Luna mengerjap-ngerjapkan matanya yang terkena sorot sinar matahari dari jendela kamarnya yang sudah dibuka tirainya.
Tubuhnya masih telanjang, hanya berbalut selimut tebal hingga batas dadanya. Ia susah bergerak.Pergelangan tangannya memerah akibat ikatan dari ikat pinggang Abimana.Terlebih intinya sangat perih. Rasanya susah sekali ingin berjalan.Lalu pintu kamar terbuka, muncullah Maya. Maya melihat kamar Luna sangat berantakan. Piyama tidur Luna yang robek teronggok dilantai beserta dalamannya. Ada kemeja Tuan Abimana juga yang berserakan di lantai. Seperti sehabis bertempur hebat.
Maya segera merapikan pakaian yang berserakan itu. Ia masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. Ia melihat Luna diranjang tengah duduk bersandar pada kepala ranjang, sedang menatap kearah luar jendela. Tampilannya sangat berantakan. Rambut yang acak-acakan. Wajah sembab, mata merah dan bengkak.
"Maya, tolong bantu aku ke kamar mandi." Luna berkata dengan wajah datarnya.
Maya merespon dengan cepat, ia menuntun Luna ke kamar mandi tanpa sehelai benang ditubuh Luna. Luna berjalan dengan tertatih-tatih. Ia meringis merasakan perih pada intinya.
Maya membelalakkan matanya tak percaya, tubuh Luna penuh memar dari punggung hingga paha belakangnya. Tubuh putihnya sangat kontras dengan warna lebam ditubuhnya.
Sepanjang leher Luna, banyak terdapat kissmark.Sungguh miris melihat keadaannya."Luna__ tubuhmu." Maya tidak dapat melanjutkan perkataannya. Ia bingung.
Ia mendengar teriakan Luna semalam, ia mendengar suara tangis Luna.Ia mendengar segala umpatan yang keluar dari mulut Luna dan Abimana. Ia mendengar desahan Abimana.Namun ia tak bisa berbuat apa-apa.Kamar Luna tidak kedap suara, tidak seperti kamar Tuan Abimana."Maya, tolong bawakan aku salep anti iritasi dan memar ya." Luna berkata saat ia sudah berdiri didepan wastafel kamar mandinya.
Maya segera keluar kamar mandi dan keluar kamar menuju lantai bawah untuk mengambil kotak P3K.Luna menatap wajah hingga seluruh tubuh polosnya. Wajahnya sudah seperti mayat hidup.
Tubuhnya begitu banyak lebam berwarna keunguan dan di paha belakangnya terdapat garis merah akibat cambukan dari ikat pinggang Abimana.Abimana seperti iblis ketika sedang bercinta. Ia melakukan kekerasan fisik dan ia sangat bergairah saat melihat Luna merasakan kesakitan."Maaf Luna, tapi inilah diriku. Aku bergairah saat melihat wajah kesakitan mu. Itu sangat menggemaskan."
Begitulah semalam ia berkata pada Luna di pertengahan pergulatan panas mereka.
Luna menangis, ia tatapi lekat-lekat dirinya dicermin. Ia sudah kotor, hina, tak bernilai.
Ia melihat botol shampo yang besar, ia lemparkan kearah cermin dengan kencang.Praangg!
Pecahan cermin terlempar ke sembarang arah. Ada beberapa yang mengenai wajahnya hingga ia tergores dan mengeluarkan darah. Ia mengambil pecahan cermin yang ujungnya sangat runcing.
Ia tatap kembali dirinya.
Ini lebih baik, dia sendirian didunia ini.Bahkan Tuhan sekarang tidak berpihak padanya.Ia goreskan dengan penuh tekanan pecahan cermin itu ke pergelangan tangannya hingga robek dan mengeluarkan darah sangat banyak.Ia melihat pergelangan tangannya.
Sakit.Tapi ini akan berakhir sampai disini saja.Tak lama semuanya tampak gelap. Luna terjatuh dilantai.Tak selang berapa lama, Maya muncul membawa kotak P3K permintaan Luna. Betapa terkejutnya ia melihat Luna tergeletak dilantai dengan bersimbah darah.
"Toolooooong!" Teriak Maya. Ia berlari keruangan kerja milik Abimana yang hanya lewat dua pintu saja dari kamar Luna.
Beruntung Abimana hari ini tidak pergi ke kantornya. Ia memilih bekerja dari rumah karena lelah melakukan aktivitas seksnya bersama Luna semalam.Abimana terkejut melihat Maya, si pelayan dengan tidak sopannya memasuki ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Saat ia ingin memprotes tindakan si pelayan, ucapan Abimana tersangkut di tenggorokannya saat Maya berkata...
"Tuan, Nona Luna__ pingsan. Ia __ merobek pergelangan tangannya. Tolong Tuan." Maya berkata dengan gugup dan terengah-engah.
Abimana seketika melotot tajam kearah Maya. Ia segera keluar ruangan dan menuju kamar Luna.
Betapa terkejutnya Abimana melihat tubuh Luna sudah bermandikan darah."Segera telpon Dokter Syamsir untuk kesini, cepaaat!" Abimana berteriak pada Maya.
Abimana langsung mengangkat tubuh Luna keatas ranjang dan menyelimutinya. Ia ikat pergelangan tangan Luna dengan bajunya. Ia lepaskan kaos santainya untuk menghentikan pendarahan pada pergelangan tangan Luna.
Ia menatap Luna dengan tajam. Wajah Luna sudah sangat pucat, seluruh tubuhnya penuh memar. Pergelangan tangan kanannya memerah akibat ikatan yang kencang semalam.
Entah apa yang ada dipikiran Abimana saat ini. Ia hanya diam dan menatap tajam sosok Luna yang sedang terbaring diranjang.*
*
*
"Memar itu__ ulahmu kan?" Tanya Dokter Syamsir pada Abimana yang masih berdiri disamping Dokter namun tatapannya tak lepas dari Luna yang masih tergolek lemah diranjang.
"Sebaiknya kau konsultasi pada psikiater." Lanjut Dokter Syamsir.
"Aku tidak gila!" Abimana protes.
"Itu untuk mengontrol obsesimu pada kesakitan orang lain. Kau melakukan sex dengan kekerasan dan itu tidak bisa ditolerir. Kecuali partner sex mu memang menyetujuinya. Sedangkan dia?" Dokter Syamsir menatap Luna dengan kasihan.
"Dia akan segera menyetujuinya nanti. Ia hanya belum terbiasa." Abimana.
"Dia terlihat seperti gadis baik-baik. Dan sepertinya masih terlalu belia untuk mengalami hal seperti ini."
"Aku membelinya di tempat lelang."
"Ya Tuhan Abimana! Apa yang sudah kau lakukan? Itu ilegal. Jangan-jangan ia korban penculikan. Pasti keluarganya sangat mengkhawatirkannya." Dokter Syamsir menatap Luna.
"Cerewet! Bagaimana keadaannya? Kapan dia akan sadar?" Abimana.
Dokter Syamsir hanya menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan otaknya Abimana.
"Dia akan segera sadar. Beruntunglah, lukanya memang dalam tapi tidak sampai mengenai urat nadinya. Dengan kata lain, ia tidak akan mati dengan cepat. Kecuali kau yang selalu menyakitinya." Dokter Syamsir menatap Abimana dengan ketus.
"Kau ini! Kenapa memihaknya? Aku yang membayarmu." Abimana duduk di sofa dekat ranjang.
"Baiklah. Aku sudah selesai. Setelah dia sadar, minumkan obatnya sampai habis. Besok aku akan datang lagi, untuk mengecek infusnya." Dokter Syamsir beranjak dari kamar Luna meninggalkan Abimana disana.
Abimana tidak merespon Dokter Syamsir, ia masih menatap lekat tubuh Luna. Lalu ia beranjak menuju ranjang Luna. Ia berdiri seraya memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana panjangnya. Masih dengan sorot mata tajamnya, ia menatap Luna.
"Jadi, kau lebih memilih mati daripada bersamaku? Bertekad juga dirimu." Abimana pergi keluar dari kamar Luna. Ia memanggil Maya agar membersihkan tubuh dan rambut Luna yang terkena darah.
"Tuan, Nona Luna sudah saya bersihkan." Maya menunduk hormat pada Abimana yang sedang sibuk dengan tabletnya diruang kerjanya.
"Pakaiannya?" Abimana bertanya tanpa menoleh pada Maya.
"Sudah saya pakaikan."
Abimana beranjak dari kursinya dan menuju kamar Luna, diikuti oleh Maya dibelakangnya.
Lalu Abimana menggendong ala bridal tubuh Luna dan Maya membawakan tiang infusnya dengan hati-hati mensejajarkan bersama langkah Abimana.Luna dibawa ke kamar Abimana. Ia dibaringkan diranjang dengan sangat hati-hati. Lalu tubuhnya diselimuti. Maya menaruh tiang infusnya disamping ranjang dan segera pergi meninggalkan mereka berdua di kamar tersebut.•••
Luna mengerjapkan kedua matanya. Dibuka kedua matanya, ia menatap langit-langit kamar yang berbeda dari kamarnya. Ia menoleh kearah jendela yang tirainya sudah dibuka, terlihat sinar mentari pagi sangat hangat menerpa wajahnya.
Aku tidak mati?
Ia pejamkan matanya dan menghela napasnya panjang.
"Sudah bangun?" Suara pria itu memecah keheningan.
"Kenapa menolongku?" Luna belum membuka matanya.
"Karena uangku habis hanya untuk membelimu. Jadi, kau tidak boleh mati semudah itu."
"Aku hanya ingin mati! Aku benci melihatmu! Sialan!" Luna berteriak, sorot matanya penuh kebencian menatap Abimana yang masih berdiri tak jauh dari ranjang.
"Sebelum mati___kau harus merasakan nerakaku dulu Luna," Abimana mendekat dan menyeringai.
"Devil, brengsek! Bajingan! Aku benci dirimu!" Luna berusaha melepas jarum infus dengan menariknya paksa. Ia berdiri menghampiri Abimana dan menampar wajahnya dengan keras.
Abimana tak menunjukkan reaksi apapun. Ia masih menatap Luna dengan datar.
"Sepertinya kau sudah sehat. Nanti malam persiapkan dirimu dengan cantik. Aku tidak tahan tidak menyentuhmu semalaman." Abimana terkekeh.
Luna tak habis pikir dengan pria iblis didepannya ini. Tak punya hatikah ia?
Apa Tuhan menciptakannya saat stok hati sedang kosong?Atau memang ia diciptakan oleh iblis? Bukan Tuhan yang menciptakan pria ini."Sebanyak kau menyentuhku, sebanyak itu pula aku akan mencoba terus untuk mati!" Luna tersenyum miring mencemooh.
"Lakukan! Lakukan sesukamu, sampai kau bosan hidup dan bosan mati. Aku menunggu." Rahang Abimana mengetat, sorot matanya tajam bagai pedang. Ia cengkram pipi Luna dengan kencang.
Berani sekali jalang kecil ini mengatakan seperti itu. Abimana benci jika ada seseorang yang menolaknya.
Ia pergi meninggalkan Luna. Sebelum Abimana mencapai handle pintu, Luna melempar lampu tidur yang ada di atas nakas kearah Abimana. Namun karena masih lemah, lampu tersebut tidak mengenai kepala Abimana. Hanya menyenggol bahu iblis itu.Praangg!
Abimana tersentak merasakan benda keras mengenai bahunya. Ia melihat lampu tidur sudah pecah berserakan dilantai. Ia berbalik, menghampiri Luna.
"Kali ini, aku akan sedikit lembut padamu. Mengingat kau masih lemah." Abimana memajukan wajahnya ke wajah Luna.
Luna memukul-mukul dada kekar Abimana sekuat tenaganya. Ia menangis seraya mengumpat kata-kata kasar untuk Abimana. Abimana tidak merespon, pukulan Luna terlalu lemah. Bahkan tubuhnya tidak bergeser sama sekali.
Luna merasakan pandangannya menggelap.
Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri lagi."A__aku membencimu, Abimana__brengsek." Kalimat terakhirnya sebelum Luna tak sadarkan diri.
Tubuhnya hampir membentur lantai, jika saja Abimana tidak menahannya."Akhirnya kau menyebut namaku, Luna." Abimana tersenyum. Ia menggendong tubuh lemah Luna. Ia baringkan kembali ke ranjang.
Ia mengganti perban di pergelangan tangan Luna. Darahnya keluar lagi. Akibat gerakannya saat memukul Abimana.*
**"Kau ini! Seharusnya kau bersikap lebih lembut. Jiwanya tertekan." Dokter Syamsir sedang memeriksa luka di pergelangan tangan Luna yang terbuka kembali. Lukanya belum mengering.
