Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.
Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.
Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.
Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.
Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.
Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal hari, yang menyebabkan Dipta dan yang lainnya harus rela melepas jatah liburnya.
Dipta menghela napas lega saat melihat tidak ada satu pun jadwal Bupati hari ini. Kemudian ia beralih membuka beberapa pesan yang masuk pada aplikasi chattingnya.
Setelah membalas pesan-pesan yang menurutnya harus dibalas dan mengabaikan beberapa pesan lainnya yang malas ia baca, perhatian Dipta beralih pada grup chat yang berisi dirinya, Bimbim, Raki, Bian dan Zain yang belum dibuka sejak semalam.
Dipta tidak tahu sejak kapan nama grupnya berubah menjadi alay seperti ini.
Bahagiakan Para Kacung, Mas Dipdip!
Bimbim:
malem minggu kmn nih?
Zain:
Kencan lah💪
Bian:
Maaf buat para jomblo, Bian yg gk jomblo lagi udah punya janji, dong😎
Raki:
Lah bukannya kemaren lo jomblo, Yan?"
Bian:
Lima menit lalu gw baru jadian
Gw lagi makan bubur di taman bareng doi
Skrng doi lagi di kamar mandi
Zain:
Anak mana lagi, nih?"
Bian:
Anaknya mama Anna sama papa Jaya
Bimbim:
Njing!
Bian:
Kok ngamok!
Raki:
Sori, gw gk iri boy.
Gk kencan gk pp yang penting dibayarin badside sama pak bos
Zain:
Lah emng iya @Dipta
Bimbim:
Asik nih🔥
Zain:
Gw rela cancel kencan, kalo beneran ditraktir
Raki:
Kencan bareng guling aja sok²an cancel
Zain:
Dih, lo blom liat cewek baru gw
@Bian kasih tau sana
Bian:
Owh, yg mantan gw lima bulan lalu?
Zain:
Syalan lo!
Bukan yg itu, bgst!
Bimbim:
Njir!! Bekasnya Bian lo embat juga
Raki:
Kayak gk ada cewek lain aja, cong
Bimbim:
Si anak magang tuh mayan
Raki:
Kiran udh gw tandain dulu
Bian:
Apaan main tanda-tandain, lo pikir kissmark
Siapa cepat, dia dapat dong
Zain:
Heh! Inget cewek lo yang lagi beser di wc tuh
Raki:
Ngakak, goblog!
Btw, ini mas Dipta kmn?
Bimbim:
Biasa bujang lapuk
Jam segini pasti masih ngorok
Dipta:
Gw udh bangun ya
Bian:
Tegang pasti mas ya?
Dipta:
Iya dong
Punya gw kan mantep banget💪
Zain:
Sialan, otak gw traveling dong
Pusing kgk mas?
Bimbim:
Dipdip dateng² bikin resah
Dipta:
Aman @Zain
Gw salah apa sih Bim?
Raki:
Gw ganteng, gk ngerti apa²😯
Mas Dipta gk salah, krn itu ntar malem traktir badside
Dipta:
ogah
Raki:
Ntar kita jemput lo dirumah gk ada penolakan
Udh gk ush pada ngechat lagi.
Wifi di rumah gw lagi ngelag
Hanya admin yang dapat mengirimkan pesan
****
Sore hari, Dipta bersantai dengan tidur tengkurap di karpet depan televisi yang menayangkan serial kartun bocah kembar asal Malaysia.
Hingga ia merasa punggungnya terasa berat. Apa Dipta sedang ketempelan setan? Mengingat hanya ada dirinya saja di rumah ini, orang tuanya sedang pergi keluar.
"Kaku banget, kek batu sih lo, Mas." Suara itu sekaligus tepukan keras dipunggungnya membuat Dipta menoleh ke belakang.
"Setan, lo!" umpat Dipta.
Sedangkan Rabel adik Dipta yang dengan santai duduk di punggung Dipta hanya mengangkat bahunya tak peduli.
"Gak inget umur? Berat lo berapa, sih, kok berat banget?" gerutu tak henti. Mencoba membuat adiknya yang sudah menginjak usia kepala dua itu untuk segera turun dari punggungnya.
"Lo nya aja yang udah tua. Segini aja udah keberatan. Mendingan lo buruan nikah deh, Mas. Sebelum lo gak kuat nanti. Kan kasian istri lo," julid Rabel. Ia turun dari punggung kakaknya dan berubah menjadi duduk di samping punggung Dipta.
"Lama-lama lo kayak, Mami. Ceriwis."
"Mami ke mana? Kok sepi banget?" Rabel bertanya sambil mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah.
"Lagi kondangan ke acara nikahan anaknya temen papi. Lo dari mana aja, udah ngeluyur aja dari pagi," cerca Dipta, menunjukkan sisi protektifnya pada sang adik.
"Apa, sih. Gue tuh habis belajar kelompok. Pernah belajar kelompok gak sih, lo?" Rabel bangkit hendak pergi ke kamarnya sebelum Dipta kembali menceramahinya.
"Belajar kelompok macam gimana dari pagi sampai sore begini."
"Bodo amat," balas Rabel.
Namun, saat mengingat sesuatu ia segera berbalik dan kembali menghampiri Dipta yang kini sudah duduk bersandar pada kaki sofa. Rabel berjongkok di samping Dipta menyamakan tinggi mereka. Sedangkan Dipta menatap bingung serta ngeri ke arah adiknya.
"Mas Dipta, isiin Shopeepay aku, ya."
Cup!
Sebagai sentuhan terakhir sekaligus jurus jitunya, Rabel mengecup pipi Dipta dan segera lari ke kamarnya.
Dipta sendiri sudah mencak-mencak di tempatnya. Ia menghapus bekas kecupan Rabel di pipinya.
"Kalo ada maunya baru aku-aku, lo!" seru Dipta keras. Dipta merutuki adiknya dalam hati.
*****
Mengingat jam masih menunjukkan pukul sembilan malam, maka Dipta dan yang lain memutuskan untuk mampir dulu ke kafe yang berada di samping Badside.
"Serius lo traktir kan, Mas?"
Dipta melirik Zain yang mengenakan jaket kulit hitam. "Bayar sendiri-sendiri."
Walaupun begitu mereka sudah tahu ucapan Dipta hanya gurauan, jika tidak, pasti pria itu memilih untuk tidak datang. Tadi saja, Dipta yang malah datang duluan menjemput Bimbim.
"Pinter banget otak bisnis lo, Dip," komentar Bimbim. Usia Bimbim dan Dipta itu sama, mereka berdua berteman sejak kecil bahkan sekarang mereka masih tinggal di kompleks yang sama. Karena itu, jika di luar kantor atau di luar jam kerja, Bimbim memanggil Dipta langsung tanpa embel-embel Mas.
Awalnya sangat susah membiasakan diri menyebut Dipta yang notabennya teman sepergilaannya dengan sebutan, Mas. Hingga akhirnya setengah tahun awal bekerja Bimbim mulai bisa beradaptasi dengan keadaan.
Sedangkan ucapan Bimbim tadi merujuk pada kafe yang sedang mereka kunjungi yang tak lain adalah milik Dipta. Dipta seakan bisa melihat peluang pada tempat ini sehingga dulu ia memutuskan dengan yakin untuk membangun sebuah kafe di sini.
"Mas Dipta kalo soal cuan mah kagak pernah salah instingnya."
Dipta memerhatikan kafenya yang memiliki dua nuansa, di mana nuansa depan seperti retro sedangkan di belakang Dipta memilih konsep gacoan seperti di Jogja.
Kemudian pandangan Dipta berhenti pada meja yang berisikan empat orang gadis yang sedang terbahak entah menertawakan apa. Posisi gadis-gadis itu hanya terhalang satu meja di samping tempat Dipta.
Mata Dipta terfokus pada seorang gadis yang tengah tersenyum lebar, yang membuat Dipta tanpa sadar ikut tersenyum.
"Nyari mangsa baru, Mas?" tanya Raki saat melihat Dipta sedari tadi tidak fokus dengan pembicaraan mereka dan malah melihat ke arah lain.
Bian, Zain dan Bimbim mulai mengikuti arah pandang Dipta. Bimbim menyipitkan mata saat mengenali salah satu gadis itu.
"Eh, itu bukannya si anak magang?"
"Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke
"Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!
Hari Jumat ini, setengah dari staf protokol menemani dan mengawal Bupati dalam kegiatan sosial di salah satu kawasan kumuh. Ini juga menjadi kegiatan pertama yang diikuti oleh mahasiswa magang.Sebelum mereka berangkat, Dipta mengajak Jani dan Kiran untuk ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa juga Dipta membeberkan kemampuan Jani dalam bermain dengan kamera, yang membuat Dipta mendapatkan tatapan aneh dari gadis itu.Mereka semua berkumpul di sekitar pendopo bersama beberapa polisi yang bertugas mengawal Bupati. Dipta sudah sibuk dengan pekerjaannya yang mengatur segala keperluan Bupati.Jani dan Kiran menunggu bersama Bimbim dan beberapa orang dari Humas termasuk Satria yang sudah sering bergabung dengan yang lain.Satria mendekati Jani yang tengah membawa kamera yang dititipkan Raki sebelum pria itu mengambil mobil."Ni. Nanti pulang ke apart gue dulu, ya," ucap Satria pelan di samping Jani.
"Gosok wc?"Dipta sungguh ingin mengumpati Bimbim dengan keras saat ini."Jani, kamu ikut saya sebentar, ya," pinta Dipta. Kemudian ia memegang tangan Jani untuk membawa wanita itu menjauh dari kumpulan staf Humas dan Protokol yang menatap mereka penasaran."Maaf," ucapnya sebelum memegang tangan Jani.Dipta memberhentikan langkahnya merasa cukup jauh dari yang lain dan tiba-tiba ia menyesali tindakan yang ia ambil secara impulsif ini. Karena saat ini ia terserang rasa canggung yang luar biasa."Ekhem." Dipta membasahi tenggorokannya."Maaf saya geret-geret kamu seperti ini. Tapi saya lagi butuh bantuan kamu. Kamu mau, kan?" tanyanya dengan banyak kebohongan. Karena jujur ia tidak tahu apa yang akan ialakukan setelah ini. Namun, ia lebih tidak rela membayangkan jika Jani menghabiskan waktunya bersama pria lain."Sekarang banget, Pak?" tanya Jani memastikan
"Gosok wc?"Dipta sungguh ingin mengumpati Bimbim dengan keras saat ini."Jani, kamu ikut saya sebentar, ya," pinta Dipta. Kemudian ia memegang tangan Jani untuk membawa wanita itu menjauh dari kumpulan staf Humas dan Protokol yang menatap mereka penasaran."Maaf," ucapnya sebelum memegang tangan Jani.Dipta memberhentikan langkahnya merasa cukup jauh dari yang lain dan tiba-tiba ia menyesali tindakan yang ia ambil secara impulsif ini. Karena saat ini ia terserang rasa canggung yang luar biasa."Ekhem." Dipta membasahi tenggorokannya."Maaf saya geret-geret kamu seperti ini. Tapi saya lagi butuh bantuan kamu. Kamu mau, kan?" tanyanya dengan banyak kebohongan. Karena jujur ia tidak tahu apa yang akan ialakukan setelah ini. Namun, ia lebih tidak rela membayangkan jika Jani menghabiskan waktunya bersama pria lain."Sekarang banget, Pak?" tanya Jani memastikan
Hari Jumat ini, setengah dari staf protokol menemani dan mengawal Bupati dalam kegiatan sosial di salah satu kawasan kumuh. Ini juga menjadi kegiatan pertama yang diikuti oleh mahasiswa magang.Sebelum mereka berangkat, Dipta mengajak Jani dan Kiran untuk ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa juga Dipta membeberkan kemampuan Jani dalam bermain dengan kamera, yang membuat Dipta mendapatkan tatapan aneh dari gadis itu.Mereka semua berkumpul di sekitar pendopo bersama beberapa polisi yang bertugas mengawal Bupati. Dipta sudah sibuk dengan pekerjaannya yang mengatur segala keperluan Bupati.Jani dan Kiran menunggu bersama Bimbim dan beberapa orang dari Humas termasuk Satria yang sudah sering bergabung dengan yang lain.Satria mendekati Jani yang tengah membawa kamera yang dititipkan Raki sebelum pria itu mengambil mobil."Ni. Nanti pulang ke apart gue dulu, ya," ucap Satria pelan di samping Jani.
"Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!
Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
"Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah
Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal