“...Jiu.”
Suara hilang-timbul tidak asing itu terdengar sayup-sayup. Memanggilnya berulang kali, seakan memberitahu sudah waktunya dia kembali. Gadis itu menoleh untuk terakhir kali, pada seorang perempuan muda tengah meregang nyawa sendirian di ranjang jerami.
Air mata jatuh membasahi pipi. Hatinya sakit, semakin sakit saat seorang laki-laki muda menerobos masuk dan memeluk He Ting yang telah tiada. Pemuda itu memiliki mata kuning cerah, rambut hitam yang diikat tinggi. Dia menangis tersedu-sedu, beberapa kali membelai hati-hati wajah putih kian memucat itu.
“Tidak, jangan tinggalkan aku, He Ting!” Pria itu memohon, suaranya serak dan bergetar.
“Mengapa… harus berapa kali lagi kau menderita karena manusia?!” Pria itu mencium kening dan pipi He Ting. Pundak lebarnya bergetar pelan, mencoba menahan rasa sakit di dada dan amarah yang kian menumpuk.
“Maaf…” Jiu tiba-tiba berucap. Matanya merah dan sembab, “Maafkan aku… maaf….”
“Jiu…”
Sekali lagi suara itu memanggilnya. Jiu menoleh, balik lagi menatap sosok pria asing dan He Ting yang kian mendingin.
Seakan ada kekuatan besar, menarik Jiu menjauh dari pemandangan di depan mata. Gadis itu mengulurkan tangan, seakan tidak ingin berpisah. Hatinya sakit, tidak rela jika harus pergi tanpa menghentikan tangis pilu itu.
“Shi Jiu!”
Suara itu berhasil mengembalikan kesadaran Jiu. Gadis itu terbatuk kuat, sontak beranjak duduk. Napasnya sesak, dia seakan kesulitan bernapas. Sentuhan hangat dia rasakan di punggung, tangan besar menepuknya pelan. Membuat Jiu menoleh, melihat siapa pemiliknya.
“Shenlong…” Manik kecoklatan itu mengerjap.
“Minumlah ini, hati-hati, awas tersedak.” Salah satu tangannya menyodorkan kantung air pada Jiu. Sementara tangan lain menahan punggung sang gadis. “Habiskan sampai setengah, kau butuh banyak cairan.”
Jiu mengangguk lemah, menggunakan kedua tangan untuk menopang kantung air dan meneguknya. Setelah berhasil menghabiskan setengah air, dia mengembalikannya pada Shenlong. Pemuda itu dengan hati-hati membaringkan Jiu kembali.
“Kau pingsan dua hari setelah menyentuh pusaka.”
Kening Jiu menyatu mendengarnya, pantas saja seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Sejenak gadis itu merenung, mencoba mengingat lagi. Apa yang dialaminya usai menyentuh pusaka Mutiara Hitam. Perasaan sedih itu masih membekas di relung hati, namun yang tidak dia mengerti adalah mengapa Jiu memiliki rasa itu?
Seakan dia memahami He Ting, melihat pria yang memeluknya menangis. Perasaan bersalah karena harus meninggalkannya lagi membuat Jiu sesak napas. Tunggu, lagi?
“Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?” Suara Shenlong membuyarkan lamunan Jiu. Pria itu menatapnya cemas. “Katakan padaku, di mana yang sakit?”
Jiu terkekeh pelan, melihat Shenlong panik membawa hiburan tersendiri. Padahal mereka baru kali ini bertemu, bagaimana bisa pemuda ini memberikan perhatian lebih. Jika orang lain melihat, mungkin mereka akan menyangka kalau Jiu dan Shenlong sudah lama saling kenal.
“Di mana ular sawah itu?” Bukannya menjawab, Jiu malah balik bertanya. Dia baru ingat keberadaan Naga Kuning penguasa Lembah Suoxi. “Apa dia mati?”
“Wah, maaf sekali telah mengecewakan, Anda.” Sebuah suara terdengar memotong adu tatap Shenlong dan Jiu. Seorang pemuda hampir seusia Jiu duduk tidak jauh dari mereka. “Seperti yang kau lihat, aku masih hidup, belum mati seperti keinginanmu.”
Nada suaranya terdengar jengkel dan sarkas. Jiu menatap lama sosok pemuda berambut hitam pendek, bermata emas, dengan satu anting batu permata hitam di telinga kiri. Wajah rupawan yang tidak kalah dari Shenlong. Penampilan baru itu sedikit mengejutkan, namun melihat kepribadiannya yang masih menyebalkan. Jiu tidak jadi terpesona.
“Justru kalau mati segampang itu. Gelar mu sebagai sembilan naga patut dipertanyakan. Kau tidak menyogok dewa, bukan?” Sindiran keras Jiu dibalas tatapan bingung oleh Huanglong.
“Apa itu menyogok?”
Jiu hampir menepuk dahi mendengarnya. Gadis itu bahkan tidak ada niat untuk menjelaskan apa arti menyogok pada ular sawah satu ini.
“Hei! Jangan menatapku seperti itu!” Huanglong menghardik kesal. Dia tidak suka melihat mata coklat Jiu melihatnya seakan lelah akan sikapnya. Sedetik kemudian sang naga kuning berdecak. “Jangan menatapku seperti itu juga!”
Kali ini Jiu yang berdecak.
“Lagipula apa maksud omonganmu?! Tentu saja aku tidak mungkin mati ditangan manusia rendah sepertimu!”
Mendadak suasana berubah sunyi dan mencekam. Huanglong hampir tersedak saat pedang panjang dan tajam tepat di depan leher. Manik emas tidak asing itu menatapnya tajam dan dingin.
“Huanglong, jaga ucapanmu.”
Seakan waktu saat itu berhenti berputar, padahal kenyataannya tidak sampai sedetik kemudian Huanglong menepis senjata itu. Naga kuning berdehem pelan, berusaha menutupi ketakutannya walau payah.
“Dia yang duluan!” Huanglong menunjuk Jiu dengan kesal. Tidak terima kalau hanya dia yang dimarahi.
“Shenlong, dimana Pusaka Mutiara Hitam?” Jiu memilih untuk mengabaikan Huanglong.
Pemuda itu menarik kembali pedangnya, lalu menoleh ke arah Jiu dengan tatapan lembut. Perubahan sikap yang kentara sekali membuat Huanglong mencak-mencak di ujung sana. Dan membuat Jiu tidak bisa berkata-kata.
“Mutiara Hitam itu masuk ke dalam tubuhmu setelah kau menyentuhnya.”
Manik kecoklatan Jiu sontak membulat sempurna. Dia bahkan sontak beranjak duduk tiba-tiba hingga membuat kepalanya pusing. Shenlong sigap memegang punggung Jiu, menopang tubuh sang gadis agar tidak ambruk.
“Kau baik-baik saja?”
“Tidak, aku tidak baik-baik saja!” Jiu tidak bermaksud meninggikan suaranya. Tapi dia kepalang panik.
“Aku bela-belain menantang naga, untuk mencari jalan pulang. Mungkin saja Pusaka Mutiara Hitam itu jawabannya. Tapi sekarang, benda itu masuk ke dalam tubuhku. Bagaimana cara aku mengeluarkannya?!”
Jiu menatap ke arah Shenlong dan Huanglong. Tidak ada suara dari mereka berdua. Keringat dingin turun perlahan di pelipis Jiu. Perasaannya berubah kacau, sedih, kecewa dan marah menjadi satu. Bagaimana dia pulang?
“Itu pusaka milikmu, Huanglong. Seharusnya kau tahu bagaimana cara merebutnya kembali dariku.”
“Aku tidak mau,” Huanglong menjawab santai. “Selama ini aku selalu merasa terbebani karena harus menjaga Pusaka yang dititipkan Dewa Langit padaku.”
Jiu mengerjapkan mata, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Sementara itu Huanglong tersenyum miring.
“Aku tidak perlu lagi menjalankan tugasku sebagai Sembilan Naga. Itu artinya, aku bebas!”
“Kau bangga menjadi naga pengangguran?” Jiu menatap Huanglong kesal. “Setidaknya selesaikan tugasmu sampai akhir, dasar ular sawah! Beritahu aku cara menarik keluar pusaka ini, dan cara aku mengaktifkannya untuk kembali ke dunia asalku!”
