Baru saja Valleya hendak berangkat ke sekolah, saat tiba-tiba dia menemukan buket bunga yang sama seperti kemarin tergelatak di teras rumah.
Langkah Valleya terhenti begitu dia mendapati bunga yang berkilau di bawah sinar matahari itu mengerlip-ngerlipkan cahaya pelangi ke segala arah, membuatnya seketika terpaku dengan tatapan penuh kekaguman.
Baru saja dia membungkuk ketika menyentuh bunga tersebut, saat tiba-tiba Bibi Ema muncul dari arah dalam rumah dan mengagetkan Valleya hingga tubuhnya terlonjak kaget dan seketika menjauhi bunga kristal itu.
“Astaga Bibi,” gumam Valleya sembari memegangi dada, lalu menjauhi buket bunga yang nyaris dia ambil dari atas lantai beranda.
Bibi Ema hanya memandang Valleya dengan tatapan tidak senang, namun matanya beralih ke arah buket bunga yang memancarkan warna-warni cahaya ke segala arah, bagaikan permata yang dipajang di bawah sinar lampu seperti pameran dalam museum kerajaan.
“Benda apa itu?” tanya Bibi Ema dengan mata melotot ke arah bunga-bunga indah tersebut.
Seketika kepala Valleya kembali ke arah bunga yang dimaksud, dan dia memandang Bibi Ema gugup, karena tidak tahu harus menjawab bagaimana.
Valley saja tidak tahu siapa pengirimnya.
“Itu … aku menemukannya di sana begitu membuka pintu.”
Dia tidak mau menceritkan bunga yang sama juga ada di depan jendela kamarnya kemarin, karena tentu saja Bibi Ema akan semakin banyak bertanya.
Untuk sesaat Bibi Ema memandang bunga-bunga tersebut penuh kekaguman, sehingga dia pun mendekat dan bermaksud menyentuh bunga-bunga itu, tetapi suatu keanehan terjadi dengan sangat cepat.
Yaitu, tangan Bibi Ema terbakar hingga terdengar suara jerit kesakitannya yang melengking sampai membangunkan para tetangga.
“Matikan apinya!” histeris Bibi Ema sembari berputar-putar di halaman dan berusaha memadamkan bara api yang menyala-nyala dengan menepuk-nepuk telapak tangan yang terbakar ke rerumputan basah dan juga baju secara bergantian.
Seorang pria dan dua wanita paruh baya yang merupakan tetangga Valleya berlari memasuki halaman.
“Lakukan sesuatu!” ucap pria itu dengan ember di tangan, diikuti dua wanita di belakang.
Sepertinya mereka sudah melihat api di tangan Bibi Ema sebelum memutuskan untuk membantu.
Kepala Valleya melihat sekitar dan dia menemukan tong berisi air hujan hasil tampungan semalam di pojok halaman, dengan tergesa dia pun mengambil air dari tong tersebut.
Bersama-sama mereka menyiramkan air itu ke tubuh Bibi Ema, namun anehnya api tersebut tidak juga padam dan malah semakin membesar, membuat Valleya panik seketika dan nyaris berteriak histeris.
Dia pun mendekati Bibi Ema dan bermaksud mengibaskan api yang menyala itu dari tangan sang Bibi, saat tiba-tiba api tersebut padam begitu saja ketika tangan Valleya menyentuhnya, kemudian menyisakan bau kulit terbakar di udara.
Kehebohan itu menarik perhatian beberapa tetangga, sehingga Valleya menjadi gugup telah menjadi pusat perhatian.
“Ada apa ini?” tanya Tuan John yang rumahnya bertepatan berhadapan dengan jendela kamar Valleya.
Bibi Ema menangis menahan sakit, dan salah satu wanita membantunya untuk memeriksa seberapa parah luka bakar itu, tetapi mereka menjadi heran ketika perlahan-lahan luka tersebut menghilang dan berubah menjadi bekas samar-samar.
Semua orang menatap tidak percaya pada apa yang baru saja mereka lihat.
Dengan tersedu, Bibi Ema mulai menceritakan peristiwa yang baru saja menimpanya.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ada sebuket bunga di depan rumah dengan kelopak berkilau sangat indah, dan saat aku menyentuhnya, bunga itu membakar tanganku,” isak Bibi Ema sembari memeluk tangan yang nyaris menjadi abu.
Semua orang saling tatap, seakan itu adalah penjelasan paling aneh yang pernah mereka dengar.
“Kurasa ada kekuatan mistis di sekitar kita,” ucap Bibi Dori yang rumahnya bersebelahan dengan Valleya.
Wanita itu sangat mempercayai akan keberadaan penyihir dan dukun.
“Bicara apa kau ini, tidak mungkin ada hal-hal magis di lingkungan kita. Apa kau tidak lihat, sejak tahun ke tahun tidak ada orang baru yang pindah ke sini,” balas Bibi Eva yang seketika membuat semua kepala mengarah ke Valleya.
Mendapati tatapan yang tidak biasa, Valleya pun menggeleng pelan.
“Aku tidak tahu apa-apa,” ucapnya sembari menelan saliva karena Bibi Ema juga ikut memelototi.
Kini wanita itu sudah tenang kembali, karena luka di tangan tidak lagi terlihat. Benar-benar aneh sekali, sehingga semua orang menatap Valleya sama anehnya.
“Bibi, aku benar-benar tidak tahu sama sekali,” ulang Valleya lebih urgen karena para tetangga dan Bibi Ema menatapnya penuh kemarahan.
“Bagaimana mungkin kau tidak tahu? Bunga itu ada di depan pintu dan sepertinya ditujukan padamu. Aku juga melihat sendiri, saat kau memegangnya tanganmu tidak terbakar!”
Langkah Valleya mundur begitu mendengar teriakan Bibi Ema yang seolah menuduh.
Valley melihat ke tempat bunga yang Bibi Ema pegang tadi, tetapi tidak terlihat tanda-tanda pernah ada bunga seperti itu di sekitar halaman, membuat gadis tujuh belas tahun itu kesulitan membela diri untuk membuktikan bahwa itu hanya bunga biasa. Bahkan, kemarin dia bisa menyentuh bunga itu tanpa melukai tubuh.
“Tapi Bi, akuꟷ”
“Berhenti membela diri, aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri!”
Valley hendak mengatakan lebih, namun urung karena Bibi Ema dan para tetangga membubarkan diri dan melemparkan tatapan curiga padanya begitu berjalan pergi, meninggalkan Valleya sendirian di tengah-tengah halaman rumah yang mulai terasa asing.
*
Gelas wine di tangan Chrysander pecah berkeping-keping karena digenggam terlalu erat ketika dia melihat wajah Valleya dipenuhi kesedihan melalui minuman yang hendak dia sesap.
Bervis yang berdiri di sudut ruangan memilih untuk diam, dia tahu diri untuk tidak bersuara saat Chrysander mengeluarkan aura gelap yang membuat suasana di sekitar menjadi sesak.
“Aku memberi bunga itu pada Angel, bukan wanita tua itu,” kata Chrysander dengan nada rendah, namun sarat kemarahan. “Salahnya sudah menyentuh benda yang bukan miliknya!”
Bervis mencoba menyembunyikan diri ke dinding begitu mendengar suara desisan yang keluar dari mulut Raja Iblis tersebut, dan keputusan yang Bervis ambil sangat tepat, karena setelahnya seluruh benda dalam ruangan itu terangkat ke udara dan berputar cepat seperti diaduk oleh tornado hingga membentuk lingkaran, menyebabkan setiap benda dalam ruangan membentur satu sama lain.
Sebuah bola berukuran besar nyaris mengenai kepala Bervis, namun dengan sangat santai dia menghindari benda berbahan besi tersebut yang membentur dinding di sebelahnya.
Ketika amarah Sander mereda, ruangan itu sudah tidak lagi berbentuk. Semua benda yang tadi tertata rapi, kini berakhir membentuk puing di lantai dan sebagian menjadi serpihan tidak beraturan. Bahkan, meja dan kursi tampak berbalik dan tidak dapat digunakan.
Akan tetapi, hanya satu kursi yang selamat dari kekacauan barusan, yaitu yang Chrysander duduki. Ajaibnya, tidak ada satu benda pun mengenai pria itu. Seolah hanya dia yang tidak dapat disentuh.
“Bervis,” panggil Chrysander, membuat tangan kanannya itu kesulitan menelan saliva.
“Ya, Yang Mulia,” jawab Bervis sembari menunjukan diri ke bawah cahaya lampu yang sebagian penutupnya pecah.
“Ambil kembali bunga-bunga yang kuberikan, dan taruh di kamarku,” ucap Chrysander dengan suara lebih tenang dari sebelumnya, sedang matanya yang telah berubah menjadi merah menatap lurus ke arah gelas kaca yang tadi dia pecahkan hanya dalam satu genggaman saja.
“Baik, Yang Mulia.”
Seketika Bervis pun menghilang dari hadapan tuannya, dan meninggalkan Chrysander dengan pikiran-pikiran menakutkan.
Ketika beranjak dari ruangan, dia bergumam; “Apa kupanggang saja wanita tua itu di kamar penyiksaan?” tanyanya pada diri sendiri. “Ah, tapi bila itu kulakukan Angel akan sendirian. Atau … kubakar saja perumahan di sekitar? Hmm … nanti dia akan menangis ketakutan bila melihat api yang berkobar.”
Chrysander berjalan pelan menuju ke perpustakaan dengan scenario yang bermain di kepala sembari membayangkan reaksi Valleya bila itu benar-benar terjadi.
Baru saja dia melewati koridor saat terlintas ide yang tidak akan menyakiti Angel secara langsung, yaitu memberi mimpi buruk pada wanita tambun tersebut.
Membayangkan ide yang muncul tiba-tiba, Chrysander pun menyeringai, dan dia berjalan dengan sangat tenang hingga tiba di tempat tujuan. Yaitu perpustakaan, di mana buku tentang Rahasia Merayu Wanita tersimpan rapi di raknya semula.
Tangan Sander menyentuh permukaan buku itu lembut, dan kemudian dia berkata pelan pada buku yang mulai mengikutinya dari arah belakang saat dia berjalan menuju jendela perpustakaan.
Pertanyaan yang dia lontarkan adalah; “Bagaimana cara membuat seorang wanita tersenyum hingga wajahnya berbinar-binar?”
Saat tengah malam, suasana tenang di rumah yang Valleya tempati berubah menjadi mencekam begitu terdengar suara teriakan nyaring yang berasal dari kamar Bibi Ema. Valleya terbangun seketika dan dia berlari mendekati ke tempat bibinya berada dengan gerakan terburu-buru.“Bibi, ada apa?” tanya Valleya sembari menggedor pintu sedikit keras.Suara teriakan penuh terror itu lagi-lagi terdengar, membuat Valleya ketakutan dan cemas.“Bibi!” panggil Valleya, sembari berusaha membuka paksa kamar yang terkunci.Baru saja Valleya hendak mendobrak lagi saat tiba-tiba Bibi Ema keluar dengan mata membeliak nyalang dan melirik sekitar seolah dia baru saja dikejar oleh mimpi buruk.“Aku melihat sesuatu! Aku melihat sesuatu!” jeritnya dengan tubuh bergetar.Mendapati kondisi sang Bibi, Valleya pun membawa wanita tambun itu untuk masuk ke kamar lagi, namun Bibi Ema menahan langkah keduanya dan menggeleng cepat. Dia menolak
“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali, tidak seharusnya anak itu berada di rumahmu, tetapi kau tetap tidak mau mendengar,” ucap Bibi Dori pada Bibi Ema.“Tidak mungkin aku menolak kehadirannya, Dori. Apa kau tidak tahu bahwa kakakku tidak akan memberikan hartanya bila aku tidak mengasuh anak itu sampai melewati usia delapan belas?” jelas Bibi Ema sama sengitnya. “Bila saja tidak ada aturan demikian dalam surat wasiat yang dia tinggalkan, tentu saja aku tidak akan menerima anak itu. Bagiku, Dia hanya beban!”Kedua wanita itu membicarakan Valleya di saat gadis itu dapat mendengar dari lantai dua. Bahkan tadi, Valleya tidak sengaja melihat Bibi Dori yang melirik tajam padanya saat dia melewati pintu ketika hendak melintasi ruang tengah.“Taruh saja dia di panti penitipan sampai usianya delapan belas, dan di saat kau mendapat warisan, berikan pada mereka sejumlah uang sesuai kesepakatan,” saran Bibi Eva dengan pemi
