"Eh, itu bukannya si anak magang?"
Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat.
"Yang di Protokol, kan?" tanya Zain.
"Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya.
"Jani."
Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip."
"Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran.
"Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."
Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside.
"Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya.
"Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"
Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah tujuannya.
"Apanya yang minim? Tinggi badannya?" tanya Raki.
Bimbim menggeleng.
"Dia kan keliatan agak cuek gitu. Tapi menurut gue dia tuh minim aja. Kayak minim ngomong, minim ekspresi, gitulah. Coba liat ke sana." Bimbim menyuruh mereka untuk melihat ke arah Jani.
"Liat, dia bisa ketawa lepas gitu, sedangkan kalo biasanya di ruangan dia sekedar ketawa buat formalitas aja. Dia keliatan asyik juga kalo ketemu temen yang pas. Tapi, coba kalo di kantor, dia kayak sengaja menutup diri gitu. Ngerasa gak kalian?"
Dipta yang sejak tadi memperhatikan Jani yang belum sadar sedang diperhatikan dan terus bercerita dengan teman-temannya. Kalau diperhatikan meja gadis itu lah yang terlihat paling gaduh, entah mereka sedang membicarakan apa hingga tertawa seperti itu.
Dipta beralih pada Bimbim yang sebelumnya mengeluarkan pendapatnya tentang pribadi Jani tanpa diminta. "Kok lo tau banget. Lo sering perhatiin Jani?"
Bimbim terkekeh. "C'mon, Man. Kalian aja yang terlalu fokus sama Kiran."
Dipta mendengus kesal. Ia meminum ekspresonya yang tersisa setengah dengan sekali tegukan sembari melihat ke meja Jani yang bertepatan dengan Jani yang juga sedang melihat ke arahnya. Dipta sontak tersedak cairan pahit itu.
*****
Dipta baru tertidur selama 3 jam lebih. Ia baru pulang dari Badside saat jam menunjukkan pukul dua dini hari.
Saat ini, ingin sekali Dipta tenggelam dalam kasur saat Rabel seenak jidat masuk ke kamar dan membangunkannya dengan rusuh.
"Mas! Bangun, ih!"
"Mas Dipta!"
"Mas, lo budek banget, sih! Ayo bangun!"
Dipta mengambil bantal dan menaruhnya di atas wajahnya, mencoba meredam suara rengekan Rabel.
Rabel sendiri masih belum menyerah, ia mencoba membuang bantal yang berada di wajah kakaknya, tetapi sangat susah karena tenaga Dipta yang menahan. Ia berganti menarik lengan Dipta untuk bangun.
Dipta berdecak dan membuang bantalnya dengan kesal. "Apaan sih, Bel?"
Rabel bisa melihat raut wajah Dipta yang begitu kusut, perpaduan antara raut kesal dan mengantuk sekaligus. "Temenin gue, Mas."
"Iya, nanti gue temenin. Sekarang awas! Biarin gue tidur." Dipta kembali mengusir adiknya yang masih tidak bergeser sedikit pun.
"Sekarang temeninnya."
Dipta menggaruk lehernya sambil melirik jam yang menunjukkan pukul setengah enam. "Masih pagi, mau ke mana sih, lo?"
"Car free day. Ayo temenin gue."
"Lo udah gak punya temen? Pada ke mana temen lo? Udah deh jangan ganggu gue."
"Banyak cewek nanti di sana."
"Bodo amat. Gue ngantuk."
Rabel masih menggoyang-goyangkan lengan Dipta dalam diam. Dipta yang tadinya sudah memejamkan mata, kembali membukanya.
"Sejak kapan lo jadi demen olahraga?" tanya Dipta heran. Ia bahkan tak pernah melihat adiknya ini berolahraga.
"Siapa bilang gue mau olahraga."
"Car free day itu buat orang yang mau olahraga pagi. Ya terus lo mau ngapain ke sana kalo nggak olahraga, Sayangku?" tanya Dipta geram.
Rabel tersenyum. "Ada event Kpop nanti, makanya kita harus ke sana."
Dipta menghela napasnya lelah. Rabel dan kpop tak akan pernah terpisah.
"Dateng sendiri kan bisa." Dipta berucap lebih lembut.
"Temenin," pintanya manja. Menjadi anak terakhir membuat Rabel selalu bergantung pada Dipta atau anggota keluarga lainnya.
Entah di sadari Dipta atau tidak, pria itu selalu menuruti semua tingkah manja dan kekanakan adiknya itu.
"Temenin aku, ya, Mas."
Dipta tidak mempunyai pilihan lain selain memberikan anggukan kepada gadis itu.
"Yeay!" Setelah mengecup pipi Dipta Rabel segera bersiap dan menyuruh Dipta untuk cepat bersiap juga.
*****
"Untung aja gak telat. Gara-gara Mas Dipta, nih. Bangunin aja butuh waktu setengah jam lebih."
Rabel terus mengomel yang hanya dibalas decakan malas oleh Dipta. Ia berjalan di belakang adiknya yang terus berjalan menuju ke arah kerumunan para gadis-gadis remaja yang Dipta tebak memiliki kegemaran yang sama dengan Rabel.
Karena datang di jam mepet seperti ini, mereka berada di bagian belakang dan dengan tidak tahu malunya, Rabel menarik tangan Dipta dan menerobos kerumunan itu.
Banyak cacian yang ditujukan. pada Rabel karena menerobos dan mendorong dengan paksa beberapa orang, sebagai gantinya Diptalah yang meringis meminta maaf kepada orang-orang itu. Hingga akhirnya mereka berdiri di bagian paling depan.
"Acara apaan sih ini?" tanya Dipta saat melihat ada kamera dan gadis-gadis yang memakai pakaian serba hitam.
"Ini cover dance kpop in public. Terus nanti bakal ada random dance kpopnya juga kalo gak salah," jelas Rabel.
Dipta berdecak. "Lo bangunin gue pagi-pagi cuma buat ngeliat orang joget-joget gak jelas gini?"
"Eh, ini tuh namanya ngedance. Yang joget-joget gak jelas itu kan kesukaan lo kalo lagi di club."
"Anjir."
Tak lama kemudian lima gadis dengan pakaian hitam bersiap di tengah, kata Rabel mereka akan mengcover dance Mafia In The Morning dari Itzy. Dipta tidak tahu siapa Itzy yang penting ia mengangguk saja.
Kelima gadis itu sudah bersiap di posisinya dan di depannya sudah ada seorang wanita memakai masker dengan rambut dicepol yang sepertinya bagian kameramen.
Wanita itu membuka maskernya dan berjalan mendekat ke arah kelima gadis yang bersiap tadi untuk mendiskusikan sesuatu.
"Jani," gumam Dipta.
"Apa?" tanya Rabel saat mendengar kakaknya menggumamkan sesuatu.
Dipta menggelengkan kepala ke arah Rabel. "Gak papa."
Dipta tidak mungkin tidak mengenali gadis yang semalam baru ia lihat di kafenya. Keyakinan Dipta semakin kuat saat salah satu dari mereka menyebutkan nama Jani.
Dipta semakin merasa tertarik dengan acara ini saat mengetahui Jani terlibat juga di dalamnya.
Acara dimulai, Jani melakukan tugasnya dengan sangat baik. Dipta bahkan terkagum melihat bagaimana Jani melakukan tugasnya, walaupun sebenarnya tidak ada yang spesial.
Padahal yang seharusnya menjadi perhatian Dipta adalah kelima gadis yang sedang menari itu, tetapi mata Dipta memilih untuk mengikuti setiap gerak tubuh Jani yang melangkah maju dan mundur menyesuaikan gerakan para penari.
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke
"Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!
Hari Jumat ini, setengah dari staf protokol menemani dan mengawal Bupati dalam kegiatan sosial di salah satu kawasan kumuh. Ini juga menjadi kegiatan pertama yang diikuti oleh mahasiswa magang.Sebelum mereka berangkat, Dipta mengajak Jani dan Kiran untuk ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa juga Dipta membeberkan kemampuan Jani dalam bermain dengan kamera, yang membuat Dipta mendapatkan tatapan aneh dari gadis itu.Mereka semua berkumpul di sekitar pendopo bersama beberapa polisi yang bertugas mengawal Bupati. Dipta sudah sibuk dengan pekerjaannya yang mengatur segala keperluan Bupati.Jani dan Kiran menunggu bersama Bimbim dan beberapa orang dari Humas termasuk Satria yang sudah sering bergabung dengan yang lain.Satria mendekati Jani yang tengah membawa kamera yang dititipkan Raki sebelum pria itu mengambil mobil."Ni. Nanti pulang ke apart gue dulu, ya," ucap Satria pelan di samping Jani.