“Apa kau bodoh?” Pertanyaan tiba-tiba Huanglong mengejutkan Jiu.
“A-apa?”
“Pusaka itu tidak punya kekuatan untuk membuka jalan ke dunia lain.”
Perkataan Huanglong bagai petir di siang bolong. Shenlong menatapnya khawatir, dan si Naga Kuning sibuk mengorek telinganya tanpa peduli dunia. Jiu menghela napas panjang, lehernya sakit seakan darahnya naik ke atas kepala.
“Aku harus menemui Feng Yi dan Feng Ju,” ucap Jiu lalu beranjak berdiri.
“Kondisimu belum stabil, Jiu.” Tangan besar dengan jemari lentik itu menahan punggung sang gadis. “Lebih baik kau fokus memulihkan diri dulu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”
Jiu yang berdiri dengan bantuan lengan Shenlong menatap pria itu sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, kesal. Karena apa yang dikatakan pemuda ini benar. Saat ini kondisinya amat payah, berdiri saja susah. Kedua lututnya lemas tidak bertenaga. Namun Jiu juga tidak ingin membuang waktu setelah dua hari berlalu begitu saja.
“Shenlong, apa aku boleh minta tolong?”
“Tentu saja,” jawaban cepat dari Shenlong membuat Jiu tertawa pelan.
Bagaimana bisa laki-laki yang baru ditemui ini begitu mempercayainya. Seakan siap memberikan seluruh nyawanya pada gadis seperti Jiu. Mungkin efek dari ingatan He Ting masih membekas pada dirinya, membuat pikiran negatif dan melankolis melanda.
“Tolong antar aku ke bukit perbatasan lembah.”
Tatapan dari Jiu membuat Shenlong yang sudah membuka mulut untuk menolak jadi kembali bungkam. Pemuda itu mengangguk, dia melingkarkan jubah miliknya untuk menutupi bagian bawah Jiu. Kemudian Shenlong menggendongnya ala putri.
“Selamat tinggal, jangan kembali lagi kalian berdua!” Huanglong melambai dengan gembira.
“Hei! Kau juga ikut, ular sawah!” Jiu menghardik kesal.
Huanglong menggeleng tak mau, namun tatapan yang diberikan Shenlong terlalu menakutkan untuk diabaikan. Jadilah pemuda itu mengikuti dengan bibir cemberut. Pergerakan Shenlong dan Huanglong sangat cepat. Jiu semakin menyadari perbedaan kekuatan mereka dengan manusia biasa.
Shenlong memimpin di depan, bergerak cepat , dalam sekali lompatan dua puluh meter terlewati. Perjalanan menuju bukit tempat terakhir Jiu berpisah dengan Feng Yi dan Feng Ju ditempuh hanya beberapa menit. Berbeda sekali dengan saat Jiu berjalan seorang diri. Setiba mereka di atas bukit, Shenlong menurunkan Jiu dari gendongannya.
Bukit lapang itu nampak lenggang, kosong, dengan sisa-sisa perkemahan yang sudah dirapikan. Jiu tidak perlu berpikir keras, dia hanya harus menerima kalau rombongan itu telah pergi sejak dua hari lalu. Gadis itu jatuh terduduk, Shenlong sontak menghampirinya.
Guncangan hebat terjadi pada batin Jiu. Tubuhnya bergetar pelan, menahan gejolak emosi yang berkumpul menjadi satu. Disaat seperti ini Jiu teringat dengan teman-temannya. Tawa canda yang kerap kali mereka lontarkan dengan topik tidak jelas. Sampai memori terbarunya bersama Tante Dwi. Menonton film di malam hari dengan seloyang pizza dan seliter coca cola.
“...Pulang, aku mau pulang…” Setitik air mata jatuh membasahi tanah. “Aku ingin makan soto ayam buatan Tante Dwi… aku mau nongkrong bareng teman-teman. Aku mau pulang….” Jiu menengadah ke atas langit, menangis sejadi-jadinya.
Shenlong berjalan pelan menghampiri Jiu. Pemuda itu berlutut satu kaki, tangannya meraih pundak gadis itu. Hanya sekali tarikan pelan, bahu mungil sang gadis jatuh bersandar pada dada bidang Shenlong. Jiu menangis tersedu-sedu, mengeluarkan perasaan sedih, marah, bercampur bersama kekecewaan.
Continue…
Dua hari sebelumnya…Feng Ju tidak beranjak dari tempatnya sejak melepas kepergian Jiu. Pemuda itu menunggu dengan sabar dan diam-diam berharap. Semoga dewa berbelas kasih pada sang gadis, dan membiarkan Naga Huanglong tidak membunuhnya. Namun doa dalam diam itu terpaksa pupus. ketika gemuruh langit, dan tanah bergetar tidak lagi nampak. Feng Ju menatap cemas, apakah itu artinya pertempuran telah usai? Lalu bagaimana kabar sang gadis dalam ramalan?Feng Yi menghampiri, begitu juga para anggota dua klan ternama saat ini. Mereka memandang jauh pada lembah di belakang bukit. Mereka semua menunggu, sampai bulan purnama tepat di atas kepala. “Inilah jawabannya, wahai saudaraku.” Feng Yi menepuk pundak Feng Ju. “Dia bukan yang kita cari. Mari pergi tidur. Besok kita harus kembali dan melaporkannya pada sembilan pemimpin sekte.”Feng Ju tidak kunjung bergeming, kakinya seakan mengakar di tanah. Tak lama dia menghela napas panjang. Mengapa pula dia keras kepala seperti ini? padahal gadis it
Perjalanan menuju kota Shihezi membutuhkan waktu satu hari bagi para pejuang murim. Untuk manusia biasa, tentu saja lebih lama. Terlebih selama perjalanan ini, Shenlong menggunakan waktu untuk mengajari Jiu mengenai inner ki. Pemuda itu juga membimbing sang gadis melakukan Teknik Enam Kombinasi. Sehingga perjalanan ini menjadi lebih panjang dari yang seharusnya. “Cara mempelajari inner ki bagi pemula adalah melalui latihan pernapasan. Sebab saluran pernapasan adalah kunci tubuh bisa mendapatkan asupan oksigen dengan maksimal.” Shenlong menaruh kedua telapak tangannya di punggung Jiu. “Selain itu dengan pernapasan yang baik, kau bisa membangun fondasi dasar yang kuat untuk menara tenaga dalam dalam tubuhmu.”Jiu menarik napas panjang selama tujuh detik, tahan napas lima detik, lalu menghembuskannya perlahan selama tujuh detik. Dia melakukannya berulang kali sesuai arahan Shenlong. Sementara pemuda itu menyalurkan energi pada tubuh sang gadis. Dia memastikan secara tepat membersihkan e
Suara guntur semakin sering terdengar, perubahan cuaca ekstrim ini kerap terjadi di wilayah sekitar Gunung Tianzi. Padahal tidak sampai setengah jam lalu, sinar matahari terasa hangat. Kini udara dingin disertai angin kencang menerpa. Sebagian pedagang sudah menutup jualan mereka, tidak ingin terlambat berteduh. Suara langkah kaki kecil bertalu cepat, dalam gendongannya terdapat bingkisan daging dan keranjang bunga. Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu sesekali menoleh kebelakang. Dia berlari seakan dikejar sesuatu. Zhang Xue, gadis penjual bunga itu belok kiri, masuk ke gang sempit. Napasnya sudah putus-putus akibat lelah berlari. Namun dia harus secepatnya pergi ke tempat aman. Sayangnya, kaki kecil itu terantuk batu, membuatnya jatuh tersungkur. Belum sempat Zhang Xue beranjak, sesuatu memegang kedua kakinya. “Ti-tidak!! Lepaskan aku!” Dia meronta, kedua tangan menggapai apapun yang bisa dijadikan pegangan. “Tolong! Tolong aku!!” Namun kekuatan tangan besar yang mencengkr
Langit senja berubah penuh bintang tak lama setelah Jiu dan Shenlong sampai di depan penginapan. Jiu menikmati jalan-jalan sorenya bersama Shenlong. Udara di kota Shihezi sejuk, mengingat wilayah ini terletak tepat di bawah Gunung Tianzi. Tidak hanya itu lampu-lampu gantung sepanjang perjalanan juga menambah keindahan malam kota ini. Namun kedamaian itu seakan ilusi, ketika seorang wanita mondar-mandir di depan penginapan. Bertanya pada pejalan kaki. “Maaf, Kakak. Apakah kalian melihat anak kecil perempuan penjual bunga?” “Maaf, aku tidak lihat.” “Ah! Maaf, Kak! Apakah kau melihat putriku, Zhang Xue?” “Tidak, aku tidak lihat sejak kemarin.” kening Jiu mengerut samar, mengapa nama itu terdengar tidak asing ditelinganya? “Hei, kalian sudah kembali!” Huanglong tiba-tiba menyapa, entah darimana pemuda itu. Muncul begitu saja, mengejutkan Jiu. “Apa terjadi sesuatu, Huanglong?” Jiu bertanya sambil berbisik pelan dan menunjuk wanita di depan penginapan. “Siapa wanita itu?” “Kau ingat
Matahari sudah tenggelam sejak lima menit yang lalu. Udara sejuk kini menjadi sedikit dingin ketika Jiu berjalan di salah satu distrik kumuh. Pertengkaran kecil yang terjadi membuat gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan untuk mendinginkan kepalanya. Seperti yang dikatakan Huanglong, tidak seharusnya Jiu mendesak Shenlong. “Sebenarnya aku paham betul, ini ulah manusia. Tapi karena tidak ada petunjuk apapun, membuatnya terlihat ini ulah Shenlong.” Jiu menendang kaleng bekas saking kesalnya. “Jika aku tidak mengenal Shenlong, mungkin aku juga sepemikiran dengan Huang Jiang.” Suara kaleng yang ditendang Jiu menimbulkan suara gaduh. Gadis itu berjengit, baru sadar dia tidak kenal lingkungan sekitar. Terlebih banyak mata memandangnya ingin tahu, juga melihatnya dengan tajam. Sang gadis menelan ludah gugup, mencoba untuk tetap tenang. Bodoh sekali dia berjalan tanpa tahu arah dan berakhir tersesat di gang kecil. “Kau yakin barangnya sudah siap?” Suara samar-samar terdengar menarik per
Kondisi Jiu di dalam kotak cukup aman, selama gadis itu tidak mengeluarkan suara. Tubuhnya sedikit terguncang, saat beberapa kali merasakan pergerakan. Itu terjadi saat para penjaga sibuk mengeluarkan kotak dari kereta kuda. “Astaga, kotak ini berat sekali!” Seorang penjaga mengeluh saat mengangkat kotak kayu berukuran 24 inchi. “Berapa kilo berat daging ini?!”Dia sama sekali tidak menyadari bahwa apa yang ada di dalam kotak bukanlah tumpukan daging. Dengan susah payah, pemuda itu membawa kotak kayu masuk ke dalam rumah. Begitu dia sampai di ruang tengah, salah satu atasannya memberi arahan. “Beritahu yang lain, kotak isi daging tua simpan di gudang belakang. Sementara daging muda bawa ke bawah tanah.”“Baik, Kak!”Jiu menahan napas ketika mendengar hal itu. Dia lalu kembali merasakan kotak bergoyang pelan. Sebelum tidak lama suara keras terdengar bersamaan hentakan yang dirasakan Jiu. Gadis itu harus menggigit bibir bawah demi meredam teriakannya. Astaga, penjaga satu ini tidak bi
Suara ketukan pintu terdengar dua kali, sebelum seorang pemuda masuk ke dalam ruangan berukuran 6x3. Laki-laki berambut hitam pendek dengan pakaian putih bergaris biru dongker dan celana hitam. Dia menghadap pada seorang pria lebih tua dua tahun darinya. Menyerahkan beberapa gulungan berisi berkas penting. “Kak Feng Ju, ini berkas yang diminta.”Pemuda itu tidak melepaskan fokus pada pekerjaannya meski menjawab saudara seperguruannya. “Terima kasih, kau boleh pergi.”“...”Tidak ada pergerakan membuat atensi Feng Ju teralih pada adik perguruannya. Wu Kong masih berdiri, menunduk, dengan sebuah gulungan berkas yang digenggam erat. Pemuda yang memiliki status tertinggi setelah Wakil Pemimpin Sekte itu menaruh pena bulu. Dia beranjak dari duduk dan menghampiri adiknya. “Apa ada yang ingin kau katakan?”Wu Kong melihat Feng Ju dengan tatapan ragu, “Apakah Kak Feng Ju tidak merasa Tetua Qin agak…, aneh?”“Aneh bagaimana?”Bukannya menjawab, pemuda itu malah melihat sekitar seakan takut a
