Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, dan mobil berpelat nomor merah dengan stiker yang bertuliskan 'Protokol' tertempel di kaca belakang dengan perlahan memasuki area parkir kantor Pemda.
Seorang pria berseragam dinas berwarna khaki keluar dari mobil tersebut. Kakinya yang berbalut sepatu pantofel hitam mengkilap perlahan mulai berjalan menjauhi area parkir.
"Mas Dipta!"
Suara seruan itu membuat langkahnya terhenti.
“Wah! Yang abis pulang dinas mukanya cerah banget, nih.”
“Cerah apaan! Badan gue pegel semua ini,” balas Dipta saat mengetahui siapa yang bersuara tadi. Mereka kemudian bersalaman.
“Lah, lagian lo ngapain masuk sekarang? Anak Humas yang ikut dinas kemarin baru masuk lusa,” terang Nanang, salah satu staf senior di bagian Humas, sedangkan Dipta sendiri di bagian Protokol di mana kerjanya lebih banyak di luar ruang.
“Lagi ada yang diurus, Mas. Ntar kalo kosong gue balik rumah lagi. Lo mau ke mana, Mas?” Dipta bertanya saat melihat pria itu membawa beberapa map.
“Mau ke ruangan Bunda.”
Bunda sendiri adalah sebutan bagi Bu Asti, wanita paruh baya yang menjabat sebagai Kabag Humas dan Protokol. Sedangkan Dipta sendiri sekarang ini menduduki jabatan sebagai Kasubbag Protokol.
Kasubbag atau Kepala Sub Bagian Protokol mempunyai tugas melaksanakan tugas keprotokolan, mengkoordinasikan persiapan dan pelaksanaan tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan dalam kegiatan upacara, acara resmi dan acara kenegaraan, menghadiri rapat kedinasan dan pertemuan-pertemuan resmi serta acara-acara formal maupun informal yang dilaksanakan oleh Bupati, Wakil Bupati dan Pimpinan Daerah.
Usia Dipta baru menginjak 27 tahun dan terbilang sangat muda untuk menempati posisi tersebut, tetapi ia sangat berkualifikasi di jabatan tersebut.
"Ya udah, Mas Dip, gue duluan udah ditungguin sama Bunda," pamit Nanang.
"Iya, Mas."
Mungkin karena pangkat Dipta membuat semua orang menghormati dengan memanggilnya dengan sebutan 'Mas' entah orang itu lebih muda darinya atau bahkan yang lebih tua darinya, seperti Nanang tadi.
Kemudian Dipta kembali berjalan menuju ruangan Protokol yang sudah mulai terlihat. Saat memasuki ruangan, suara ceria Vista langsung menyambutnya.
"Selamat pagi, Mas Dipta!"
"Pagi!" Dipta melemparkan kunci mobilnya ke arah pria yang mejanya berada di sebelah Vista. "Bim, ambilin makanan di mobil."
Titahnya disambut dengan seruan riang oleh ketujuh orang yang berada di sana. Dipta yang sudah berdiri di depan mejanya berbalik badan dan menatap mereka bingung. "Kenapa?"
"Tadi waktu, Mas bilang mau ke sini anak-anak langsung nebak apa yang Mas Dipta bawa hari ini."
Penjelasan dari Vista membuat Dipta menggeleng pelan dan tersenyum. Memang sering kali Dipta membelikan makanan atau camilan untuk orang protokol.
"Udah buruan ambil, Bim. Ajak Raki juga buat bantuin bawanya."
Raki yang mejanya berada di belakang Bimbim langsung berdiri dengan semangat. "Weh! Gak kuat di bawa satu orang, saudara-saudara. Kira-kira apaan, nih?"
"Nasi tumpeng, nih."
"Pizza limo lah pasti." Suara mereka saling bersahutan.
"Mantep banget tuh, Mbak," celetuk Bimbim saat mendengar tebakan dari Mbak Hima yang menyebutkan Pizza berukuran satu meter yang sedang viral.
"Gak usah ngarep yang aneh-aneh. kalo yang gue bawa pasir dari Bali, gimana coba? Udah buruan ambil keburu dingin nanti," tukas Dipta, mengingat kemarin ia baru saja pulang tugas dari Bali.
"Siap!" Bimbim dan Raki langsung beranjak dari ruangan.
"Mbak Hima, besok ada kegiatan apa?" Dipta bertanya saat sudah berhasil duduk dengan nyaman di mejanya.
"Sebentar Mas, tak tanyain dulu," balas wanita beranak satu itu.
Di sini memang Hima lah yang selalu mendapat jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Bupati.
"Besok ada acara di Ruang 45. Terus Bapak ada kegiatan peresmian jembatan darurat sama santunan korban bencana longsor," jelas Hima setelah melihat ponselnya.
Bapak sendiri sebutan untuk Bupati mereka yang biasa digunakan oleh orang-orang yang bekerja dekat dengan beliau.
"Rapatnya jam berapa, Mbak?" tanya Dipta.
"Jam sembilan, Mas."
"Okay. Kalau begitu besok yang ikut Bapak biar aku, Vista, Bimbim sama Raki. Terus Mas Angka, Mas Yogi, Mas Abi ngurus di Ruang 45 dan Mbak Hima nunggu ruangan aja."
"Mas, aku ajalah yang jaga ruangan besok," sela Vista.
"Jangan lah, Vis. Kemarin di Bali gue ketemu sama Mas Bayu. Katanya kalo bisa Mbak Hima jangan di kasih kerjaan yang berat-berat, biar cepet jadi proyek bikin adik buat Keno." Ucapan Dipta di balas decakan keras Hima yang terlihat memerah malu.
"Emang beneran pengen nambah anak, Mbak?" tanya Mas Angka yang tadinya menghadap komputer kini menoleh sekilas ke arah Hima yang duduk di belakangnya.
"Ya gitu. Dari kemarin-kemarin Mas Bayu ngomongin soal anak mulu."
"Ya gak papa sih, Mbak. Keno juga udah besar, udah waktunya dapet adek," tambah Vista.
"Mbak Him, jangan lupa minta doanya Gus Angka biar cepet jadi," celetuk Mas Yogi yang sedari tadi terlihat begitu fokus dengan komputernya.
Ucapannya itu membuat semua orang di sana tertawa.
"Yang penting tiap malam berusaha terus ngadon anak mbak ya," tambah Dipta.
"Ih, kenapa malah bahas aku sih. Mas Dipta juga ngapain tadi pake ngungkit-ngungkit hamil segala!" protes Hima dengan wajah tertutup hijab yang sudah memerah.
"Ngapain malu sih, Mbak. Produknya udah jadi satu itu."
"Beda lagi kalo yang ngadon bayi itu Mas Dipta. Bahaya kalo itu." Ucapan Vista bertepatan dengan kedatangan Bimbim dan Raki yang membawa satu kresek merah kota sterofom dan satu tandan pisang.
"Pisang dari mana tuh, Mas?" tanya Mas Abi.
"Dikasih nyokap, Mas. Itu pisangnya di gantung aja bisa gak?" tanya Dipta yang dibalas acungan jempol oleh Bimbim.
"Siapa yang ngadon bayi, Vis?" tanya Raki kembali mengungkit pembahasan tadi. Dengan lagunya Vista menunjuk ke arah Dipta.
"Parah sih, Mas Dipta. Cari istri dulu Mas, baru ngadon bayi."
"Astaga, Vista lo bikin orang salah paham mulu," gerutu Dipta.
"Makanya Mas Dip, buruan nyari istri biar bisa ngadon bayi. Masak lo kalah sama Mbak Hima, sih. Dia tiap malem ngadon bayi loh."
"Plis, deh. Ini bahasanya harus banget ngadon bayi?" tanya Hima tak habis pikir. Tak ada yang membalas ucapan Hima, namun semuanya tertawa terbahak.
"Tenang aja, Mas Yog. Gue tiap malem berusaha nyari, kok," balas Dipta.
"Nyari istri kok malem-malem. Situ nyari istri apa lagi nyari jangkrik?"
"Apalagi nyarinya di club, situ lagi nyari istri atau ...?" Raki yang menirukan kalimat Bimbim sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Kalian pengen gak gajian bulan ini?" ancam Dipta membuat semuanya kicep.
"Dah yok, kita nyabu dulu yok!" ucap Bimbim mengalihkan toping dan membagikan kotak sterofom yang berisi bubur ayam itu kepada rekan-rekannya dan tentu saja pada pak Kasubbag jomblo mereka juga.
Dipta menganggap ketujuh orang di ruangan ini sebagai keluarganya sendiri, karena itu mereka selalu bersikap seperti ini. Hampir setiap hari mereka dan mereka terus yang selalu di temui Dipta.
Yang pada akhirnya membuat Dipta betah dan nyaman pada pekerjaannya saat ini yang dulu sempat ia benci.
Hari Senin selalu menjadi hari yang menyibukkan bagi semua pekerja tak terkecuali para staf protokol. Suara ketikan memenuhi ruang yang berisi 8 orang itu."Vis, lo kerjain SPJ kemarin Sabtu ya." Dipta yang selalu datang paling awal mulai membagi-bagi tugas mereka."Terus Bimbim, lo bagian Surat Pernyataan tanggung Jawab Mutlak," perintahnya lagi yang langsung dilakukan oleh keduanya.Sedangkan Dipta sendiri di mejanya sedang bergelut dengan nota dinas, surat pesanan, Berita Acara Serah Terima dan beberapa kuitansi yang ingin dicairkan.Di meja depan kiri dan belakang pojok Mas Yogi dan Mas Angka mengerjakan E-Kinerja tanpa harus di perintah lagi."Mas, katanya E-tol yang di bawah 8 jam gak bisa cair, ya?" Mas Abi yang tengah menyiapkan nametag --untuk acara di Pendopo jam 10 nanti-- tiba-ti
Seperti biasa, pagi ini Dipta datang paling awal. Pintu Ruang Protokol masih tertutup rapat pertanda belum ada staf yang datang. Tak lama setelah Dipta masuk, Yogi dan Raki menyusul masuk bersamaan.Raki kembali keluar setelah mengambil kunci mobil Protokol yang tergantung di lemari. Kegiatan pagi Raki selalu seperti itu, menyalakan mobil untuk dipanaskan dan menggelap mobil sampai kinclong.Saat sedang asyik membersihkan kaca mobil ia melihat 2 gadis yang kemarin baru saja memperkenalkan diri. Mereka berdiri di lorong yang menghubungkan koridor dengan mushola dan parkiran, terlihat mereka tengah ragu untuk melanjutkan langkah menuju Ruang Protokol.Raki berjalan mendekati keduanya."Dek!"Kedua gadis itu terkejut melihat Raki yang sudah berada di samping mereka."Magang di Protokol, kan?" tanya Raki meyakinkan.Keduanya mengangguk malu karena tertangkap basah seper
"Selamat pagi, Mas Dipta!" Suara sapaan ceria itu masuk ke dalam Ruang Protokol yang hening.Seorang wanita cantik masuk setelahnya dengan senyum merekah. Dengan setelan PNS lengkap gadis itu menyapa semuanya.Dipta mendongak untuk melihat siapa yang datang, dan ia tersenyum saat menemukan Maria di sana. Maria adalah salah satu pegawai Bapenda. Selain itu, Maria juga anak dari Bu Fitri, Kasubbag di Humas. Karenanya ia menjadi dekat dengan Maria.Maria berjalan ke arah meja Dipta dan duduk di bangku yang tersedia di depannya."Mas Dipta!" panggilnya manja.Dipta tersenyum lembut menanggapinya. Senyuman Dipta sungguh bisa membuat para wanita klepek-klepek. Dan suara rengekan Maria tadi membangkitkan jiwa fuckboy dan playboy yang sudah lama tertidur karena kesibukannya."Kenapa? Pagi-pagi udah ngeluyur ke Protokol aja." Dipta kembali menatap laptopnya sekilas."Tadi ha
Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal
"Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
"Gosok wc?"Dipta sungguh ingin mengumpati Bimbim dengan keras saat ini."Jani, kamu ikut saya sebentar, ya," pinta Dipta. Kemudian ia memegang tangan Jani untuk membawa wanita itu menjauh dari kumpulan staf Humas dan Protokol yang menatap mereka penasaran."Maaf," ucapnya sebelum memegang tangan Jani.Dipta memberhentikan langkahnya merasa cukup jauh dari yang lain dan tiba-tiba ia menyesali tindakan yang ia ambil secara impulsif ini. Karena saat ini ia terserang rasa canggung yang luar biasa."Ekhem." Dipta membasahi tenggorokannya."Maaf saya geret-geret kamu seperti ini. Tapi saya lagi butuh bantuan kamu. Kamu mau, kan?" tanyanya dengan banyak kebohongan. Karena jujur ia tidak tahu apa yang akan ialakukan setelah ini. Namun, ia lebih tidak rela membayangkan jika Jani menghabiskan waktunya bersama pria lain."Sekarang banget, Pak?" tanya Jani memastikan
Hari Jumat ini, setengah dari staf protokol menemani dan mengawal Bupati dalam kegiatan sosial di salah satu kawasan kumuh. Ini juga menjadi kegiatan pertama yang diikuti oleh mahasiswa magang.Sebelum mereka berangkat, Dipta mengajak Jani dan Kiran untuk ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa juga Dipta membeberkan kemampuan Jani dalam bermain dengan kamera, yang membuat Dipta mendapatkan tatapan aneh dari gadis itu.Mereka semua berkumpul di sekitar pendopo bersama beberapa polisi yang bertugas mengawal Bupati. Dipta sudah sibuk dengan pekerjaannya yang mengatur segala keperluan Bupati.Jani dan Kiran menunggu bersama Bimbim dan beberapa orang dari Humas termasuk Satria yang sudah sering bergabung dengan yang lain.Satria mendekati Jani yang tengah membawa kamera yang dititipkan Raki sebelum pria itu mengambil mobil."Ni. Nanti pulang ke apart gue dulu, ya," ucap Satria pelan di samping Jani.
"Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!
Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
"Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah
Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal