Rendi, tapi Nuri hanya tidak ingin terjadi perdebatan antara ayahnya dengan mantan kekasihnya. Rasanya tidak perlu lagi hubungan mereka menghasilkan perdebatan. Jika sang ayah tahu anak perempuannya disakiti oleh orang lain, pasti sang ayah akan merasa marah dan lebih dalamnya merasakan kesedihan. Nuri tidak ingin jika nanti sang ayah mengetahui jika dirinya pernah terluka karena laki-laki. Kini biarlah luka itu sembuh dan mengering tanpa dicongkel lagi.“Loh kok ke kamar sih? Kita ‘kan masih bincang-incan

    Last Updated : 2021-11-15
  • The Last Hug   Pulang lebih awal

    “Mas, hari ini aku pulang lebih awal. Jadi aku bisa mengantarmu untuk kontrol ke rumah sakit,” kata seorang wanita pada seseorang lawan bicaranya di seberang telepon.“Baguslah jika kamu pulang lebih awal, jadi waktu beristirahat kamu lebih banyak,” sahut pria dari seberang telepon.“Aku nanti langsung berangkat ke rumah kamu ya Mas sepulang kerja. Aku tidak akan pulang ke rumah dulu. Nanti biar aku menelepon saja ke Bunda.”“Kamu pulang saja. Tidak perlu repot-repot mengantarku ke rumah sakit. Aku diantar sama Papa dan Mama kok, jadi kamu tenang saja ya.”“Aku mau ikut Mas. Pokoknya nanti aku langsung ke rumahmu!” kata wanita tersebut dengan tegas lalu menutup sambungan telepon dengan pria yang disebut Mas. Ia kemudian menyimpan ponselnya di meja dan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.Matanya ia pejamkan sejenak untuk melepas penat yang ia rasa

    Last Updated : 2021-10-16
  • The Last Hug   Hari yang muram

    Kala itu,cuaca di luar ruangan begitu muram. Wajah langit sudah mulai memucat. Matahari tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam sehingga keindahan sinarnya yang kekuningan tak terlihat dan tidak terasa kehangatannya.Sepoi-sepoi angin terasa begitu dingin menghantam. Meskipun telah menggunakan pakaian yang sangat rapat, tapi rasanya angin tersebut masih bisa menembusnya sehingga bulu-bulu halus di sekitar tangan menjadi berdiri karena saking dinginnya udara yang menerpa.Seorang wanita terlihat berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan tangannya yang sibuk memegang ponsel dan matanya sibuk menatap layar datar tersebut. Raut wajahnya tampak seperti orang yang terburu-buru. Entah apa yang membuatnya terlihat demikian.“Ah kenapa tidak ada satu pun yang nyangkut sih?! Padahal aku sedang terburu-buru sekali,” keluh wanita tersebut. Entah apa yang dimaksud dengan kata nyangkut tersebut. Tapi tampaknya raut wajah dari gadis te

    Last Updated : 2021-10-16

Latest chapter

  • The Last Hug   Tidak ingin bercerita

    “Ayah, Nuri masuk kamar dulu ya,” ujar Nuri untuk menghindari pertanyaan dari sang ayah. Bukannya tidak mau menjelaskan terkait hubungannya dengan Rendi, tapi Nuri takut jika nanti Rendi terkena omelan dari sang ayah yang memang bersifat begitu tegas dan sedikit pemarah jika ada orang yang menyakiti anak semata wayangnya.Nuri melakukan hal tersebut untuk melindungi Rendi dari amukan sang ayah bukan karena dia masih mencintai Rendi, tapi Nuri hanya tidak ingin terjadi perdebatan antara ayahnya dengan mantan kekasihnya. Rasanya tidak perlu lagi hubungan mereka menghasilkan perdebatan. Jika sang ayah tahu anak perempuannya disakiti oleh orang lain, pasti sang ayah akan merasa marah dan lebih dalamnya merasakan kesedihan. Nuri tidak ingin jika nanti sang ayah mengetahui jika dirinya pernah terluka karena laki-laki. Kini biarlah luka itu sembuh dan mengering tanpa dicongkel lagi.“Loh kok ke kamar sih? Kita ‘kan masih bincang-incan

  • The Last Hug   Karena dibuntuti

    Sejak siang tadi, hati Nuri merasa tidak enak. Rasanya hati Nuri sangat berat namun entah apa yang membuatnya terasa seperti itu. Dorongan kuat dalam hatinya untuk menghubungi sang kekasih begitu menyiksanya. Isi hati Nuri menyuruhnya untuk menelpon Mas Dendi. Tapi pikirannya mencegah ia untuk melakukan hal tersebut dengan alasan ia harus membiarkan kekasihnya itu beristirahat supaya cepat pulih.Karena tidak ingin terus burung saat memikirkan kekasihnya, Nuri berniat untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di luar sembari menikmati senja dan keindahan matahari yang sebentar lagi akan terbenam.Langkah kaki Nuri membawanya pada sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Sebuah alun-alun kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan tersebut terlihat begitu ramai oleh anak-anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya.Sinar jingga kekuningan dapat dinikmati dengan jelas dari tempat tersebut. Nuri yang memang ber

  • The Last Hug   Janji untuk mentraktir kopi

    Jam yang terpampang jelas di dinding ruangan tersebut sudah menunjukkan pukul 15. 00 atau pukul 3 sore yang berarti sudah waktunya untuk para pekerja menghentikan aktivitasnya dan pulang untuk beristirahat dari segala pekerjaan yang telah dilakukannya hari ini.Sambil membereskan beberapa file yang berada di mejanya, TV melirik sedikit-sedikit pada layar ponsel yang berada di sebelah kiri tangan Nuri. Sebuah kabar Yang dinanti oleh Nuri meskipun pada kenyataannya mungkin pesan itu tidak akan masuk kedalam aplikasi yang berada dalam ponsel Nuri. Sampai file yang dibereskannya pun rapi, tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut akan diterima oleh Nuri.Saat orang lain sudah membubarkan diri dari ruangan tersebut, Nuri masih saja duduk di kursinya dan melamun sejenak. Sosok pria yang dicintainya terus saja membayangi pikiran Nuri sehingga ia tidak bisa tenang sedikitpun.Tanpa Nuri sadari, seseorang diam-diam memperhatikannya dari jar

  • The Last Hug   Telepon dari Mas Dendi

    Saat melihat nama Mas Dendi di layar ponsel, betapa senangnya Nuri terlihat dari raut wajahnya yang menunjukkan ekspresi tersenyum bahagia dengan sudut mata yang mengkerut. Dengan satu kali usapan menggunakan ibu jari pada layar ponselnya, Nuri menyambungkan panggilan telepon dari sang kekasih.“Halo Mas,” ucap Nuri untuk mengawali pembicaraan di antara mereka.“Ya halo Vi,” halo seseorang di seberang sana.“Bagaimana kabarnya Mas? Proses pemeriksaan kemarin berjalan lancar saja kan?” Tanya Nuri.“Iya baik-baik saja.”“Syukurlah jika begitu Mas. Nanti pulang kerja, aku ke rumah ya Ma?”“Tidak perlu. Kamu bekerja saja dengan fokus. Setelah pulang jangan kemana-mana lagi. Ke rumah saja langsung. Aku juga ingin istirahat dan tidak ingin diganggu,” kata Dendi. Tanpa menunggu jawaban dari Nuri, Dendi langsung memutuskan sambungan telepon.Baru saja Nuri membuka mulutnya untuk berbicara, tapi suara panggilan terputus ter

  • The Last Hug   Bersiap-siap

    Dengan tubuh yang lemas, Nuri bangikit dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Mulutnya sedikit terbuka karena mneguap, namun mulutnya itu ia tutupi dengan tangan kanannya supaya tidak serangga yang masuk. Dengan mata yang masih perih, Nuri berjalan seraya mengucek matanya.Aroma masakan Bunda tercium hingga ke kamar mandi. Nuri yang sedang menggosok gigi segera saja menyelesaikan aktivitasnya itu untuk cepat-cepat membersihkan diri. Sekitar 5 menit berlalu, Nuri akhirnya selesai mandi. Begitu kelaur dari kamar mandi, Nuri menajamkan indera penciumannya untuk membaui aroma yang dihasilkan dari masakan Bunda. Nasi goreng! Itulah aroma yang tercium oleh hidung Nuri.“Bunda…” sapa Nuri seraya memeluk sang bunda dari arah belakang.“Hmm,” balas bundanya tanpa menoleh sedikitpun pada Nuri. Beliau masih fokus dengan masakannya.“Bun, nanti buat bekal kerja, Nuri mau bikin salad ya. Supay

