Candeline, Tahun 504 Dalam Kalender Kematian
Hujan membasahi tanah hingga menggenang di saluran pembuangan dan lubang jalan. Suara langkah samar-samar mengisi lorong-lorong gelap yang sempit, seolah berkejaran satu dan yang lain, menambah irama tidak hanya derap langkah satu dua kaki ketika menerjang genangan lumpur di sepanjang jalan.
Seorang laki-laki berlari hingga mencapai sudut tergelap dari tempat yang bisa ia jangkau, mencoba menyembunyikan diri di sela gang kecil antara dua bangunan. Tidak hanya dua pengejar, tetapi ada lima pria yang mengikuti sejak dia meninggalkan kedai minuman di ujung jalan itu. Napasnya terdengar putus-putus, lelah, namun sedapat mungkin dia menenangkan diri kembali.
"Apa kau yakin dia berlari ke arah sini?" Salah satu dari para pengejar itu mengendus udara, mencari jejak buruannya.
"Ya, tidak salah lagi. Dia pasti bersembunyi." Terdengar geraman dari pria yang lebih kurus. "Sudah kukatakan bahwa kita harus menyeretnya sejak di kedai tadi!"
"Kalau kita lakukan itu, akan terjadi keributan. Dan Yang Mulia tidak akan senang bila itu terjadi. Dia berpesan agar kita melakukan ini dengan bersih tanpa menarik sedikit perhatian."
Pria kurus tadi pun terdiam mendengar salah satu temannya berkata dengan tegas dan mengingatkan tugas yang dibebankan pada kelompok kecil mereka.
Lelaki yang bersembunyi itupun menggigil ketakutan, dia bahkan kesulitan menahan gemeretak gigi yang beradu dan rasa panas yang menjalari tulang-tulang. Jantungnya menjeritkan kata "mati" berulang-ulang, seolah dia memang akan mati saat itu juga.
"Kita bisa mencarinya lagi, sekarang lebih baik kita kembali."
Ada rasa lega menjalari setiap nadinya begitu mendengar suara langkah para pengejar yang mulai menjauh. Dia bernapas cepat dengan lega, hingga nyaris meledakkan paru-paru. Tubuhnya begitu lemas, dia pun terduduk di gundukan tanah basah sembari bersandar pada dinding yang tadi menyembunyikannya.
Terima kasih tuhan.
Bisiknya, nyaris menangis. Namun tubuh pria itu berubah kaku dan wajahnya kembali memucat ketika sepasang sepatu kulit hitam berhenti tepat di hadapan. Kini jantungnya kembali berdenyut dengan irama tidak teratur. Takut-takut dia mendongak, hanya untuk mendapati sepasang mata hitam legam yang menatapnya tajam. Sebuah seringai, atau jika dia salah mengartikan sebuah senyuman, kini mengarah padanya.
"Aku tidak memiliki apa-apa, kumohon bebaskan aku!" tangisnya diiringi gelombang suara yang menjeritkan ketakutan.
Pria yang bersembunyi itu terkesiap ketika ia mendengar suara kepak sayap dan bayangan sayap kuning keemasan keluar dari balik punggung pria bermantel putih di hadapannya.
"Si .. Siapa ka.. Kau?!" Wajah ketakutannya semakin kentara, seolah dia melihat wujud iblis ketika itu.
Pria bersayap itu membungkuk sedikit dan berbisik lirih tepat di telinga pria yang ketakutan.
"Katakan, ke mana kau membawanya!" Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan perintah dengan kalimat penuh penekanan.
Tubuh pria yang meringkuk di tanah kini semakin menggigil, dia menggeleng cepat dan menangis hebat karena begitu takut.
"A...aku ti...tidak tahu, aku ti...tidak mengerti maksudmu!" jeritnya hingga suaranya terdengar parau.
Sebuah pukulan mendarat di pipi pria itu, dan dengusan jijik kini memecah kesunyian setelah tangis pria tersebut berhenti.
"Aku tidak suka berlama-lama, di mana kau membuangnya!"
Tidak lagi ada kesabaran, pria dengan sayap kuning emas besar di punggungnya itu menarik kerah baju pria tersebut dan mengangkatnya tinggi ke udara.
"Di mana kau membuangnya!" Penekanan yang diberikan kali ini semakin mengintimidasi pria malang yang tergantung-gantung di udara, pria bersayap itu belum menghempasnya ke tanah, dia masih punya sisa kesabaran.
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, lepaskan aku!" mohonnya dengan suara tercekat nyaris tercekik.
"Seth! Hentikan!" Suara kepakan sayap mengisi udara. Pria yang dipanggil Seth itu pun menurunkan buruan mereka dengan kasar hingga kepala pria malang itu membentur dinding di belakangnya.
"Jangan membunuhnya, kita masih memerlukan dia." Sebuah tepukan lembut mendarat di bahu Seth. Pria itu melihat buruan yang setengah sadarkan diri akibat benturan yang dia dapatkan.
"Aku tidak membunuhnya," ucap Seth dengan wajah jengkel menghadap dua temannya yang masih mengepak sayap mereka di udara.
"Ya, tetapi nyaris jika saja kami terlambat beberapa detik."
Seth mendengus dan berderap pergi menjauh.
"Seth! Kau mau ke mana?" Pria dengan rambut kuning keemasan mencoba mengejar temannya itu, namun sebuah lengan menghentikannya.
"Biarkan Seth pergi, dia butuh untuk berpikir," kata pria yang pertama menghentikan Seth tadi.
Pria berambut kuning keemasan melirik keempat temannya yang kini menatap Seth dengan simpati.
"Kuharap dia akan baik-baik saja," ujarnya lirih, namun pandangannya beralih pada pria yang kini bersandar pada dinding. "Apa yang harus kita lakukan pada pria ini?" tanyanya dengan wajah bingung. "Jovi, kau yang paling tua, jadi kau saja yang memutuskan," katanya dengan enteng pada pria yang masih melayang di udara. "Dan, tidak bisakah kalian diam lalu berdiri di tanah. Melayang-layang di udara selagi kita bekerja bukanlah hal yang sopan!" Kejengkelan jelas tercetak di wajahnya.
Jovi mendesah, dia dan dua lainnya menapak tanah dan menyimpan sepasang sayap di balik tulang-tulang dalam balutan jaket putih mereka.
"Lebih baik kita menanyainya sekali lagi, jika tidak ada jawaban, kita harus membawanya ke Madelin."
Tampaknya empat orang di balik punggung Jovi setuju akan gagasan itu, walau membawa manusia biasa ke Madelin cukup beresiko, tetapi bukan berarti hal itu belum pernah terjadi.
"Kau sudah tahu maksud kami mengejarmu, jadi katakan di mana kau membuangnya?" Jovi berusaha lembut saat bertanya, berharap pria lemah itu menjawab mereka.
"Aku tidak mengerti maksud kalian," rintihnya.
"Tetot." Pria berambut emas menyilangkan kedua tangan di depan dada, menunjukkan bukan itu jawaban yang mereka mau.
"Dennis?" Sebelah alis Jovi terangkat sedikit, mengisyaratkan yang lainnya untuk tidak ikut campur sementara dia bekerja.
Si pria berambut keemasan itu hanya tersenyum, menunjukkan barisan giginya yang rapi.
"Begini." Jovi memutar tubuh menghadap pria tadi, dia membungkuk dan berusaha tidak mengintimidasi. "Kau ingat di mana membuang bayi dalam box silver yang kau dapat dari seorang wanita?"
Ada kerut yang jelas menghiasi wajah pria malang tersebut, seolah Jovi baru saja menyadarkannya akan sesuatu.
"Apa ... Apa kalian datang hanya untuk mencari bayi itu?"
Serentak lima pria di hadapannya mengangguk. Tetapi kerut wajahnya tidak berubah.
"Ba ... Bayi itu ... Aku ... Aku," ucapnya ragu. "Aku memberikannya pada seorang wanita kaya, dia membelinya. Sungguh aku tidak mencuri! Seseorang memberikan bayi itu begitu saja dan aku serta istriku tidak memiliki uang, kami menjualnya, bayi tersebut pasti lebih bahagia bersama wanita kaya itu!" jeritnya diikuti kedua lutut yang bersimpuh, seakan dia tersadar kesalahan apa yang telah diperbuat.
Dennis berdecak diikuti ketiga temannya, hanya Jovi yang tetap tenang. Air mukanya menunjukkan dia tidak terusik sama sekali.
"Kita kehilangan jejaknya, lagi." Kini si pria berkulit putih dengan warna mata cokelat kehitaman yang bersuara.
"Apa kita harus membunuh pria ini? Mengingat masih ada satu kelompok lagi yang pasti mencari bayi itu." Kelima pria bersayap itu saling tatap.
"Tidak perlu repot-repot, sepertinya Seth sudah melakukannya dengan baik." Keempat pria itu menatap Jovi dengan bingung, namun mereka akhirnya paham ketika melihat bercak kehitaman di sekitar leher pria yang kini meringkuk menyedihkan di atas genangan hujan.
"Pria malang," bisik Dennis bersamaan dengan tubuh kelimanya yang menghilang dibawa angin serta gema kepakan yang mereka tinggalkan sesaat.
Metropis, Tahun 521 Dalam Kalender Kebangkitan (17 Tahun Kemudian) Angin berembus cukup kencang hingga menerbangkan beberapa tong sampah terbuat dari baja yang diletakkan sengaja di setiap sudut Kota Metropis. Hawa dingin menusuk tulang membuat pejalan kaki memakai mantel tebal mereka saat menembus jalan. Tak jarang suara tangis bayi-bayi tak berdosa terdengar di antara angin, dan cicitan tikus dekat got, serta tumpukan sampah di antara kanal-kanal yang airnya mulai naik hingga menutupi jalanan. Dapat diprediksi, esok pagi akan ada mayat-mayat baru yang ditemukan petugas patroli. Dan merupakan pemandangan biasa bagi masyarakat Metropis. Kemiskinan adalah sesuatu yang harus kau salahkan dalam setiap kematian, dan siapa yang peduli pada satu dua mayat tanpa identitas di sana. Kau tak akan kekurangan apa pun dengan meningkatnya jumlah kematian di kota. Namun, lain halnya dengan sekelompok pria yang berlari menembus gerimis di antara lor
Ketukan pelan di depan pintu kamar membangunkan Valleya seketika, dia melirik seisi kamarnya sebelum menyahut."Ya Bibi, aku akan turun!"Valleya bergegas bangun, dan merapikan kamar secepatnya sebelum memasuki kamar mandi. Pagi ini dia ada janji untuk bertemu Nina, sahabatnya, sebelum menghadiri kelas sopan santun dari salah satu guru paling dibencinya, Nona Lisbet.Sembari merapikan lipatan rok berendanya, Valleya mematut diri di depan cermin. Tubuhnya yang montok dibalut ketat dengan blus kuning muda dipadu rok berenda kuning tua. Kalung berbandul permata merah yang tak pernah dia lepas sejak kecil memantulkan cahaya matahari pagi yang mengintip masuk dari kisi jendela.Dia melatih senyum seperti yang Nona Lisbet ajarkan minggu lalu. Pantulan dirinya di cermin membuat Valleya puas, berputar beberapa kali, akhirnya gadis itu mengakhiri ritual paginya di depan cermin.Suara feminim yang terdengar dari lantai bawah lagi-lagi memanggil namanya.
Valleya terkesiap begitu dia terbangun dari tidur. Matanya nyalang menatap sekitar, dan dengan degup jantung yang berdebar, dia pun turun dari kasur kemudian berlari ke luar kamar. Langkahnya terdengar buru-buru saat menuruni tangga menuju dapur, dimana dia bisa mendengar suara Bibi Ema bersama adonan roti yang dibanting di atas meja.“Bibi!” panggil Valleya setengah histeris.Seketika sang Bibi mengangkat wajah, dan menatap Valleya dengan ekspresi bertanya begitu mendapati pipinya yang pucat sedang mata membulat seperti sedang dikejar seseorang.“Ada apa?” tanya Bibi Ema sedikit kesal telah diinterupsi.Wanita tambun itu kembali mengadon kue dan tidak lagi memedulikan wajah ketakutan gadis tujuh belas tahun di hadapan.“Bibi, tadi … tadi … di kamarku,” ucap Valleya terbata sembari berusaha menarik napas dengan rakus.Paru-parunya terasa sesak, karena oksigen yang menipis drastis sejak bangun
Ketika pagi tiba, Valleya menemukan sebuket bunga yang sangat indah di depan jendela.Lama dia terdiam menatap kelopak pelangi pada bunga-bunga beraneka jenis, namun tidak pernah dia temui sebelumnya. Seolah bunga-bunga tersebut tidak tumbuh di bumi melainkan surga.Setiap bunga-bunga itu tampak berkilau bagai taburan kristal yang menempel di setiap daun, batang, dan kelopak dengan aneka warna pelangi begitu diterpa cahaya sinar mentari pagi.Dengan ragu-ragu Valleya menyentuh buket tersebut, sedang kepalanya menatap sekitar. Pada atap rumah di hadapan yang terlihat dari jendela kamar, serta langit biru yang menunjukan cuaca begitu cerah dengan semilir angin pagi menyentuh pipi.“Dari siapa bunga ini?” gumamnya penuh tanya ketika menaruh buket itu ke dalam pelukan.Tidak mungkin seekor burung membawa benda sebesar itu terbang di angksa dan menjatuhkannya tepat di depan jendela Valleya.Dengan diliputi perasaan mengganjal, gadis t
Valley baru saja keluar dari rumah Paman James setelah memberikan keranjang berisi roti, saat tiba-tiba dia berpapasan jalan dengan sepasang kekasih berwajah pucat yang seketika berhenti begitu melewati keduanya.Entah mengapa bulu kuduk Valleya berdiri, dan dia merasa firasat aneh, seolah menyuruhnya untuk menghindari pasangan berwajah beku tersebut.Jika diperhatikan dengan saksama, kulit mereka tampak tidak biasa, begitu pula dengan mata yang diarahkan pada Valleya, seakan dirinya adalah makanan, bukannya seorang manusia berjalan.Karena tidak ingin dianggap bersikap tidak sopan, Valleya pun memberi pasangan itu jalan sehingga dia menepi ke pinggir bangunan dengan kepala menunduk ke bawah, namun belum sempat dia berjalan kembali, saat tiba-tiba sang wanita memanggil yang mengakibatkan tubuh Valleya lunglai sesaat.Namun dengan cepat dia menepis perasaan lelah tersebut, dan mencoba berdiri tegak kembali, sebelum akhirnya berhenti.“Hey, apa
Chrysander membawa Valleya sampai ke ruang kesehatan sekolah, dan hanya dengan satu tatapan mata pada suster yang berjaga, dia pun dapat mempengaruhi pikiran orang di sekitar, bahwa tadi Valleya pingsan dan butuh istirahat beberapa jam saja.“Gadis itu sedang kelelahan dan butuh untuk tidur agar pulih kembali,” ucap Chrysander sembari mengunci mata sang perawat. “Apa kau mengerti?”Perawat wanita itu mengangguk kaku dan seketika wajahnya normal kembali saat ingatan perawat tersebut dipenuhi oleh kejadian buatan pemberian Chrysander, yang menunjukan bagaimana Valleya berakhir di sana.Dengan tatapan cemas, perawat itu pun akhirnya bergerak untuk memeriksa keadaan Valleya yang masih tertidur pulas di atas ranjang.Dan hanya dalam hitungan detik, Chrysander pun menghilang dari ruangan.Samar-samar Valleya melihat sosok pria menggendongnya beberapa waktu lalu, namun semua tampak begitu buram. Dengan keadaan paralyze dalam waktu
Baru saja Valleya hendak berangkat ke sekolah, saat tiba-tiba dia menemukan buket bunga yang sama seperti kemarin tergelatak di teras rumah.Langkah Valleya terhenti begitu dia mendapati bunga yang berkilau di bawah sinar matahari itu mengerlip-ngerlipkan cahaya pelangi ke segala arah, membuatnya seketika terpaku dengan tatapan penuh kekaguman.Baru saja dia membungkuk ketika menyentuh bunga tersebut, saat tiba-tiba Bibi Ema muncul dari arah dalam rumah dan mengagetkan Valleya hingga tubuhnya terlonjak kaget dan seketika menjauhi bunga kristal itu.“Astaga Bibi,” gumam Valleya sembari memegangi dada, lalu menjauhi buket bunga yang nyaris dia ambil dari atas lantai beranda.Bibi Ema hanya memandang Valleya dengan tatapan tidak senang, namun matanya beralih ke arah buket bunga yang memancarkan warna-warni cahaya ke segala arah, bagaikan permata yang dipajang di bawah sinar lampu seperti pameran dalam museum kerajaan.“Benda apa itu?
Saat tengah malam, suasana tenang di rumah yang Valleya tempati berubah menjadi mencekam begitu terdengar suara teriakan nyaring yang berasal dari kamar Bibi Ema. Valleya terbangun seketika dan dia berlari mendekati ke tempat bibinya berada dengan gerakan terburu-buru.“Bibi, ada apa?” tanya Valleya sembari menggedor pintu sedikit keras.Suara teriakan penuh terror itu lagi-lagi terdengar, membuat Valleya ketakutan dan cemas.“Bibi!” panggil Valleya, sembari berusaha membuka paksa kamar yang terkunci.Baru saja Valleya hendak mendobrak lagi saat tiba-tiba Bibi Ema keluar dengan mata membeliak nyalang dan melirik sekitar seolah dia baru saja dikejar oleh mimpi buruk.“Aku melihat sesuatu! Aku melihat sesuatu!” jeritnya dengan tubuh bergetar.Mendapati kondisi sang Bibi, Valleya pun membawa wanita tambun itu untuk masuk ke kamar lagi, namun Bibi Ema menahan langkah keduanya dan menggeleng cepat. Dia menolak
Valleya meronta-ronta hendak melarikan diri dari makhluk aneh yang berdiri dengan tatapan lapar ke arahnya. Seolah-olah makhluk itu ingin melahap dirinya seketika.“Makanan!” pekik makhluk yang membuka mulutnya lebar-lebar sembari memamerkan barisan gigi yang runcing, membuat Valleya semakin berteriak histeris.“Hmmmmm …. Makanan! Makanan!” Makhluk tersebut bersuara begitu nyaring hingga memekakkan telinga bagi yang mendengarnya.Dengan gerakan agresif, makhluk itu bergerak semakin dekat, menimbulkan ketakutan pada Valleya yang tubuhnya berubah kaku tiba-tiba hingga jeritan pun sulit lolos dari mulut mungilnya. Dan di tengah-tengah perasaan putus asa, Valleya merasakan radiasi hangat yang menyelimuti sekujur tubuh. Membalutnya dalam ketenangan yang mengeluarkan dirinya dari ketakutan.Di tengah-tengah isakan tangis yang tersisa, Valleya mendengar suara menggelegar bercampur amarah. Namun, entah mengapa, suara itu malah memberinya kelegaan luar biasa, dan bukan sebaliknya.“Apa kau sud
Pagi itu, Kota Metropis kembali diguyur hujan deras. Dan rasa dingin menusuk kulit membuat sebagian orang memilih untuk tetap berada di balik selimut dan rumah-rumah mereka.“Aku tidak percaya ini! Berbulan-bulan langit menurunkan hujan, seolah tanpa jeda,” gusar Bibi Ema yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah.Bibirnya mengerucut tidak senang begitu mendapati langit gelap yang ditutupi oleh awan.“Astaga, kau benar. Aku bahkan tidak pernah mengalami musim hujan sepanjang ini. Lihatlah, air menggenang di mana-mana. Tetapi anehnya, tidak pernah terjadi banjir bandang. Bukankah ini sangat tidak biasa?” tutur Bibi Eva sembari ikut menatap keluar bersama Bibi Ema.“Ya, ya. Ini fenomena yang sangat tidak biasa. Meskipun Metropis selalu diguyur hujan, tetapi tidak pernah selama ini. Bahkan, sepertinya keanehan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun ke belakang. Cobalah ingat-ingat kembali, betapa sulitnya menemukan matahari beberapa tahun terakhir.”Bibi Dori
Istana bawah tanah tampak begitu hening. Suasana gelap yang selalu menyelimuti kota mati itu pun terasa begitu suram. Bahkan, para iblis dan makhluk malam yang tinggal di dalamnya seolah-olah enggan untuk berkeliaran, dan masing-masing dari mereka tampak memilih untuk tetap diam di tempat peristirahatan pribadi.Akan tetapi, berbeda dengan para makhluk malam di strata terbawah, seorang Jendral berambut pirang dan berbadan tegap nan tegas terlihat berjalan melintasi kota bersama sepasukan iblis berseragam serupa. Hitam dan gelap. Bagaikan bayangan yang selalu menyelimuti aura kumpulan pria-pria itu.“Yang Mulia tidak akan senang jika kita berpatroli ke permukaan bumi, Jendral,” ucap salah satu dari pasukan tersebut dengan tatapan lurus ke tanah pijakannya. “Anda sangat mengerti, dia tidak akan membiarkan kita begitu saja bila datang ke sana mencarinya.”Terdengar suara helaan panjang, menandakan sang Jendral mendengarkan nasihat barusan. Dari caranya bernapas, siapapun yang mendengar t
Jantung Valleya berdetak teramat kencang. Seolah-olah organ paling penting itu hendak meledak dari sarangnya. Sementara Chrysander yang dapat mendengar debaran jantung gadis itu hanya mengulas seringai kecil di sudut bibir.“Ah … aku tidak mengira kau sangat bersemangat,” bisiknya diikuti kekehan pelan sembari menjatuhkan kecupan panjang di sekitar tengkuk Valleya, yang membuat gadis itu merinding karenanya. “Dengarkanlah detak jantungmu berirama begitu merdu dan itu membuat candu.”Chrysander membawa jemari Valleya ke dalam dekapan hangat tangan kokohnya, lalu pria itu pun menaruh jari-jemari lentik itu di atas dada Valleya yang bergetar.“See … kau bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaanmu, Angel,” ucapnya, sembari melepaskan tubuh gadis itu dari dekapan.Sepersekian detik kemudian, Chrysander mulai menjauh, hingga akhirnya pria itu duduk di atas ranjang seperti posisinya semula ketika Valleya masuk di awal tadi.Tubuh Valleya yang baru saja kehilangan kehangatan dari Chrysander t
“Paman John!” panggil Valleya begitu dia membuka pintu sebuah toko roti.Tampak seorang pria dewasa berparas cukup rupawan dengan gurat usia di sudut mata dan dahi keluar dari sebuah pintu di belakang ruangan.“Hey Princess,” sapanya begitu Valleya melangkah ke arah konter. “Aku membawakan pesan dari Bibi.”Mendengar ucapan Valleya, seketika pria itu mendekati sebuah meja dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalamnya. Jemarinya tampak menghitung beberapa lembar uang yang berasal dari amplop tersebut.“Apa kau baru saja dari tempat Miss Fudge?” tanya John setelah dia menghitung pembayaran.Pria paruh baya itu pun berjalan ke arah Valleya yang menunggunya di seberang konter.“Hu umm,” gumam gadis itu diikuti anggukan kepala. “Miss Fudge sangat sibuk, sehingga aku tidak bisa berbicara dengannya. Ada banyak hal yang harus dia persiapkan untuk Festival.”John hanya mengulas senyum sembari menyerahkan amplop cokelat yang ada di tangan.“Ya, semua orang sangat antusias dengan festival
Valleya keluar dari kamarnya dalam keadaan bersungut-sungut sembari menggeleng kesal akan pembicaraannya dengan Chrysander pagi ini. Dia bahkan ingin melemparkan sesuatu pada pria itu, karena tidak memberinya jawaban yang memuaskan. “Orang-orang memanggilku Yang Mulia,” gumam Valleya, menirukan cara bicaranya yang terdengar menyebalkan di telinga. Dengan pipi sedikit menggembung dan bibir mengerucut, Valleya pun menuruni tangga hingga tiba ke depan pintu. Namun, masih dengan gerutuan mengenai Chrysander pagi ini. “Lalu, jika kau Yang Mulia, apakah aku seorang Puteri?” ejeknya, pada makhluk yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa berpamitan lebih dahulu. Semakin menambah kekesalan Valleya setelah ditinggal pergi oleh Chrysander bersama udara panas yang mengelilingi saat pria itu lenyap dalam hembusan angin. Tangan gadis itu pun memutar knop pintu, dan dia membukanya dengan satu hentakan. “Dia pria yang aneh, dan... aneh,” tambah Valleya dengan anggukan kepala. Baru sa
“Kau ... bukan manusia?” tanya Valleya dengan nada terjeda. Gadis itu bahkan terlihat memiringkan sedikit kepalanya, sembari mengedipkan mata berkali-kali. Hingga tanpa sadar, keduanya hanya saling pandang untuk beberapa waktu. Dengan wajah datar, Chrysander mengangguk samar. Pria itu bahkan terlihat mengulas senyuman tipis, yang semakin membuat Valleya menahan napas. Karena, tanpa pria itu sadari, pesonanya mampu melunakkan hati setiap wanita. Dan Valleya tidak masuk dalam pengecualian. “Ya ... Kau tidak terlihat seperti manusia,” gumam Valleya seketika, yang semakin melebarkan senyuman Chrysander, menjadikan gadis itu tersadar akan ucapannya barusan. Dengan satu tangan berada di mulut, Valleya pun beringsut ke sudut ruangan. Hal itu tentu saja memancing gelak tawa pria itu. “Apa kau baru saja memujiku, Angel?” Dengan satu alis naik mendekati dahi, Chrysander menatap Valleya sedikit sensual, yang semakin membua
Seketika Valleya terkesiap saat mendengar suara Chrysander yang muncul dari balik bahu. Gadis itu pun berputar cepat, dan tubuhnya nyaris terjatuh karena pergerakan yang tiba-tiba. Untung saja Chrysander menahan pinggang Valleya. Sehingga kepalanya tidak membentur permukaan lantai yang keras. "Ka-kau, bagaimana...," ucap gadis itu terbata.Dia melirik ke arah Bunga Kristal yang tidak bergerak dari tempatnya tadi. Dan anehnya, bunga itu tetap berada di posisi semula, dengan batang dan dedaunan yang seolah membeku di udara. Tidak terlihat tanda-tanda bunga itu barusan menyerang. "Bu-bunga itu." Tunjuk Valleya pada Bunga Kristal di atas meja. Dengan gumaman pelan, dia pun mengadukan apa yang dialaminya pada pria di sebelah; "Bunga itu mengeluarkan api. Sama seperti yang Bibi alami."Tangan Valleya mencengkram kuat pergelangan Chrysander, hingga membuat jubah hitamnya mengkerut. Namun, tampaknya pria itu tidak begitu peduli, dan
Suara langkah kaki yang melintasi lorong, menarik perhatian Bervis seketika. Pria itu mengintip ke arah sosok Chrysander dari balik daun pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Lirikan matanya menyipit, menandakan bahwa dia tidak senang dengan kedatangan tuannya secara mendadak. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak turun ke bumi siang hari, Yang Mulia," ucapnya, membuat langkah Chrysander terhenti di dekat anak tangga. Perlahan-lahan kepalanya pun terangkat, dan pandangannya jatuh ke arah Bervis yang telah berdiri di hadapan. Dengan senyuman malas, Chrysander pun mengangkat bahu. Acuh. Dia hendak melanjutkan langkah kembali, namun lagi-lagi Bervis bersuara. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, para malaikat itu sedang memperluas pencarian."Mendengar peringatan serius dari nada suara temannya itu, Chrysander pun menautkan kedua alis. "Aku tahu," jawabnya datar. "Dan intensitas kekuatan gadis