“Apa si pria misterius dalam mimpimu masih mengganggu?” tanya Nina begitu keluar dari ruang kelas.Kepala Valleya menggeleng pelan, dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya sehingga lebih baik tidak menjelaskan apa-apa.“Oh, kalau begitu kenapa kau tampak murung begitu?”Seketika Valleya memijit kepala. Alasan perubahaan mood-nya yang buruk adalah karena dia tidak lagi merasakan keberadaan pria itu di sekitar seperti malam-malam sebelumnya. Tidak hanya itu, dia kesulitan tidur akhir-akhir ini. Pikirannya berkelana entah ke mana, dan selalu saja bayangan pria bertudung tersebut yang mengisi kepala.Sampai rasanya Valleya nyaris gila, dikarenakan pria itu terasa nyata, namun di saat bersamaan sosoknya seperti bagian mimpi.“Hhh … aku hanya lelah akhir-akhir ini,” kilahnya, tidak ingin menjelaskan apa yang dia rasakan.Percuma saja bercerita, karena Nina tidak akan percaya dan menganggap semua yang V
Hujan kembali membasahi Kota Metropis. Terlihat beberapa orang berlarian melindungi diri dari serbuan hujan, termasuk Valleya yang mempercepat langkah menuju pertokoan di pusat kota. Gadis muda itu berhenti di depan sebuah toko roti untuk berteduh.Baju merah muda yang membungkus tubuhnya basah, bahkan dari ujung kepala hingga sepatu juga ikut basah terkena guyuran hujan yang lebat.Dia memeluk diri dalam keadaan kedinginan, begitu pula beberapa orang yang berdiri berteduh tidak jauh darinya.Lama gadis itu berdiam di sana, dengan tangan menengadah ke depan, menampung tetesan-tetesan hujan yang jatuh dari atap pertokoan.Di tengah-tengah rasa dingin yang menyapa, senyum gadis itu terukir amat sempurna. Entah mengapa dia merasa senang ketika rintik-rintik hujan itu berkumpul dalam tadahan tangan mungilnya.Karena terlalu fokus bermain hujan, gadis itu tidak menyadari sosok bermantel hitam dengan topi menutupi separuh wajah tengah berdiri tepat di sa
Tubuh Valleya terasa seperti seringan bulu. Rasa pusing tiba-tiba saja menderanya begitu dia merasakan telapak kakinya berpijak pada lantai. Dan saat matanya terbuka, penglihatan Valleya tertuju pada tempat tidur yang berada di tengah-tengah ruangan.Belum sempat gadis itu menarik napas, tiba-tiba saja dia merasakan seluruh ruangan bergoyang dan kakinya kehilangan pijakan. Membuatnya nyaris luruh ke lantai andai saja sepasang tangan tidak segera menopang dirinya.Seketika kepala gadis itu pun menoleh cepat ke arah sosok pria yang berdiri di sebelah dengan tangan melingkar pada tubuh Valleya.Suara serak gadis itu pun bertanya pelan; “A-apa yang baru saja terjadi?”Bukannya memberi jawaban, Chrysander malah mengangkat tubuh Valleya ke udara, menyebabkan gadis itu menahan pekikan sembari melingkarkan kedua lengan pada leher pria itu yang tampak kokoh dan nyaman untuk dijadikan sandaran.Tanpa tahu malu, Valleya pun merebahkan kepala di sa
Suara langkah kaki yang melintasi lorong, menarik perhatian Bervis seketika. Pria itu mengintip ke arah sosok Chrysander dari balik daun pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Lirikan matanya menyipit, menandakan bahwa dia tidak senang dengan kedatangan tuannya secara mendadak. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak turun ke bumi siang hari, Yang Mulia," ucapnya, membuat langkah Chrysander terhenti di dekat anak tangga. Perlahan-lahan kepalanya pun terangkat, dan pandangannya jatuh ke arah Bervis yang telah berdiri di hadapan. Dengan senyuman malas, Chrysander pun mengangkat bahu. Acuh. Dia hendak melanjutkan langkah kembali, namun lagi-lagi Bervis bersuara. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, para malaikat itu sedang memperluas pencarian."Mendengar peringatan serius dari nada suara temannya itu, Chrysander pun menautkan kedua alis. "Aku tahu," jawabnya datar. "Dan intensitas kekuatan gadis
Seketika Valleya terkesiap saat mendengar suara Chrysander yang muncul dari balik bahu. Gadis itu pun berputar cepat, dan tubuhnya nyaris terjatuh karena pergerakan yang tiba-tiba. Untung saja Chrysander menahan pinggang Valleya. Sehingga kepalanya tidak membentur permukaan lantai yang keras. "Ka-kau, bagaimana...," ucap gadis itu terbata.Dia melirik ke arah Bunga Kristal yang tidak bergerak dari tempatnya tadi. Dan anehnya, bunga itu tetap berada di posisi semula, dengan batang dan dedaunan yang seolah membeku di udara. Tidak terlihat tanda-tanda bunga itu barusan menyerang. "Bu-bunga itu." Tunjuk Valleya pada Bunga Kristal di atas meja. Dengan gumaman pelan, dia pun mengadukan apa yang dialaminya pada pria di sebelah; "Bunga itu mengeluarkan api. Sama seperti yang Bibi alami."Tangan Valleya mencengkram kuat pergelangan Chrysander, hingga membuat jubah hitamnya mengkerut. Namun, tampaknya pria itu tidak begitu peduli, dan
“Kau ... bukan manusia?” tanya Valleya dengan nada terjeda. Gadis itu bahkan terlihat memiringkan sedikit kepalanya, sembari mengedipkan mata berkali-kali. Hingga tanpa sadar, keduanya hanya saling pandang untuk beberapa waktu. Dengan wajah datar, Chrysander mengangguk samar. Pria itu bahkan terlihat mengulas senyuman tipis, yang semakin membuat Valleya menahan napas. Karena, tanpa pria itu sadari, pesonanya mampu melunakkan hati setiap wanita. Dan Valleya tidak masuk dalam pengecualian. “Ya ... Kau tidak terlihat seperti manusia,” gumam Valleya seketika, yang semakin melebarkan senyuman Chrysander, menjadikan gadis itu tersadar akan ucapannya barusan. Dengan satu tangan berada di mulut, Valleya pun beringsut ke sudut ruangan. Hal itu tentu saja memancing gelak tawa pria itu. “Apa kau baru saja memujiku, Angel?” Dengan satu alis naik mendekati dahi, Chrysander menatap Valleya sedikit sensual, yang semakin membua
Valleya meronta-ronta hendak melarikan diri dari makhluk aneh yang berdiri dengan tatapan lapar ke arahnya. Seolah-olah makhluk itu ingin melahap dirinya seketika.“Makanan!” pekik makhluk yang membuka mulutnya lebar-lebar sembari memamerkan barisan gigi yang runcing, membuat Valleya semakin berteriak histeris.“Hmmmmm …. Makanan! Makanan!” Makhluk tersebut bersuara begitu nyaring hingga memekakkan telinga bagi yang mendengarnya.Dengan gerakan agresif, makhluk itu bergerak semakin dekat, menimbulkan ketakutan pada Valleya yang tubuhnya berubah kaku tiba-tiba hingga jeritan pun sulit lolos dari mulut mungilnya. Dan di tengah-tengah perasaan putus asa, Valleya merasakan radiasi hangat yang menyelimuti sekujur tubuh. Membalutnya dalam ketenangan yang mengeluarkan dirinya dari ketakutan.Di tengah-tengah isakan tangis yang tersisa, Valleya mendengar suara menggelegar bercampur amarah. Namun, entah mengapa, suara itu malah memberinya kelegaan luar biasa, dan bukan sebaliknya.“Apa kau sud
Pagi itu, Kota Metropis kembali diguyur hujan deras. Dan rasa dingin menusuk kulit membuat sebagian orang memilih untuk tetap berada di balik selimut dan rumah-rumah mereka.“Aku tidak percaya ini! Berbulan-bulan langit menurunkan hujan, seolah tanpa jeda,” gusar Bibi Ema yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah.Bibirnya mengerucut tidak senang begitu mendapati langit gelap yang ditutupi oleh awan.“Astaga, kau benar. Aku bahkan tidak pernah mengalami musim hujan sepanjang ini. Lihatlah, air menggenang di mana-mana. Tetapi anehnya, tidak pernah terjadi banjir bandang. Bukankah ini sangat tidak biasa?” tutur Bibi Eva sembari ikut menatap keluar bersama Bibi Ema.“Ya, ya. Ini fenomena yang sangat tidak biasa. Meskipun Metropis selalu diguyur hujan, tetapi tidak pernah selama ini. Bahkan, sepertinya keanehan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun ke belakang. Cobalah ingat-ingat kembali, betapa sulitnya menemukan matahari beberapa tahun terakhir.”Bibi Dori
Istana bawah tanah tampak begitu hening. Suasana gelap yang selalu menyelimuti kota mati itu pun terasa begitu suram. Bahkan, para iblis dan makhluk malam yang tinggal di dalamnya seolah-olah enggan untuk berkeliaran, dan masing-masing dari mereka tampak memilih untuk tetap diam di tempat peristirahatan pribadi.Akan tetapi, berbeda dengan para makhluk malam di strata terbawah, seorang Jendral berambut pirang dan berbadan tegap nan tegas terlihat berjalan melintasi kota bersama sepasukan iblis berseragam serupa. Hitam dan gelap. Bagaikan bayangan yang selalu menyelimuti aura kumpulan pria-pria itu.“Yang Mulia tidak akan senang jika kita berpatroli ke permukaan bumi, Jendral,” ucap salah satu dari pasukan tersebut dengan tatapan lurus ke tanah pijakannya. “Anda sangat mengerti, dia tidak akan membiarkan kita begitu saja bila datang ke sana mencarinya.”Terdengar suara helaan panjang, menandakan sang Jendral mendengarkan nasihat barusan. Dari caranya bernapas, siapapun yang mendengar t
Jantung Valleya berdetak teramat kencang. Seolah-olah organ paling penting itu hendak meledak dari sarangnya. Sementara Chrysander yang dapat mendengar debaran jantung gadis itu hanya mengulas seringai kecil di sudut bibir.“Ah … aku tidak mengira kau sangat bersemangat,” bisiknya diikuti kekehan pelan sembari menjatuhkan kecupan panjang di sekitar tengkuk Valleya, yang membuat gadis itu merinding karenanya. “Dengarkanlah detak jantungmu berirama begitu merdu dan itu membuat candu.”Chrysander membawa jemari Valleya ke dalam dekapan hangat tangan kokohnya, lalu pria itu pun menaruh jari-jemari lentik itu di atas dada Valleya yang bergetar.“See … kau bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaanmu, Angel,” ucapnya, sembari melepaskan tubuh gadis itu dari dekapan.Sepersekian detik kemudian, Chrysander mulai menjauh, hingga akhirnya pria itu duduk di atas ranjang seperti posisinya semula ketika Valleya masuk di awal tadi.Tubuh Valleya yang baru saja kehilangan kehangatan dari Chrysander t
“Paman John!” panggil Valleya begitu dia membuka pintu sebuah toko roti.Tampak seorang pria dewasa berparas cukup rupawan dengan gurat usia di sudut mata dan dahi keluar dari sebuah pintu di belakang ruangan.“Hey Princess,” sapanya begitu Valleya melangkah ke arah konter. “Aku membawakan pesan dari Bibi.”Mendengar ucapan Valleya, seketika pria itu mendekati sebuah meja dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalamnya. Jemarinya tampak menghitung beberapa lembar uang yang berasal dari amplop tersebut.“Apa kau baru saja dari tempat Miss Fudge?” tanya John setelah dia menghitung pembayaran.Pria paruh baya itu pun berjalan ke arah Valleya yang menunggunya di seberang konter.“Hu umm,” gumam gadis itu diikuti anggukan kepala. “Miss Fudge sangat sibuk, sehingga aku tidak bisa berbicara dengannya. Ada banyak hal yang harus dia persiapkan untuk Festival.”John hanya mengulas senyum sembari menyerahkan amplop cokelat yang ada di tangan.“Ya, semua orang sangat antusias dengan festival
Valleya keluar dari kamarnya dalam keadaan bersungut-sungut sembari menggeleng kesal akan pembicaraannya dengan Chrysander pagi ini. Dia bahkan ingin melemparkan sesuatu pada pria itu, karena tidak memberinya jawaban yang memuaskan. “Orang-orang memanggilku Yang Mulia,” gumam Valleya, menirukan cara bicaranya yang terdengar menyebalkan di telinga. Dengan pipi sedikit menggembung dan bibir mengerucut, Valleya pun menuruni tangga hingga tiba ke depan pintu. Namun, masih dengan gerutuan mengenai Chrysander pagi ini. “Lalu, jika kau Yang Mulia, apakah aku seorang Puteri?” ejeknya, pada makhluk yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa berpamitan lebih dahulu. Semakin menambah kekesalan Valleya setelah ditinggal pergi oleh Chrysander bersama udara panas yang mengelilingi saat pria itu lenyap dalam hembusan angin. Tangan gadis itu pun memutar knop pintu, dan dia membukanya dengan satu hentakan. “Dia pria yang aneh, dan... aneh,” tambah Valleya dengan anggukan kepala. Baru sa
“Kau ... bukan manusia?” tanya Valleya dengan nada terjeda. Gadis itu bahkan terlihat memiringkan sedikit kepalanya, sembari mengedipkan mata berkali-kali. Hingga tanpa sadar, keduanya hanya saling pandang untuk beberapa waktu. Dengan wajah datar, Chrysander mengangguk samar. Pria itu bahkan terlihat mengulas senyuman tipis, yang semakin membuat Valleya menahan napas. Karena, tanpa pria itu sadari, pesonanya mampu melunakkan hati setiap wanita. Dan Valleya tidak masuk dalam pengecualian. “Ya ... Kau tidak terlihat seperti manusia,” gumam Valleya seketika, yang semakin melebarkan senyuman Chrysander, menjadikan gadis itu tersadar akan ucapannya barusan. Dengan satu tangan berada di mulut, Valleya pun beringsut ke sudut ruangan. Hal itu tentu saja memancing gelak tawa pria itu. “Apa kau baru saja memujiku, Angel?” Dengan satu alis naik mendekati dahi, Chrysander menatap Valleya sedikit sensual, yang semakin membua
Seketika Valleya terkesiap saat mendengar suara Chrysander yang muncul dari balik bahu. Gadis itu pun berputar cepat, dan tubuhnya nyaris terjatuh karena pergerakan yang tiba-tiba. Untung saja Chrysander menahan pinggang Valleya. Sehingga kepalanya tidak membentur permukaan lantai yang keras. "Ka-kau, bagaimana...," ucap gadis itu terbata.Dia melirik ke arah Bunga Kristal yang tidak bergerak dari tempatnya tadi. Dan anehnya, bunga itu tetap berada di posisi semula, dengan batang dan dedaunan yang seolah membeku di udara. Tidak terlihat tanda-tanda bunga itu barusan menyerang. "Bu-bunga itu." Tunjuk Valleya pada Bunga Kristal di atas meja. Dengan gumaman pelan, dia pun mengadukan apa yang dialaminya pada pria di sebelah; "Bunga itu mengeluarkan api. Sama seperti yang Bibi alami."Tangan Valleya mencengkram kuat pergelangan Chrysander, hingga membuat jubah hitamnya mengkerut. Namun, tampaknya pria itu tidak begitu peduli, dan
Suara langkah kaki yang melintasi lorong, menarik perhatian Bervis seketika. Pria itu mengintip ke arah sosok Chrysander dari balik daun pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Lirikan matanya menyipit, menandakan bahwa dia tidak senang dengan kedatangan tuannya secara mendadak. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak turun ke bumi siang hari, Yang Mulia," ucapnya, membuat langkah Chrysander terhenti di dekat anak tangga. Perlahan-lahan kepalanya pun terangkat, dan pandangannya jatuh ke arah Bervis yang telah berdiri di hadapan. Dengan senyuman malas, Chrysander pun mengangkat bahu. Acuh. Dia hendak melanjutkan langkah kembali, namun lagi-lagi Bervis bersuara. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, para malaikat itu sedang memperluas pencarian."Mendengar peringatan serius dari nada suara temannya itu, Chrysander pun menautkan kedua alis. "Aku tahu," jawabnya datar. "Dan intensitas kekuatan gadis