Seperti biasa, pagi ini Dipta datang paling awal. Pintu Ruang Protokol masih tertutup rapat pertanda belum ada staf yang datang. Tak lama setelah Dipta masuk, Yogi dan Raki menyusul masuk bersamaan.
Raki kembali keluar setelah mengambil kunci mobil Protokol yang tergantung di lemari. Kegiatan pagi Raki selalu seperti itu, menyalakan mobil untuk dipanaskan dan menggelap mobil sampai kinclong.
Saat sedang asyik membersihkan kaca mobil ia melihat 2 gadis yang kemarin baru saja memperkenalkan diri. Mereka berdiri di lorong yang menghubungkan koridor dengan mushola dan parkiran, terlihat mereka tengah ragu untuk melanjutkan langkah menuju Ruang Protokol.
Raki berjalan mendekati keduanya.
"Dek!"
Kedua gadis itu terkejut melihat Raki yang sudah berada di samping mereka.
"Magang di Protokol, kan?" tanya Raki meyakinkan.
Keduanya mengangguk malu karena tertangkap basah seperti ini.
"Ayo masuk! Kenapa berdiri di sini?" Raki keheranan.
"Takut, Mas." Raki terkekeh mendengarnya.
"Ayo! Tak anterin."
Raki berjalan mendahului keduanya tetapi, baru beberapa langkah ia berhenti saat merasa mereka tidak mengikuti di belakangnya. Ia berbalik. "Ayo! Gak ada yang galak, kok. Sini, masuk!"
"Mas Dip! Ini adik-adik magangnya dateng, nih."
Dipta mengangkat wajahnya dari tumpukan kertas. Di depan sana 2 mahasiswi berdiri di samping Raki.
"Selamat pagi!" sapa Dipta ramah.
Keduanya menjawab dan tersenyum canggung.
"Gak usah kaku-kaku, Dek. Udah duduk dulu." Dengan nada santai Dipta menyuruh keduanya untuk duduk.
"Duduk di mana, Mas?" tanya gadis dengan rambut sebahu.
"Duduk di genteng aja, Dek," sahut Mas Yogi dari belakang.
Mereka berdua tersenyum malu. "Bukan gitu, Pak. Takutnya kan udah ada yang nempatin kursinya," jelas gadis satunya. Entah siapa namanya karena Dipta masih belum hafal nama mereka.
"Jangan dipanggil Pak, panggil Opa aja dia." Raki terbahak mendengar Mas Yogi di sebut dengan sebutan Bapak. Sebenarnya memang tidak ada yang salah mengingat usia Mas Yogi sendiri hampir mendekati kepala 5, tapi ia suka saja menistakan orang tua.
"Di situ kan banyak kursi, tinggal pilih aja. Eh, kalo nggak duduk di situ aja."
Dipta menunjuk ke arah barisan meja belakang di mana Mas Yogi duduk.
Keduanya menuruti ucapan Dipta dan berjalan menuju tempat duduk mereka.
"Terima kasih, Pak," ucap mereka pada Dipta.
Raki kembali terbahak bersama Mas Yogi mendengarnya. Sedangkan Dipta mendengus.
"Jangan panggil 'Pak', Dek. Kalo Mas Yogi dipanggil 'Pak' gak papa, sesuai sama keningnya yang udah berkerut. Kalo saya kan beda."
"Halah. Terima aja kali, Mas, udah tua juga. Emang di sini yang muda cuma gue doang." Raki kelihatan begitu puas pagi ini setelah berhasil membuat kesal dua seniornya sekaligus.
"Gak usah formal. Panggil Mas aja. Kalo yang di pojok mau dipanggil Opa silakan."
"Orang sabar, umurnya panjang, Dek," celetuk Mas Yogi.
Rasa canggung yang semula dirasakan kedua gadis itu perlahan hilang mendengar ketiganya saling melempar ejekan satu sama lain. Hingga satu-persatu karyawan lainya mulai datang.
*****
"Duh, Mas Dip! Adiknya yang ini cantik banget."
Dipta tersenyum mendengar celetukan Vista. "Emang." Jawaban enteng Dipta mendapat sorakan menggoda dari yang lain.
"Siapa namanya, Dek?" tanyanya.
"Siapa, Pak? Saya?" tanya gadis yang menjadi bahan pembicaraan itu.
"Yah! Masih dipanggil 'Pak', Mas Dip," ejek Bimbim.
"Jangan salah! Bapak yang dimaksud Kiran itu bapaknya anak-anak kita nanti." Dipta tersenyum jumawa.
"Hilih, gombal mulu," cibir Raki.
"Adiknya yang cantik namanya Kiran, Mas. Kalo satunya, yang manis namanya Jani," jelas Mbak Hima yang sebelumnya sudah berkenalan dengan keduanya. Ia tidak ingin Jani merasa terabaikan, karena sedari tadi Karin selalu mencuri perhatian. Walaupun Jani sendiri sepertinya tidak keberatan, ia juga ikut tertawa sedari tadi.
"Salam kenal ya, Kiran."
"Iya, Pak Dipta," jawab Kiran manis.
"Eh, Jani juga," tambah Dipta.
Jani tersenyum canggung dan mengangguk ke arah Dipta untuk menanggapinya.
Terdengar suara keributan dari arah luar ruangan. Kemudian muncullah Bian, Zain dan beberapa staf pria dari Humas.
"Apaan nih, rame-rame ke sini?" tanya Bimbim.
Zain cengar-cengir di tempatnya. "Mau kenalan sama adiknya yang cantik."
Raki langsung berdiri dan membentangkan kedua tangannya, menutupi pandangan orang-orang Humas ke Kiran.
"Eitss! Gak boleh."
"Cuma mau liat doang. Mas Dip!" adu Bian.
"Gak usah maruk, Yan. Di Humas kan juga bisa liat adik-adik magang, di sini biar jatahnya Protokol."
"Tuh, dengerin kata Mas Dipdip."
Ingin sekali Dipta menyumpal mulut Bimbim setiap kali pria itu menyebutnya dengan panggilan Dipdip.
"Dek Kiran! Mau kasih info aja, Mas Zain lagi jomblo."
"Lo lagi obral diri, Zain?"
"Heh! Lagian di sini yang jomblo juga pada nungguin Kiran, ya. Gue, Mas Bimbim, Mas Dipta juga, tuh."
Perkataan Raki membuat semuanya menatap Dipta terkejut. Sedangkan Dipta menatap mereka dengan pandangan yang seolah berkata 'Apaan sih lo pada?'. Kemudian Zain kembali berubah.
"Usaha, Bim. Sewot banget sih, lo pada. Awas aja ntar kalo gue jadian sama Kiran, kagak gue traktir lo pada!"
Mereka menggelengkan kepala mendengar ucapan pria bertubuh tinggi itu.
"Dek Kiran, mau nggak punya pacar tukang halu kayak gitu?" tanya Vista.
Kiran tersenyum kaku, agak bingung dengan situasinya. Mereka semua sedang membicarakannya sekan-akan ia sedang tidak berada di sini.
"Saya hobinya ngehalu, Mas. Kalo masnya juga suka ngehalu, gimana jadinya nanti?"
"Jadi, pacarannya cuma halu," simpul Bimbim membuat gelak tawa terdengar di ruang itu.
Ruangan yang didominasi para pria yang jika tertawa menggelegar sampai terdengar hingga ruang kantor paling pojok itu terus berisik dengan candaan dan tawa hingga setengah jam kemudian seorang wanita paruh baya berbaju rapi masuk ke dalam ruangan.
"Heh! Lagi ngetawain apa, sih? Suara kalian kedengaran sampek pojok sana," tegur wanita itu.
"Eh, Bunda!" seru Vista.
"Lagi bicarain Bian yang jomblo terus, Bund."
Wanita bernama Asti Wistiasih yang menjabat sebagai Kabag Humas dan Protokol itu menggelengkan kepala menatap Raki.
"Ini acara jam 10 di Ruang Anjuk ladang siapa yang ikut?"
"Perlu MC gak, Bund?" tanya Mas Yogi.
"Gak tau. Tapi kayaknya belum, deh. Tapi buat jaga-jaga, Protokol bawa, aja."
"Ya udah buat MC nya Vista sama Mas Yogi," putus Dipta.
"Yang menghadiri siapa aja, Bu? Sama nanti nametag nya di taruh di kursi apa meja?" Kini berganti Mas Abi yang bertanya memastikan.
"Yang dateng sedikit, kok. Bapak, Kajari, Polres, saya kirim lewat wa aja ya listnya."
"Kalo yang dateng sedikit, ditaruh di meja aja, Mas," tukas Dipta pada Abi.
"Siap, Mas."
"Ayo cepetan siap-siap ke sana!" Setelah menyuruh mereka bersiap-siap termasuk Bian dan Zain yang menjadi dokumentasi, Bu Asti kembali berjalan ke ruangannya.
Bian dan Zain sudah kembali ke ruangan Humas untuk mempersiapkan peralatan mereka. Mas Yogi menyiapkan HT untuk di bawa. Raki yang mondar-mandir untuk mencari pin nametagnya yang entah berada di mana.
Mas Abi berjalan ke arah lemari kaca yang berisi tumpukan nametag untuk di bawa ke sana. Di bantu Bimbim ia mencari nametag dengan nama jabatan yang akan hadir nanti.
15 menit kemudian semua siap. Mas Yogi dan Vista yang akan menjadi MC jika pihak sana belum menyiapkan MC. Bimbim, Raki, dan Mas Abi akan membantu jalannya acara, dan mengatur tempat. Jika dibutuhkan nanti Mbak Hima akan menjadi penyambut tamu.
"Nanti kalo udah mau mulai kabarin gue," ucap Dipta sebelum keenam orang itu meninggalkan Ruang Protokol.
Di saat semuanya sudah keluar, 25 menit kemudian Dipta mendapat kabar bahwa acara akan dimulai. Dipta bersiap untuk menyusul ke Ruang Anjuk Ladang.
“Mas Angka, adik-adiknya nanti bisa di kasih tugas, ya,” perintah Dipta sebelum meninggalkan ruangan.
"Selamat pagi, Mas Dipta!" Suara sapaan ceria itu masuk ke dalam Ruang Protokol yang hening.Seorang wanita cantik masuk setelahnya dengan senyum merekah. Dengan setelan PNS lengkap gadis itu menyapa semuanya.Dipta mendongak untuk melihat siapa yang datang, dan ia tersenyum saat menemukan Maria di sana. Maria adalah salah satu pegawai Bapenda. Selain itu, Maria juga anak dari Bu Fitri, Kasubbag di Humas. Karenanya ia menjadi dekat dengan Maria.Maria berjalan ke arah meja Dipta dan duduk di bangku yang tersedia di depannya."Mas Dipta!" panggilnya manja.Dipta tersenyum lembut menanggapinya. Senyuman Dipta sungguh bisa membuat para wanita klepek-klepek. Dan suara rengekan Maria tadi membangkitkan jiwa fuckboy dan playboy yang sudah lama tertidur karena kesibukannya."Kenapa? Pagi-pagi udah ngeluyur ke Protokol aja." Dipta kembali menatap laptopnya sekilas."Tadi ha
Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal
"Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke
"Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!
"Gosok wc?"Dipta sungguh ingin mengumpati Bimbim dengan keras saat ini."Jani, kamu ikut saya sebentar, ya," pinta Dipta. Kemudian ia memegang tangan Jani untuk membawa wanita itu menjauh dari kumpulan staf Humas dan Protokol yang menatap mereka penasaran."Maaf," ucapnya sebelum memegang tangan Jani.Dipta memberhentikan langkahnya merasa cukup jauh dari yang lain dan tiba-tiba ia menyesali tindakan yang ia ambil secara impulsif ini. Karena saat ini ia terserang rasa canggung yang luar biasa."Ekhem." Dipta membasahi tenggorokannya."Maaf saya geret-geret kamu seperti ini. Tapi saya lagi butuh bantuan kamu. Kamu mau, kan?" tanyanya dengan banyak kebohongan. Karena jujur ia tidak tahu apa yang akan ialakukan setelah ini. Namun, ia lebih tidak rela membayangkan jika Jani menghabiskan waktunya bersama pria lain."Sekarang banget, Pak?" tanya Jani memastikan
Hari Jumat ini, setengah dari staf protokol menemani dan mengawal Bupati dalam kegiatan sosial di salah satu kawasan kumuh. Ini juga menjadi kegiatan pertama yang diikuti oleh mahasiswa magang.Sebelum mereka berangkat, Dipta mengajak Jani dan Kiran untuk ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa juga Dipta membeberkan kemampuan Jani dalam bermain dengan kamera, yang membuat Dipta mendapatkan tatapan aneh dari gadis itu.Mereka semua berkumpul di sekitar pendopo bersama beberapa polisi yang bertugas mengawal Bupati. Dipta sudah sibuk dengan pekerjaannya yang mengatur segala keperluan Bupati.Jani dan Kiran menunggu bersama Bimbim dan beberapa orang dari Humas termasuk Satria yang sudah sering bergabung dengan yang lain.Satria mendekati Jani yang tengah membawa kamera yang dititipkan Raki sebelum pria itu mengambil mobil."Ni. Nanti pulang ke apart gue dulu, ya," ucap Satria pelan di samping Jani.
"Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!
Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
"Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah
Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal