Share

Tugas • 02

Penulis: Beeboo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hari Senin selalu menjadi hari yang menyibukkan bagi semua pekerja tak terkecuali para staf protokol. Suara ketikan memenuhi ruang yang berisi 8 orang itu.


"Vis, lo kerjain SPJ kemarin Sabtu ya." Dipta yang selalu datang paling awal mulai membagi-bagi tugas mereka.


"Terus Bimbim, lo bagian Surat Pernyataan tanggung Jawab Mutlak," perintahnya lagi yang langsung dilakukan oleh keduanya.


Sedangkan Dipta sendiri di mejanya sedang bergelut dengan nota dinas, surat pesanan, Berita Acara Serah Terima dan beberapa kuitansi yang ingin dicairkan.


Di meja depan kiri dan belakang pojok Mas Yogi dan Mas Angka  mengerjakan E-Kinerja tanpa harus di perintah lagi.


"Mas, katanya E-tol yang di bawah 8 jam gak bisa cair, ya?" Mas Abi yang tengah menyiapkan nametag --untuk acara di Pendopo jam 10 nanti-- tiba-tiba bertanya yang membuat semuanya menjadi terkejut dan menatap Dipta penasaran.


Dipta menghela nafas frustrasi, hari ini ia memang sedikit terlihat kacau. "Katanya sih, gitu."


"Serius, Mas? Terus yang kemarin-kemarin itu gak bisa dapet ganti, dong?" tanya Raki. Ia biasanya menjadi driver saat ada acara di luar kantor ataupun luar daerah.


"Ini gue mau usahain sama Mbak Dewi," ucap Dipta kemudian ia menunjukkan tumpukkan kertas yang berada di mejanya, "Sayang banget kalo gak cair sebanyak ini."


"Semoga bisa cair, Mas. Kasian liat muka lo suntuk kek gitu." Dipta terkekeh garing mendengar celetukan Vista. Ia kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kerjanya.


*****

Sekitar jam 9 pagi, Ruang Protokol menjadi sedikit sesak di penuhi staf lelaki Humas dan Protokol. Vista sendiri sudah melarikan diri untuk menggosip di Humas. Sedangkan Hima meminta jadwal kegiatan Bapak ke Ruang Aspri.


Ada Bian, anak Humas yang biasanya menjadi tukang dokumentasi bersama Zain yang duduk di sebelahnya memakan rengginang sisa acara  yang tersisa banyak di Ruang Protokol.


Sedangkan yang lain ada yang bermain ponsel sambil melakukan pembicaraan khas pria, mulai dari pembicaraan bersih hingga kotor. Apalagi bapak-bapak yang sudah menikah, mulutnya seakan sangat lancar saat bercerita.


Ada juga Bimbim yang sedang berkaraoke mengikuti lagu yang terputar dari Smart Tv yang menempel di dinding dekat meja Dipta.


"Gilak, sih! Malem minggu kemarin Raki teler parah di Badside," Bian mulai bercerita dengan menyebut salah satu klub malam yang sering mereka kunjungi.


"Anjir! Ngapain lo ungkit lagi, sih?" seru Raki ngegas.


"Si Bontot kan emang payah banget. Minum dikit aja udah teler," tambah Dipta yang duduk bergabung bersama mereka.


"Iya, Mas. Tapi kemarin goblok banget dia. Masa kemarin dia hampir nyium cewek orang di depan cowoknya." Cerita Zain yang membuat Raki semakin keki.


Dipta melirik Raki penasaran dengan raut wajah geli dan mengejek yang tidak ditutupinya. "Serius, Ki?"


Raki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya gimana, Mas. Orang mabuk mah kan suka gila dadakan."


Semuanya tertawa mendengar jawaban Raki. Di sini memang Raki yang usianya paling muda dan yang paling banyak tingkahnya sejak dulu.


"Mas, Sabtu nanti traktiran Badside, dong,"  pinta Raki yang diangguki Bian, Zain, dan Bimbim.


"Enggak, ah. Ntar, lo kobam lagi," jawab Dipta mengejek Raki lagi. Satu tangannya menepuk punggung Raki yang duduk di sampingnya.


"Orang minum kalo kagak kobam ya gimana, Mas," heran Raki sekaligus jengkel.


"Ini gue lagi minum, tapi kagak mabok." Bimbim mengangkat botol kecil air mineral yang baru saja ia minum, kemudian terkekeh geli.


"Beda minuman, Bambang. Yang gue maksud itu minuman beralkohol yang dilarang oleh agama kita dan Allah SWT karna bisa buat kita gila dadakan."


"Anjing!"


Raki terkekeh, saat semua sontak mengumpat mendengarnya membawa-bawa Tuhan. Mereka seakan diingatkan oleh dosa mereka yang menumpuk karena minuman haram itu.


Obrolan tak tentu arah mereka terhenti saat terdengar ketukan pintu dari luar ruangan. Setelahnya pintu terbuka, terlihat Nanang yang berdiri di depan pintu kemudian masuk diikuti dengan beberapa wajah asing bagi Dipta dan yang lainnya.


"Asrama putra lagi ngumpul semua, nih," ucapnya melihat penghuni Ruang Protokol yang tertinggal hanya spesies jantan semua.


"Bapak-bapak, Mas-mas. Kenalin ini Adik-adik dari kampus Cakra Buana bakalan magang di Humas dan Protokol selama 2 bulan."


Mata Dipta, Bimbim, Raki dan yang lainnya mulai menscanning orang-orang yang berdiri di samping  Nanang.


Jumlahnya ada 5 orang dengan 4 perempuan dan 1 laki-laki. Dan di sana ada salah satu mahasiswi yang begitu menarik perhatian para pria bujang di sini.


"Yang berdiri di samping Mas Nanang cakep  banget, Njir!" bisik Raki. Matanya langsung menyala-nyala bersemangat.


"Diem, kampret!"


Dipta juga mulai memindai satu-persatu orang di depan sana. Dan memang gadis yang ditunjuk Raki tadi paling menonjol di sana.


Dengan tinggi proporsional, kulit putih, rambut panjang terurai dan wajah ayunya yang menenangkan hati, membuatnya menarik perhatian semua orang.


Njir! Dipta mengumpati dirinya sendiri yang terlalu lebay dalam hati. Kayak gak pernah liat cewek aja, sih lo, Dip.


"Adik-adik, itu ada Mas Yogi, Mas Abi, Mas Angka." Nanang mulai memperbaiki orang-orang yang berada di ruangan ini.


Kemudian ia menunjuk ke arah Bimbim yang duduk di samping kanan Raki. "Itu Masnya yang putih namanya Mas Bimbim."


Kini berganti ke arah Raki. "Nah, yang di sebelahnya namanya Mas Raki, agak gelap emang. Kalo disatuin sama Bimbim jadi kopi susu."


Raki berdecak. "Yang bener aja, Mas." Kemudian ia berdiri. "Kenalin adik-adik, saya Mas Ganteng. Mas Raki Ganteng."


Ia mendapat timpukan dari Bimbim dengan botol bekas minumnya.


"Nah, yang ini gongnya adik-adik. Beliau Kepalanya di sini, Namanya Mas Dipta. Nanti kalau yang magang di Protokol tanggung jawabnya Mas Dipta."


"Sedangkan, yang  2 itu mas Bian dan mas Zain. Mereka orang Humas, ke sini soalnya lagi ada makanan, doang."


"Gantian adik-adiknya yang kenalan, dong." Bian meminta dari tempatnya.


"Eh, yang magang di Protokol ada berapa?" tanya Dipta. Sebelumnya ia memang sudah di kabari oleh Nanang bahwa akan ada anak magang yang datang hari ini, namun ia tidak tahu berapa dan siapa-siapa saja mereka.


"Yang di Protokol ada 2 sisanya di Humas," jelas Nanang.


"Yang Protokol siapa aja?" tanya Bimbim.


Kemudian  2 orang mengangkat tangan. Kebetulan mereka perempuan semua, termasuk gadis yang menjadi incaran para pria bujang tadi.


"Mantap!" pekik Raki pelan. Ia melakukan high five di bawah meja dengan Dipta dan Bimbim.


"Namanya siapa?"


"Kirana." Gadis tinggi tadi menyebutkan namanya.


"Janira," ucap gadis yang berdiri di samping Kirana. Berdiri di samping Kiran menunjukkan seberapa kontras tinggi mereka, karena tinggi Jani hanya sebatas leher Kiran saja.


"Terus yang di Humas siapa aja Namanya." Tak ingin mengabaikan yang lain, Dipta bertanya pada yang lain.


"Saya Satria, Mas." Dia menjadi satu-satunya pria yang magang di sini.


Kemudian gadis dengan rambut yang ikal bergantian memperkenalkan diri. "Maya."


Dan terakhir. "Gina." Gadis satu-satunya yang menggunakan hijab.


"Buat adik-adiknya kecuali Satria, Mas-masnya itu masih kosong semua. Siapa tau nanti kecantol." Nanang menunjuk ke arah 5 bujang andalan Humas Protokol.


"Makasih Mas promosinya." Raki membungkukkan badannya, sebagai bentuk terima kasih.


"Santai, Ki."


"Adik-adiknya mulai magang besok. Hari ini masih liat-liat tempat dulu."


Dipta berdiri dari tempatnya dan tersenyum. "Selamat bergabung di keluarga besar Humas dan Protokol."

Bab terkait

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 03

    Seperti biasa, pagi ini Dipta datang paling awal. Pintu Ruang Protokol masih tertutup rapat pertanda belum ada staf yang datang. Tak lama setelah Dipta masuk, Yogi dan Raki menyusul masuk bersamaan.Raki kembali keluar setelah mengambil kunci mobil Protokol yang tergantung di lemari. Kegiatan pagi Raki selalu seperti itu, menyalakan mobil untuk dipanaskan dan menggelap mobil sampai kinclong.Saat sedang asyik membersihkan kaca mobil ia melihat 2 gadis yang kemarin baru saja memperkenalkan diri. Mereka berdiri di lorong yang menghubungkan koridor dengan mushola dan parkiran, terlihat mereka tengah ragu untuk melanjutkan langkah menuju Ruang Protokol.Raki berjalan mendekati keduanya."Dek!"Kedua gadis itu terkejut melihat Raki yang sudah berada di samping mereka."Magang di Protokol, kan?" tanya Raki meyakinkan.Keduanya mengangguk malu karena tertangkap basah seper

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 04

    "Selamat pagi, Mas Dipta!" Suara sapaan ceria itu masuk ke dalam Ruang Protokol yang hening.Seorang wanita cantik masuk setelahnya dengan senyum merekah. Dengan setelan PNS lengkap gadis itu menyapa semuanya.Dipta mendongak untuk melihat siapa yang datang, dan ia tersenyum saat menemukan Maria di sana. Maria adalah salah satu pegawai Bapenda. Selain itu, Maria juga anak dari Bu Fitri, Kasubbag di Humas. Karenanya ia menjadi dekat dengan Maria.Maria berjalan ke arah meja Dipta dan duduk di bangku yang tersedia di depannya."Mas Dipta!" panggilnya manja.Dipta tersenyum lembut menanggapinya. Senyuman Dipta sungguh bisa membuat para wanita klepek-klepek. Dan suara rengekan Maria tadi membangkitkan jiwa fuckboy dan playboy yang sudah lama tertidur karena kesibukannya."Kenapa? Pagi-pagi udah ngeluyur ke Protokol aja." Dipta kembali menatap laptopnya sekilas."Tadi ha

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 05

    Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 06

    "Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 07

    "Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas 8

    Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 09

    Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 10

    Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke

Bab terbaru

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 13

    "Gosok wc?"Dipta sungguh ingin mengumpati Bimbim dengan keras saat ini."Jani, kamu ikut saya sebentar, ya," pinta Dipta. Kemudian ia memegang tangan Jani untuk membawa wanita itu menjauh dari kumpulan staf Humas dan Protokol yang menatap mereka penasaran."Maaf," ucapnya sebelum memegang tangan Jani.Dipta memberhentikan langkahnya merasa cukup jauh dari yang lain dan tiba-tiba ia menyesali tindakan yang ia ambil secara impulsif ini. Karena saat ini ia terserang rasa canggung yang luar biasa."Ekhem." Dipta membasahi tenggorokannya."Maaf saya geret-geret kamu seperti ini. Tapi saya lagi butuh bantuan kamu. Kamu mau, kan?" tanyanya dengan banyak kebohongan. Karena jujur ia tidak tahu apa yang akan ialakukan setelah ini. Namun, ia lebih tidak rela membayangkan jika Jani menghabiskan waktunya bersama pria lain."Sekarang banget, Pak?" tanya Jani memastikan

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 12

    Hari Jumat ini, setengah dari staf protokol menemani dan mengawal Bupati dalam kegiatan sosial di salah satu kawasan kumuh. Ini juga menjadi kegiatan pertama yang diikuti oleh mahasiswa magang.Sebelum mereka berangkat, Dipta mengajak Jani dan Kiran untuk ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa juga Dipta membeberkan kemampuan Jani dalam bermain dengan kamera, yang membuat Dipta mendapatkan tatapan aneh dari gadis itu.Mereka semua berkumpul di sekitar pendopo bersama beberapa polisi yang bertugas mengawal Bupati. Dipta sudah sibuk dengan pekerjaannya yang mengatur segala keperluan Bupati.Jani dan Kiran menunggu bersama Bimbim dan beberapa orang dari Humas termasuk Satria yang sudah sering bergabung dengan yang lain.Satria mendekati Jani yang tengah membawa kamera yang dititipkan Raki sebelum pria itu mengambil mobil."Ni. Nanti pulang ke apart gue dulu, ya," ucap Satria pelan di samping Jani.

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 11

    "Mang! Yang satu telurnya dobel kayak biasa, ya!" "Siap, Ndan." Setelah memesan 2 porsi gado-gado favoritnya yang berada di depan gedung DPR, Dipta segera menyusul Bimbim yang mendapat tugas mencari tempat duduk. Di atas trotoar beratap terpal biru, Bimbim sudah duduk di atas kursi plastik dan tengah asyik dengan ponselnya. "Lo pesenin gue gak pake lontong, kan?" Bimbim menatap Dipta yang sudah duduk di depannya. Pria cindo itu mendengus. Hanya dengan melihat mata sahabatnya itu yang langsung melotot saja ia tau, pria jawa ini pasti telah lupa dengan pesannya. "Njir! Lupa beneran gue, Bim." Dipta berkata serius. "Gue udah kenyang, Sat! Lo yang kudu habisin pokoknya gak mau tahu." Dipta berdecak keras. "Apa lo?" sungut Bimbim. "Lo tau gue baru habis makan waktu lo dateng ke rumah tadi. Perut gue gak serakus lo, ya!

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 10

    Dengan setelan putih-hitam khas anak magang, Jani keluar dari kamar indekosnya. Ia berbalik hendak mengunci pintu kamarnya yang masih terbuka.Cklek!Jani menoleh saat pintu kamar sebelah terbuka. Maya keluar dari sana. Ia lalu mengunci pintu dan berjalan keluar tanpa menghiraukan keberadaannya, selalu begitu. Menganggap Jani seolah tidak ada. Bahkan sedikitpun Maya tak melirik ke arah Jani.Jani hanya mengangkat bahunya tak acuh dan melanjutkan mengunci pintu. Ia tidak tahu mengapa Maya terlihat begitu anti bahkan terlihat benci padanya.Tapi Jani sekalipun tak berniat untuk mendekat dan bertanya ada apa pada Maya. Ia terlalu malas untuk melakukan seperti itu. Walaupun Maya membencinya, toh Jani juga tidak rugi apapun.Padahal seingat Jani, Ia tidak pernah bersinggungan ataupun bersitegang dengan tetangga kosnya itu. Tak ingin ambil pusing, Jani segera bergegas berangkat ke

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 09

    Banyak yang bilang pertemuan ketiga di tempat berbeda dan tanpa disengaja itu berarti takdir. Sudah berapa kali mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini?Dipta melangkah mendekat ke arah yang menjadi perhatiannya. Apalagi melihat ada kursi kosong di sebelahnya."Hai, boleh gabung?"Jani yang sejak 15 menit lalu duduk sendiri di depan minimarket dengan se-cup es krim rasa coklat menoleh ke arah suara itu.Jani mengernyitkan kening sejenak saat melihat sosok atasannya di tempat maganglah orang yang meminta izin tadi. Kemudian ia hanya mengangguk dua kali sebagai jawabannya."Sendirian, Dek?"Dek? Sial. Mengapa Dipta merasa dirinya seperti seorang om-om girang saja."Iya." Jani membalas dengan singkat dan kembali fokus memakan es krimnya. Gadis itu kembali asik dengan dunianya sendiri, memandang ke arah jalanan yang mulai sepi pengendara dan menyuapkan es krim ke dalam mulu

