Sudah tiga hari ini Abimana tidak pulang ke mansion. Ia tidur di apartemennya. Ia menghindari Luna untuk sementara waktu. Sejujurnya, ia merindukan gadis itu. Tidak! Bukan rindu, melainkan merasa bosan. Ia merasakan sepi, tidak ada 'mainan' untuk mengurangi kepenatannya.
Biasanya ia akan mendengar makian dari mulut gadis itu dengan sorot mata tajam yang menantang.
Namun sejak melihat gadis itu bertekad untuk mengakhiri hidupnya, hati Abimana seperti tergelitik. Ada sesuatu yang mengganggu, namun ia tidak tahu apa. Ia benci melihat Luna dengan berani melukai tangannya. Itu menyentil ego seorang Abimana.
Abimana tersinggung. Bahkan, pelacur saja tidak keberatan ia perlakukan seperti itu.
Abimana menenggak kembali cairan alkoholnya, selama disini ia hanya ditemani Vodka, Vino dan bodyguardnya. Selesai bekerja, biasanya ia akan mampir ke club. Menghabiskan waktu, menikmati musik, menikmati wanita-wanita yang ada di sana. Namun, semenjak ada Luna, entah kenapa gairah pada wanita malam sudah tidak ada.
Yang ada dipikirannya hanyalah Luna.
Luna, sedang apa ia sekarang?
Aku ingin menemuinya.
Ia mengambil tablet yang ada disampingnya, namun ternyata baterainya sudah habis. Ia ingin melihat Luna lewat CCTV yang sudah terhubung lewat tabletnya.
Abimana berjalan sedikit sempoyongan. Vino yang sedang berada diruang tamu tengah menonton tv mendengar langkah kaki dari arah belakang. Terlihat Abimana sedang berjalan dengan tertatih. Vino segera menghampirinya.
"Tuan. Anda mau kemana?" Vino memegang pundak Abimana, menahannya agar tubuhnya tidak jatuh.
"Antar__aku ke__mansion. Luna___" Abimana berkata dengan terputus-putus. Kesadarannya hampir hilang.
Vino segera membantunya keluar dari apartemen dan menyuruh bodyguard lainnya untuk turun terlebih dahulu menyiapkan mobil dan menunggu mereka di parkiran basement .
"Luna__dia tidak__jangan mati__" Abimana terus meracau tidak jelas.
Kini mereka sudah dimobil, segera menuju mansion sesuai yang diinginkan Abimana. Di mobil, Abimana tak berhenti menyebut nama Luna.
Vino hanya menggelengkan kepalanya.
Jalanan malam yang sepi, mempercepat laju mereka untuk sampai ke mansion.
Abimana dituntun Vino melangkah menuju kamarnya diatas. Didepan pintu kamar, Abimana mengangkat tangannya, mengisyaratkan Vino untuk berhenti disana. Vino paham, ia hanya diam dan menunggu Tuannya masuk kedalam kamarnya tanpa terjatuh.
Abimana segera masuk kedalam kamarnya. Lampu utama kamar ini sudah mati semua, pencahayaan remang hanya berasal dari lampu diatas nakas disamping ranjang.
Abimana melangkah sempoyongan, melepas sepatunya asal, kemejanya segera ia lepas, ikat pinggangnya dia lepas dan lempar keatas sofa dekat jendela. Ia menurunkan ritsleting celana panjangnya.
Ia lihat dengan samar, siluet tubuh ramping diatas ranjang sedang tertidur pulas. Ia mendekat pada tubuh itu.
Ia pandangi wajah imut si gadis, bulu mata lentik, wajah damai tidurnya, tidak galak seperti biasanya. Saat ia sadar pasti hanya kata-kata kasar yang keluar dari bibir berisi itu. Kini, si gadis seperti kucing rumahan yang jinak.
Abimana menyentuh pipi Luna dengan lembut, kulitnya halus. Ia baru menyadarinya. Ia melihat kearah tangan Luna, tidak ada jarum infus.
Ia kecup punggung tangan Luna dengan lembut.
"Luna__" Abimana mengecup pipinya dengan lembut dan memanggil namanya dengan suara lirih.
