Valley baru saja keluar dari rumah Paman James setelah memberikan keranjang berisi roti, saat tiba-tiba dia berpapasan jalan dengan sepasang kekasih berwajah pucat yang seketika berhenti begitu melewati keduanya.
Entah mengapa bulu kuduk Valleya berdiri, dan dia merasa firasat aneh, seolah menyuruhnya untuk menghindari pasangan berwajah beku tersebut.
Jika diperhatikan dengan saksama, kulit mereka tampak tidak biasa, begitu pula dengan mata yang diarahkan pada Valleya, seakan dirinya adalah makanan, bukannya seorang manusia berjalan.
Karena tidak ingin dianggap bersikap tidak sopan, Valleya pun memberi pasangan itu jalan sehingga dia menepi ke pinggir bangunan dengan kepala menunduk ke bawah, namun belum sempat dia berjalan kembali, saat tiba-tiba sang wanita memanggil yang mengakibatkan tubuh Valleya lunglai sesaat.
Namun dengan cepat dia menepis perasaan lelah tersebut, dan mencoba berdiri tegak kembali, sebelum akhirnya berhenti.
“Hey, apa kita bisa bicara sebentar?” tanya wanita itu yang membuat insting Valleya menjeritkan kakinya untuk berlari, namun kepalanya yang lebih waras menolak untuk pergi.
Valleya menoleh, dan memerhatikan sekitar untuk memastikan bahwa benar dirinya yang dimaksud.
“Ya?” tanya Valleya gugup karena manik mata keduanya tampak berkilat sesaat tadi, namun ketika mereka berkedip tatapan itu normal kembali.
Si wanita tersenyum, akan tetapi bibirnya terlihat kaku dan seakan otot wajahnya tidak bergerak sedikit saja.
Sungguh aneh. Batin Valleya yang menaikan sedikit rasa waspada.
“Aku tidak tahu arah, apakah kau bisa menunjukan di mana balai kota?”
Saat wanita itu mendekat, membuat tubuh Valleya merinding tiba-tiba, dan tanpa sadar dia mundur satu langkah.
Menyadari sikapnya yang tidak biasa, wanita itu pun berhenti, namun masih dengan senyum terpasang di wajah.
“Kau hanya perlu jalan lurus, nanti berbelok ke kiri begitu sampai di persimpangan dekat toko bunga, setelahnya cukup ikuti petunjuk yang terpasang di sisi jalan, dan kurang dari lima menit kau akan tiba di balai kota,” jelas Valleya mencoba memberi detail semudah mungkin.
Selama mereka bicara, manik mata wanita itu berubah-ubah warna, dari merah ke cokelat, lalu ke merah dan ke cokelat lagi dalam waktu yang sangat cepat. Sungguh tidak biasa, sehingga bulu kuduk Valleya semakin berdiri karena dia dapat melihat perubahan itu dengan sangat jelas.
Yang lebih mengejutkan lagi, ujung lidah wanita tersebut tampak seperti membasahi bibir, seakan hendak menyantap sesuatu yang berada di hadapan.
Bukankah itu aneh? Atau memang Valleya masih bermimpi, karena jelas-jelas hal itu tidak mungkin nyata. Dan bayangan pria bermantel hitam bernama Chrysander kembali muncul dalam ingatan, membuat Valleya yakin mungkin itu residu dari mimpi malam kemarin.
“Terima kasih, kau sangat membantu,” ucap wanita itu sembari mendekat dan hendak menyentuh wajah Valleya, namun tiba-tiba saja udara di sekitar berubah berat dan panas, membuat Valleya ingin tertidur karena tubuhnya seketika terduduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding bangunan.
Mata Valleya memaksa untuk menutup, dan sekeras apa pun dia mencoba untuk tetap terjaga, tetap saja rasa kantuk lebih kuat menariknya dalam kegelapan.
Melihat buruan mereka yang jatuh tiba-tiba, dua makhluk itu pun terpaku dan menatap sekitar dengan waspada. Keduanya mendesis sembari mengendus udara yang menguarkan aroma pinus dan sandalwood yang kuat.
“Menjauh darinya,” ucap suara maskulin dengan nada marah yang kentara, membuat pasangan Vampir itu mundur tiba-tiba dan menatap sekitar dengan gelisah.
Mereka berusaha mencari keberadaan makhluk tak kasat mata yang kini membungkus Valleya dengan selimut cahaya yang tidak dapat disentuh oleh kedua Vampir lapar tersebut.
“Kami yang lebih dulu menemukan gadis ini!” hardik si pria dengan sangat tidak terima.
Terdengar suara dengusan, dan hanya dengan satu gulungan angin saja, pria penghisap darah itu pun terhempas keras ke tanah.
“Siapa kau?” tanya si wanita sembari mundur perlahan, tampak ingin lari dan meninggalkan pasangannya yang terlihat kesulitan bangkit kembali.
“Kau tidak perlu tahu, Lintah, pergilah dan jangan sampai aku menghancurkanmu jadi serbuk abu,” desis suara itu penuh penakanan disertai cemooh.
Mendengar kemarahan yang seketika membuat tubuhnya bagai diremas tangan besar tidak kasat mata, wanita itu pun menjeritkan kata pengampunan, membuat pori-pori di kulit pucatnya menguarkan aroma ketakutan yang kentara.
Suara maskulin itu mendengus jijik, seolah dia baru saja menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya.
“Kalian bau sekali!” geram suara itu kesal yang seketika membuat si wanita terhempas jauh ke udara dan jatuh di dekat jalan. “Pergilah! Sebelum aku habis kesabaran.”
Mendengar kata tersebut, pasangan Vampir itu pun berdiri lunglai, kemudian keduanya berlari dengan terpincang-pincang sebelum akhirnya mereka melangkah normal namun dengan kecepatan yang tidak dapat dilihat mata manusia.
Setelah kepergian pasangan itu, sebuah rona cahaya pun muncul tidak jauh dari tubuh Valleya yang terlelap, dan wujud Chrysander yang memakai mantel hitam seketika hadir di sana.
Saat dia berjalan mendekat, selubung cahaya yang tadi menyelimuti Valleya pun memudar seketika.
Melihat wajah lembut gadis itu yang tertidur, Chrysander pun berjongkok di sebelah dan mengobservasi dengan puas.
“Apa aku harus mengajarimu terlebih dahulu bahwa tidak semua yang kau lihat itu manusia, Angel?” bisiknya pelan sembari mengangkat kepala Valleya yang tampak bersandar tidak nyaman, dan membingkai wajah lembut itu di antara telapak tangan.
Chrysander mengedarkan pandangan ke sekitar, dan dia menyadari bahwa manusia-manusia yang melewati mereka tidak dapat melihat ruang yang dibuat oleh dua Vampir tersebut, seolah Valleya dan dirinya berada dalam sebuah aquarium terbuat dari kaca film. Sehingga orang-orang yang ada di luar tidak bisa melihat balik ke dalam.
Dia benar-benar tidak habis pikir, bahwa kedua Vampir itu nyaris saja memakan sesuatu yang dapat membuat keduanya hidup abadi dan memberikan kekuatan yang bisa menguasai umat manusia dengan bebas.
Chrysander mengusap wajah Valleya yang tampak pucat, dan dia pun menggendong tubuh tertidur itu di antara kedua lengan hanya dengan satu gerakan mudah.
Baru saja Sander hendak membawa Valleya keluar dari sana, saat tiba-tiba dirinya dikelilingi oleh tiga pria berbadan besar dan bertudung hitam, sama seperti jubbah yang dipakai dirinya.
“Aku sudah bilang tidak perlu menyusul sampai ke sini,” ucap Chrysander sembari memperbaiki posisi Valleya agar kepalanya lebih mudah bersandar di dada.
Mendengar nada Chrysander yang datar, para Jendral itu pun mengalihkan tatapan mata, lalu mengangguk satu kali.
“Maaf kan kami, Yang Mulia, tetapi diam saja membuat kami gelisah,” jawab salah satu Jendral berambut pirang dan tampak seperti pimipinan dari dua pria lainnya.
Sander hanya menatap ketiganya dengan diam, dan dia sadar bahwa tadi dirinya menghilang tiba-tiba saat mereka hendak memulai sebuah pertemuan.
“Aku hanya sebentar, kembalilah ke dunia bawah,” perintahnya yang membuat para Jenderal itu sedikit membungkukkan tubuh sebelum menghilang dari hadapan.
Setelah para bawahannya pergi, Chrysander hendak membawa Valleya menuju sebuah bangunan sekolah, saat lagi-lagi Bervis hadir dan membuat langkahnya terhenti.
Untuk sejenak Sander menutup mata sembari mengatur napas dan berharap dia masih memiliki sisa kesabaran, sebelum benar-benar meledakan amarah pada orang yang salah.
“Sekarang apa lagi?” tanya Sander dengan rahang mengatup dan mata berapi-api ketika memandang Bervis yang membalas dengan tatapan datar.
“Aku pikir kau membutuhkan bantuan,” ucap Bervis polos.
Mendengar pengakuan tersebut, Sander melempar sahabatnya itu dengan delikan tajam.
“Apa kau pikir aku tidak bisa mengatasi dua Lintah itu?”
Bervis hanya mengedikan bahu sembari menghancurkan ruangan yang para Vampir itu buat menjadi serbuk debu, kemudian menyelimuti mereka bertiga dengan selimut cahaya.
“Aku tahu gadis ini sangat berarti, tetapi bukan berarti kau harus terjun langsung, Yang Mulia,” jelas Bervis sembari menekankan panggilan kebesaran tersebut. Mengingatkan Chrysander bahwa ada banyak Jendral dan bawahan lain untuk menyelesaikan semua masalah.
Mendengar maksud perkataan pria di sebelah, tatapan Sander pun semakin dalam dan tajam.
“Tidak ada satu orang pun yang dapat melindunginya, selain diriku, karena gadis ini sudah terikat denganku. Dan kau seharusnya tahu, bahwa jiwa kita hanya diberi satu pasangan selama ribuan tahun.”
Setelah mengatakan hal itu, Chrysander pun menghilangkan diri bersama Valleya yang berada dalam gendongan, meninggalkan Bervis yang menghela napas berat dan menatap ke tempat Sander tadi berada.
“Kuharap kau tidak menjadi terobsesi pada sesuatu yang belum tentu kepingan jiwamu, Yang Mulia,” gumam Bervis yang juga menghilang, dan diam-diam mengikuti Chrysander menuju sekolah.
Chrysander membawa Valleya sampai ke ruang kesehatan sekolah, dan hanya dengan satu tatapan mata pada suster yang berjaga, dia pun dapat mempengaruhi pikiran orang di sekitar, bahwa tadi Valleya pingsan dan butuh istirahat beberapa jam saja.“Gadis itu sedang kelelahan dan butuh untuk tidur agar pulih kembali,” ucap Chrysander sembari mengunci mata sang perawat. “Apa kau mengerti?”Perawat wanita itu mengangguk kaku dan seketika wajahnya normal kembali saat ingatan perawat tersebut dipenuhi oleh kejadian buatan pemberian Chrysander, yang menunjukan bagaimana Valleya berakhir di sana.Dengan tatapan cemas, perawat itu pun akhirnya bergerak untuk memeriksa keadaan Valleya yang masih tertidur pulas di atas ranjang.Dan hanya dalam hitungan detik, Chrysander pun menghilang dari ruangan.Samar-samar Valleya melihat sosok pria menggendongnya beberapa waktu lalu, namun semua tampak begitu buram. Dengan keadaan paralyze dalam waktu
Baru saja Valleya hendak berangkat ke sekolah, saat tiba-tiba dia menemukan buket bunga yang sama seperti kemarin tergelatak di teras rumah.Langkah Valleya terhenti begitu dia mendapati bunga yang berkilau di bawah sinar matahari itu mengerlip-ngerlipkan cahaya pelangi ke segala arah, membuatnya seketika terpaku dengan tatapan penuh kekaguman.Baru saja dia membungkuk ketika menyentuh bunga tersebut, saat tiba-tiba Bibi Ema muncul dari arah dalam rumah dan mengagetkan Valleya hingga tubuhnya terlonjak kaget dan seketika menjauhi bunga kristal itu.“Astaga Bibi,” gumam Valleya sembari memegangi dada, lalu menjauhi buket bunga yang nyaris dia ambil dari atas lantai beranda.Bibi Ema hanya memandang Valleya dengan tatapan tidak senang, namun matanya beralih ke arah buket bunga yang memancarkan warna-warni cahaya ke segala arah, bagaikan permata yang dipajang di bawah sinar lampu seperti pameran dalam museum kerajaan.“Benda apa itu?
Saat tengah malam, suasana tenang di rumah yang Valleya tempati berubah menjadi mencekam begitu terdengar suara teriakan nyaring yang berasal dari kamar Bibi Ema. Valleya terbangun seketika dan dia berlari mendekati ke tempat bibinya berada dengan gerakan terburu-buru.“Bibi, ada apa?” tanya Valleya sembari menggedor pintu sedikit keras.Suara teriakan penuh terror itu lagi-lagi terdengar, membuat Valleya ketakutan dan cemas.“Bibi!” panggil Valleya, sembari berusaha membuka paksa kamar yang terkunci.Baru saja Valleya hendak mendobrak lagi saat tiba-tiba Bibi Ema keluar dengan mata membeliak nyalang dan melirik sekitar seolah dia baru saja dikejar oleh mimpi buruk.“Aku melihat sesuatu! Aku melihat sesuatu!” jeritnya dengan tubuh bergetar.Mendapati kondisi sang Bibi, Valleya pun membawa wanita tambun itu untuk masuk ke kamar lagi, namun Bibi Ema menahan langkah keduanya dan menggeleng cepat. Dia menolak
“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali, tidak seharusnya anak itu berada di rumahmu, tetapi kau tetap tidak mau mendengar,” ucap Bibi Dori pada Bibi Ema.“Tidak mungkin aku menolak kehadirannya, Dori. Apa kau tidak tahu bahwa kakakku tidak akan memberikan hartanya bila aku tidak mengasuh anak itu sampai melewati usia delapan belas?” jelas Bibi Ema sama sengitnya. “Bila saja tidak ada aturan demikian dalam surat wasiat yang dia tinggalkan, tentu saja aku tidak akan menerima anak itu. Bagiku, Dia hanya beban!”Kedua wanita itu membicarakan Valleya di saat gadis itu dapat mendengar dari lantai dua. Bahkan tadi, Valleya tidak sengaja melihat Bibi Dori yang melirik tajam padanya saat dia melewati pintu ketika hendak melintasi ruang tengah.“Taruh saja dia di panti penitipan sampai usianya delapan belas, dan di saat kau mendapat warisan, berikan pada mereka sejumlah uang sesuai kesepakatan,” saran Bibi Eva dengan pemi
“Apa si pria misterius dalam mimpimu masih mengganggu?” tanya Nina begitu keluar dari ruang kelas.Kepala Valleya menggeleng pelan, dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya sehingga lebih baik tidak menjelaskan apa-apa.“Oh, kalau begitu kenapa kau tampak murung begitu?”Seketika Valleya memijit kepala. Alasan perubahaan mood-nya yang buruk adalah karena dia tidak lagi merasakan keberadaan pria itu di sekitar seperti malam-malam sebelumnya. Tidak hanya itu, dia kesulitan tidur akhir-akhir ini. Pikirannya berkelana entah ke mana, dan selalu saja bayangan pria bertudung tersebut yang mengisi kepala.Sampai rasanya Valleya nyaris gila, dikarenakan pria itu terasa nyata, namun di saat bersamaan sosoknya seperti bagian mimpi.“Hhh … aku hanya lelah akhir-akhir ini,” kilahnya, tidak ingin menjelaskan apa yang dia rasakan.Percuma saja bercerita, karena Nina tidak akan percaya dan menganggap semua yang V
Hujan kembali membasahi Kota Metropis. Terlihat beberapa orang berlarian melindungi diri dari serbuan hujan, termasuk Valleya yang mempercepat langkah menuju pertokoan di pusat kota. Gadis muda itu berhenti di depan sebuah toko roti untuk berteduh.Baju merah muda yang membungkus tubuhnya basah, bahkan dari ujung kepala hingga sepatu juga ikut basah terkena guyuran hujan yang lebat.Dia memeluk diri dalam keadaan kedinginan, begitu pula beberapa orang yang berdiri berteduh tidak jauh darinya.Lama gadis itu berdiam di sana, dengan tangan menengadah ke depan, menampung tetesan-tetesan hujan yang jatuh dari atap pertokoan.Di tengah-tengah rasa dingin yang menyapa, senyum gadis itu terukir amat sempurna. Entah mengapa dia merasa senang ketika rintik-rintik hujan itu berkumpul dalam tadahan tangan mungilnya.Karena terlalu fokus bermain hujan, gadis itu tidak menyadari sosok bermantel hitam dengan topi menutupi separuh wajah tengah berdiri tepat di sa
Tubuh Valleya terasa seperti seringan bulu. Rasa pusing tiba-tiba saja menderanya begitu dia merasakan telapak kakinya berpijak pada lantai. Dan saat matanya terbuka, penglihatan Valleya tertuju pada tempat tidur yang berada di tengah-tengah ruangan.Belum sempat gadis itu menarik napas, tiba-tiba saja dia merasakan seluruh ruangan bergoyang dan kakinya kehilangan pijakan. Membuatnya nyaris luruh ke lantai andai saja sepasang tangan tidak segera menopang dirinya.Seketika kepala gadis itu pun menoleh cepat ke arah sosok pria yang berdiri di sebelah dengan tangan melingkar pada tubuh Valleya.Suara serak gadis itu pun bertanya pelan; “A-apa yang baru saja terjadi?”Bukannya memberi jawaban, Chrysander malah mengangkat tubuh Valleya ke udara, menyebabkan gadis itu menahan pekikan sembari melingkarkan kedua lengan pada leher pria itu yang tampak kokoh dan nyaman untuk dijadikan sandaran.Tanpa tahu malu, Valleya pun merebahkan kepala di sa
Suara langkah kaki yang melintasi lorong, menarik perhatian Bervis seketika. Pria itu mengintip ke arah sosok Chrysander dari balik daun pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Lirikan matanya menyipit, menandakan bahwa dia tidak senang dengan kedatangan tuannya secara mendadak. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak turun ke bumi siang hari, Yang Mulia," ucapnya, membuat langkah Chrysander terhenti di dekat anak tangga. Perlahan-lahan kepalanya pun terangkat, dan pandangannya jatuh ke arah Bervis yang telah berdiri di hadapan. Dengan senyuman malas, Chrysander pun mengangkat bahu. Acuh. Dia hendak melanjutkan langkah kembali, namun lagi-lagi Bervis bersuara. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, para malaikat itu sedang memperluas pencarian."Mendengar peringatan serius dari nada suara temannya itu, Chrysander pun menautkan kedua alis. "Aku tahu," jawabnya datar. "Dan intensitas kekuatan gadis
Valleya meronta-ronta hendak melarikan diri dari makhluk aneh yang berdiri dengan tatapan lapar ke arahnya. Seolah-olah makhluk itu ingin melahap dirinya seketika.“Makanan!” pekik makhluk yang membuka mulutnya lebar-lebar sembari memamerkan barisan gigi yang runcing, membuat Valleya semakin berteriak histeris.“Hmmmmm …. Makanan! Makanan!” Makhluk tersebut bersuara begitu nyaring hingga memekakkan telinga bagi yang mendengarnya.Dengan gerakan agresif, makhluk itu bergerak semakin dekat, menimbulkan ketakutan pada Valleya yang tubuhnya berubah kaku tiba-tiba hingga jeritan pun sulit lolos dari mulut mungilnya. Dan di tengah-tengah perasaan putus asa, Valleya merasakan radiasi hangat yang menyelimuti sekujur tubuh. Membalutnya dalam ketenangan yang mengeluarkan dirinya dari ketakutan.Di tengah-tengah isakan tangis yang tersisa, Valleya mendengar suara menggelegar bercampur amarah. Namun, entah mengapa, suara itu malah memberinya kelegaan luar biasa, dan bukan sebaliknya.“Apa kau sud
Pagi itu, Kota Metropis kembali diguyur hujan deras. Dan rasa dingin menusuk kulit membuat sebagian orang memilih untuk tetap berada di balik selimut dan rumah-rumah mereka.“Aku tidak percaya ini! Berbulan-bulan langit menurunkan hujan, seolah tanpa jeda,” gusar Bibi Ema yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah.Bibirnya mengerucut tidak senang begitu mendapati langit gelap yang ditutupi oleh awan.“Astaga, kau benar. Aku bahkan tidak pernah mengalami musim hujan sepanjang ini. Lihatlah, air menggenang di mana-mana. Tetapi anehnya, tidak pernah terjadi banjir bandang. Bukankah ini sangat tidak biasa?” tutur Bibi Eva sembari ikut menatap keluar bersama Bibi Ema.“Ya, ya. Ini fenomena yang sangat tidak biasa. Meskipun Metropis selalu diguyur hujan, tetapi tidak pernah selama ini. Bahkan, sepertinya keanehan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun ke belakang. Cobalah ingat-ingat kembali, betapa sulitnya menemukan matahari beberapa tahun terakhir.”Bibi Dori
Istana bawah tanah tampak begitu hening. Suasana gelap yang selalu menyelimuti kota mati itu pun terasa begitu suram. Bahkan, para iblis dan makhluk malam yang tinggal di dalamnya seolah-olah enggan untuk berkeliaran, dan masing-masing dari mereka tampak memilih untuk tetap diam di tempat peristirahatan pribadi.Akan tetapi, berbeda dengan para makhluk malam di strata terbawah, seorang Jendral berambut pirang dan berbadan tegap nan tegas terlihat berjalan melintasi kota bersama sepasukan iblis berseragam serupa. Hitam dan gelap. Bagaikan bayangan yang selalu menyelimuti aura kumpulan pria-pria itu.“Yang Mulia tidak akan senang jika kita berpatroli ke permukaan bumi, Jendral,” ucap salah satu dari pasukan tersebut dengan tatapan lurus ke tanah pijakannya. “Anda sangat mengerti, dia tidak akan membiarkan kita begitu saja bila datang ke sana mencarinya.”Terdengar suara helaan panjang, menandakan sang Jendral mendengarkan nasihat barusan. Dari caranya bernapas, siapapun yang mendengar t
Jantung Valleya berdetak teramat kencang. Seolah-olah organ paling penting itu hendak meledak dari sarangnya. Sementara Chrysander yang dapat mendengar debaran jantung gadis itu hanya mengulas seringai kecil di sudut bibir.“Ah … aku tidak mengira kau sangat bersemangat,” bisiknya diikuti kekehan pelan sembari menjatuhkan kecupan panjang di sekitar tengkuk Valleya, yang membuat gadis itu merinding karenanya. “Dengarkanlah detak jantungmu berirama begitu merdu dan itu membuat candu.”Chrysander membawa jemari Valleya ke dalam dekapan hangat tangan kokohnya, lalu pria itu pun menaruh jari-jemari lentik itu di atas dada Valleya yang bergetar.“See … kau bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaanmu, Angel,” ucapnya, sembari melepaskan tubuh gadis itu dari dekapan.Sepersekian detik kemudian, Chrysander mulai menjauh, hingga akhirnya pria itu duduk di atas ranjang seperti posisinya semula ketika Valleya masuk di awal tadi.Tubuh Valleya yang baru saja kehilangan kehangatan dari Chrysander t
“Paman John!” panggil Valleya begitu dia membuka pintu sebuah toko roti.Tampak seorang pria dewasa berparas cukup rupawan dengan gurat usia di sudut mata dan dahi keluar dari sebuah pintu di belakang ruangan.“Hey Princess,” sapanya begitu Valleya melangkah ke arah konter. “Aku membawakan pesan dari Bibi.”Mendengar ucapan Valleya, seketika pria itu mendekati sebuah meja dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalamnya. Jemarinya tampak menghitung beberapa lembar uang yang berasal dari amplop tersebut.“Apa kau baru saja dari tempat Miss Fudge?” tanya John setelah dia menghitung pembayaran.Pria paruh baya itu pun berjalan ke arah Valleya yang menunggunya di seberang konter.“Hu umm,” gumam gadis itu diikuti anggukan kepala. “Miss Fudge sangat sibuk, sehingga aku tidak bisa berbicara dengannya. Ada banyak hal yang harus dia persiapkan untuk Festival.”John hanya mengulas senyum sembari menyerahkan amplop cokelat yang ada di tangan.“Ya, semua orang sangat antusias dengan festival
Valleya keluar dari kamarnya dalam keadaan bersungut-sungut sembari menggeleng kesal akan pembicaraannya dengan Chrysander pagi ini. Dia bahkan ingin melemparkan sesuatu pada pria itu, karena tidak memberinya jawaban yang memuaskan. “Orang-orang memanggilku Yang Mulia,” gumam Valleya, menirukan cara bicaranya yang terdengar menyebalkan di telinga. Dengan pipi sedikit menggembung dan bibir mengerucut, Valleya pun menuruni tangga hingga tiba ke depan pintu. Namun, masih dengan gerutuan mengenai Chrysander pagi ini. “Lalu, jika kau Yang Mulia, apakah aku seorang Puteri?” ejeknya, pada makhluk yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa berpamitan lebih dahulu. Semakin menambah kekesalan Valleya setelah ditinggal pergi oleh Chrysander bersama udara panas yang mengelilingi saat pria itu lenyap dalam hembusan angin. Tangan gadis itu pun memutar knop pintu, dan dia membukanya dengan satu hentakan. “Dia pria yang aneh, dan... aneh,” tambah Valleya dengan anggukan kepala. Baru sa
“Kau ... bukan manusia?” tanya Valleya dengan nada terjeda. Gadis itu bahkan terlihat memiringkan sedikit kepalanya, sembari mengedipkan mata berkali-kali. Hingga tanpa sadar, keduanya hanya saling pandang untuk beberapa waktu. Dengan wajah datar, Chrysander mengangguk samar. Pria itu bahkan terlihat mengulas senyuman tipis, yang semakin membuat Valleya menahan napas. Karena, tanpa pria itu sadari, pesonanya mampu melunakkan hati setiap wanita. Dan Valleya tidak masuk dalam pengecualian. “Ya ... Kau tidak terlihat seperti manusia,” gumam Valleya seketika, yang semakin melebarkan senyuman Chrysander, menjadikan gadis itu tersadar akan ucapannya barusan. Dengan satu tangan berada di mulut, Valleya pun beringsut ke sudut ruangan. Hal itu tentu saja memancing gelak tawa pria itu. “Apa kau baru saja memujiku, Angel?” Dengan satu alis naik mendekati dahi, Chrysander menatap Valleya sedikit sensual, yang semakin membua
Seketika Valleya terkesiap saat mendengar suara Chrysander yang muncul dari balik bahu. Gadis itu pun berputar cepat, dan tubuhnya nyaris terjatuh karena pergerakan yang tiba-tiba. Untung saja Chrysander menahan pinggang Valleya. Sehingga kepalanya tidak membentur permukaan lantai yang keras. "Ka-kau, bagaimana...," ucap gadis itu terbata.Dia melirik ke arah Bunga Kristal yang tidak bergerak dari tempatnya tadi. Dan anehnya, bunga itu tetap berada di posisi semula, dengan batang dan dedaunan yang seolah membeku di udara. Tidak terlihat tanda-tanda bunga itu barusan menyerang. "Bu-bunga itu." Tunjuk Valleya pada Bunga Kristal di atas meja. Dengan gumaman pelan, dia pun mengadukan apa yang dialaminya pada pria di sebelah; "Bunga itu mengeluarkan api. Sama seperti yang Bibi alami."Tangan Valleya mencengkram kuat pergelangan Chrysander, hingga membuat jubah hitamnya mengkerut. Namun, tampaknya pria itu tidak begitu peduli, dan
Suara langkah kaki yang melintasi lorong, menarik perhatian Bervis seketika. Pria itu mengintip ke arah sosok Chrysander dari balik daun pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Lirikan matanya menyipit, menandakan bahwa dia tidak senang dengan kedatangan tuannya secara mendadak. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak turun ke bumi siang hari, Yang Mulia," ucapnya, membuat langkah Chrysander terhenti di dekat anak tangga. Perlahan-lahan kepalanya pun terangkat, dan pandangannya jatuh ke arah Bervis yang telah berdiri di hadapan. Dengan senyuman malas, Chrysander pun mengangkat bahu. Acuh. Dia hendak melanjutkan langkah kembali, namun lagi-lagi Bervis bersuara. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, para malaikat itu sedang memperluas pencarian."Mendengar peringatan serius dari nada suara temannya itu, Chrysander pun menautkan kedua alis. "Aku tahu," jawabnya datar. "Dan intensitas kekuatan gadis