"Gosok wc?"Dipta sungguh ingin mengumpati Bimbim dengan keras saat ini."Jani, kamu ikut saya sebentar, ya," pinta Dipta. Kemudian ia memegang tangan Jani untuk membawa wanita itu menjauh dari kumpulan staf Humas dan Protokol yang menatap mereka penasaran."Maaf," ucapnya sebelum memegang tangan Jani.Dipta memberhentikan langkahnya merasa cukup jauh dari yang lain dan tiba-tiba ia menyesali tindakan yang ia ambil secara impulsif ini. Karena saat ini ia terserang rasa canggung yang luar biasa."Ekhem." Dipta membasahi tenggorokannya."Maaf saya geret-geret kamu seperti ini. Tapi saya lagi butuh bantuan kamu. Kamu mau, kan?" tanyanya dengan banyak kebohongan. Karena jujur ia tidak tahu apa yang akan ialakukan setelah ini. Namun, ia lebih tidak rela membayangkan jika Jani menghabiskan waktunya bersama pria lain."Sekarang banget, Pak?" tanya Jani memastikan
Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, dan mobil berpelat nomor merah dengan stiker yang bertuliskan 'Protokol' tertempel di kaca belakang dengan perlahan memasuki area parkir kantor Pemda.Seorang pria berseragam dinas berwarna khaki keluar dari mobil tersebut. Kakinya yang berbalut sepatu pantofel hitam mengkilap perlahan mulai berjalan menjauhi area parkir."Mas Dipta!"Suara seruan itu membuat langkahnya terhenti.“Wah! Yang abis pulang dinas mukanya cerah banget, nih.”“Cerah apaan! Badan gue pegel semua ini,” balas Dipta saat mengetahui siapa yang bersuara tadi. Mereka kemudian bersalaman.“Lah, lagian lo ngapain masuk sekarang? Anak Humas yang ikut dinas kemarin baru masuk lusa,” terang Nanang, salah satu staf senior di bagian Humas, sedangkan Dipta sendiri di bagian Protokol di mana kerjanya lebih banyak di luar ruang.
"Gosok wc?"Dipta sungguh ingin mengumpati Bimbim dengan keras saat ini."Jani, kamu ikut saya sebentar, ya," pinta Dipta. Kemudian ia memegang tangan Jani untuk membawa wanita itu menjauh dari kumpulan staf Humas dan Protokol yang menatap mereka penasaran."Maaf," ucapnya sebelum memegang tangan Jani.Dipta memberhentikan langkahnya merasa cukup jauh dari yang lain dan tiba-tiba ia menyesali tindakan yang ia ambil secara impulsif ini. Karena saat ini ia terserang rasa canggung yang luar biasa."Ekhem." Dipta membasahi tenggorokannya."Maaf saya geret-geret kamu seperti ini. Tapi saya lagi butuh bantuan kamu. Kamu mau, kan?" tanyanya dengan banyak kebohongan. Karena jujur ia tidak tahu apa yang akan ialakukan setelah ini. Namun, ia lebih tidak rela membayangkan jika Jani menghabiskan waktunya bersama pria lain."Sekarang banget, Pak?" tanya Jani memastikan
Hari Jumat ini, setengah dari staf protokol menemani dan mengawal Bupati dalam kegiatan sosial di salah satu kawasan kumuh. Ini juga menjadi kegiatan pertama yang diikuti oleh mahasiswa magang.Sebelum mereka berangkat, Dipta mengajak Jani dan Kiran untuk ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa juga Dipta membeberkan kemampuan Jani dalam bermain dengan kamera, yang membuat Dipta mendapatkan tatapan aneh dari gadis itu.Mereka semua berkumpul di sekitar pendopo bersama beberapa polisi yang bertugas mengawal Bupati. Dipta sudah sibuk dengan pekerjaannya yang mengatur segala keperluan Bupati.Jani dan Kiran menunggu bersama Bimbim dan beberapa orang dari Humas termasuk Satria yang sudah sering bergabung dengan yang lain.Satria mendekati Jani yang tengah membawa kamera yang dititipkan Raki sebelum pria itu mengambil mobil."Ni. Nanti pulang ke apart gue dulu, ya," ucap Satria pelan di samping Jani.
"Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!
Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke
Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu
Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah
"Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum
"Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah
Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal