Share

2. Shi Jiu

Penulis: Sei_30
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-10 18:54:14

Jiu….”

Sekelebat bayangan hilang-timbul bersama gemuruh ombak memekakan telinga. Butiran pasir terasa kasar dan nyata di bawah kaki. Namun embusan angin serasa fatamorgana. Gumpalan awan sehitam arang, kilatan petir bagai amukan dewa Zeus. Dan seorang pemuda bermata emas, menatapnya lekat-lekat.

Jiu…, kami me–”

Suaranya kembali hilang, tertelan keheningan diikuti bising panjang seperti ketukan nada tinggi. Gadis itu mengulurkan tangan, mencoba meraih sosok yang mulai menjauh. Jauh dan semakin jauh, bagai tertelan kegelapan tanpa ujung.

“Tunggu!!” Jiu berseru keras dan terbangun dari tidurnya.

Keringat dingin sebesar biji jagung, jatuh perlahan dari pelipis yang basah. Jantungnya berdebar, bersama deru nafas bergemuruh. Jiu menarik nafas panjang sebelum beranjak duduk dari tidurnya. Gadis itu mengusap kasar wajahnya sebelum melihat jam digital di atas nakas.

Pukul tiga pagi.

“Ck, lagi-lagi bangun jam segini.” Merasa tidak bisa tidur kembali, dia memutuskan bangun dan pergi ke dapur untuk membuat susu hangat. “Semua gara-gara mimpi sialan itu!”

Ini bukanlah kali pertama Jiu bermimpi aneh. Badai ditengah laut, pasir putih sepanjang jalan, dan seorang pemuda bermata emas. Mimpi yang menghantuinya selama seminggu semenjak dia berulang tahun kedua puluh. Hingga menarik rasa penasaran dalam benaknya dan datang ke Pantai Selatan.

“Ya ampun, kaget aku!” Seruan itu berasal dari wanita paruh baya dari balik pintu kamar. “Kamu ngapain jam segini bukannya tidur?”

Jiu nyengir lebar sambil mengangkat gelas berisi susu hangat. “Tidak bisa tidur, Tante. Mungkin karena terlalu semangat liburan ke sini.”

Dwi menepuk pelan pundak ponakannya. “Jangan larut-larut tidurnya, besok kamu mesti bantuin Tante dulu baru main.”

“Siap, Tante.”

Wanita paruh baya itu tersenyum tipis, lalu hendak melangkah menuju kamar kecil. Namun Jiu menghentikannya, memanggil karena ingin bertanya.

“Tante pernah tidak, ketemu saudara dari pihak ayah yang matanya emas?”

Sejenak Dwi terdiam, mengingat-ingat sebelum malah memukul gemas lengan Jiu. “Kamu itu meledek Tante, ya? Ayah kamu itu orang Taiwan, mana ada punya mata emas!”

“Ih, aku tidak meledek kok. Ini Jiu serius tanya, siapa tahu memang ada.”

“Ada-ada saja kamu, mana ada! Sudah, Tante kebelet, nih!”

Jiu tertawa kecil melihat Dwi berlari menuju toilet. Setelah menghabiskan susu hangat, dia memutuskan untuk kembali tidur. Besok, Jiu membutuhkan tenaga ekstra untuk membantu mempersiapkan pembukaan kafe milik Tante Dwi.

Semoga saja, tidurnya tidak akan diganggu lagi oleh mimpi aneh itu.

***

“Hei! Turunkan kardus itu dengan hati-hati! Itu barang pecah belah!” Teriakan dari Tante Dwi terdengar sejak pagi.

Sopir dari mobil jasa pengiriman barang hanya mengangguk. Tidak berani menyahut walau nyatanya, hatinya telah dongkol karena diberitahu berulang kali. Pria paruh baya itu bukanlah anak baru di dunia jasa kirim. Dia tentunya akan hati-hati, namun sepertinya klien satu ini tidak percayaan sekali.

“Tante, barang ini mau disimpan di mana?” Jiu dari dalam kafe bertanya dengan suara keras.

Dwi segera menghampiri keponakannya, lalu menunjuk salah satu ruangan. Jiu mengangguk paham, lalu segera menaruh barang itu disana. Hampir dua jam mereka berkutat merapikan kafe. Setelah jam menunjukan pukul sebelas siang, akhirnya pekerjaan dua perempuan itu selesai.

“Terima kasih, Jiu. Tante kalau manggil orang pasti tidak serapi dan segesit kamu!” kata Dwi sambil memberikan segelas es jeruk.

Jiu menerima minuman dengan raut ceria, dia sangat haus. “Sama-sama, Tante. Lagi pula kapan lagi, Jiu bisa jalan-jalan gratis ke sini.”

“Apa ada kabar terbaru dari ayahmu?” Mulai Dwi setelah mereka diam sejenak. “Tante masih punya kamar kosong untukmu, kalau kamu berubah pikiran.”

Jiu menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. “Makasih, Tante. Mungkin setelah Jiu menyelesaikan kuliah, baru aku bisa terima tawarannya.”

Dwi mengangguk paham, dia mengusap pelan rambut Jiu yang hitam kecoklatan. Lembut dan tebal, seperti mendiang kakak perempuannya. Sang ibu telah lama wafat ketika gadis ini baru berusia lima belas tahun.

“Aku sudah boleh pergi main, Tante?”

Dwi tergelak mendengar pertanyaan keponakannya. Mata coklat Jiu sudah berbinar tak sabar. Mana mungkin tantenya dengan tega melarangnya. Alhasil, Dwi mengangguk, memperbolehkan Jiu bermain sepuasnya di wisata Pantai Selatan.

Jiu segera berganti baju, dengan kaos oblong berlengan pendek warna putih. Mengenakan bawahan hot pants jeans berpotongan high waist. Cocok untuk dirinya yang memiliki tinggi minimalis, alias mungil. Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai ke tempat wisata pantai.

Mungkin karena bukan hari libur, jumlah pengunjung tidak begitu banyak. Jiu memandang hamparan pasir putih sepanjang jalan. Kemudian beralih pada deburan ombak. Berbeda sekali dengan mimpi buruk yang kerap kali menghantuinya. Di sini tidak ada badai, hembusan angin yang membelai wajah pun dapat dia rasakan.

“Sebenarnya,  arti mimpi itu apa?” Jiu bergumam pelan, menatap laut lekat-lekat.

Jiu…’

Suara rendah penuh kerinduan, sama sekali tidak terdengar asing ditelinga Jiu. Namun dia tidak pernah bertemu pemuda bermata emas. Kalaupun pernah, tidak mungkin dia melupakan keunikan dari sepasang iris itu. Bahkan jika ternyata pemuda misterius itu mengenakan softlens.

“Ini benar-benar bodoh!” Keluh Jiu setelah hampir sepuluh menit hanya berdiri diam di tengah pantai. “Lebih baik aku pulang. Ah~ Perutku lapar!”

Begitu Jiu balik badan, suara keras petir terdengar menyambar. Gadis itu sontak menoleh, mata coklatnya membulat sempurna. Bagaimana mungkin tiba-tiba ada guntur di siang bolong. Tidak ada hujan, apa lagi badai, namun nyatanya kilatan petir itu menyambar tepat di tempat Jiu berdiri sebelumnya.

Bulu kuduk sontak berdiri, Jiu berulang kali mengucap rasa syukur karena terhindar dari petaka. Saat dia hendak berlari pulang, atensinya tidak sengaja teralih pada anak-anak rambutnya yang berdiri. Belum sempat mengerti, kilatan petir kembali menyambar dan telak mengenainya.

“Ada yang kesambar petir!”

“Tolong! Tolong!”

Seruan dari para pengunjung masih sayup-sayup terdengar oleh Jiu. Gadis itu tidak bisa membuka mata, terpaksa memejamkan mata akibat silau menerpa. Namun satu hal yang janggal, dia sama sekali tidak merasakan sakit. Benarkah dirinya tersambar petir?

Pertanyaan Jiu terjawab ketika perlahan cahaya menyilaukan itu mereda. Jiu membuka mata hati-hati, namun detik berikutnya kedua iris coklat itu membulat sempurna.

Tidak ada lagi pemandangan Pantai Selatan yang indah. Pasir putih berganti menjadi gundukan tanah basah, awan putih kini sehitam arang. Lautan biru menjadi pemandangan desa luluh lantak dengan puing-puing berserakan. Dan samar-samar bau pembakaran tercium bersama anyir darah tak bertuan.

“Siapa kau?!” Suara menggelegar terdengar dari arah kanan.

Jiu sontak menoleh, dan tanpa bisa dicegah dia berteriak histeris. Saat tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam berwarna emas. Pemilik suara bagai guntur itu tidak lain dari seekor naga berwarna kuning kemerahan. Apakah Jiu tengah bermimpi buruk?

Makhluk legenda dalam mitos dan budaya rakyat china itu berada di depan mata. Tubuhnya panjang dan bersisik seperti ular, kepala mirip buaya dengan dua kumis panjang meliuk liar. Besar tubuhnya menyaingi anak-anak gunung, dengan tinggi hampir menyentuh awan.

“Dasar manusia hina! Berani-beraninya kau mengusik pertarunganku dengan Shenlong!” Herdiknya dengan raungan amarah diakhir kata. “Atau kau berpikir ilmu seni berpedang murahanmu itu, sebanding dengan kekuatan kami?!”

“Kalian memang manusia angkuh tidak berakal! Aku adalah Huanglong, salah satu dari sembilan naga yang diturunkan oleh dewa! Bahkan ribuan tahun bagimu tidak cukup untuk menantangku!”

Huanglong menerjang ke arah Jiu, empat cakarnya terbuka lebar, siap mengoyak. Detik berikutnya sosok lain menyambar Huanglong dari kiri. Tubuhnya meliuk melewati Jiu yang mematung, menatap sosok bersisik biru kehijauan.

“Jangan menggangguku, Shenlong!”

Naga kuning meraung keras, dua cakar depannya berusaha menjauhkan mulut naga biru. Tubuh mereka meliuk liar, seperti ular tengah merayap menuju langit kelabu. Jiu menatap pemandangan ganjil itu dengan rahang hampir jatuh. Ini sungguh mimpi paling realistis dalam hidupnya.

Hujan perlahan turun, mulai membasahi lapangan sebelum berubah deras beserta angin kencang. Jiu terkesiap, mulai menyadari bahwa ini bukanlah mimpi saat tubuhnya basah kuyup. Badai semakin besar, membuat gadis itu mengedarkan atensi, mencari tempat berteduh.

“Berhenti di sana!” Teriakan itu berasal dari seorang pria paruh baya dengan sebilah pedang terangkat ke arahnya.

Sontak Jiu mengangkat kedua tangan, memasang pose menyerah. Sepasang iris coklat itu mengerjap, apa lagi ini? Sekitar lima meter darinya berdiri, terdapat sepuluh orang dengan pakaian tidak biasa menatapnya tajam dan waspada.

“Wah~ gila sih, ini! Mereka pakai hanfu?” Bukannya takut, Jiu malah takjub melihat penampilan mereka seperti pemain drama china.

Tidak hanya Jiu, sepuluh pendekar bela diri dari dua sekte berbeda itu, nyatanya juga dibuat heran dengan penampilan sang gadis. Sebagian dari mereka menundukkan pandangan, beberapa malah secara terang-terangan melihat lekuk kaki jenjang Jiu. Hujan membuat gadis itu basah kuyup, sehingga bentuk tubuhnya tercetak jelas, menambah pesonanya sebagai orang asing.

Salah seorang pemuda, berbisik pada laki-laki yang meneriaki Jiu. Tanpa melepaskan pandangan mereka, keduanya seakan tengah berunding. Gadis itu sama sekali tidak tahu, bahwa 42 jam sebelum kedatangannya di dunia ini. Perkumpulan dari sembilan sekte baru saja gempar setelah berhasil menafsirkan sebuah ramalan.

“Langkah apa yang harus kita ambil, Zhang Feng Yi?”

Meski mereka berdua tidak berada dibawah asuhan master yang sama. Feng Ju menghormati Feng Yi selayaknya senior, karena mengakui kehebatan seni berpedangnya. Terlebih mereka berdua memiliki pangkat yang sama meski jarak umur mereka lumayan jauh.

“Sebaiknya jangan gegabah, para naga bisa kapan saja kembali menghancurkan desa ini.” Feng Yi menatap lima orang junornya, kemudian memberikan perintah.

“Tangkap wanita itu hidup-hidup, dan kurung dia di penjara bawah tanah!”

“Baik, Kakak!”

Jiu terperanjat, ketika lima orang pria mendekatinya, sambil menarik pedang dari sarung di pinggang. Apapun yang baru saja mereka rundingkan, jelas hasilnya buruk bagi sang gadis. Tidak lama setelah dia jatuh di tengah pertikaian dua naga sebesar gunung, kini gadis itu diseret paksa dan dikurung.

Continue…

Bab terkait

  • The Horizon of Jiu   3. Jiu dan Huanglong

    “Hei, keluarkan aku! KE-LU-AR-KAN AKU! Kalian dengar, tidak?!” Jiu tanpa lelah berulang kali berteriak di dalam jeruji kayu.Sudah hampir dua jam dia dikurung, tanpa tahu alasannya. Mendekam di dalam penjara yang terletak di bawah tanah, cahaya samar dari satu-satunya obor menjadi penerang. Terkadang embusan angin dari ventilasi alami membuat bulu kuduk Jiu meremang, Terlebih bau kayu lapuk bercampur bangkai hewan membuat perutnya bergejolak.“Sial betul nasibku!” sungutnya lalu menendang kurungan kayu dan berakhir mengaduh pelan sambil memegang kaki.Suara kunci dibuka terdengar nyaring, membuat rasa sakit di kaki hilang seketika. Jiu menatap seorang perempuan muda berjalan ke arahnya. Gadis itu memakai pakaian berwarna hitam, dengan garis merah tua. Dia membawa satu set pakaian ganti.“Ini pakailah, sangat tidak enak melihatmu berkeliaran dengan pakaian dalam dan basah.”“Pakaian dalam?” Jiu terdiam sejenak, tidak mengerti sebelum melihat pakaiannya sendiri lalu menunjuk diri dengan

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-10
  • The Horizon of Jiu   4. Jiu dan Shenlong

    Daya jangkau suara gemuruh dan tanah bergetar sampai ke tempat Feng Yi dan Feng Ju berkemah. Dua pria dari dua sekte berbeda itu saling pandang, kecemasan terpancar jelas dari mata mereka. Perwakilan dari sekte Lingyin, Feng Ju seakan bersiap mengambil kuda dan pergi ke arah asal suara. Namun langkahnya ditahan oleh Feng Yi.“Kita tidak boleh ikut campur!”“Tapi dia hanya seorang perempuan. Bahkan kita jelas tahu kalau inner qi gadis itu tidak terbuka. Dia bisa mati, Kak Feng Yi!”Pria paruh baya itu tetap diam, lebih mempertahankan perintah dari hati nuraninya. Bukan dia tidak punya hati, jelas Feng Yi sadar bahwa tindakan ini penuh resiko dan kejam tentunya. Namun perlu digaris bawahi, keputusan tidak rasional dari sembilan sekte menunjukan, betapa mereka tengah diambang keputus asaan.“Kita akan menunggu di sini. Jika gadis itu tidak kembali, maka dia memang bukan gadis dalam ramalan.”“Kak Feng Yi–”“–Aku paham Feng Ju,” sebelum pemuda di depannya protes lebih lanjut, dia lebih du

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-10
  • The Horizon of Jiu   5. Pusaka Mutiara Hitam

    Shenlong mengalihkan atensinya dari Naga Huanglong ke pedang di genggaman Jiu. Tangannya terulur dan bersandar di atas punggung tangan Jiu. Tubuh mungil dalam pelukan sang pria tersentak pelan, agaknya terkejut dengan sentuhan tiba-tiba. Shenlong tersenyum tipis, kemudian menatap lekat pada sosok besar di depannya.“Ini akan sedikit sakit,” katanya menarik perhatian Jiu. “Karena aku hanya membuka aliran qi untuk sementara. Cukup untuk mengalahkan Huanglong. Tapi tidak cukup untuk membuatmu baik-baik saja setelah ini.” Manik emas itu beralih ke arah sepasang manik coklat yang menatapnya lekat.“Mengapa kau mau melakukan ini? Menolongku yang bukan siapa-siapa.” Tanya Jiu setelah lama terdiam.“Kau lebih dari yang dirimu pikirkan, Jiu.” Shenlong mulai mengalirkan kekuatannya sedikit demi sedikit melalui sentuhan tangan.“Bagaimana kau tahu namaku? Aku belum memberitahukannya padamu!”Jiu merasakan adanya suatu energi merambat naik di bawah nadi. Dia sontak menoleh ke arah tangan yang men

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-10
  • The Horizon of Jiu   6. Kepingan ke Delapan

    “Kak He Ting!”Gadis bermata hitam itu mengerjap, tersentak pelan, lalu menoleh ke belakang. Seorang anak perempuan berusia delapan tahun, berlari sedikit tertatih ke arahnya. Wajahnya pucat, air mata mengalir deras dari mata bulatnya.“Kak He Ting! Tolong…,” katanya terisak pelan. Dia jatuh berlutut di depan He Ting dan menarik rok sambil tersedu-sedu. “Tolong selamatkan nenek!”“Adik, ada apa dengan Nenek Tao Lan?” Wanita muda dengan rambut hitam panjang sepunggung itu berlutut. Bertanya lembut sambil menyeka wajah dengan ujung lengan. “Bicaralah pelan-pelan, Kakak mendengarmu.”“Ta-tadi ada beberapa pria dewasa datang ke rumah. Nenek keluar untuk bicara dengan mereka, tiba-tiba terdengar suara ribut. A-aku segera keluar untuk melihat, ternyata mereka membawa paksa nenek dan menuduhnya telah mencuri.”Tangan He Ting yang sejak tadi mengusap punggung gadis kecil itu seketika terhenti. Dia berusaha mengatur kembali ekspresi kagetnya.“Apa adik tahu, mereka membawa nenek kemana?”Gadis

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-11
  • The Horizon of Jiu   7. Keputusan Bag. 1

    “...Jiu.”Suara hilang-timbul tidak asing itu terdengar sayup-sayup. Memanggilnya berulang kali, seakan memberitahu sudah waktunya dia kembali. Gadis itu menoleh untuk terakhir kali, pada seorang perempuan muda tengah meregang nyawa sendirian di ranjang jerami. Air mata jatuh membasahi pipi. Hatinya sakit, semakin sakit saat seorang laki-laki muda menerobos masuk dan memeluk He Ting yang telah tiada. Pemuda itu memiliki mata kuning cerah, rambut hitam yang diikat tinggi. Dia menangis tersedu-sedu, beberapa kali membelai hati-hati wajah putih kian memucat itu. “Tidak, jangan tinggalkan aku, He Ting!” Pria itu memohon, suaranya serak dan bergetar.“Mengapa… harus berapa kali lagi kau menderita karena manusia?!” Pria itu mencium kening dan pipi He Ting. Pundak lebarnya bergetar pelan, mencoba menahan rasa sakit di dada dan amarah yang kian menumpuk. “Maaf…” Jiu tiba-tiba berucap. Matanya merah dan sembab, “Maafkan aku… maaf….”“Jiu…”Sekali lagi suara itu memanggilnya. Jiu menoleh, b

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-11
  • The Horizon of Jiu   8. Keputusan Bag. 2

    Dua hari sebelumnya…Feng Ju tidak beranjak dari tempatnya sejak melepas kepergian Jiu. Pemuda itu menunggu dengan sabar dan diam-diam berharap. Semoga dewa berbelas kasih pada sang gadis, dan membiarkan Naga Huanglong tidak membunuhnya. Namun doa dalam diam itu terpaksa pupus. ketika gemuruh langit, dan tanah bergetar tidak lagi nampak. Feng Ju menatap cemas, apakah itu artinya pertempuran telah usai? Lalu bagaimana kabar sang gadis dalam ramalan?Feng Yi menghampiri, begitu juga para anggota dua klan ternama saat ini. Mereka memandang jauh pada lembah di belakang bukit. Mereka semua menunggu, sampai bulan purnama tepat di atas kepala. “Inilah jawabannya, wahai saudaraku.” Feng Yi menepuk pundak Feng Ju. “Dia bukan yang kita cari. Mari pergi tidur. Besok kita harus kembali dan melaporkannya pada sembilan pemimpin sekte.”Feng Ju tidak kunjung bergeming, kakinya seakan mengakar di tanah. Tak lama dia menghela napas panjang. Mengapa pula dia keras kepala seperti ini? padahal gadis it

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-19
  • The Horizon of Jiu   9. Kota Shihezi

    Perjalanan menuju kota Shihezi membutuhkan waktu satu hari bagi para pejuang murim. Untuk manusia biasa, tentu saja lebih lama. Terlebih selama perjalanan ini, Shenlong menggunakan waktu untuk mengajari Jiu mengenai inner ki. Pemuda itu juga membimbing sang gadis melakukan Teknik Enam Kombinasi. Sehingga perjalanan ini menjadi lebih panjang dari yang seharusnya. “Cara mempelajari inner ki bagi pemula adalah melalui latihan pernapasan. Sebab saluran pernapasan adalah kunci tubuh bisa mendapatkan asupan oksigen dengan maksimal.” Shenlong menaruh kedua telapak tangannya di punggung Jiu. “Selain itu dengan pernapasan yang baik, kau bisa membangun fondasi dasar yang kuat untuk menara tenaga dalam dalam tubuhmu.”Jiu menarik napas panjang selama tujuh detik, tahan napas lima detik, lalu menghembuskannya perlahan selama tujuh detik. Dia melakukannya berulang kali sesuai arahan Shenlong. Sementara pemuda itu menyalurkan energi pada tubuh sang gadis. Dia memastikan secara tepat membersihkan e

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-19
  • The Horizon of Jiu   10. Jalan di Taman Kota

    Suara guntur semakin sering terdengar, perubahan cuaca ekstrim ini kerap terjadi di wilayah sekitar Gunung Tianzi. Padahal tidak sampai setengah jam lalu, sinar matahari terasa hangat. Kini udara dingin disertai angin kencang menerpa. Sebagian pedagang sudah menutup jualan mereka, tidak ingin terlambat berteduh. Suara langkah kaki kecil bertalu cepat, dalam gendongannya terdapat bingkisan daging dan keranjang bunga. Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu sesekali menoleh kebelakang. Dia berlari seakan dikejar sesuatu. Zhang Xue, gadis penjual bunga itu belok kiri, masuk ke gang sempit. Napasnya sudah putus-putus akibat lelah berlari. Namun dia harus secepatnya pergi ke tempat aman. Sayangnya, kaki kecil itu terantuk batu, membuatnya jatuh tersungkur. Belum sempat Zhang Xue beranjak, sesuatu memegang kedua kakinya. “Ti-tidak!! Lepaskan aku!” Dia meronta, kedua tangan menggapai apapun yang bisa dijadikan pegangan. “Tolong! Tolong aku!!” Namun kekuatan tangan besar yang mencengkr

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-20

Bab terbaru

  • The Horizon of Jiu   87. Akhir Dari Permulaan

    Sudah sejak pagi buta para warga sibuk bergotong royong. Mereka membersihkan puing-puing bangunan Kuil Kuda Putih. Beberapa rumah mengalami kerusakan akibat pertarungan. Para pedagang juga sibuk membersihkan sisa-sisa festival. Di tengah-tengah kesibukan bersuasana duka dan tegang. Seorang anak kecil menatap ke arah langit. Tidak ada yang menyadari bahwa matahari belum juga nampak. Meski langit sudah terang namun anehnya awan malah berkumpul dan berubah mendung. Tidak lama kemudian titik demi titik hujan membasahi permukaan tanah yang kering. “Hujan? Ini benar-benar hujan?!” Seorang pemuda berseru tidak percaya, menatap ke arah langit.“Demi Naga Panlong! HUJAN TELAH TURUN! HUJAN TELAH TURUN!”“Hore! Hujan! Hujan!”Seluruh warga yang ada di dalam rumah segera keluar ketika mendengar seruan dari luar. Hujan turun dengan deras pagi itu. Sebuah keajaiban setelah ratusan tahun tanah mereka tidak didatangi fenomena alami alam. Di tengah kebahagiaan para warga. Empat naga menatap dari kej

  • The Horizon of Jiu   86. Sampai Jumpa Lagi Kawan

    Ujung kaki berusaha menapak cepat demi kembali melompat. Shi Jiu memaksa tubuhnya, meraih, menyelamatkan yang seharusnya dilindungi olehnya. Semua terjadi begitu cepat, pedang menusuk hingga tembus ke sisi lain. Mao Niu terbatuk, memuntahkan darah segar. “MAO NIU!” Shi Jiu berteriak histeris. Mata emas sang naga pelindung Danau Gang membeku. Tidak mau mempercayai apa yang dia lihat. Dengan menggunakan sisa kekuatannya, ia melompat turun. Berlutut di sebelah Mao Niu bersama Shi Jiu.“Mao Niu bertahanlah… bertahanlah aku mohon!” Panlong menekan beberapa titik di daerah dada Mao Niu demi menghentikan pendarahan. “Pa-Pan…”“Tidak usah bicara, kau diam saja!”“Ti-tidak, a-aku harus bicara…,” Mao Niu menyentuh pelan punggung tangan Panlong. “Mu-mungkin ini terakhir kali kita bicara.” sambungnya lagi yang dibalas gelengan kuat dari Panlong. “Kau akan baik-baik saja! Sama seperti sebelumnya, akan aku berikan energi kehidupanku!”“Tidak, Pan. To-tolong jangan lakukan itu.” Mao Niu terbatuk

  • The Horizon of Jiu   85. Pertarungan Besar Bag. 5

    Lengang sejenak. Huanglong menatap Shenlong lamat-lamat. Jelas dia tahu manusia mana yang dimaksud. Sang kakak tidak akan membiarkan adiknya terluka, apalagi tewas. Keputusannya memiliki alasan kuat, Huanglong juga tidak ingin tahu. Apa yang akan terjadi pada dunia ini jika salah satu dari sembilan naga tewas. Suara bantingan keras terdengar menarik perhatian para naga. Ketua sekte sedang menahan Shi Kang menggantikan Huanglong. Feng Ju terbanting ke dinding, terbatuk keras mengeluarkan cairan merah. Feng Yi terlempar ke samping usai melindungi Xiang De. Qin Xiang dan Xiang De menyerang bergantian. Song Bojing dan Lai Shoushan sudah terkapar tidak jauh dari mereka. Keduanya telah kalah telak sejak beberapa menit yang lalu. Shi Kang sendiri dalam kondisi tidak baik. Efek dari Pil Keabadian hanya bertahan beberapa menit. Semakin cepat habis jika pemakai mengeluarkan kekuatannya tak terkendali. Itulah yang dilakukan Huanglong, membuat Shi Kang menghabiskan seluruh stok Pil Keabadian.

  • The Horizon of Jiu   84. Pertarungan Besar Bag. 4

    Shi Kang lompat menyerang Shi Jiu. Gadis itu dalam kondisi lelah setelah melawan Panlong. Terlebih tidak fokus, setengah tertidur semenjak Pusaka Sisik Ikan masuk ke dalam tubuhnya. Saat ini dia benar-benar tanpa penjagaan siapapun. Tidak hanya Feng Yi yang berusaha berlari mencegah Shi Kang. Tiga pemimpin sekte juga berlari ke arahnya. Berharap berhasil mencegah tragedi. Namun semua percuma, Shi Kang tetap lebih dulu tiba di depan Shi Jiu. Siap membunuh Shi Jiu yang belum juga sadar bersama Panlong dalam pelukannya. “Nona Shi Jiu!” Tepat ketika semua orang merasa putus asa. Gagal melindungi manusia paling penting di muka bumi. Mereka benar-benar melupakan satu hal. Kenyataan bahwa Shi Jiu tidak berkeliling seorang diri. Suara besar dari ledakan terdengar disusul kepulan debu dan pasir. Tepat di tengah-tengah Shi Kang dan Shi Jiu. Sosok pemuda dengan hanfu biru gelap serta berambut hitam bermata emas. Berhasil menangkap pedang Shi Kang dengan mudahnya menggunakan satu tangan.

  • The Horizon of Jiu   83. Pertarungan Besar Bag. 3

    “Kalian semua bukan lawanku!” Shi Kang menggerung marah. Seluruh tubuhnya bersinar dengan aura biru kehitaman. Kekuatan energi Ki mengalir deras di dalam tubuhnya. Membuat dia mampu melayang di udara setinggi satu meter. Qin Xiang bersama Feng Yi sejak tadi saling bahu-membahu demi melawan Shi Kang.“Pastikan dia tidak mengganggu pertempuran Nona Shi Jiu.” Qin Xiang berbisik di samping Feng Yi. Qin Xiang menghalau serangan dari Shi Kang. Pedangnya terayun kuat mementalkan serangan ke kanan. Dari balik punggungnya, Feng Yi muncul melakukan serangan balasan. Tiga kali tebasan lurus dan satu tebasan mendatar.Daya serang terlalu dangkal demi melukai Shi Kang. Pria tua itu membuat tameng transparan dengan pedangnya. Sebelum mengayunkan pedangnya dengan ringan. Mendorong mundur sang pemuda, kembali ke samping Ketua Sekte Kuil Ci’en.“Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi jika Shi Kang benar-benar bertarung dengan Naga Panlong. Aku tidak ingin keadaan bertambah buruk jika ada kemungkinan

  • The Horizon of Jiu   82. Pertarungan Besar Bag. 2

    “Jika tidak ada niat mengalahkanku, maka diam dan pergilah, Shi Jiu!”Ekor besar bersisik sekeras baja itu memukul Shi Jiu tepat di perut. Memantulkannya ke tanah. Debu dan pasir mengepul pekat. Detik berikutnya bayangan hitam melesat. Shi Jiu lompat menyerang ke arah Panlong. Seluruh tubuh Shi Jiu bersinar kuning keemasan. Ia menebaskan pedang berulang kali hingga menimbulkan efek ilusi. Salah satu teknik yang diajarkan oleh Huanglong.“HUJAN METEOR!” Shi Jiu menyerukan nama jurusnya. Tebasan pedang berubah menjadi tetesan cahaya memanjang. Siap menghujam tanpa ampun lawannya. Panlong mendengus kasar saat menangkis serangan seperti mengibas lalat. Shi Jiu menggeram tertahan. “Hei, mengapa aku harus bertarung melawanmu lagi?! Kau sudah aku kalahkan. Cepat berikan pusakamu padaku!” Shi Jiu kembali menyerang, kali ini menggunakan teknik yang diajarkan Longwang. Dari pedangnya muncul riak air memanjang. Ini mengingatkan Shi Jiu pada salah satu acara anime kesukaannya. Seorang pembasm

  • The Horizon of Jiu   81. Pertarungan Besar Bag. 1

    Pertarungan dapat pecah kapan saja. Sebelum itu terjadi, Qin Xiang memberi sinyal kepada semua orang agar mengutamakan Shi Kang. Meski mereka ingin membantu Shi Jiu melawan Panlong. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain mendukung. “Nona Shi Jiu! Kami mengandalkanmu, kami akan berusaha membantu walau tidak banyak.” Feng Ju melesat ke samping Shi Jiu untuk memberi tahu rencana mereka. “Setelah berhasil meringkus Shi Kang. Kami semua akan membantumu menghadapi Panlong. Selama itu, bisakah Nona bertahan?”Belum sempat mendapatkan jawaban dari Shi Jiu. Suara ledakan terdengar disusul teriakan kesakitan. Shi Jiu dan Feng Ju sontak menoleh hanya demi melihat sebagian orang terlempar. Di depan Shi Kang berdiri dua orang pemuda. “Song Bojing, Lai Shoushan?!” Xiang De berseru melihat dua pemimpin sekte. “Bajingan gila. Setelah semua yang terjadi kalian masih berpihak pada Shi Kang?!”“Sudah kepalang tanggung juga, Tuan Xiang De.” Song Bojing menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Kami sud

  • The Horizon of Jiu   80. Generasi Lama dan Baru

    Kemunculan naga Panlong di tengah lapangan arena mengejutkan semua orang. Penonton yang panik saling sikut-menyikut turun dari bangku. Demi menyelamatkan diri dari situasi yang mungkin berbahaya ini. Para prajurit bersama murid-murid sekte Kuil Kuda Putih bertindak cepat. Mereka segera melakukan evakuasi dan berusaha meredakan kepanikan penonton. Kebanyakan dari mereka adalah wisatawan asing dari luar kota. Berusaha dengan tertib mengikuti instruksi dari petugas maupun panitia. “Mengapa tiba-tiba ada naga?!”“Ya Tuhan, aku belum mau mati!”“Cepat jalan! Jangan malah bengong saja, Pak Tua!”Sebagian masih tertinggal di bangku penonton. Tidak seperti yang lain, bereka bergerak cepat masuk dalam barisan demi menyelamatkan diri. Tidak hanya tua-muda, lelaki-perempuan. Mereka semua yang merupakan penonton lokal. Serempak menatap takzim pada Naga Panlong.“Lihat, itu Naga Panlong!”“Puji syukur atas kesempatan ini! Teman-temanku pasti iri denganku.”“Oh, Tuan Naga! Suatu kehormatan kami b

  • The Horizon of Jiu   79. Kemunculan Panlong

    Song Bojing dan Lai Shoushan tampak gelisah di tempat duduk. Meski nama mereka tidak disebut. Tidak butuh waktu lama sampai mereka ketahuan ikut terlibat. Song Bojing berpikir cepat, mencari cara lepas dari situasi ini. Matanya melirik cemas pada Shi Kang yang terlihat tenang.Meski dia terkenal bersumbu pendek. Song Bojing masih bisa mengendalikan diri pada situasi genting seperti ini. Dia tidak meledak-ledak, lalu berakhir memperkeruh masalah yang ada. Pria itu tahu untuk diam, mengamati situasi demi menyelamatkan pantatnya. Meski begitu dia maupun Lai Shoushan merasa was-was. Padahal bukan hanya sekte mereka saja yang ikut terlibat. Kebetulan saja mereka menerima tawaran sebagai juri dan ada di sini. Mengingat ketua sekte Pedang Surga tidak ada di tempat karena mengundurkan diri tiba-tiba. Semakin membuat Song Bojing mengumpat dalam hati.Shi Kang melangkah mendekat. Ia tersenyum ramah, raut wajahnya terlihat tidak merasa bersalah. Tetua sekte berdiri tepat di depan tiga wajah yan

DMCA.com Protection Status