-
Ide menangkap penjahat dengan mendekati hati dan memasuki sarangnya bukanlah ide buruk sama sekali, di dunia kepolisian yang penuh drama kriminal, penegak hukum harus bergerak selicin belut, mempunyai otak selicik rubah, dengan begitu mereka para kriminal yang memang pintar berkelit tidak akan bisa lolos.
Tesa sudah pernah menggunakan trik ini sebelumnya, wajah ayu dan tubuh yang aduhai jelas mampu menarik perhatian kaum adam, belum lagi kepribadian Tesa yang menarik. Goda menggoda adalah hal kecil bagi Tesa. Dan tentu, semuanya berhasil tanpa perlu diragukan.Oke. Kegagalan mungkin ada, tetapi selama Tesa tidak menyerah, pada akhirnya ia akan tetap mencapai apa yang dimaunya.Tesa menemui Raphael. Berbekal keberanian dan juga satu buah kotak makan sebagai umpan ia keluar rumah dan berjalan menuju rumah depan. Rambut Tesa digerai, ia juga memakai pakaian tebal berlapis jaket dan juga syal.Tidak ada yang lebih konyol dari dirinya memakai lipstik dan berdandan tipis-tipis hanya untuk pergi ke rumah tetangga, tetap iya, Tesa melakukannya. Demi untuk keberhasilan dan pembuktian niat di hati.Tesa mengetuk pintu rumah Raphael karena belnya tidak berbunyi. Sudah rusak. Tak terdengar jawaban, Tesa mengetuk lagi, lebih brutal.Ia menahan dingin cukup lama sebelum akhirnya pintu itu terbuka menampakkan seseorang yang Tesa tunggu-tunggu.Tanpa disuruh, Tesa yang kedinginan pun menerobos masuk ke dalam rumah Raphael sebelum lelaki itu bisa mencegahnya. Tesa bisa merasakan tatap mata jengah Raphael karena tingkah lakunya yang tak tahu sopan santun. Tetapi Tesa merasa masa bodoh. Yang terpenting adalah ia berhasil masuk ke dalam sarang, belum sarang sebenarnya, ini adalah sarang kamuflase.Tapi tidak apa-apa, permulaan yang bagus.“Katanya kau anak tetangga yang dekat denganku waktu kecil?” tanya Tesa tiba-tiba sembari melepas slipper berwarna merah muda yang ia gunakan. Lalu kemudian gadis tinggi itu melangkah masuk seakan sedang berada di rumahnya sendiri.Raphael mendesah, tidak begitu mengerti apa yang terjadi namun ia tidak bisa melakukan apa pun bahkan mengusir gadis ini dari dalam rumahnya. Raphael mengikuti langkah Tesa. “Tidak tahu, tidak ingat.”Tesa berhenti melangkah. Dia berbalik dengan mata melebar tak percaya.“Katanya dulu kau suka menciumku, begitu tidak sopannya dirimu jika sampai tidak ingat itu,” lanjut Tesa lagi.Lucunya Tesa mengingatkan seseorang tentang kesopanan saat ini.Raphael membalas tatap itu datar. “Dari tadi kau bilang ‘katanya dan katanya’, jelas-jelas kau juga tidak ingat berani sekali menilaiku.”Kala itu Tesa tak menjawab. Benar juga.“Lagi pula aku tidak peduli dengan masa lalu,” lanjut Raphael lagi, lelaki yang bernilai minus di mata Tesa itu terlihat melengos acuh, dia menarik napas dan berjalan menuju tangga sembari berkata. “Pergi dan tutup pintunya.”Tesa diusir.Sungguh ini merupakan pertama kalinya.“Hei. Tunggu dulu,” cegah Tesa buru-buru. “Kau ingat kalau aku seorang polisi, kan?”Raphael menurut, dia berhenti melangkah. Memutar badan kembali berhadap-hadapan dengan Tesa.Tesa mengerling pelan, salah satu tangannya terangkat dan mengibas rambut ke belakang, mata Tesa berbinar anggun dan gerak halusnya seakan hendak menggoda, lalu dengan manisnya perempuan cantik itu tersenyum.“Kau detective di distrik mana dan devisi berapa?” tanya Tesa dengan suara selembut angin. Tesa jarang sekali mengeluarkan jurus ini, kalau hanya kepepet saja. Dan sudah pasti, bahkan untuk penjahat kelas kakap tidak akan lolos dari godaan titisan Aprodhite ini apa lagi cuma seorang kriminal kelas teri—“Keberatan menjawab.”Sialan.Ekspresi wajah Tesa langsung mendatar. Tesa menarik napas dalam-dalam, bibirnya berkedut ingin mengumpat. “Kau—”“Apa?” sahut Raphael enteng.Tesa mungkin agak kesal, tetapi ia tidak melupakan dengan niatan apa ia datang kemari, buru-buru Tesa tersenyum kembali. “Mau makan malam denganku atau tidak?”Tanpa perlu berpikir Raphael membalas. “Tidak.”Dan setelah menjawab Raphael langsung membalikkan badan, meneruskan perjalanannya untuk menuju lantai atas.Harusnya Tesa lemparkan saja piring ini ke wajahnya yang songong itu!“Jangan-jangan dia tak suka perempuan,” bisik Tesa kesal pada dirinya sendiri. Kalau memang begitu, bagaimana caranya agar bisa mendekati Raphael?Jadi… teman?“Akan sangat bohong kalau aku bilang bahwa aku tidak mengingatmu sebagai seorang maling bunga,” ujar Tesa cukup keras, tidak lagi berakting sok manis atau sok anggun seperti sebelumnya. Menjadi apa adanya kembali, Tesa yang ketus dan judes setengah mati.Raphael yang sudah sampai di lantai dua itu menoleh, menatap Tesa dari kejauhan yang ada.“Aku mengingatmu,” lanjut Tesa sembari menatap sengit Raphael. “Karena kejadiannya baru kemarin.”Raphael tidak menjawab. Namun ia tidak juga pergi, justru terus mendengarkan perkataan Tesa dari atas sana.“Aku tahu kau tidak mengijinkanku naik ke atas jadi tidak ada pilihan lain selain kau yang turun,” kata Tesa sembari memiringkan kepala. “Atau kau mau mengobrol begini saja? Dengan romantis seperti Romeo dan Juliet?”“Ada pilihan lain,” sahut Raphael datar. “Kau pergi dari rumahku karena aku tidak ingin mengobrol denganmu.”Tesa sudah menebaknya, ia tak lagi terkejut. Wajah datar dan perkataan menyelekit. Memang, yang dibutuhkannya hanyalah waktu untuk terbiasa. Saat sudah terbiasa, semua baik-baik saja.“Aku ingin tahu ada di mana bunga itu sekarang,” kata Tesa tanpa menggubris pengusiran Raphael.“Tentu saja di rumah kekasihku,” balas Raphael sambil tersenyum miring. “Tidak mungkin bunga itu ada di rumahmu, kan? Kecuali… kalau kau mau kuberi bunga yang sama.”Menakutkan.Bunga adalah sebuah objek yang indah. Tetapi saat itu diucapkan oleh Raphael semua jadi terdengar mengerikan seolah ada makna tersembunyi dari kalimatnya.Bohong sekali kalau Tesa bilang bahwa dirinya tidak takut.Sebagai seorang polisi yang baru dilantik tiga bulan dan masih menjadi ‘pesuruh’ senior tanpa melakukan pekerjaan penting, tentu Tesa takut. Teka-teki, kecurigaan, dan aura mencekam dari pancaran mata datar bersama kata-kata Raphael membuatnya berdebar takut.Tesa membuang napas, ia melengos selama beberapa detik dan kembali menatap Raphael dengan berani.“Sejauh yang kuingat nama kakak tetangga yang kukenal dulu bernama Leo. Kenapa kau berganti nama?”Raphael tidak langsung menjawab.Dia diam.Selama beberapa detik.“Namaku Raphael dari awal, mungkin kau bermimpi atau apa aku tidak peduli tapi aku ingin kau tahu bahwa kau sudah berhasil mengganggu malamku,” balas Raphael, terdengar seperti kalimat paling serius dari semua kalimat yang pernah diucapkannya pada Tesa. Nyali Tesa pun menciut lagi.Atau harusnya Tesa mencari rekan? Seorang amatir menghadapi kriminal berpengalaman sendirian, itu merupakan ide buruk. Haruskah Tesa meminta bantuan Mason? Atau Kemal? Tetapi apakah mereka bisa percaya dengan apa yang dikatakan Tesa? Tanpa adanya bukti?Raphael berlalu, matanya tak putus menatap Tesa dengan tajam.Lalu saat lelaki itu hilang ditelan pintu, Tesa merasa kakinya lemas, Tesa menarik napas dalam-dalam dan membuangnya.Sarang ini berbahaya. Sungguh berbahaya.Buru-buru Tesa meletakan piring yang dibawanya ke atas meja, saat sedang meletakan piring itu matanya tanpa sengaja melihat sebuah foto asing, dua orang perempuan bersama anak laki-laki yang berusia sekitar lima atau enam tahunan. Anak kecil ini Raphael, dia tak berubah begitu banyak setelah dewasa, tetapi yang aneh adalah siapa dua orang perempuan ini?Satu perempuan di foto itu mempunyai wajah orang asia, berambut pendek dan memakai seragam polisi berwarna biru. Sedangkan yang satu lagi bersurai pirang, parasnya khas orang barat, dia juga memakai seragam polisi.Tesa mengeluarkan ponselnya, lalu memfoto gambar dalam bingkai tersebut. Setelahnya ia keluar dari rumah Raphael cepat-cepat.“Dia tidak boleh tahu kalau aku sedang mencurigainya soal Elana Dey,” ujar Tesa pada dirinya sendiri sembari berjalan menuju rumahnya, ia melirik ke belakang. “Apa aku harus minta tolong ibu kiat-kiat mendekati seorang pria? Besok akan kucoba lagi.”--
-Perempuan tinggi yang rambutnya bergelombang indah itu mendesah kesal, jemari berkuku panjangnya sibuk menekan layar ponsel dengan cepat, mengirim pesan pada seseorang, dan kemudian ia menempelkan ponsel itu ke telinga.Dering kosong terdengar lama sampai akhirnya operator mengatakan bahwa nomor yang Tesa hubungi sedang tidak aktif.“Dia tidak mungkin benar-benar keluar, kan?” ujar Tesa pada dirinya sendiri, matanya sibuk menatap layar ponselnya sendiri sementara jemarinya mengetik, mengetik pesan ancaman yang tidak main-main bar-barnya. "Akan kubunuh kalau dia betulan melakukannya tanpa diskusi denganku.”Sebagai seorang teman seperjuangan, Tesa benar-benar tidak terima dengan tingkah gila kawannya yang mendadak itu.“Kemal?”Seseorang datang membawakan dua cup kopi di tangan. Perempuan yang tidak lebih tinggi dari Tesa itu memberikan satu kopi di tangannya pada Tesa.Tesa menerimanya, lalu mengangguk singkat, pada Bianca— teman kerja seangkatan yang berbeda devisi itu.“Dia
--Salah satu cara untuk mengurangi frustasi dalam diri tidak lain tidak bukan adalah dengan melakukan pekerjaan fisik yang berat, lelah fisik yang teramat sangat sangat ampuh dan akan mampu membuat pikiranmu teralihkan, sepertinya semua orang tahu tentang jurus jitu itu dan Tesa menjadi salah satu orang yang gemar mempraktikannya.Sudah dibuktikan, dan lumayan manjur.Jika ada pikiran membandel atau emosi berlebihan lebih baik salurkan emosi itu menjadi kegiatan fisik saja, Tesa yakin hasilnya akan sempurna. Meski pikiran itu tidak bisa sepenuhnya terhapus dan dirimu menjadi tenang seketika, tetapi setidaknya hal itu memberimu waktu untuk bernapas dari rasa pening yang membobardir.Benar. Tesa sedang pusing.Pusing kenapa? Karena Anna yang tidak berhenti mengomel padanya atau karena Raphael yang terlalu misterius hingga Tesa tidak bisa menerawang apa yang ada di pikiran lelaki tampan itu? Sebenarnya dua-duanya benar, hanya saja kali ini pening di kepala Tesa lebih menjadi-j
TDLM 09--Tips dan trik yang Mason berikan tidaklah manjur. Tesa bisa tahu itu semua bahkan sebelum ia memraktikkannya. Dilihat dari trek rekor Mason yang selalu menyanjung wanita hanya memang benar banyak wanita yang luluh karena disanjung demikian, tapi tidak dengan Tesa. Dan Tesa memiliki sifat juga kekebalan hati mirip-mirip dengan Raphael. Jika Tesa menjadi cabai merah untuk mendekati Raphael sepertinya akan gagal, Raphael jelas bukan orang yang menyukai wanita cabai.Berhubung Tesa memiliki otak yang cukup pintar, tak butuh waktu lama baginya untuk tahu apa yang harus dilakukan. Kebalikan dari wanita cabai adalah wanita keras kepala dengan kesan frigid. Tentu, harus terlihat pintar dan mandiri juga.Tesa bisa berpura-pura seperti itu.Ia memang sudah mandiri dan pintar, jadi Tesa hanya harus berpura-pura menjadi seorang yang keras kepala dan frigid— bersikap seolah ia tidak tertarik dengan laki-laki atau hal-hal seksual. Intinya Tesa hanya perlu jadi dirinya sendiri dan be
--“Aku tahu kau terkejut karena pengakuanku yang mendadak ini, tetapi jangan sungkan.”Kata orang, robot selamanya akan tetap jadi robot.Tesa tidak benar-benar memikirkan kalimat konyol itu sebelum hari ini, ia melihat sendiri bagaimana kakunya manusia bahkan sampai pantas disebut dan dinggap sebagai robot.“Ini hari pertama kita?”Raphael tidak menghargai pengakuan seduktif dan romantis dari Tesa, lelaki itu hanya diam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Matanya memandang Tesa dengan pandangan yang aneh, entah apa.Bahkan Tesa berkali-kali memastikan.“Jawabannya?”Bahkan sampai membuat Tesa naik pitam.“Kau tidak tiba-tiba bisu, kan?”“Raph!”“Aku suka padamu! Ayo pacaran denganku!”Raphael justru cuma membuang napas dan dengan santainya membenahi perkakasnya, lelaki yang sialnya tampan dan tidak punya hati itu berlalu dari rumah Tesa, membiarkan Tesa yang masih duduk di meja dengan mulut terbuka.Tesa malu sekali mengakui ini tetapi harga dirinya benar-benar koyak.Ia
--“Detektif Seavey menolakmu, ya?”Rasa-rasanya Tesa sudah lelah menyembunyikan wajah dari rekan-rekan kerjanya yang terang-terangan meledek karena informasi memalukan yang ia sebar sendiri secara tidak sengaja.Memang bukan hal besar, Tesa bisa mengatasinya dengan berpura-pura tidak peduli. Biasanya juga begitu, tetapi... oke, Tesa memang sudah berpura-pura tidak peduli dan mengabaikan semua omong kosong yang rekan-rekannya lontarkan sebelum kemudian ia berpapasan dengan Raphael dan lelaki itu terlihat melirik sambil memberikan senyum miring pada Tesa.Dengar? Senyum miring! Sengaja!Dasar tahi!Tesa meremas cup kopinya dengan perasaan kesal, ia tidak melepas mata dari punggung Raphael yang menjauh.Tesa melirik ke samping menggunakan ekor mata, mendengkus pelan.Tesa kira tidak akan ada yang tahu, tetapi ternyata, ada yang menyadari hal itu.Bianca. Ish! Kenapa ia harus punya teman yang peka begini sih!“Iya, kan?” ulang Bianca lagi. “Pasti kau menyatakan cinta pada Rapha
Sebelumnya tidak pernah seperti ini.Bahkan saat sedang berusaha menjilat seseorang skill yang Tesa kerahkan tidak main-main hingga ia hampir tidak pernah gagal. Jadi, wajar saja jika saat ini Tesa merasa jatuh harga diri.Ia sudah melakukan beberapa hal untuk bisa lebih dekat dengan Raphael, tetapi hasilnya masih kosong. Boleh Tesa akui, Raphael memang cukup keras, sepertinya apa yang dibilang Bianca soal gosip yang beredar itu benar adanya, kalau begini caranya, Tesa tidak boleh menargetkan hati atau birahi lelaki itu, ia harus mendekati Raphael dengan cara lain.Tapi apa lagi?Kesan pertama saat bertemu saja sudah hancur, Tesa tidak bisa bersikap seolah-olah ia ingin berteman dengan Raph.Bertanya soal kasus dan berpura-pura menjadi polisi yang bodoh? Agar bisa menyusup masuk ke dalam hidup detektif terhebat di distrik ini?Tapi Tesa tidak suka jika dirinya dianggap bodoh. Lebih-lebih oleh manusia sejenis Raphael, tidak bisa, tidak bisa, pokoknya harus cari cara yang lain.
Malam itu nyaris beku.Pertanda musim dingin akan segera datang. Membawa segenap bencana campuran antara hujan, salju, serta hidung berair yang kebanyakan orang benci.Jemari lentik gadis bersurai hitam panjang itu menggeser layar ponsel, ingin cepat-cepat pulang. Ia tidak pernah suka musim dingin. Sekarang pukul sepuluh. Tesa mengangkat tangan dan mendesah, dua menit lagi tugasnya selesai.Tesa tidak akan mengalami ini, berdiri di tengah malam yang dingin dengan mata kritis. Kalau saja dulu ia mematuhi keinginan ibunya menjadi seorang model alih-alih menyia-nyiakan tubuh tinggi serta wajah cantiknya untuk mengintai buronan dengan mata mengantuk.Gadis yang genap berusia dua puluh lima bulan kemarin itu memfokuskan pandangan di balik kacamata hitam yang ia pakai, ia menghela napas, membenarkan sedikit letak beret yang sejak pagi bertengger di kepalanya, menjejalkan tangan berharga dalam saku mantel berwarna oranye muda.Lagi. Harusnya ia menuruti kata-kata Kemal, rekan satu tim dari d
"Sudah berapa kali kubilang jangan pakai pakaian begitu lagi!"Pagi itu Tesa baru saja masuk melewati pintu masuk kantor kepolisian tempatnya mengabdi, dan bukannya selamat pagi ia justru mendapati sapaan aneh dari senior wanita yang selalu mengatakan hal yang sama setiap harinya. Seperti biasa pula Tesa tak mengindahkan.Gadis jangkung yang rambutnya digerai itu dengan santai duduk di kursi miliknya. Mendesah lelah ketika mendapati meja kerjanya lagi-lagi penuh dengan minuman serta makanan-makanan ringan dengan satu kertas pesan kecil."Operasi kita kemarin sepenuhnya gagal, kau jadi pusat perhatian karena pakaianmu!" Wanita berbalut mantel hitam di sebelah biliknya berbicara lagi. Kali ini lebih seperti mendesis. Menatap Tesa yang tengah sibuk membenahi meja. “Kau pikir fashion penting saat sedang mengintai buronan?!”"Jangan salahkan pakaianku." Tesa mulai menyalakan komputernya. Mengambil satu teh botol, membuka tutupnya lalu meneguknya santai. Tak menoleh ke meja samping sedikit
Sebelumnya tidak pernah seperti ini.Bahkan saat sedang berusaha menjilat seseorang skill yang Tesa kerahkan tidak main-main hingga ia hampir tidak pernah gagal. Jadi, wajar saja jika saat ini Tesa merasa jatuh harga diri.Ia sudah melakukan beberapa hal untuk bisa lebih dekat dengan Raphael, tetapi hasilnya masih kosong. Boleh Tesa akui, Raphael memang cukup keras, sepertinya apa yang dibilang Bianca soal gosip yang beredar itu benar adanya, kalau begini caranya, Tesa tidak boleh menargetkan hati atau birahi lelaki itu, ia harus mendekati Raphael dengan cara lain.Tapi apa lagi?Kesan pertama saat bertemu saja sudah hancur, Tesa tidak bisa bersikap seolah-olah ia ingin berteman dengan Raph.Bertanya soal kasus dan berpura-pura menjadi polisi yang bodoh? Agar bisa menyusup masuk ke dalam hidup detektif terhebat di distrik ini?Tapi Tesa tidak suka jika dirinya dianggap bodoh. Lebih-lebih oleh manusia sejenis Raphael, tidak bisa, tidak bisa, pokoknya harus cari cara yang lain.
--“Detektif Seavey menolakmu, ya?”Rasa-rasanya Tesa sudah lelah menyembunyikan wajah dari rekan-rekan kerjanya yang terang-terangan meledek karena informasi memalukan yang ia sebar sendiri secara tidak sengaja.Memang bukan hal besar, Tesa bisa mengatasinya dengan berpura-pura tidak peduli. Biasanya juga begitu, tetapi... oke, Tesa memang sudah berpura-pura tidak peduli dan mengabaikan semua omong kosong yang rekan-rekannya lontarkan sebelum kemudian ia berpapasan dengan Raphael dan lelaki itu terlihat melirik sambil memberikan senyum miring pada Tesa.Dengar? Senyum miring! Sengaja!Dasar tahi!Tesa meremas cup kopinya dengan perasaan kesal, ia tidak melepas mata dari punggung Raphael yang menjauh.Tesa melirik ke samping menggunakan ekor mata, mendengkus pelan.Tesa kira tidak akan ada yang tahu, tetapi ternyata, ada yang menyadari hal itu.Bianca. Ish! Kenapa ia harus punya teman yang peka begini sih!“Iya, kan?” ulang Bianca lagi. “Pasti kau menyatakan cinta pada Rapha
--“Aku tahu kau terkejut karena pengakuanku yang mendadak ini, tetapi jangan sungkan.”Kata orang, robot selamanya akan tetap jadi robot.Tesa tidak benar-benar memikirkan kalimat konyol itu sebelum hari ini, ia melihat sendiri bagaimana kakunya manusia bahkan sampai pantas disebut dan dinggap sebagai robot.“Ini hari pertama kita?”Raphael tidak menghargai pengakuan seduktif dan romantis dari Tesa, lelaki itu hanya diam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Matanya memandang Tesa dengan pandangan yang aneh, entah apa.Bahkan Tesa berkali-kali memastikan.“Jawabannya?”Bahkan sampai membuat Tesa naik pitam.“Kau tidak tiba-tiba bisu, kan?”“Raph!”“Aku suka padamu! Ayo pacaran denganku!”Raphael justru cuma membuang napas dan dengan santainya membenahi perkakasnya, lelaki yang sialnya tampan dan tidak punya hati itu berlalu dari rumah Tesa, membiarkan Tesa yang masih duduk di meja dengan mulut terbuka.Tesa malu sekali mengakui ini tetapi harga dirinya benar-benar koyak.Ia
TDLM 09--Tips dan trik yang Mason berikan tidaklah manjur. Tesa bisa tahu itu semua bahkan sebelum ia memraktikkannya. Dilihat dari trek rekor Mason yang selalu menyanjung wanita hanya memang benar banyak wanita yang luluh karena disanjung demikian, tapi tidak dengan Tesa. Dan Tesa memiliki sifat juga kekebalan hati mirip-mirip dengan Raphael. Jika Tesa menjadi cabai merah untuk mendekati Raphael sepertinya akan gagal, Raphael jelas bukan orang yang menyukai wanita cabai.Berhubung Tesa memiliki otak yang cukup pintar, tak butuh waktu lama baginya untuk tahu apa yang harus dilakukan. Kebalikan dari wanita cabai adalah wanita keras kepala dengan kesan frigid. Tentu, harus terlihat pintar dan mandiri juga.Tesa bisa berpura-pura seperti itu.Ia memang sudah mandiri dan pintar, jadi Tesa hanya harus berpura-pura menjadi seorang yang keras kepala dan frigid— bersikap seolah ia tidak tertarik dengan laki-laki atau hal-hal seksual. Intinya Tesa hanya perlu jadi dirinya sendiri dan be
--Salah satu cara untuk mengurangi frustasi dalam diri tidak lain tidak bukan adalah dengan melakukan pekerjaan fisik yang berat, lelah fisik yang teramat sangat sangat ampuh dan akan mampu membuat pikiranmu teralihkan, sepertinya semua orang tahu tentang jurus jitu itu dan Tesa menjadi salah satu orang yang gemar mempraktikannya.Sudah dibuktikan, dan lumayan manjur.Jika ada pikiran membandel atau emosi berlebihan lebih baik salurkan emosi itu menjadi kegiatan fisik saja, Tesa yakin hasilnya akan sempurna. Meski pikiran itu tidak bisa sepenuhnya terhapus dan dirimu menjadi tenang seketika, tetapi setidaknya hal itu memberimu waktu untuk bernapas dari rasa pening yang membobardir.Benar. Tesa sedang pusing.Pusing kenapa? Karena Anna yang tidak berhenti mengomel padanya atau karena Raphael yang terlalu misterius hingga Tesa tidak bisa menerawang apa yang ada di pikiran lelaki tampan itu? Sebenarnya dua-duanya benar, hanya saja kali ini pening di kepala Tesa lebih menjadi-j
-Perempuan tinggi yang rambutnya bergelombang indah itu mendesah kesal, jemari berkuku panjangnya sibuk menekan layar ponsel dengan cepat, mengirim pesan pada seseorang, dan kemudian ia menempelkan ponsel itu ke telinga.Dering kosong terdengar lama sampai akhirnya operator mengatakan bahwa nomor yang Tesa hubungi sedang tidak aktif.“Dia tidak mungkin benar-benar keluar, kan?” ujar Tesa pada dirinya sendiri, matanya sibuk menatap layar ponselnya sendiri sementara jemarinya mengetik, mengetik pesan ancaman yang tidak main-main bar-barnya. "Akan kubunuh kalau dia betulan melakukannya tanpa diskusi denganku.”Sebagai seorang teman seperjuangan, Tesa benar-benar tidak terima dengan tingkah gila kawannya yang mendadak itu.“Kemal?”Seseorang datang membawakan dua cup kopi di tangan. Perempuan yang tidak lebih tinggi dari Tesa itu memberikan satu kopi di tangannya pada Tesa.Tesa menerimanya, lalu mengangguk singkat, pada Bianca— teman kerja seangkatan yang berbeda devisi itu.“Dia
-Ide menangkap penjahat dengan mendekati hati dan memasuki sarangnya bukanlah ide buruk sama sekali, di dunia kepolisian yang penuh drama kriminal, penegak hukum harus bergerak selicin belut, mempunyai otak selicik rubah, dengan begitu mereka para kriminal yang memang pintar berkelit tidak akan bisa lolos.Tesa sudah pernah menggunakan trik ini sebelumnya, wajah ayu dan tubuh yang aduhai jelas mampu menarik perhatian kaum adam, belum lagi kepribadian Tesa yang menarik. Goda menggoda adalah hal kecil bagi Tesa. Dan tentu, semuanya berhasil tanpa perlu diragukan.Oke. Kegagalan mungkin ada, tetapi selama Tesa tidak menyerah, pada akhirnya ia akan tetap mencapai apa yang dimaunya.Tesa menemui Raphael. Berbekal keberanian dan juga satu buah kotak makan sebagai umpan ia keluar rumah dan berjalan menuju rumah depan. Rambut Tesa digerai, ia juga memakai pakaian tebal berlapis jaket dan juga syal.Tidak ada yang lebih konyol dari dirinya memakai lipstik dan berdandan tipis-tipis hanya untu
“Tidak mungkin.”Berapa kali pun Tesa memikirkannya, jawaban di kepalanya masih sama. Tidak ada. Semuanya tidak mungkin. Lelaki itu adalah kakak tetangganya dulu? Meski hanya mengingat sebagian kecil dan samar, tetapi Tesa bisa merasakan sifat yang bertolak belakang.Maksudnya, sejauh yang Tesa ingat, kakak tetangganya dulu sangatlah baik, sangat, bahkan untuk ukuran seorang anak-anak dia sangat baik. Berbanding terbalik dengan Raphael yang dilihatnya sekarang.Seperti yang Tesa bilang sebelumnya, semua orang bisa berubah, setelah lama menghilang Tesa tidak tahu kehidupan macam apa dan kejahatan apa saja yang kiranya bisa dilakukan Raphael.Tesa suda memperingati ibunya untuk tidak terlalu dekat atau sok akrab dengan lelaki penghuni rumah depan itu, dan sudah pasti, Anna mengabaikannya.Tesa memandangi langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong, gadis cantin yang sedang berebah diri dengan pikiran kalut itu kemudian menoleh ke arah pintu balkon yang tertutup tirai.“Aku jelas tida
Dalam satu sekon, Tesa merasa ragu bahwa yang dilihatnya itu nyata atau Cuma halusinasi semata.Tetapi setelah melihat lelaki itu melengos acuh dan berputar kembali memasuki rumah, Tesa tidak bisa tidak percaya bahwa dia— benar-benar dia. Dia laki-laki yang kemarin. Dia lak-laki yang membuat rekan tim devisi mengklaim bahwa Tesa berkhayal dan bahkan gila. Dia orang yang membuat Tesa merusak rekor bagus dalam hidupnya dengan bekerja setengah hari.Jika pun takdir benar-benar nyata, maka Tesa yakin semesta sedang berpihak padanya. Ada berjuta-juta rumah kosong di kota ini, tetapi dia justru pindah ke depan rumah Tesa.Kebetulan yang amat indah. Yang menambah kelegaan sesaat di jiwa tetapi juga menghadirkan pening berlebihan di kepala.Sorot matanya datar, bahkan tampak tak terkejut saat melihat kehadiran Tesa, seolah mereka tidak pernah bertemu sebelum ini, seolah Tesa tidak memergokinya membawa bunga yang digantungnya di rumah Elana Dey.Penjahat berdarah dingin biasanya memang tidak