"Dia yang memancing emosiku! Berani sekali dia melempar lampu kearahku!" Abimana memberenggut.
"Bernyali juga gadis kecil ini padamu." Dokter Syamsir tersenyum.
Tiba-tiba Luna bereaksi, sepertinya ia sudah mulai sadar.
Luna membuka matanya dan ia melihat kearah Dokter Syamsir."Halo Luna, saya Dokter Syamsir. Bagaimana perasaanmu sekarang?" Tanya Dokter.
"Buruk." Luna menjawab dengan wajah datar seraya melirik kearah Abimana.
"Kau harus banyak istirahat, jangan terlalu banyak berpikir. Dan rajinlah meminum obatmu, supaya lekas sehat kembali."
"Aku hanya ingin mati."
"Ehem, Luna, tolong jangan melakukan hal konyol lagi. Kau tahu? Abimana sangat mencemaskan mu." Dokter Syamsir melirik Abimana.
Abimana langsung menatap tajam kearah Dokter Syamsir.
Luna melirik sinis kearah Abimana."Baiklah Luna, kau harus makan dulu sebelum meminum obatmu. Nanti Maya akan mengantarkan makanan kesini." Dokter Syamsir beranjak dari sisi Luna.
Ia keluar dengan menarik tangan Abimana.
"Ada apa?!" Abimana sontak melepaskan tangan Dokter Syamsir dengan kasar.
"Jangan terlalu kasar padanya. Nanti jika dia mati bagaimana?"
"Biarkan saja, itu memang keinginannya."
"Dia sangat cantik. Sayang sekali jika harus mati cepat. Jika kau memang tidak menginginkannya, berikan padaku!" Dokter Syamsir menatap lekat netra hitam Abimana.
"Kau!" Abimana melotot.
"Kenapa?! Aku sepertinya tertarik padanya. Dia bukan gadis murahan. Setelah kau tiduri, bahkan ia bersikeras ingin mati. Jika kau memang tidak berminat padanya, berikan padaku!" Dokter Syamsir tampak serius dengan ucapannya.
Abimana terdiam sejenak.
"Huh, aku belum puas menikmatinya. Aku sudah membelinya dengan mahal!" Wajahnya kembali mencemooh.
"Akan aku ganti uang yang sudah kau keluarkan untuknya." Dokter Syamsir tetap bersikeras.
"Cih! Dia milikku Syam!" Abimana melengos pergi menuruni anak tangga meninggalkan Dokter Syamsir sendirian.
Dokter Syamsir hanya menatapnya dalam diam.
Dan ia menyusul Abimana kebawah."Bawakan dia makanan, jangan ada benda tajam apapun dikamarku. Pastikan juga dia meminum obatnya. Paksa bila perlu!" Perintah Abimana pada Maya.
Dokter Syamsir yang mendengar itu, hanya melirik kearah Abimana.
"Baiklah, aku pergi dulu. Kuharap kau memperlakukan dia dengan baik," Dokter Syamsir segera berlalu meninggalkan mansion tanpa menunggu jawaban dari Abimana.
Sudah tiga hari ini Abimana tidak pulang ke mansion. Ia tidur di apartemennya. Ia menghindari Luna untuk sementara waktu. Sejujurnya, ia merindukan gadis itu. Tidak! Bukan rindu, melainkan merasa bosan. Ia merasakan sepi, tidak ada 'mainan' untuk mengurangi kepenatannya.Biasanya ia akan mendengar makian dari mulut gadis itu dengan sorot mata tajam yang menantang.Namun sejak melihat gadis itu bertekad untuk mengakhiri hidupnya, hati Abimana seperti tergelitik. Ada sesuatu yang mengganggu, namun ia tidak tahu apa. Ia benci melihat Luna dengan berani melukai tangannya. Itu menyentil ego seorang Abimana.Abimana tersinggung. Bahkan, pelacur saja tidak keberatan ia perlakukan seperti itu.Abimana menenggak kembali cairan alkoholnya, selama disini ia hanya ditemani Vodka, Vino dan bodyguardnya. Selesai bekerja, biasanya ia akan mampir ke club. Menghabiskan waktu, menikmati musik,
"Cepat makan sarapan mu!" Abimana membentak kembali Luna.Saat ini mereka sudah duduk berhadapan diruang makan."Aku tidak lapar!" Luna membuang wajahnya, melihat kearah lain dengan beraninya.Abimana berhenti mengunyah rotinya. Ia melempar roti milik Luna kelantai."Mayaaaa!" Abimana berteriak keras memanggil Maya.Maya tergopoh-gopoh menghadap tuannya. Ia tahu, pagi ini sepertinya suasana hati tuannya sedang tidak baik."I__iya Tuan. Ada apa?" Maya menunduk takut."Makan roti itu!"Maya mendongak menatap Abimana tak percaya. Kesalahan apa yang ia buat, sehingga ia dipaksa memakan roti berserakan dilantai?"Tu__tuan?" Maya tidak yakin.Luna sudah melotot kearah Abimana. Sedangkan iblis didepannya hanya tersenyum jahat."Kau tuli?! Makan cepat! Habiskan!" Abimana melotot kearah Maya.Maya gugup dan takut, ia berjongkok mengambil roti tersebut."Jangan Maya!" Luna bangun dari duduknya.
"Luna!" Suara penuh penekanan menggelegar diruang tengah.Dokter Syam sangat terkejut mendengarnya. Sedangkan Luna?Wow, Luna sampai tersedak dibuatnya. Ia tengah meminum teh hangatnya.Luna segera menepuk-nepuk dadanya yang agak sakit karena tersedak air teh.Dokter Syam yang melihat itu segera mengambil tissue dan mengelap tangan dan paha Luna yang terkena air teh.Abimana melihat gerakan Syam, segera melototkan matanya dengan tajam mengarah pada Syam dan Luna. Ia mendekat."Sedang apa kalian, hah?!" Abimana memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya, ia masih berdiri melihat kearah mereka berdua."Kami hanya berbincang saja Bima, ada apa denganmu?" Dokter Syam masih sibuk mengelap paha Luna yang basah, ia belum melihat kearah Abimana."Singkirkan tanganmu, Syam!" Desis Abimana
"Sudah siap semua?" Tanya Abimana pada Vino."Sudah Tuan." Vino."Aku tidak mau ada kesalahan sekecil apapun!" Abimana menekankan kembali."Saya mengerti Tuan." Vino menunduk hormat.Abimana kembali berjalan menuju gedung belakang dari mansion utamanya. Ditempat inilah ia dan para anak buahnya menaruh barang-barang yang akan mereka jual nantinya.Senjata api ilegal dan ekstasi. Itulah barang yang mereka jual.Abimana Rajendra, pria matang 31 tahun. Selain menjadi seorang CEO di perusahaan konstruksi miliknya, ia juga menjalani bisnis ilegal lainnya.Namanya sudah tidak asing lagi didunia bawah atau dunia mafia.Di gedung belakang inilah, semua barang yang akan ia jual malam ini sudah disiapkan."Dimas, kali ini kau yang memimpin transaksinya. Aku dan Vino mengawasi
Sekarang pukul 19.00 malam.Sejak pukul 5 sore tadi mansion sibuk. Maksudnya, para pekerja di mansion ini sedang sibuk. Abimana memesan seorang make up artist yang terkenal untuk mendandani Luna malam ini.Pria itu akan mengajak serta Luna untuk ikut makan malam dirumah keluarga Stevan. Malam ini ulang tahunnya Tante Lily, mamanya Stevan.Para pegawai butik sudah berbondong-bondong datang dengan membawa banyak gaun malam yang indah. Bahkan pemilik butik ini pun ikut datang."Selamat sore Tuan Abimana, saya senang atas undangan anda. Kami akan melakukan yang terbaik untuk anda," ucap si pemilik butik yang diketahui bernama Steffy Tan."Ya, lakukan yang terbaik," Abimana.Mereka, para make up artist dan pegawai butik sekarang berada dikamar utama. Luna sudah dari siang melakukan perawatan tubuh dari ujung rambut hingga ujung kepala. Saa
"Bisa aku berdansa dengannya sekarang Stevan?" Tanya Abimana selembut mungkin namun wajahnya sangat datar."Oh, baiklah Luna. Lain kali kita lanjutkan obrolan kita," Stevan langsung melepas pegangan pada pinggul Luna.Stevan tersenyum melewati Abimana.Abimana segera menautkan tangannya di pinggul Luna yang ramping. Sebenarnya kecil digenggaman tangan besar Abimana. Luna pun segera mengalungkan kedua tangannya dileher Abimana."Kau senang Stevan menyentuh tubuhmu ini?" Desis Abimana dengan mengencangkan pegangannya pada pinggul Luna. Luna meringis merasakan sakit akibat cengkraman yang kencang."Dia yang mengajakku, kenapa kau selalu menyalahkanku?" Luna kesal."Tapi kau menikmatinya kan? Huh?!" Abimana semakin kencang mencengkram pinggul mungil itu.Mata Luna sudah berkaca-kaca."Kenapa?! Kau cembu
Pagi ini Luna bangun dengan tubuh segar. Ia merasa lebih baik, mungkin semalam karena sehabis mandi. Oh tidak, tepatnya ia dimandikan oleh Abimana. Luna menoleh kesampingnya. Si iblis itu masih terlelap. Lengan kekarnya masih setia memeluk perut rata Luna. Luna memandangi wajah Abimana dengan lekat.Rahang yang tegas, dengan jambang yang rapi, hidung yang mancung, mata yang menjorok kedalam. Semakin menambah tampannya si iblis ini. Jika sedang terlelap begini, si iblis berubah menjadi malaikat. Tapi saat sadar, ia menjelma menjadi iblis.Abimana tidur tidak memakai baju, ia hanya mengenakan celana panjang training berwarna abu. Luna bisa merasakan hembusan napas hangat lembut darinya. Tangan Luna terangkat ke udara, ia usap wajah Abimana dengan lembut."Jangan menggodaku Luna," Abimana berkata namun matanya masih terpejam. Suaranya masih terdengar serak khas orang bangun tidur.
"Kita akan kemana Nona?" Dimas menoleh lewat spion depan."Ke cafe 'Sehati', di jalan XY," jelas Luna.Dimas mengangguk."Anda terlihat senang hari ini Nona," Dimas memecah kesunyian selama diperjalanan."Iya Dimas, aku senang hari ini. Aku akan bertemu teman-temanku lagi," jelasnya, nampak sebuah senyum manis penuh bahagia tergambar jelas diwajahnya yang imut."Baguslah kalau begitu, jadi anda tidak akan kesepian lagi," tanggapan Dimas."Ya, kamu benar. Disini terasa asing bagiku. Mereka memperlakukanku seolah aku Nona penting di mansion tersebut. Itu sungguh membuat jarak antara aku dan pelayan disana semakin jauh. Mereka tidak ada yang mau mengobrol denganku. Semuanya menunduk didepanku," jelas Luna panjang lebar."Bukankah semua orang akan senang dilayani seperti itu Nona?" Dimas tak habis pikir dengan Luna. Dimana semua
"Roy belum keluar dari sana, Tuan!" Leo menginformasikan pada Abimana yang sedang duduk di dalam mobil. Menunggu targetnya keluar dari sarangnya."Kita tunggu saja!"Leo menunduk hormat dan ia berdiri tak jauh dari mobil Abimana. Ia memantau terus keberadaan Roy dari informannya melalui earpiece.Abimana duduk di kursi belakang memeriksa senjata apinya berjenis berreta M9, pistol semi otomatis kesayangannya. Hadiah dari seorang teman. Ia pasangkan sebuah peredam pada pistolnya."Tuan, Roy sedang keluar bersama seorang wanita!" Leo datang dan memberi kabar yang memang sudah Abimana tunggu-tunggu. Dua jam dia menunggu Roy dengan sabar. Bagai predator yang sabar menunggu buruannya keluar dari sarangnya.Tanpa berkata-kata, ia keluar dari mobil, berjalan tanpa ragu menuju target. Roy yang sedang tertawa dengan teman wanitanya, belum menyadari kedatangan Abimana.Begitu Abimana berada di jarak dua meter, Roy melihatnya. Ia sangat terkejut dengan kedatangan Abimana. Dengan cepat, ia merogoh
Di sinilah dia sekarang. Abimana berdiri tegak mematung di samping ranjang Luna. Ia sungguh tidak tega melihat kondisi Luna yang masih lemah dan tak sadarkan diri. Rasa bersalah langsung memenuhi relung hatinya."Luna, aku di sini. Akan selalu di sini." Abimana berbisik di samping telinga Luna lalu mengecup keningnya dengan lembut.Ia duduk di sebelah ranjang Luna. Tak lama kemudian, dokter dan perawat masuk. Mereka melakukan tugasnya, seperti biasa memeriksa keadaannya."Kapan Luna akan sadar? Kenapa sampai sekarang, dia belum bangun juga?" tanya Abimana."Kondisi setiap pasien berbeda-beda, bisa lebih cepat sadar atau bisa juga sedikit lebih lama. Saat ini, kondisi Nona Luna sudah stabil. Kita hanya tinggal menunggunya bangun. Berdoa saja," dokter menjelaskan.Dokter dan para perawat keluar dari kamar rawat Luna. Abimana hanya memandangi wajah Luna yang pucat."Bangun, Luna. Bicaralah! Apapun itu ... memakiku pun aku siap mendengarnya.""Aku merindukanmu ... tolong bangunlah."Tubuh
Abimana berjalan gontai menuju ruang ICU bersama dokter Laras melewati lorong rumah sakit."Apakah keadaan Luna tidak baik-baik saja, sehingga harus ditempatkan di ICU? Operasinya berhasil kan?" Abimana."Dokter Farhan yang mengoperasi Nona Luna bilang, keadaannya sejauh ini stabil. Operasi otak yang Nona Luna jalani, adalah operasi besar. Nona Luna harus di ICU untuk mendapatkan pengawasan langsung dari dokter selama masa pemulihan pasca operasi."Wajah Abimana tampak lelah, entah selama perjalanan itu sudah berapa kali ia menghela napas panjang, hanya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya, ia akan mengalami hal seperti ini. Melihat dan hanya bisa menunggu wanitanya yang terbaring belum sadarkan diri."Tapi Luna akan baik-baik saja kan dok?"Dokter Laras menoleh, ada rasa iba saat melihat Abimana cemas, kacau dan lelah.Ia tidak menyangka bisa bertatapan langsung seorang konglomerat yang sangat terkenal dingin dan tak pernah mau terlibat dengan
"Lunaaaa....."Suara Abimana seperti tercekik di tenggorokan, dia hanya terpaku di samping Luna yang terbujur lemah bermandikan darah dan jantungnya yang berhenti berdetak."Buka matamu Luna!" Teriak Abimana seraya air matanya mengalir deras. Ia pun tidak sadar telah menangis tergugu menatap wajah Luna yang sudah pucat pasi."Bangun Luna, kumohon..."Para pengawal yang masih tersisa di lokasi, sangat merasa kasihan pada Abimana. Selama mereka bekerja dengan Abimana, tidak pernah sekalipun melihat Tuannya menangis meraung dan ketakutan seperti itu."Denyut jantungnya sudah kembali! Cepat ke rumah sakit!" Petugas medis segera memerintah sopir ambulance."Cari ponselku di dalam studio, kabari Vino dan Syam segera!" Abimana memberi perintah kepada pengawal yang masih berdiri di depan mobil Ambulance.Tangan Abimana bagai tremor, terus gemetar saat meraih tangan Luna yang sedang berbaring di atas brankar dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di hidungnya.Mobil ambulance melaju cepat
Sejak kepulangan mereka ke Ibukota, hubungan keduanya semakin dekat. Luna sudah pindah kembali ke mansion. Mereka tinggal dan hidup bersama lagi. Dan, Abimana benar-benar serius perihal ingin menikah.Ini sudah bulan kedua rencana pernikahan mereka akan digelar. Tentu saja, Luna merasa ini terlalu cepat. Ia masih belum percaya, bahwa hidupnya akan berubah.Ya, berubah sangat drastis. Dari seorang yatim piatu, kini ia akan mendapat gelar seorang Nyonya Rajendra. Keluarga Rajendra yang sangat dikenal oleh para pengusaha besar dan kaum jetset di negeri ini.Luna bagaikan seorang cinderella. Dalam waktu singkat, ia akan berubah menjadi istri seseorang yang sangat berpengaruh.Luna sudah mengetahui semua perihal pekerjaan Abimana. Dari pekerjaan legalnya dan pekerjaan gelapnya di dunia hitam.Luna hanya berharap, Abimana segera berhenti dari dunia hitam. Bagaimanapun, itu adalah ti
