Pagi ini mendung, seperti biasa. Bulan ini sudah memasuki musim penghujan. Luna suka musim hujan.
Romantis, dingin dan tidak ada matahari.
Hey, dia bukan membenci matahari!Hanya kurang suka saja.Panas.
Mendengar air hujan yang berjatuhan itu sangat menenangkan.
Luna Odet Sagara, saat ini berusia 19 tahun. Tepat hari ini.
Ya, hari ini hari kelahirannya. Tapi tidak ada perayaan istimewa seperti orang lain.
Ia tidak pernah merayakannya.Ia seorang yatim piatu. Kata ibu pengasuhnya di panti, ia ditemukan mereka didepan pintu panti.
Hanya sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk bulan sabit dan batu permata. Dan sebuah surat yang memberitahukan kapan ia lahir, berat badan dan nama lengkapnya.Ibu panti tidak mengganti namanya, ia tetap memakai nama yang tertulis di surat. Kemungkinan, orangtuanya nanti akan menjemputnya bila saatnya tiba. Itulah yang dipikirkan oleh ibu panti. Namun sampai saat sekarang ia sudah 19 tahun hidup, belum pernah ada yang menjemputnya dan mengaku sebagai orangtuanya.
Dulu Luna sangat berharap orangtuanya datang menjemput, namun harapan itu kandas seiring dengan waktu. Saat usianya 15 tahun, ia sudah mengubur harapan itu jauh. Luna mulai berhenti berharap akan kedatangan mereka.
Toh ia juga sudah bahagia dengan keluarganya di Panti.
Itu yang ia pikirkan.
Saat ini, ia sedang bersiap-siap untuk bekerja di kedai kopi. Sejak setahun lalu Luna sudah mulai bekerja disini. Ia sudah tidak tinggal di panti.
Sebenarnya, Ibu panti tidak keberatan jika ia tetap tinggal disana. Hanya saja peraturan panti, anak yang sudah berusia 17 tahun diharuskan tinggal terpisah. Karena dianggap sudah dewasa.
Dan ia memilih menyewa sebuah kamar kost yang terdapat kamar mandi didalam. Sepetak kecil. Tidak apa, yang penting nyaman dan murah. Untuk memenuhi kebutuhannya, ia mengandalkan pekerjaan di kedai kopi ini.
Kebetulan bosnya baik hati."Luna, kamu shift pagi hari ini ya?" Tanya Devi, rekan kerja di kedai kopi tersebut.
"Iya," Luna menaruh tasnya diloker dan mengambil apron hitamnya.
Luna bekerja sebagai pelayan di kedai kopi. Saat ini ia sudah disibukkan oleh banyaknya orang yang datang ke kedai ini. Kedai ini tepat berada di kelilingi gedung perkantoran. Yang datang kesini pun rata-rata adalah para pekerja dari sekitaran gedung ini.
"Hai Luna!" Sapa seorang pria tampan dengan setelan kemejanya.
"Halo Mas Andre. Pesan yang biasa?" Tanya Luna dengan penuh senyum ramah nan manis.
Pria tersebut mengangguk masih dengan senyumannya.
Setelah ia membayar pesanannya, ia duduk di kursi.Lalu namanya dipanggil oleh Luna dan ia segera menghampiri Luna untuk mengambil kopinya.
"Jam kerja kamu selesai kapan, Na?" Tanya Andre.
"Jam 5 sore Mas. Kenapa?" Luna.
"Nanti pulang bareng sama aku ya?" Andre.
"Repot ah Mas. Luna biasa pulang sendiri kok."
"Ya sudah, pokoknya nanti tunggu aku ya kalau aku belum datang. Kita pulang bareng. Aku enggak terima bantahan. See you Luna," Andre mengambil kopinya dan bergegas meninggalkan kedai kopi tersebut. Luna hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap Andre.
"Udah sih, terima aja ajakannya Mas Andre. Dia itu direktur loh. Bukan orang sembarang," Devi menyenggol lengan Luna.
"Bukan seperti itu," Luna.
"Dia udah kasih kode ke kamu loh, kalau dia suka sama kamu Luna," Devi.
"Aku belum mau menjalin hubungan. Aku mau serius bekerja dulu, buat mencukupi kebutuhanku dan juga panti."
"Kamu tuh ya! Sekali-kali nikmati hidup lah. Manusia itu butuh pasangan. Siapa tahu dia juga bisa menyokong biaya hidup kamu dan panti," Devi masih tidak mau kalah.
"Aku belum tertarik kesitu Devi. Udah ah! Ayo kerja, itu pelanggan datang lagi," Luna meneruskan pekerjaannya dan Devi hanya mendengus kesal melihat sikap Luna.
Ia kasihan melihat Luna banting tulang untuk kebutuhannya dan juga membantu biaya kehidupan di panti. Sebenarnya Luna tidak wajib membantu panti, hanya saja, gadis itu merasa sangat berhutang Budi pada Bunda Ria, ibu panti yang mengurusnya sekaligus penanggung jawab panti.
Jadi, setiap bulan pasti Luna memberikan sebagian gajinya untuk panti.
Pukul 16.15 p.m
"Luna, dipanggil Pak Raka. Sekarang ya," Dion, pegawai lainnya memberitahu Luna.
Luna mengangguk dan segera menuju lantai atas, ruangan Pak Raka. Bos dan pemilik cafe ini.
Luna mengetuk pintu ruangan bosnya dan terdengar dari dalam suara Pak Raka yang menyuruhnya masuk.
"Ada apa Pak memanggil saya?" Luna.
"Panggil biasa saja Luna, kita hanya berdua. Duduklah dulu," Raka.
"Baik Kak."
"Rani hari ini tidak bisa masuk shift sore. Kamu bisa menggantikan dia?" Raka mulai bertanya saat Luna sudah duduk.
"Bisa Kak."
"Kamu yakin? Besok kamu kan masih shift pagi."
"Yakin Kak. Lagipula kalau saya bisa double shift hari ini, kan lumayan biar bisa secepatnya bayar kasbon di Kakak. Hehehe..." Luna nyengir dengan polosnya.
"Masalah kasbon saya enggak masalah Luna. Saya takutnya kamu terlalu lelah. Jangan abai sama kesehatanmu, kasbon tenang saja," Raka.
"Iya Kak, makasih perhatiannya. Tapi saya enggak masalah kok kalau double shift hari ini, saya sanggup," Luna masih tersenyum.
"Okay! Kamu istirahat dulu kalau gitu sebelum lanjut," Raka.
"Baik Kak Raka. Saya pamit dulu," Luna beranjak dari kursinya dan segera keluar ruangan Raka.
"Luna!" Teriak seseorang saat Luna sampai dibawah. Ia menoleh kearah suara dan ternyata Mas Andre.
"Mas Andre, sudah pulang ya?" Luna menghampirinya.
"Ayo Na. Kamu sudah selesai kerjanya?" Andre sangat bersemangat mengajak Luna pulang.
"Maaf Mas Andre, hari ini Luna gantiin teman Luna yang sakit. Jadi Luna kerja sampai nanti jam 12 malam," Luna merasa tidak enak pada Andre.
Andre mendengarnya merasa kecewa. Terlihat dari wajahnya, senyumnya langsung hilang.
"Ya ampun, kamu enggak capek?" Andre.
"Enggak Mas. Lagipula ini sudah biasa kok Mas. Maaf ya, Mas Andre jadi repot kesini tapi sayanya yang enggak bisa," Luna sangat merasa bersalah pada Andre.
"It's okay Luna! Lain kali tidak boleh gagal lagi. Kamu hati-hati nanti pulangnya," Andre pamit.
"Mas Andre juga hati-hati," Luna hanya tersenyum melihat kepergian Andre.
Pukul 00.23 a.m
Luna sekarang sedang duduk di halte bus. Ia sedang menunggu taxi lewat. Ponselnya mati akibat kehabisan daya. Jadi ia tak bisa memesan taxi online.
Dari tadi mengapa tidak ada taxi yang lewat. Jalanan sudah sepi sekali, ini sedikit menyeramkan.
Bukan takut hantu, tapi yang Luna takutkan adalah manusia.
Ya, manusia lebih menyeramkan daripada hantu. Tepatnya hati manusia yang tamak.Tiba-tiba ada sebuah mobil Pajero hitam berhenti didepan halte tempat Luna duduk.
Lalu kaca mobilnya dibuka oleh si pengemudi."Nona, maaf bisa beritahu tempat ini dimana?" Pria dibalik kemudi Pajero hitam tersebut bertanya tanpa turun dari mobilnya.
Luna menghampirinya."Alamatnya dimana Mas? Bisa saya lihat?" Luna mendekat kearahnya.
Pria tersebut mengambil sesuatu,lalu ia turun dari mobil. Tanpa aba-aba, pria tersebut membekap mulut Luna dengan sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Luna berontak, namun nihil.
Pria tersebut dengan cepat memasukkan tubuh Luna di jok belakang, dibantu oleh temannya yang ada didalam. Kaca mobil tersebut sangat gelap, sehingga Luna mengira hanya pria tadi sendirian.
Masih setengah sadar, Luna mendengar percakapan mereka."Kita dapat tangkapan bagus malam ini. Bos pasti suka," pria tersebut seraya tertawa penuh kemenangan.
Selanjutnya entah apa yang akan terjadi pada diri Luna. Luna hanya bisa berdoa sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
"Cepat dimakan!" Ucap wanita dengan pakaian seksi. Ia melempar bungkusan nasi itu kearah Luna.Lalu wanita itu keluar kembali dan mengunci pintu tersebut dari luar.Saat ini Luna berada disebuah ruangan kecil, tanpa jendela. Jalan keluar masuk hanya satu, yaitu pintu tadi yang dikunci oleh wanita seksi itu.Luna mengambil bungkusan nasi tersebut, dengan lahap ia memakannya.Walau bagaimanapun ia tetap merasa lapar. Sejak kemarin ia memang belum sempat makan karena kesibukan kerjanya di cafe.Setelah selesai, ia hanya mencuci tangannya dengan air yang ada di botol yang diberikan oleh orang-orang tadi.Entah kenapa, Luna harus mengalami ini. Nasibnya sial sekali.Pintu terbuka kembali, kini sosok pria tua dengan setelan jas lengkap masuk. Ia pegang pipi Luna dengan kencang.
Di tempat lain...."Vin, siapkan mobil sekarang juga. Aku mau ke hotel The Empress," perintah Abimana pada Vino, asisten pribadinya.Vino mengangguk dan segera mengeluarkan mobil dari garasi. Ia mengeluarkan Mercedes Benz kesayangan bos nya.Lalu Abimana terlihat keluar dari pintu depan mansion-nya dengan menggunakan tuxedo hitamnya. Sangat elegan, berkelas.Ya, Abimana memiliki aura berkuasa yang tidak bisa diabaikan. Tubuhnya yang tinggi, tegap, hidung mancung dengan wajah penuh dengan jambangnya, semakin terlihat manly. Kaum hawa tidak ada yang bisa menolak pesonanya.Vino segera membukakan pintu penumpang dibelakang untuk Abimana duduk. Lalu mereka pun segera menuju tujuan mereka malam ini. Abimana duduk tenang dibelakang sibuk dengan Ipad-nya.Akhirnya mereka sampai di lobby
Abimana segera menggendong gadis tersebut dan menuju kamar dilantai dua yang sudah disiapkan oleh pelayan.Gadis itu dibaringkan diranjang dengan perlahan. Abimana menatap bibir ranum gadisnya, sangat menggoda.Abimana melepas dasi kupu-kupunya dengan kasar. Ia tak tahan melihat tubuh polos gadis didepannya. Entah namanya siapa, namun wajahnya memang sangat cantik. Apalagi ketika ia tertidur seperti bayi sekarang ini.Sangat menggemaskan.Abimana mengecup bibir manis itu sekilas. Ia harus menahannya sampai besok. Ia ingin meniduri gadis ini saat ia sadar. Agar ia bisa mendengarkan gadis ini mendesah seraya menyebut namanya.Abimana menyeringai , lalu keluar dari kamar itu.Ia memanggil kembali pelayan."Maya, gantikan pakaian gadis itu dan sekalian tubuhnya dilap saja dengan air hangat," perintah Abimana.Maya, hanya mengangguk dan menunduk hormat. Den
Pukul 01.15 a.mLuna merasakan tubuhnya berat, ia melenguh. Namun ia tetap merasa ada yang aneh ditubuhnya, ia sentuh bagian pinggangnya namun ada tangan kekar berada diatasnya. Ia langsung membuka matanya dan berbalik.Ternyata Abimana.Pria itu, kenapa bisa masuk kesini?Bukankah pintunya sudah ia kunci?"Tidurmu nyenyak sekali, Luna," Abimana memutar tubuhnya menatap langit-langit kamar."Kau__kau mau apa disini?" Tanya Luna terbata. Ia sudah duduk diranjang dengan sedikit menjauh dari Abimana."Mau apa lagi? Tentu saja, aku mau kamu Luna. Malam ini," Abimana bangun dan melepas kancing kemejanya.Luna sudah bergetar takut. Dia tahu hal seperti ini pasti akan terjadi, namun jangan secepat ini. Ia belum siap."Jangan! A__aku belum siap!" Luna beranjak dari ranjangnya dan akan menuju pintu.
Pukul 10.00 a.mLuna mengerjap-ngerjapkan matanya yang terkena sorot sinar matahari dari jendela kamarnya yang sudah dibuka tirainya.Tubuhnya masih telanjang, hanya berbalut selimut tebal hingga batas dadanya. Ia susah bergerak.Pergelangan tangannya memerah akibat ikatan dari ikat pinggang Abimana.Terlebih intinya sangat perih. Rasanya susah sekali ingin berjalan.Lalu pintu kamar terbuka, muncullah Maya. Maya melihat kamar Luna sangat berantakan. Piyama tidur Luna yang robek teronggok dilantai beserta dalamannya. Ada kemeja Tuan Abimana juga yang berserakan di lantai. Seperti sehabis bertempur hebat.Maya segera merapikan pakaian yang berserakan itu. Ia masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. Ia melihat Luna diranjang tengah duduk bersandar pada kepala ranjang, sedang menatap kearah luar jendela. Tampilannya sangat berantakan. Rambut yang acak-acakan. Waj
Sudah tiga hari ini Abimana tidak pulang ke mansion. Ia tidur di apartemennya. Ia menghindari Luna untuk sementara waktu. Sejujurnya, ia merindukan gadis itu. Tidak! Bukan rindu, melainkan merasa bosan. Ia merasakan sepi, tidak ada 'mainan' untuk mengurangi kepenatannya.Biasanya ia akan mendengar makian dari mulut gadis itu dengan sorot mata tajam yang menantang.Namun sejak melihat gadis itu bertekad untuk mengakhiri hidupnya, hati Abimana seperti tergelitik. Ada sesuatu yang mengganggu, namun ia tidak tahu apa. Ia benci melihat Luna dengan berani melukai tangannya. Itu menyentil ego seorang Abimana.Abimana tersinggung. Bahkan, pelacur saja tidak keberatan ia perlakukan seperti itu.Abimana menenggak kembali cairan alkoholnya, selama disini ia hanya ditemani Vodka, Vino dan bodyguardnya. Selesai bekerja, biasanya ia akan mampir ke club. Menghabiskan waktu, menikmati musik,
"Cepat makan sarapan mu!" Abimana membentak kembali Luna.Saat ini mereka sudah duduk berhadapan diruang makan."Aku tidak lapar!" Luna membuang wajahnya, melihat kearah lain dengan beraninya.Abimana berhenti mengunyah rotinya. Ia melempar roti milik Luna kelantai."Mayaaaa!" Abimana berteriak keras memanggil Maya.Maya tergopoh-gopoh menghadap tuannya. Ia tahu, pagi ini sepertinya suasana hati tuannya sedang tidak baik."I__iya Tuan. Ada apa?" Maya menunduk takut."Makan roti itu!"Maya mendongak menatap Abimana tak percaya. Kesalahan apa yang ia buat, sehingga ia dipaksa memakan roti berserakan dilantai?"Tu__tuan?" Maya tidak yakin.Luna sudah melotot kearah Abimana. Sedangkan iblis didepannya hanya tersenyum jahat."Kau tuli?! Makan cepat! Habiskan!" Abimana melotot kearah Maya.Maya gugup dan takut, ia berjongkok mengambil roti tersebut."Jangan Maya!" Luna bangun dari duduknya.
"Luna!" Suara penuh penekanan menggelegar diruang tengah.Dokter Syam sangat terkejut mendengarnya. Sedangkan Luna?Wow, Luna sampai tersedak dibuatnya. Ia tengah meminum teh hangatnya.Luna segera menepuk-nepuk dadanya yang agak sakit karena tersedak air teh.Dokter Syam yang melihat itu segera mengambil tissue dan mengelap tangan dan paha Luna yang terkena air teh.Abimana melihat gerakan Syam, segera melototkan matanya dengan tajam mengarah pada Syam dan Luna. Ia mendekat."Sedang apa kalian, hah?!" Abimana memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya, ia masih berdiri melihat kearah mereka berdua."Kami hanya berbincang saja Bima, ada apa denganmu?" Dokter Syam masih sibuk mengelap paha Luna yang basah, ia belum melihat kearah Abimana."Singkirkan tanganmu, Syam!" Desis Abimana
"Roy belum keluar dari sana, Tuan!" Leo menginformasikan pada Abimana yang sedang duduk di dalam mobil. Menunggu targetnya keluar dari sarangnya."Kita tunggu saja!"Leo menunduk hormat dan ia berdiri tak jauh dari mobil Abimana. Ia memantau terus keberadaan Roy dari informannya melalui earpiece.Abimana duduk di kursi belakang memeriksa senjata apinya berjenis berreta M9, pistol semi otomatis kesayangannya. Hadiah dari seorang teman. Ia pasangkan sebuah peredam pada pistolnya."Tuan, Roy sedang keluar bersama seorang wanita!" Leo datang dan memberi kabar yang memang sudah Abimana tunggu-tunggu. Dua jam dia menunggu Roy dengan sabar. Bagai predator yang sabar menunggu buruannya keluar dari sarangnya.Tanpa berkata-kata, ia keluar dari mobil, berjalan tanpa ragu menuju target. Roy yang sedang tertawa dengan teman wanitanya, belum menyadari kedatangan Abimana.Begitu Abimana berada di jarak dua meter, Roy melihatnya. Ia sangat terkejut dengan kedatangan Abimana. Dengan cepat, ia merogoh
Di sinilah dia sekarang. Abimana berdiri tegak mematung di samping ranjang Luna. Ia sungguh tidak tega melihat kondisi Luna yang masih lemah dan tak sadarkan diri. Rasa bersalah langsung memenuhi relung hatinya."Luna, aku di sini. Akan selalu di sini." Abimana berbisik di samping telinga Luna lalu mengecup keningnya dengan lembut.Ia duduk di sebelah ranjang Luna. Tak lama kemudian, dokter dan perawat masuk. Mereka melakukan tugasnya, seperti biasa memeriksa keadaannya."Kapan Luna akan sadar? Kenapa sampai sekarang, dia belum bangun juga?" tanya Abimana."Kondisi setiap pasien berbeda-beda, bisa lebih cepat sadar atau bisa juga sedikit lebih lama. Saat ini, kondisi Nona Luna sudah stabil. Kita hanya tinggal menunggunya bangun. Berdoa saja," dokter menjelaskan.Dokter dan para perawat keluar dari kamar rawat Luna. Abimana hanya memandangi wajah Luna yang pucat."Bangun, Luna. Bicaralah! Apapun itu ... memakiku pun aku siap mendengarnya.""Aku merindukanmu ... tolong bangunlah."Tubuh
Abimana berjalan gontai menuju ruang ICU bersama dokter Laras melewati lorong rumah sakit."Apakah keadaan Luna tidak baik-baik saja, sehingga harus ditempatkan di ICU? Operasinya berhasil kan?" Abimana."Dokter Farhan yang mengoperasi Nona Luna bilang, keadaannya sejauh ini stabil. Operasi otak yang Nona Luna jalani, adalah operasi besar. Nona Luna harus di ICU untuk mendapatkan pengawasan langsung dari dokter selama masa pemulihan pasca operasi."Wajah Abimana tampak lelah, entah selama perjalanan itu sudah berapa kali ia menghela napas panjang, hanya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya, ia akan mengalami hal seperti ini. Melihat dan hanya bisa menunggu wanitanya yang terbaring belum sadarkan diri."Tapi Luna akan baik-baik saja kan dok?"Dokter Laras menoleh, ada rasa iba saat melihat Abimana cemas, kacau dan lelah.Ia tidak menyangka bisa bertatapan langsung seorang konglomerat yang sangat terkenal dingin dan tak pernah mau terlibat dengan
"Lunaaaa....."Suara Abimana seperti tercekik di tenggorokan, dia hanya terpaku di samping Luna yang terbujur lemah bermandikan darah dan jantungnya yang berhenti berdetak."Buka matamu Luna!" Teriak Abimana seraya air matanya mengalir deras. Ia pun tidak sadar telah menangis tergugu menatap wajah Luna yang sudah pucat pasi."Bangun Luna, kumohon..."Para pengawal yang masih tersisa di lokasi, sangat merasa kasihan pada Abimana. Selama mereka bekerja dengan Abimana, tidak pernah sekalipun melihat Tuannya menangis meraung dan ketakutan seperti itu."Denyut jantungnya sudah kembali! Cepat ke rumah sakit!" Petugas medis segera memerintah sopir ambulance."Cari ponselku di dalam studio, kabari Vino dan Syam segera!" Abimana memberi perintah kepada pengawal yang masih berdiri di depan mobil Ambulance.Tangan Abimana bagai tremor, terus gemetar saat meraih tangan Luna yang sedang berbaring di atas brankar dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di hidungnya.Mobil ambulance melaju cepat
Sejak kepulangan mereka ke Ibukota, hubungan keduanya semakin dekat. Luna sudah pindah kembali ke mansion. Mereka tinggal dan hidup bersama lagi. Dan, Abimana benar-benar serius perihal ingin menikah.Ini sudah bulan kedua rencana pernikahan mereka akan digelar. Tentu saja, Luna merasa ini terlalu cepat. Ia masih belum percaya, bahwa hidupnya akan berubah.Ya, berubah sangat drastis. Dari seorang yatim piatu, kini ia akan mendapat gelar seorang Nyonya Rajendra. Keluarga Rajendra yang sangat dikenal oleh para pengusaha besar dan kaum jetset di negeri ini.Luna bagaikan seorang cinderella. Dalam waktu singkat, ia akan berubah menjadi istri seseorang yang sangat berpengaruh.Luna sudah mengetahui semua perihal pekerjaan Abimana. Dari pekerjaan legalnya dan pekerjaan gelapnya di dunia hitam.Luna hanya berharap, Abimana segera berhenti dari dunia hitam. Bagaimanapun, itu adalah ti
Abimana dan Luna saat ini sedang menikmati waktunya berjalan-jalan ke tempat wisata. Tentu saja beserta para pengawalnya.Abimana tak mau mengambil resiko karena lalai. Kenapa?Dia sadar betul, bahwa ia juga berada di dunia hitam. Tentu saja dunia hitam tidak selamanya akan segan padanya. Mungkin didepannya banyak saingannya yang segan padanya, tapi satu hal yang pasti, rasa iri dan benci akan selalu ada.Di dunia manapun."Bisa tidak, kalau pengawalmu tidak usah ikut?" Luna."Tidak.""Ini aneh, kita berwisata tapi pengawalmu membuat ini seperti sedang di mata-matai," Luna protes."Memang itu tugas mereka. Aku membayar mereka mahal untuk menjaga keselamatan kita. Mau tidak mau, suka tidak suka, you have to accept it," terang Abimana.Luna menghela napasnya, ia melanjutkan memakan makanannya. Saat ini mereka sudah berada d
Kini mereka sudah sampai di hotel tempat Abimana menginap. Mereka sudah memasuki kamar president suite yang dipesan oleh Vino.Vino dan pengawal lainnya diperintahkan Abimana untuk keluar dan memesan kamar tepat disebelahnya, agar saat Abimana membutuhkan mereka cepat tanggap.Abimana melepas kaos polo berkerahnya tanpa melepas celana jeansnya. Ia menghampiri Luna yang sedang duduk di sofa seraya menyetel acara TV."Kau mau mandi dulu atau kita akan ... bermain disini?" Tanya Abimana ketika ia sudah duduk tepat disamping Luna.Luna menoleh kearah Abimana, tatapannya teralihkan ke tubuh tegap dan berotot Abimana. Ia tidak fokus untuk menjawab pertanyaan tadi."Wanna play?" Abimana bertanya kembali seraya menaikkan sebelah alisnya.Ya Tuhan! Luna sangat tergoda dengan pertanyaannya."Ehem, aku mandi saja dulu," Luna ca
Abimana masih berdiri, menatap sang pemilik netra cokelat yang indah didepannya. Tanpa sadar, ia menahan napas untuk sesaat karena masih terkejut dengan sosok yang ada di depannya. Padahal ia sudah tahu bahwa sosok indah itu yang akan menyambutnya. Tapi, ternyata tetap saja ia terkejut."Bi..ma...," ucap Luna akhirnya.Abimana, langsung merengkuh tubuh mungil yang sudah dua bulan ini ia rindukan. Ia hirup aroma tubuh Luna dalam-dalam. Ia mendorong tubuh Luna perlahan semakin kedalam masuk kamarnya. Lalu menutup pintu kamar tersebut dengan kakinya.Luna masih mengerjap-ngerjap dengan serangan tersebut. Ia masih bingung, kenapa Abimana sekarang berada disini?"Luna...aku rindu," ucap Abimana tanpa melepas rengkuhannya."Bima...ini sungguhan?" Hanya itu yang Luna ucapkan."Iya ini aku. Aku datang ... dan tidak akan melepasmu lagi," Abimana men
Sudah di bulan kedua tahap pencarian Luna, namun belum juga menemukan tanda-tanda akan menemukan Luna.Abimana akhirnya pergi menuju tempat kerja Devi, ia seharian duduk didalam mobilnya, mengawasi gerak-gerik Devi.Saat jam pulang kerja, ia juga mengikuti Devi dari belakang. Wanita itu langsung menuju ketempat kostnya. Selanjutnya sampai malam hari, tak ada pergerakan mencurigakan yang dilakukan Devi.Abimana jenuh dan lelah. Sampai malam, belum juga menunjukkan tanda-tanda Devi akan memberikan clue dimana Luna.Saat ia sedang menghidupkan mobilnya untuk pergi dari sana, ia melihat Devi keluar dari pagar kostnya memakai jaket. Akhirnya Abimana urungkan niat untuk pergi, ia kembali membuntuti Devi dari belakang dengan berjalan kaki.Sepanjang gang tempat Devi berjalan, memang tampak sepi. Karena ini memang sudah malam. Abim