  • The Last Hug   Luapan emosi

    “Bisakah hubungan kita berdua usia tanpa ada pertemuan atau pertanyaan dari siapapun lagi?” tanya Nuri begitu tenaganya terkumpul. Ia berucap dengan hati yang sangat berat. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya menyakitkan bagi orang yang ditanya dan bagi yang bertanya.“Bisakah orang-orang terdekatku melupakanmu dengan mudah layaknya kau yang melupakanku dalam jangka waktu yang lama. Tak bisakah ingatan tetangmu terhapus begitu saja dari pikiran orang-orang tersayangku?” tanya Nuri dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak mata.Orang yang diberikan pertanyaan tersebut hanya diam terpaku mendengar Nuri melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk di jawab. Waktu serasa berhenti dan hanya menyisakan mereka berdua di tengah suasana yang menyayat hati.“Tidakkah kau memikirkan tentang perasaan orang-orang tersayangku begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya? Tidakkah kau mengetahui seberapa hancurnya pe

  • The Last Hug   Dia yang pernah pergi

    “Ayahhh!” teriak Nuri seraya berdiri dari kursinya. Ia berlari menuju ruang keluarga lalu memeluk sosok yang sangat dirindukannya. Sudah lama dirinya itu tidak bertemu dengan sosok pria tangguh yang menjadi kebanggannya.Sang ayah membentangkan kedua tangannya untuk memberikan pelukan pada anak semata wayangnya. Nuri menyambut tangannya ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh sang ayah. Sebuah lengan yang besar membelai rambutnya. Pucuk kepala Nuri terasa hangat karena dicium oleh sang ayah.Tanpa terasa, buliran bening yang hangat menetes di pipi Nuri. Perasaan didalam hatinya tak bisa disembunyikan dengan baik. Ia benar-benar bahagia atas keberadaan sang ayah yang sudah lama tidak ia temui.Sang ayah yang memang bekerja di luar negeri menjadi Kedutaan Besar Indonesia di Negara India, mengharuskan dirinya tinggal disana dan pulang selama beberapa bulan sekali. Sehingga Nuri hanya ti

  • The Last Hug   Dia yang dinanti

    Karena bajunya sudah basah seluruhnya, Nuri bergegas membersihkan dirinya dari sisa-sisa air hujan dan segera mengganti bajunya dengan pakaian yang sangat hangat supaya bisa menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi membalut dirinya.Seraya Nuri mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, matanya terus saja melirik ke arah layar ponsel yang berada tak jauh dari posisinya saat itu. Dengan harap-harap cemas, Nuri menunggu sebuah pesan atau telepon dari seseorang yang dinantikannya sejk tadi siang.Beguti lama dirinya menunggu, hingga akhirnya sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya tepatnya pada sebuah aplikasi berwarna hijau. Dengan gesit tangan Nuri meraih benda pipih tersebut dan memencet pesan tersebut.Tapi sayang, ternyata pesan yang datang tersebut bukan dari orang yang sedang dinantinya. Pesan itu berasal dari seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang selalu ada di setiap kehidupannya. Namun Nuri tidak tahu kehadiran o

  • The Last Hug   Hari yang muram

    Kala itu,cuaca di luar ruangan begitu muram. Wajah langit sudah mulai memucat. Matahari tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam sehingga keindahan sinarnya yang kekuningan tak terlihat dan tidak terasa kehangatannya.Sepoi-sepoi angin terasa begitu dingin menghantam. Meskipun telah menggunakan pakaian yang sangat rapat, tapi rasanya angin tersebut masih bisa menembusnya sehingga bulu-bulu halus di sekitar tangan menjadi berdiri karena saking dinginnya udara yang menerpa.Seorang wanita terlihat berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan tangannya yang sibuk memegang ponsel dan matanya sibuk menatap layar datar tersebut. Raut wajahnya tampak seperti orang yang terburu-buru. Entah apa yang membuatnya terlihat demikian.“Ah kenapa tidak ada satu pun yang nyangkut sih?! Padahal aku sedang terburu-buru sekali,” keluh wanita tersebut. Entah apa yang dimaksud dengan kata nyangkut tersebut. Tapi tampaknya raut wajah dari gadis te

DMCA.com Protection Status