Abimana dan Luna saat ini sedang menikmati waktunya berjalan-jalan ke tempat wisata. Tentu saja beserta para pengawalnya.Abimana tak mau mengambil resiko karena lalai. Kenapa?Dia sadar betul, bahwa ia juga berada di dunia hitam. Tentu saja dunia hitam tidak selamanya akan segan padanya. Mungkin didepannya banyak saingannya yang segan padanya, tapi satu hal yang pasti, rasa iri dan benci akan selalu ada.Di dunia manapun."Bisa tidak, kalau pengawalmu tidak usah ikut?" Luna."Tidak.""Ini aneh, kita berwisata tapi pengawalmu membuat ini seperti sedang di mata-matai," Luna protes."Memang itu tugas mereka. Aku membayar mereka mahal untuk menjaga keselamatan kita. Mau tidak mau, suka tidak suka, you have to accept it," terang Abimana.Luna menghela napasnya, ia melanjutkan memakan makanannya. Saat ini mereka sudah berada d
Kini mereka sudah sampai di hotel tempat Abimana menginap. Mereka sudah memasuki kamar president suite yang dipesan oleh Vino.Vino dan pengawal lainnya diperintahkan Abimana untuk keluar dan memesan kamar tepat disebelahnya, agar saat Abimana membutuhkan mereka cepat tanggap.Abimana melepas kaos polo berkerahnya tanpa melepas celana jeansnya. Ia menghampiri Luna yang sedang duduk di sofa seraya menyetel acara TV."Kau mau mandi dulu atau kita akan ... bermain disini?" Tanya Abimana ketika ia sudah duduk tepat disamping Luna.Luna menoleh kearah Abimana, tatapannya teralihkan ke tubuh tegap dan berotot Abimana. Ia tidak fokus untuk menjawab pertanyaan tadi."Wanna play?" Abimana bertanya kembali seraya menaikkan sebelah alisnya.Ya Tuhan! Luna sangat tergoda dengan pertanyaannya."Ehem, aku mandi saja dulu," Luna ca
Abimana masih berdiri, menatap sang pemilik netra cokelat yang indah didepannya. Tanpa sadar, ia menahan napas untuk sesaat karena masih terkejut dengan sosok yang ada di depannya. Padahal ia sudah tahu bahwa sosok indah itu yang akan menyambutnya. Tapi, ternyata tetap saja ia terkejut."Bi..ma...," ucap Luna akhirnya.Abimana, langsung merengkuh tubuh mungil yang sudah dua bulan ini ia rindukan. Ia hirup aroma tubuh Luna dalam-dalam. Ia mendorong tubuh Luna perlahan semakin kedalam masuk kamarnya. Lalu menutup pintu kamar tersebut dengan kakinya.Luna masih mengerjap-ngerjap dengan serangan tersebut. Ia masih bingung, kenapa Abimana sekarang berada disini?"Luna...aku rindu," ucap Abimana tanpa melepas rengkuhannya."Bima...ini sungguhan?" Hanya itu yang Luna ucapkan."Iya ini aku. Aku datang ... dan tidak akan melepasmu lagi," Abimana men
Sudah di bulan kedua tahap pencarian Luna, namun belum juga menemukan tanda-tanda akan menemukan Luna.Abimana akhirnya pergi menuju tempat kerja Devi, ia seharian duduk didalam mobilnya, mengawasi gerak-gerik Devi.Saat jam pulang kerja, ia juga mengikuti Devi dari belakang. Wanita itu langsung menuju ketempat kostnya. Selanjutnya sampai malam hari, tak ada pergerakan mencurigakan yang dilakukan Devi.Abimana jenuh dan lelah. Sampai malam, belum juga menunjukkan tanda-tanda Devi akan memberikan clue dimana Luna.Saat ia sedang menghidupkan mobilnya untuk pergi dari sana, ia melihat Devi keluar dari pagar kostnya memakai jaket. Akhirnya Abimana urungkan niat untuk pergi, ia kembali membuntuti Devi dari belakang dengan berjalan kaki.Sepanjang gang tempat Devi berjalan, memang tampak sepi. Karena ini memang sudah malam. Abim