Di ruang bawah tanah, dengan setidaknya sekitar enam orang tersisa. Suasana tegang sekitar lima menit lalu kini berubah. Tatapan heran dan kaget bercampur jadi satu saat sosok pemuda berambut hitam pendek, memakai satu anting di telinga kanan dengan hanfu kuning lembut muncul begitu saja. Satu pria jatuh terduduk, wajahnya terdapat jejak sepatu milik sang pemuda. Manik hitamnya bersitatap dengan sepasang mata emas menyala. Hal itu tak pelak membuatnya menelan ludah gugup bercampur takut. Belum sempat dia bertanya siapa pemuda ini, suara Jiu lebih dulu terdengar.“Huanglong?!”Pemuda itu menoleh ke belakang, menyeringai lebar sambil berkacak pinggang. Pedangnya ia sampirkan di pundak kanan, gayanya sungguh menyebalkan di mata sang gadis.“Sudah aku bilang, kau pasti butuh bantuan. Si Shenlong itu susah sekali dibilangin dan masih keras kepala mau memantau situasi.” Jiu menghela napas pendek, untuk kali ini dia setuju dengan Huanglong. “Terima kasih sudah datang, Huanglong. Aku memang
Sudah sejak pagi buta para warga sibuk bergotong royong. Mereka membersihkan puing-puing bangunan Kuil Kuda Putih. Beberapa rumah mengalami kerusakan akibat pertarungan. Para pedagang juga sibuk membersihkan sisa-sisa festival. Di tengah-tengah kesibukan bersuasana duka dan tegang. Seorang anak kecil menatap ke arah langit. Tidak ada yang menyadari bahwa matahari belum juga nampak. Meski langit sudah terang namun anehnya awan malah berkumpul dan berubah mendung. Tidak lama kemudian titik demi titik hujan membasahi permukaan tanah yang kering. “Hujan? Ini benar-benar hujan?!” Seorang pemuda berseru tidak percaya, menatap ke arah langit.“Demi Naga Panlong! HUJAN TELAH TURUN! HUJAN TELAH TURUN!”“Hore! Hujan! Hujan!”Seluruh warga yang ada di dalam rumah segera keluar ketika mendengar seruan dari luar. Hujan turun dengan deras pagi itu. Sebuah keajaiban setelah ratusan tahun tanah mereka tidak didatangi fenomena alami alam. Di tengah kebahagiaan para warga. Empat naga menatap dari kej
Ujung kaki berusaha menapak cepat demi kembali melompat. Shi Jiu memaksa tubuhnya, meraih, menyelamatkan yang seharusnya dilindungi olehnya. Semua terjadi begitu cepat, pedang menusuk hingga tembus ke sisi lain. Mao Niu terbatuk, memuntahkan darah segar. “MAO NIU!” Shi Jiu berteriak histeris. Mata emas sang naga pelindung Danau Gang membeku. Tidak mau mempercayai apa yang dia lihat. Dengan menggunakan sisa kekuatannya, ia melompat turun. Berlutut di sebelah Mao Niu bersama Shi Jiu.“Mao Niu bertahanlah… bertahanlah aku mohon!” Panlong menekan beberapa titik di daerah dada Mao Niu demi menghentikan pendarahan. “Pa-Pan…”“Tidak usah bicara, kau diam saja!”“Ti-tidak, a-aku harus bicara…,” Mao Niu menyentuh pelan punggung tangan Panlong. “Mu-mungkin ini terakhir kali kita bicara.” sambungnya lagi yang dibalas gelengan kuat dari Panlong. “Kau akan baik-baik saja! Sama seperti sebelumnya, akan aku berikan energi kehidupanku!”“Tidak, Pan. To-tolong jangan lakukan itu.” Mao Niu terbatuk
Lengang sejenak. Huanglong menatap Shenlong lamat-lamat. Jelas dia tahu manusia mana yang dimaksud. Sang kakak tidak akan membiarkan adiknya terluka, apalagi tewas. Keputusannya memiliki alasan kuat, Huanglong juga tidak ingin tahu. Apa yang akan terjadi pada dunia ini jika salah satu dari sembilan naga tewas. Suara bantingan keras terdengar menarik perhatian para naga. Ketua sekte sedang menahan Shi Kang menggantikan Huanglong. Feng Ju terbanting ke dinding, terbatuk keras mengeluarkan cairan merah. Feng Yi terlempar ke samping usai melindungi Xiang De. Qin Xiang dan Xiang De menyerang bergantian. Song Bojing dan Lai Shoushan sudah terkapar tidak jauh dari mereka. Keduanya telah kalah telak sejak beberapa menit yang lalu. Shi Kang sendiri dalam kondisi tidak baik. Efek dari Pil Keabadian hanya bertahan beberapa menit. Semakin cepat habis jika pemakai mengeluarkan kekuatannya tak terkendali. Itulah yang dilakukan Huanglong, membuat Shi Kang menghabiskan seluruh stok Pil Keabadian.
Shi Kang lompat menyerang Shi Jiu. Gadis itu dalam kondisi lelah setelah melawan Panlong. Terlebih tidak fokus, setengah tertidur semenjak Pusaka Sisik Ikan masuk ke dalam tubuhnya. Saat ini dia benar-benar tanpa penjagaan siapapun. Tidak hanya Feng Yi yang berusaha berlari mencegah Shi Kang. Tiga pemimpin sekte juga berlari ke arahnya. Berharap berhasil mencegah tragedi. Namun semua percuma, Shi Kang tetap lebih dulu tiba di depan Shi Jiu. Siap membunuh Shi Jiu yang belum juga sadar bersama Panlong dalam pelukannya. “Nona Shi Jiu!” Tepat ketika semua orang merasa putus asa. Gagal melindungi manusia paling penting di muka bumi. Mereka benar-benar melupakan satu hal. Kenyataan bahwa Shi Jiu tidak berkeliling seorang diri. Suara besar dari ledakan terdengar disusul kepulan debu dan pasir. Tepat di tengah-tengah Shi Kang dan Shi Jiu. Sosok pemuda dengan hanfu biru gelap serta berambut hitam bermata emas. Berhasil menangkap pedang Shi Kang dengan mudahnya menggunakan satu tangan.
“Kalian semua bukan lawanku!” Shi Kang menggerung marah. Seluruh tubuhnya bersinar dengan aura biru kehitaman. Kekuatan energi Ki mengalir deras di dalam tubuhnya. Membuat dia mampu melayang di udara setinggi satu meter. Qin Xiang bersama Feng Yi sejak tadi saling bahu-membahu demi melawan Shi Kang.“Pastikan dia tidak mengganggu pertempuran Nona Shi Jiu.” Qin Xiang berbisik di samping Feng Yi. Qin Xiang menghalau serangan dari Shi Kang. Pedangnya terayun kuat mementalkan serangan ke kanan. Dari balik punggungnya, Feng Yi muncul melakukan serangan balasan. Tiga kali tebasan lurus dan satu tebasan mendatar.Daya serang terlalu dangkal demi melukai Shi Kang. Pria tua itu membuat tameng transparan dengan pedangnya. Sebelum mengayunkan pedangnya dengan ringan. Mendorong mundur sang pemuda, kembali ke samping Ketua Sekte Kuil Ci’en.“Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi jika Shi Kang benar-benar bertarung dengan Naga Panlong. Aku tidak ingin keadaan bertambah buruk jika ada kemungkinan
“Jika tidak ada niat mengalahkanku, maka diam dan pergilah, Shi Jiu!”Ekor besar bersisik sekeras baja itu memukul Shi Jiu tepat di perut. Memantulkannya ke tanah. Debu dan pasir mengepul pekat. Detik berikutnya bayangan hitam melesat. Shi Jiu lompat menyerang ke arah Panlong. Seluruh tubuh Shi Jiu bersinar kuning keemasan. Ia menebaskan pedang berulang kali hingga menimbulkan efek ilusi. Salah satu teknik yang diajarkan oleh Huanglong.“HUJAN METEOR!” Shi Jiu menyerukan nama jurusnya. Tebasan pedang berubah menjadi tetesan cahaya memanjang. Siap menghujam tanpa ampun lawannya. Panlong mendengus kasar saat menangkis serangan seperti mengibas lalat. Shi Jiu menggeram tertahan. “Hei, mengapa aku harus bertarung melawanmu lagi?! Kau sudah aku kalahkan. Cepat berikan pusakamu padaku!” Shi Jiu kembali menyerang, kali ini menggunakan teknik yang diajarkan Longwang. Dari pedangnya muncul riak air memanjang. Ini mengingatkan Shi Jiu pada salah satu acara anime kesukaannya. Seorang pembasm
Pertarungan dapat pecah kapan saja. Sebelum itu terjadi, Qin Xiang memberi sinyal kepada semua orang agar mengutamakan Shi Kang. Meski mereka ingin membantu Shi Jiu melawan Panlong. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain mendukung. “Nona Shi Jiu! Kami mengandalkanmu, kami akan berusaha membantu walau tidak banyak.” Feng Ju melesat ke samping Shi Jiu untuk memberi tahu rencana mereka. “Setelah berhasil meringkus Shi Kang. Kami semua akan membantumu menghadapi Panlong. Selama itu, bisakah Nona bertahan?”Belum sempat mendapatkan jawaban dari Shi Jiu. Suara ledakan terdengar disusul teriakan kesakitan. Shi Jiu dan Feng Ju sontak menoleh hanya demi melihat sebagian orang terlempar. Di depan Shi Kang berdiri dua orang pemuda. “Song Bojing, Lai Shoushan?!” Xiang De berseru melihat dua pemimpin sekte. “Bajingan gila. Setelah semua yang terjadi kalian masih berpihak pada Shi Kang?!”“Sudah kepalang tanggung juga, Tuan Xiang De.” Song Bojing menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Kami sud
Kemunculan naga Panlong di tengah lapangan arena mengejutkan semua orang. Penonton yang panik saling sikut-menyikut turun dari bangku. Demi menyelamatkan diri dari situasi yang mungkin berbahaya ini. Para prajurit bersama murid-murid sekte Kuil Kuda Putih bertindak cepat. Mereka segera melakukan evakuasi dan berusaha meredakan kepanikan penonton. Kebanyakan dari mereka adalah wisatawan asing dari luar kota. Berusaha dengan tertib mengikuti instruksi dari petugas maupun panitia. “Mengapa tiba-tiba ada naga?!”“Ya Tuhan, aku belum mau mati!”“Cepat jalan! Jangan malah bengong saja, Pak Tua!”Sebagian masih tertinggal di bangku penonton. Tidak seperti yang lain, bereka bergerak cepat masuk dalam barisan demi menyelamatkan diri. Tidak hanya tua-muda, lelaki-perempuan. Mereka semua yang merupakan penonton lokal. Serempak menatap takzim pada Naga Panlong.“Lihat, itu Naga Panlong!”“Puji syukur atas kesempatan ini! Teman-temanku pasti iri denganku.”“Oh, Tuan Naga! Suatu kehormatan kami b
Song Bojing dan Lai Shoushan tampak gelisah di tempat duduk. Meski nama mereka tidak disebut. Tidak butuh waktu lama sampai mereka ketahuan ikut terlibat. Song Bojing berpikir cepat, mencari cara lepas dari situasi ini. Matanya melirik cemas pada Shi Kang yang terlihat tenang.Meski dia terkenal bersumbu pendek. Song Bojing masih bisa mengendalikan diri pada situasi genting seperti ini. Dia tidak meledak-ledak, lalu berakhir memperkeruh masalah yang ada. Pria itu tahu untuk diam, mengamati situasi demi menyelamatkan pantatnya. Meski begitu dia maupun Lai Shoushan merasa was-was. Padahal bukan hanya sekte mereka saja yang ikut terlibat. Kebetulan saja mereka menerima tawaran sebagai juri dan ada di sini. Mengingat ketua sekte Pedang Surga tidak ada di tempat karena mengundurkan diri tiba-tiba. Semakin membuat Song Bojing mengumpat dalam hati.Shi Kang melangkah mendekat. Ia tersenyum ramah, raut wajahnya terlihat tidak merasa bersalah. Tetua sekte berdiri tepat di depan tiga wajah yan