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas 8

    Sudah dua hari ini selain sibuk kerja, Dipta juga sibuk untuk menemui satu-persatu perempuan yang sudah ditargetkannya. Kemarin, ia sudah bertemu dengan 3 target pertamanya dan hari ini ia tinggal bertemu 2 sisanya yaitu Maria dan Farhana.Di tengah suasana santai Ruang Protokol yang sedang tidak ada tugas, Dipta masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Dipta bersandar di kursi kebesarannya, menatap ponsel yang menampilkan nomor kontak Maria. Setelah hanya berdiam dan menatap kosong layar ponsel, ia memutuskan untuk menekan tombol hijau berlambang gagang telepon."Halo!" Suara dari seberang menyapa lebih dulu."Hai, Mar.""Kenapa, Mas?" Maria bertanya setelah mendapat balasan dari Dipta."Makan siang nanti free gak?" tanya Dipta. Terdengar kekehan renyah dari seberang telepon."Mau ngajakin lunch bareng? Tumben banget mas Dipta yang maha sibuk ini ngajakin lunch duluan."Dipta tidak bisa menah

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 07

    "Mas Dip, lo udah gak suka sama yang seksi lagi, ya?"Dipta memandang adiknya aneh saat mendapatkan pertanyaan seperti itu."Lo ada masalah apa sih, Bel? Kenapa makin ngawur aja kalo ngomong."Rabel menatap mangkuk bubur yang ada di tangannya. "Ya, aneh aja. Gue tau kok dari tadi lo fokus sama si kameramen cewek yang pake masker dan rambutnya di cepol. Tapi dia bukan tipe lo banget kan, Mas?"Mengingat perempuan-perempuan yang dekat dengan Dipta hampir semuanya mempunyai bodi yang aduhai, tentu saja Rabel merasa aneh."Gue biasa aja kali merhatiinnya, kebetulan aja dia posisinya depan gue. Lagian, gue kenal kok sama dia. Namanya Jani, mahasiswa magang di Protokol."Rabel menatap menyelidik. "Dan lo suka sama dia?""Enggak, lah," jawab Dipta cepat.Rabel mengalihkan pandangan ke depan melihat para pejalan kaki. Mereka berdua masih berada di area yang digunakan untuk Car Free Day dan Dipta mengajaknya untuk mengisi perut sekalian sebelum

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 06

    "Eh, itu bukannya si anak magang?"Bimbim melihat salah satu gadis di sana, dan ia yakin tidak sedang salah lihat."Yang di Protokol, kan?" tanya Zain."Iya, siapa itu nama temennya Kiran?" Raki berganti bertanya."Jani."Bimbim menoleh ke arah Dipta. "Iya, Jani namanya. Inget aja lo, Dip.""Ngapain dia ke sini, apa jangan-jangan mau dugem?" Bian menebak-nebak dengan penasaran."Ya kali orang mau dugem bajunya kek gitu."Mereka mengangguk, membenarkan ucapan Dipta. Melihat pakaian yang dipakai Jani sangat tertutup --sweater dan jeans-- sangat tidak cocok jika digunakan untuk masuk ke Badside."Kalo mau dugem gak masalah juga kali. Dia udah legal gitu," celetuk Bian yang menyesap kopi regalnya."Tapi kayaknya gak mungkin, deh, apalagi kalo gue perhatiin sifat dia. Menurut gue, dia tuh apa ya? Lebih minim, paham gak, sih?"Keempat pria itu sontak menggeleng. Apanya yang harus dipahami jika ucapan Bimbim tidak jelas arah

  • The Larches (Pecundang Hati)   Tugas • 05

    Sebagai seorang lajang, hidup Dipta tidak terlalu mengenaskan. Ia tidak terlalu peduli dengan statusnya karena dengan statusnya seperti ini ia merasa bebas tak terbatas.Namun, beda lagi kalau sudah lajang dan masih tinggal bersama orang tua. Teror menikah setiap hari berdatangan. Bukannya Dipta tak mampu tinggal sendiri, tetapi Yang Mulia Ratu sudah mewanti-wanti Dipta untuk tidak meninggal rumah ini sebelum menikah.Bahkan setelah menikah sang Mami berharap agar Dipta tetap tinggal di sini bersama istrinya kelak.Ia tadi sudah terbangun saat Mami membangunkannya untuk salat Subuh dan setelah Dipta lanjut tidur hingga pukul delapan pagi.Kegiatannya setiap pagi entah weekday ataupun weekand adalah mengecek apakah Bapak ada jadwal kegiatan atau tidak.Bekerja di Protokol membuat Dipta seakan menjadi bayangan Bupati, di mana ada Bupati di situ ada Dipta. Apalagi pekerjaan Bupati kadang tidak mengenal

DMCA.com Protection Status