"Selamat pagi, Mas Dipta!" Suara sapaan ceria itu masuk ke dalam Ruang Protokol yang hening.
Seorang wanita cantik masuk setelahnya dengan senyum merekah. Dengan setelan PNS lengkap gadis itu menyapa semuanya.
Dipta mendongak untuk melihat siapa yang datang, dan ia tersenyum saat menemukan Maria di sana. Maria adalah salah satu pegawai Bapenda. Selain itu, Maria juga anak dari Bu Fitri, Kasubbag di Humas. Karenanya ia menjadi dekat dengan Maria.
Maria berjalan ke arah meja Dipta dan duduk di bangku yang tersedia di depannya.
"Mas Dipta!" panggilnya manja.
Dipta tersenyum lembut menanggapinya. Senyuman Dipta sungguh bisa membuat para wanita klepek-klepek. Dan suara rengekan Maria tadi membangkitkan jiwa fuckboy dan playboy yang sudah lama tertidur karena kesibukannya.
"Kenapa? Pagi-pagi udah ngeluyur ke Protokol aja." Dipta kembali menatap laptopnya sekilas.
"Tadi habis ketemu Mama, jadi sekalian aja mampir ke sini." Maria ikut melirik apa yang sedang dikerjakan Dipta di laptop. "Mas Dipta sok sibuk banget, sih."
Dipta tersenyum kalem. Karena menurut Dipta jurus jitu menghadapi perempuan adalah dengan tersenyum kalem lembut seperti ini. Apalagi kalo orangnya seperti Dipta, dijamin tidak ada perempuan yang berani nolak.
"Ini aku simpen dulu filenya, biar aku bisa lebih fokus sama kamu," balas Dipta tenang. Di mana tenangnya Dipta bisa membuat Maria merona.
Jangan ragukan lagi kemampuan Dipta dalam menaklukkan perempuan.
"Duh, lagu lama banget," celetuk Bimbim karena mejanya yang paling dekat dengan meja Dipta.
Dipta tak menghiraukan sindiran penuh makna Bimbim. "Jadi, kenapa ke sini?"
Dipta menumpukkan kedua tangannya yang saling menggenggam di atas meja, memfokuskan perhatiannya pada Maria yang terlihat salah tingkah ditatap begitu intens olehnya.
"Aku kan udah lama gak liat Mas Dipta. Mas Dipta sibuk terus keluar kota kalo nggak ngikutin Bupati terus, aku kan jadi kangen." Dipta tersenyum mendengarnya. "Mas Dipta kangen aku nggak?"
Jika biasanya, mungkin Dipta sudah menggenggam tangan wanita itu dan mengelusnya lembut, namun karena ini ia sedang di dalam kantor dan sadar banyak mata yang mengamati walaupun mereka berpura-pura fokus dengan kesibukan mereka. Karena itu sedari tadi Dipta menggenggam tangannya sendiri, menahan tangannya untuk tidak menggenggam tangan Maria.
"Iya, kangen."
"Dek Kiran, kangen Mas Raki, gak?" Suara Raki mengundang tawa semua orang yang sepertinya sudah lama di tahan mereka sejak memperhatikan pembicaraan Dipta dan Maria secara diam-diam.
"Iya, kangen."
Tentu itu buka suara Kiran. Mana berani dia baru seminggu magang dan sudah berani mengejek Kepala Ruangan ini. Tadi, suara Bimbim yang kembali mengejek Dipta dengan mengulang ucapan sang Kasubbag itu.
"Mas Dipta, ih!" rengek Maria. Ia merasa malu setelah percakapannya dengan Dipta di dengar semua orang. Padahal menurutnya tadi ia sudah berbicara dengan pelan.
"Kenapa? Aku kan cuma jawab pertanyaan kamu?" balas Dipta yang akhirnya ikut menjahili wanita itu.
"Tau, ah. Aku mau balik aja. Malu di sini."
Maria segera berdiri, berjalan menuju pintu dan juga harus melewati meja Bimbim dan lainnya yang kembali menggodanya.
"Mau ke mana, Mar? Katanya kangen Mas Dipdip."
"Mbak Mar, aku juga kangen, lho!"
Maria menatap sebal sekaligus malu ke arah Bimbim dan Raki. "Apaan, sih!" ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan ruangan Protokol.
"Mas Dip, calon istrimu malu lo tadi."
"Calon istri apaan," balas Dipta pada Vista. Kemudian ia kembali fokus pada laptopnya.
Namun, ia kembali mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Kiran. "Dek, yang tadi cuma bercanda doang, kok."
Semuanya menggeleng takjub mendengar ucapan Dipta
🕸🕸🕸
Dipta, Bimbim, Raki, Mas Abi dan Vista kini sedang berada di Ruang 45 untuk melihat acara pembukaan Lomba Duta Genre 2021 yang akan dihadiri oleh Ibu Genre yang tak lain adalah istri dari Bapak Bupati.
Mereka membantu para panitia yang merupakan alumni Duta Genre dari tahun-tahun sebelumnya.
Raki dan Mas Abi membantu mengarahkan para tamu untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Bimbim dan Vista kali ini mendapat tugas menjadi pembawa acara dan sekarang mereka sudah berdiri di samping panggung, tengah membaca cue card yang berada di tangan masing-masing.
Dipta sendiri berada di luar ruangan yang tengah ramai oleh orang yang sedang mengisi daftar hadir ataupun para panitia yang sibuk wara-wiri.
Beberapa kali Dipta berbicara dengan orang-orang penting yang dikenalnya. Kadang juga hanya menyapa orang yang tak terlalu dikenalnya saat mereka bersinggungan.
Di saat acara hampir mulai dan semua tamu sudah memasuki ruangan, Dipta masih berada di luar ruangan bersama Mas Abi dan Raki yang kini bergabung dengannya mengawasi Vista dan Bimbim yang sudah membuka acara.
"Hai, Mas Dipta!" sapa seorang gadis yang sedang berjalan mendekat ke arah Dipta.
Dipta mengerutkan kening samar. Mencoba mengingat siapa gadis yang menggunakan baju berseragam dengan panitia Duta Genre lainnya, yang berarti gadis ini juga salah satu alumni Duta Genre.
Lima detik kemudian Dipta membuka mulutnya, menunjukkan ia mulai mengingat gadis yang berdiri di depannya. "Luna?"
"Aku pikir Mas Dipta gak bakal inget aku." Gadis itu tersenyum senang, pertanda tebakan Dipta benar.
"Gak mungkin, lah. Di mana kamu sekarang?"
Raki dan Mas Abi fokus melihat jalannya acara walaupun telinga mereka terbuka lebar mendengar pembicara si Buaya dan mangsa barunya.
"Di Jakarta, Mas. Ini aku di undang sama Ibu, makanya datang ke sini."
"Owh, habis ini langsung balik atau stay di sini dulu?"
"Gak langsung balik, lah. Kangen sama suasana di sini. Jadi, mau jalan-jalan dulu di sini beberapa hari. Aku lihat banyak tempat-tempat baru yang bagus juga, sayang kalo udah sampek sini tapi gak main dulu." Dipta mengangguk paham.
"Mau ditemenin jalan-jalan? Aku tau beberapa tempat bagus di sini. Tapi, ya gitu. Aku bisanya weekand, doang."
"Emang gak ada yang bakal marah kalo Mas Dipta spending time weekandnya sama aku?" Luna bertanya memastikan.
"Gak ada, lah. Aku free 24 jam," jawab Dipta meyakinkan.
Uhukk!
Mereka berdua melirik ke arah Raki yang sedang batuk --yang Dipta tau itu hanya dibuat-buat-- dengan keras.
"Kenapa, Ki?" tanya Mas Abi.
"Keselek buaya, Mas." Raki melirik Dipta sekilas setelah menjawabnya.
Dipta segera mengajak Luna untuk masuk ke dalam ruangan sebelum Raki semakin mengganggunya.
Di dalam ruangan Dipta terpisah dengan Luna setelah memberikan nomer ponselnya kepada gadis itu dan berjanji untuk menemaninya jalan-jalan selama di sini.
Dipta kini berdiri di bagian belakang bersama beberapa orang Kominfo dan orang bagian sound.