"Engghh..." Luna melenguh, tidurnya sedikit terganggu. Ia mengerjapkan kedua matanya.
Luna sontak terkejut saat melihat wajah Abimana sedekat ini dengan wajahnya. Walau cahaya remang, namun Luna sudah hapal garis wajah Abimana.
"Kau!" Luna bangun dan akan mendorong tubuh Abimana yang sudah berada diatasnya. Namun Abimana dengan cepat mencium bibir berisi milik Luna yang sudah ia pandangi sejak tadi.
Aroma alkohol menguar dari mulut Abimana. Luna hanya diam, tidak membalasnya. Ia takut akan terjadi lagi.
Namun malam ini berbeda, pagutan Abimana lembut. Bahkan ini__sangat lembut.
Seperti bukan Abimana.
“Buka mulutmu Luna. Balas aku,” perintah Abimana disela pagutannya.
Luna menurut kali ini. Ia membalas pagutan Abimana. Ini memabukkan, tidak seperti saat-saat awal. Tangan Abimana sudah kemana-mana. Luna melenguh merasakan kelembutan yang Abimana berikan.
“Luna__aku ingin dirimu,” Abimana menatap netra Luna yang sayu. Luna terbawa suasana yang diberikan Abimana.
Tanpa menunggu jawaban dari Luna, ia sudah menyingkap baju tidur Luna. Dengan gerakan cepat ia lepas semua kain yang menempel pada tubuh Luna.
Kini Luna sudah polos. Abimana kembali mengecup bibir Luna dengan lembut, turun hingga lehernya. Ia hirup aroma vanilla yang menempel ditubuh Luna.
Luna menikmatinya, ia merasakan kelembutan dari seorang Abimana. Pria itu kini sudah mendominasi diatasnya.
Ia melakukannya dengan lembut. Luna melenguh terus dengan perlakuan Abimana. Tanpa sadar, Luna mendekap punggung Abimana dengan erat.
Abimana melepas dekapan Luna, ia pandangi wajah cantik dan imut itu. Namun gerakan pinggulnya tetap ia lakukan dengan lembut.
Mata sayu Luna, itu pemandangan yang indah. Abimana merapikan Surai panjang milik Luna.
Ia usap pipinya.
"Aaahh, Abi...." Lenguh Luna.
Abimana tersenyum mendengarnya. Luna menyebut namanya dengan lembut. Terdengar sexy, Abimana semakin cepat melakukannya.
Dan akhirnya mereka mencapai puncaknya.
Abimana ambruk diatas Luna. Masih mengatur laju napasnya, begitupun dengan Luna.
Ia segera beranjak kesamping Luna setelah napasnya teratur. Ia pandangi kembali wajah imut itu.
Ia tersenyum saat netra mereka bertemu. Luna terperanjat melihat senyum pria ini.
“Terima kasih__Luna. Aku__merindukanmu,” ucap Abimana dengan terputus.
Abimana mengambil selimut tebal didekatnya dan menutupi tubuh mereka sebelum akhirnya menuju alam mimpi.
"Tidurlah Luna," Abimana memeluk tubuh Luna dengan erat, sedangkan Luna bersandar pada lengan kekarnya dan kemudian terlelap.
•••
Sial!
Abimana masih merasakan hembusan napas teratur Luna. Ia masih lelap.
Perlahan Abimana memindahkan kepala Luna agar tangannya tidak keram lagi. Namun Luna menggeliat dan semakin menempel pada Abimana. Kaki Luna mengenai juniornya dan akibatnya membuat si junior terbangun.
"Hey! Bangunlah!" Abimana memanggil Luna.
"Hmm..." Luna hanya bergumam dan berbalik membelakangi Abimana, ia meneruskan tidurnya tanpa merasa terusik.
Abimana mendengus kesal melihat respon Luna. Apalagi sekarang ia disuguhi pemandangan indah. Tadi ia melihat gunung kembar Luna.
Sekarang ia melihat punggung mulus Luna, putih, bersih, halus dan menggairahkan.
Tidak bisa dibiarkan!
Abimana segera mencium ceruk leher Luna dalam-dalam, tangannya sudah kelayapan di bukit sintal milik Luna. Luna melenguh, ia membuka matanya dan merasakan ada yang meremas asetnya.
Ia berbalik dan melihat tangan Abimana sedang bermain-main di dadanya.
“Bangunlah! Kau terlalu menggoda untuk kuabaikan,” Abimana berseru dan berpindah ke sofa.
Ia duduk disana dengan tubuh polosnya, ia menyeringai melihat Luna yang masih kebingungan.
“Kemarilah! Kurasa, di sofa tidak terlalu buruk,” Abimana menggerakkan jemarinya menyuruh Luna menghampirinya.
Luna bingung, tapi sejurus kemudian ia tersadar dan langsung menolak. Ia melihat wajah Abimana, tidak selembut semalam. Kali ini matanya penuh seringai mengerikan. Ia tahu akan seperti apa setelah ini.
"Tidak!" Luna membungkus tubuhnya dengan selimut dan berlari menuju kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Ia menghela napasnya, merasa tenang bisa melarikan diri dari Abimana si iblis.
Hanya semalam saja si iblis berubah baik seperti malaikat.
Luna segera menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat, rasanya semua tulangnya remuk. Ia pejamkan mata menikmati air hangat yang mengalir ditubuhnya.
Diluar, Abimana terkekeh melihat respon Luna yang langsung kabur dan mengunci diri di kamar mandi. Ia mengambil pisau lipat yang ada di celana panjangnya. Tanpa susah payah, ia congkel lubang kunci kamar mandi. Entah bagaimana caranya, akhirnya pintu kamar mandi itu sudah terbuka.
Abimana langsung masuk kedalam, ia melihat Luna sedang menikmati air hangatnya. Ia belum menyadari kehadiran Abimana.
Abimana mendekat, ia remas bukit kembar Luna dengan kencang dari belakang.
Luna sangat terkejut, ia hampir berteriak, namun mulutnya dibekap oleh tangan Abimana. Dan pisau kecil itu sedang digerakkan perlahan di wajah Luna oleh Abimana.
"Diam! Atau pisau ini akan menancap di matamu," desis Abimana.
"Lakukan! Aku tidak takut kematian," Luna tersenyum sinis.
"Ah iya, aku lupa. Kau memang ingin mati. Baiklah, akan kuberikan neraka untukmu," Abimana melempar pisaunya kearah pintu. Ia tundukkan tubuh Luna dan memulai nerakanya dipagi ini.
Kembali, dengan kasar Abimana menyetubuhi Luna. Sesekali kepala Luna terbentur Kedinding. Tak jarang Surai panjang Luna ditariknya dengan kencang.
Sampai kepuasan menghampiri Abimana, ia lepas penyatuannya dan segera mandi. Sedangkan Luna, ia terduduk lemas dilantai kamar mandi. Merasakan sakit intinya, kepalanya berdenyut menahan sakit.
"Cepat bersihkan dirimu! Jangan bertindak konyol dengan melukai dirimu. Hanya aku yang boleh melukaimu Luna. Cepat berdiri! Aku tunggu disini sampai kau selesai," Abimana membentaknya.
Dan, Luna hanya bisa menurut saat ini. Menunggu kesempatan yang lain, ia akan tetap melanjutkan rencananya menuju kematian.
"Cepat makan sarapan mu!" Abimana membentak kembali Luna.Saat ini mereka sudah duduk berhadapan diruang makan."Aku tidak lapar!" Luna membuang wajahnya, melihat kearah lain dengan beraninya.Abimana berhenti mengunyah rotinya. Ia melempar roti milik Luna kelantai."Mayaaaa!" Abimana berteriak keras memanggil Maya.Maya tergopoh-gopoh menghadap tuannya. Ia tahu, pagi ini sepertinya suasana hati tuannya sedang tidak baik."I__iya Tuan. Ada apa?" Maya menunduk takut."Makan roti itu!"Maya mendongak menatap Abimana tak percaya. Kesalahan apa yang ia buat, sehingga ia dipaksa memakan roti berserakan dilantai?"Tu__tuan?" Maya tidak yakin.Luna sudah melotot kearah Abimana. Sedangkan iblis didepannya hanya tersenyum jahat."Kau tuli?! Makan cepat! Habiskan!" Abimana melotot kearah Maya.Maya gugup dan takut, ia berjongkok mengambil roti tersebut."Jangan Maya!" Luna bangun dari duduknya.
"Luna!" Suara penuh penekanan menggelegar diruang tengah.Dokter Syam sangat terkejut mendengarnya. Sedangkan Luna?Wow, Luna sampai tersedak dibuatnya. Ia tengah meminum teh hangatnya.Luna segera menepuk-nepuk dadanya yang agak sakit karena tersedak air teh.Dokter Syam yang melihat itu segera mengambil tissue dan mengelap tangan dan paha Luna yang terkena air teh.Abimana melihat gerakan Syam, segera melototkan matanya dengan tajam mengarah pada Syam dan Luna. Ia mendekat."Sedang apa kalian, hah?!" Abimana memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya, ia masih berdiri melihat kearah mereka berdua."Kami hanya berbincang saja Bima, ada apa denganmu?" Dokter Syam masih sibuk mengelap paha Luna yang basah, ia belum melihat kearah Abimana."Singkirkan tanganmu, Syam!" Desis Abimana
"Sudah siap semua?" Tanya Abimana pada Vino."Sudah Tuan." Vino."Aku tidak mau ada kesalahan sekecil apapun!" Abimana menekankan kembali."Saya mengerti Tuan." Vino menunduk hormat.Abimana kembali berjalan menuju gedung belakang dari mansion utamanya. Ditempat inilah ia dan para anak buahnya menaruh barang-barang yang akan mereka jual nantinya.Senjata api ilegal dan ekstasi. Itulah barang yang mereka jual.Abimana Rajendra, pria matang 31 tahun. Selain menjadi seorang CEO di perusahaan konstruksi miliknya, ia juga menjalani bisnis ilegal lainnya.Namanya sudah tidak asing lagi didunia bawah atau dunia mafia.Di gedung belakang inilah, semua barang yang akan ia jual malam ini sudah disiapkan."Dimas, kali ini kau yang memimpin transaksinya. Aku dan Vino mengawasi
Sekarang pukul 19.00 malam.Sejak pukul 5 sore tadi mansion sibuk. Maksudnya, para pekerja di mansion ini sedang sibuk. Abimana memesan seorang make up artist yang terkenal untuk mendandani Luna malam ini.Pria itu akan mengajak serta Luna untuk ikut makan malam dirumah keluarga Stevan. Malam ini ulang tahunnya Tante Lily, mamanya Stevan.Para pegawai butik sudah berbondong-bondong datang dengan membawa banyak gaun malam yang indah. Bahkan pemilik butik ini pun ikut datang."Selamat sore Tuan Abimana, saya senang atas undangan anda. Kami akan melakukan yang terbaik untuk anda," ucap si pemilik butik yang diketahui bernama Steffy Tan."Ya, lakukan yang terbaik," Abimana.Mereka, para make up artist dan pegawai butik sekarang berada dikamar utama. Luna sudah dari siang melakukan perawatan tubuh dari ujung rambut hingga ujung kepala. Saa
"Bisa aku berdansa dengannya sekarang Stevan?" Tanya Abimana selembut mungkin namun wajahnya sangat datar."Oh, baiklah Luna. Lain kali kita lanjutkan obrolan kita," Stevan langsung melepas pegangan pada pinggul Luna.Stevan tersenyum melewati Abimana.Abimana segera menautkan tangannya di pinggul Luna yang ramping. Sebenarnya kecil digenggaman tangan besar Abimana. Luna pun segera mengalungkan kedua tangannya dileher Abimana."Kau senang Stevan menyentuh tubuhmu ini?" Desis Abimana dengan mengencangkan pegangannya pada pinggul Luna. Luna meringis merasakan sakit akibat cengkraman yang kencang."Dia yang mengajakku, kenapa kau selalu menyalahkanku?" Luna kesal."Tapi kau menikmatinya kan? Huh?!" Abimana semakin kencang mencengkram pinggul mungil itu.Mata Luna sudah berkaca-kaca."Kenapa?! Kau cembu
Pagi ini Luna bangun dengan tubuh segar. Ia merasa lebih baik, mungkin semalam karena sehabis mandi. Oh tidak, tepatnya ia dimandikan oleh Abimana. Luna menoleh kesampingnya. Si iblis itu masih terlelap. Lengan kekarnya masih setia memeluk perut rata Luna. Luna memandangi wajah Abimana dengan lekat.Rahang yang tegas, dengan jambang yang rapi, hidung yang mancung, mata yang menjorok kedalam. Semakin menambah tampannya si iblis ini. Jika sedang terlelap begini, si iblis berubah menjadi malaikat. Tapi saat sadar, ia menjelma menjadi iblis.Abimana tidur tidak memakai baju, ia hanya mengenakan celana panjang training berwarna abu. Luna bisa merasakan hembusan napas hangat lembut darinya. Tangan Luna terangkat ke udara, ia usap wajah Abimana dengan lembut."Jangan menggodaku Luna," Abimana berkata namun matanya masih terpejam. Suaranya masih terdengar serak khas orang bangun tidur.
"Kita akan kemana Nona?" Dimas menoleh lewat spion depan."Ke cafe 'Sehati', di jalan XY," jelas Luna.Dimas mengangguk."Anda terlihat senang hari ini Nona," Dimas memecah kesunyian selama diperjalanan."Iya Dimas, aku senang hari ini. Aku akan bertemu teman-temanku lagi," jelasnya, nampak sebuah senyum manis penuh bahagia tergambar jelas diwajahnya yang imut."Baguslah kalau begitu, jadi anda tidak akan kesepian lagi," tanggapan Dimas."Ya, kamu benar. Disini terasa asing bagiku. Mereka memperlakukanku seolah aku Nona penting di mansion tersebut. Itu sungguh membuat jarak antara aku dan pelayan disana semakin jauh. Mereka tidak ada yang mau mengobrol denganku. Semuanya menunduk didepanku," jelas Luna panjang lebar."Bukankah semua orang akan senang dilayani seperti itu Nona?" Dimas tak habis pikir dengan Luna. Dimana semua
"Apa saja yang kamu lakukan tadi siang?" Tanya Abimana seraya menyendokkan suapan nasi kedalam mulutnya."Aku datang ke cafe, bertemu dan mengobrol dengan teman-teman lamaku. Hanya itu saja," Luna masih mengunyah makan malamnya.'Buat apa bertanya lagi, kan akusudahtelpon dia dari tadi siang,' batin Luna.Setelah pukul 18.00 tadi Abimana pulang dari kantor, kini mereka sedang makan malam berdua di ruang makan mansion."Rendang ini buatanmu?" Tanya Abimana."Iya. Apa tidak enak?" Luna.
"Roy belum keluar dari sana, Tuan!" Leo menginformasikan pada Abimana yang sedang duduk di dalam mobil. Menunggu targetnya keluar dari sarangnya."Kita tunggu saja!"Leo menunduk hormat dan ia berdiri tak jauh dari mobil Abimana. Ia memantau terus keberadaan Roy dari informannya melalui earpiece.Abimana duduk di kursi belakang memeriksa senjata apinya berjenis berreta M9, pistol semi otomatis kesayangannya. Hadiah dari seorang teman. Ia pasangkan sebuah peredam pada pistolnya."Tuan, Roy sedang keluar bersama seorang wanita!" Leo datang dan memberi kabar yang memang sudah Abimana tunggu-tunggu. Dua jam dia menunggu Roy dengan sabar. Bagai predator yang sabar menunggu buruannya keluar dari sarangnya.Tanpa berkata-kata, ia keluar dari mobil, berjalan tanpa ragu menuju target. Roy yang sedang tertawa dengan teman wanitanya, belum menyadari kedatangan Abimana.Begitu Abimana berada di jarak dua meter, Roy melihatnya. Ia sangat terkejut dengan kedatangan Abimana. Dengan cepat, ia merogoh
Di sinilah dia sekarang. Abimana berdiri tegak mematung di samping ranjang Luna. Ia sungguh tidak tega melihat kondisi Luna yang masih lemah dan tak sadarkan diri. Rasa bersalah langsung memenuhi relung hatinya."Luna, aku di sini. Akan selalu di sini." Abimana berbisik di samping telinga Luna lalu mengecup keningnya dengan lembut.Ia duduk di sebelah ranjang Luna. Tak lama kemudian, dokter dan perawat masuk. Mereka melakukan tugasnya, seperti biasa memeriksa keadaannya."Kapan Luna akan sadar? Kenapa sampai sekarang, dia belum bangun juga?" tanya Abimana."Kondisi setiap pasien berbeda-beda, bisa lebih cepat sadar atau bisa juga sedikit lebih lama. Saat ini, kondisi Nona Luna sudah stabil. Kita hanya tinggal menunggunya bangun. Berdoa saja," dokter menjelaskan.Dokter dan para perawat keluar dari kamar rawat Luna. Abimana hanya memandangi wajah Luna yang pucat."Bangun, Luna. Bicaralah! Apapun itu ... memakiku pun aku siap mendengarnya.""Aku merindukanmu ... tolong bangunlah."Tubuh
Abimana berjalan gontai menuju ruang ICU bersama dokter Laras melewati lorong rumah sakit."Apakah keadaan Luna tidak baik-baik saja, sehingga harus ditempatkan di ICU? Operasinya berhasil kan?" Abimana."Dokter Farhan yang mengoperasi Nona Luna bilang, keadaannya sejauh ini stabil. Operasi otak yang Nona Luna jalani, adalah operasi besar. Nona Luna harus di ICU untuk mendapatkan pengawasan langsung dari dokter selama masa pemulihan pasca operasi."Wajah Abimana tampak lelah, entah selama perjalanan itu sudah berapa kali ia menghela napas panjang, hanya untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya, ia akan mengalami hal seperti ini. Melihat dan hanya bisa menunggu wanitanya yang terbaring belum sadarkan diri."Tapi Luna akan baik-baik saja kan dok?"Dokter Laras menoleh, ada rasa iba saat melihat Abimana cemas, kacau dan lelah.Ia tidak menyangka bisa bertatapan langsung seorang konglomerat yang sangat terkenal dingin dan tak pernah mau terlibat dengan
"Lunaaaa....."Suara Abimana seperti tercekik di tenggorokan, dia hanya terpaku di samping Luna yang terbujur lemah bermandikan darah dan jantungnya yang berhenti berdetak."Buka matamu Luna!" Teriak Abimana seraya air matanya mengalir deras. Ia pun tidak sadar telah menangis tergugu menatap wajah Luna yang sudah pucat pasi."Bangun Luna, kumohon..."Para pengawal yang masih tersisa di lokasi, sangat merasa kasihan pada Abimana. Selama mereka bekerja dengan Abimana, tidak pernah sekalipun melihat Tuannya menangis meraung dan ketakutan seperti itu."Denyut jantungnya sudah kembali! Cepat ke rumah sakit!" Petugas medis segera memerintah sopir ambulance."Cari ponselku di dalam studio, kabari Vino dan Syam segera!" Abimana memberi perintah kepada pengawal yang masih berdiri di depan mobil Ambulance.Tangan Abimana bagai tremor, terus gemetar saat meraih tangan Luna yang sedang berbaring di atas brankar dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di hidungnya.Mobil ambulance melaju cepat
Sejak kepulangan mereka ke Ibukota, hubungan keduanya semakin dekat. Luna sudah pindah kembali ke mansion. Mereka tinggal dan hidup bersama lagi. Dan, Abimana benar-benar serius perihal ingin menikah.Ini sudah bulan kedua rencana pernikahan mereka akan digelar. Tentu saja, Luna merasa ini terlalu cepat. Ia masih belum percaya, bahwa hidupnya akan berubah.Ya, berubah sangat drastis. Dari seorang yatim piatu, kini ia akan mendapat gelar seorang Nyonya Rajendra. Keluarga Rajendra yang sangat dikenal oleh para pengusaha besar dan kaum jetset di negeri ini.Luna bagaikan seorang cinderella. Dalam waktu singkat, ia akan berubah menjadi istri seseorang yang sangat berpengaruh.Luna sudah mengetahui semua perihal pekerjaan Abimana. Dari pekerjaan legalnya dan pekerjaan gelapnya di dunia hitam.Luna hanya berharap, Abimana segera berhenti dari dunia hitam. Bagaimanapun, itu adalah ti
Abimana dan Luna saat ini sedang menikmati waktunya berjalan-jalan ke tempat wisata. Tentu saja beserta para pengawalnya.Abimana tak mau mengambil resiko karena lalai. Kenapa?Dia sadar betul, bahwa ia juga berada di dunia hitam. Tentu saja dunia hitam tidak selamanya akan segan padanya. Mungkin didepannya banyak saingannya yang segan padanya, tapi satu hal yang pasti, rasa iri dan benci akan selalu ada.Di dunia manapun."Bisa tidak, kalau pengawalmu tidak usah ikut?" Luna."Tidak.""Ini aneh, kita berwisata tapi pengawalmu membuat ini seperti sedang di mata-matai," Luna protes."Memang itu tugas mereka. Aku membayar mereka mahal untuk menjaga keselamatan kita. Mau tidak mau, suka tidak suka, you have to accept it," terang Abimana.Luna menghela napasnya, ia melanjutkan memakan makanannya. Saat ini mereka sudah berada d
Kini mereka sudah sampai di hotel tempat Abimana menginap. Mereka sudah memasuki kamar president suite yang dipesan oleh Vino.Vino dan pengawal lainnya diperintahkan Abimana untuk keluar dan memesan kamar tepat disebelahnya, agar saat Abimana membutuhkan mereka cepat tanggap.Abimana melepas kaos polo berkerahnya tanpa melepas celana jeansnya. Ia menghampiri Luna yang sedang duduk di sofa seraya menyetel acara TV."Kau mau mandi dulu atau kita akan ... bermain disini?" Tanya Abimana ketika ia sudah duduk tepat disamping Luna.Luna menoleh kearah Abimana, tatapannya teralihkan ke tubuh tegap dan berotot Abimana. Ia tidak fokus untuk menjawab pertanyaan tadi."Wanna play?" Abimana bertanya kembali seraya menaikkan sebelah alisnya.Ya Tuhan! Luna sangat tergoda dengan pertanyaannya."Ehem, aku mandi saja dulu," Luna ca
Abimana masih berdiri, menatap sang pemilik netra cokelat yang indah didepannya. Tanpa sadar, ia menahan napas untuk sesaat karena masih terkejut dengan sosok yang ada di depannya. Padahal ia sudah tahu bahwa sosok indah itu yang akan menyambutnya. Tapi, ternyata tetap saja ia terkejut."Bi..ma...," ucap Luna akhirnya.Abimana, langsung merengkuh tubuh mungil yang sudah dua bulan ini ia rindukan. Ia hirup aroma tubuh Luna dalam-dalam. Ia mendorong tubuh Luna perlahan semakin kedalam masuk kamarnya. Lalu menutup pintu kamar tersebut dengan kakinya.Luna masih mengerjap-ngerjap dengan serangan tersebut. Ia masih bingung, kenapa Abimana sekarang berada disini?"Luna...aku rindu," ucap Abimana tanpa melepas rengkuhannya."Bima...ini sungguhan?" Hanya itu yang Luna ucapkan."Iya ini aku. Aku datang ... dan tidak akan melepasmu lagi," Abimana men
Sudah di bulan kedua tahap pencarian Luna, namun belum juga menemukan tanda-tanda akan menemukan Luna.Abimana akhirnya pergi menuju tempat kerja Devi, ia seharian duduk didalam mobilnya, mengawasi gerak-gerik Devi.Saat jam pulang kerja, ia juga mengikuti Devi dari belakang. Wanita itu langsung menuju ketempat kostnya. Selanjutnya sampai malam hari, tak ada pergerakan mencurigakan yang dilakukan Devi.Abimana jenuh dan lelah. Sampai malam, belum juga menunjukkan tanda-tanda Devi akan memberikan clue dimana Luna.Saat ia sedang menghidupkan mobilnya untuk pergi dari sana, ia melihat Devi keluar dari pagar kostnya memakai jaket. Akhirnya Abimana urungkan niat untuk pergi, ia kembali membuntuti Devi dari belakang dengan berjalan kaki.Sepanjang gang tempat Devi berjalan, memang tampak sepi. Karena ini memang sudah malam. Abim