Saat sedang melihat-lihat ia menemukan target baru. Ia berjalan mendekati kursi tamu barisan paling akhir. Ia mencolek bahu perempuan berseragam Satpol PP lengkap itu dengan pelan.
"Mia? Apa kabar?" sapa Dipta.
Gadis terkejut sebentar dan tersenyum saat mengetahui siapa yang menyapanya. "Hai, Mas. Alhamdulillah, baik. Mas Dipta gimana?"
"Alhamdulillah, baik. Apalagi setelah lihat kamu," balas Dipta.
Dari kejauhan Raki yang memperhatikan Dipta, menghembuskan napas lelah. "Gue aja yang cuma liatin dia doang, udah capek. Sana-sini cari mangsa mulu."
"Dia udah profesional, Ki," sahut Mas Abi.
Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal
"Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke
"Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!
Hari Jumat ini, setengah dari staf protokol menemani dan mengawal Bupati dalam kegiatan sosial di salah satu kawasan kumuh. Ini juga menjadi kegiatan pertama yang diikuti oleh mahasiswa magang.Sebelum mereka berangkat, Dipta mengajak Jani dan Kiran untuk ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa juga Dipta membeberkan kemampuan Jani dalam bermain dengan kamera, yang membuat Dipta mendapatkan tatapan aneh dari gadis itu.Mereka semua berkumpul di sekitar pendopo bersama beberapa polisi yang bertugas mengawal Bupati. Dipta sudah sibuk dengan pekerjaannya yang mengatur segala keperluan Bupati.Jani dan Kiran menunggu bersama Bimbim dan beberapa orang dari Humas termasuk Satria yang sudah sering bergabung dengan yang lain.Satria mendekati Jani yang tengah membawa kamera yang dititipkan Raki sebelum pria itu mengambil mobil."Ni. Nanti pulang ke apart gue dulu, ya," ucap Satria pelan di samping Jani.
"Gosok wc?"Dipta sungguh ingin mengumpati Bimbim dengan keras saat ini."Jani, kamu ikut saya sebentar, ya," pinta Dipta. Kemudian ia memegang tangan Jani untuk membawa wanita itu menjauh dari kumpulan staf Humas dan Protokol yang menatap mereka penasaran."Maaf," ucapnya sebelum memegang tangan Jani.Dipta memberhentikan langkahnya merasa cukup jauh dari yang lain dan tiba-tiba ia menyesali tindakan yang ia ambil secara impulsif ini. Karena saat ini ia terserang rasa canggung yang luar biasa."Ekhem." Dipta membasahi tenggorokannya."Maaf saya geret-geret kamu seperti ini. Tapi saya lagi butuh bantuan kamu. Kamu mau, kan?" tanyanya dengan banyak kebohongan. Karena jujur ia tidak tahu apa yang akan ialakukan setelah ini. Namun, ia lebih tidak rela membayangkan jika Jani menghabiskan waktunya bersama pria lain."Sekarang banget, Pak?" tanya Jani memastikan
Hari Jumat ini, setengah dari staf protokol menemani dan mengawal Bupati dalam kegiatan sosial di salah satu kawasan kumuh. Ini juga menjadi kegiatan pertama yang diikuti oleh mahasiswa magang.Sebelum mereka berangkat, Dipta mengajak Jani dan Kiran untuk ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa juga Dipta membeberkan kemampuan Jani dalam bermain dengan kamera, yang membuat Dipta mendapatkan tatapan aneh dari gadis itu.Mereka semua berkumpul di sekitar pendopo bersama beberapa polisi yang bertugas mengawal Bupati. Dipta sudah sibuk dengan pekerjaannya yang mengatur segala keperluan Bupati.Jani dan Kiran menunggu bersama Bimbim dan beberapa orang dari Humas termasuk Satria yang sudah sering bergabung dengan yang lain.Satria mendekati Jani yang tengah membawa kamera yang dititipkan Raki sebelum pria itu mengambil mobil."Ni. Nanti pulang ke apart gue dulu, ya," ucap Satria pelan di samping Jani.
"Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!
Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
"Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah
Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal