Ketika pagi tiba, Valleya menemukan sebuket bunga yang sangat indah di depan jendela.
Lama dia terdiam menatap kelopak pelangi pada bunga-bunga beraneka jenis, namun tidak pernah dia temui sebelumnya. Seolah bunga-bunga tersebut tidak tumbuh di bumi melainkan surga.
Setiap bunga-bunga itu tampak berkilau bagai taburan kristal yang menempel di setiap daun, batang, dan kelopak dengan aneka warna pelangi begitu diterpa cahaya sinar mentari pagi.
Dengan ragu-ragu Valleya menyentuh buket tersebut, sedang kepalanya menatap sekitar. Pada atap rumah di hadapan yang terlihat dari jendela kamar, serta langit biru yang menunjukan cuaca begitu cerah dengan semilir angin pagi menyentuh pipi.
“Dari siapa bunga ini?” gumamnya penuh tanya ketika menaruh buket itu ke dalam pelukan.
Tidak mungkin seekor burung membawa benda sebesar itu terbang di angksa dan menjatuhkannya tepat di depan jendela Valleya.
Dengan diliputi perasaan mengganjal, gadis tujuh belas tahun itu pun menutup daun jendela beserta gorden yang melindungi dari terpaan cahaya luar. Kemudian, dia menaruh buket tersebut ke atas meja dan segera keluar dari ruangan, menuju lantai bawah untuk sarapan.
Bibi Ema yang melihat Valleya datang terlambat hanya memberikan tatapan masam, sedang kedua tangan berada di pinggang dan lidah berdecak tidak senang.
“Aku sudah bilang jam makan pagi adalah pukul tujuh!” kata wanita tambun dan berwajah bulat tersebut penuh kekesalan.
Valley menatap Bibinya bersalah sembari menggigit bibir bawah.
“Maaf, Bibi,” ucap Valley pelan dengan kepala menunduk ke bawah begitu sampai di kursi yang biasa ia duduki.
Rumah itu hanya ada mereka berdua, sehingga meja makan terasa jauh lebih canggung bila Valleya melakukan sedikit saja kesalahan.
Bibi Ema adalah wanita penuh aturan. Karena wanita paruh baya itu sudah terbiasa hidup sendiri, dan sepertinya sang Bibi sangat terganggu akan kehadiran Valleya sejak beberapa bulan setelah kematian Ibu gadis tersebut. Yang tidak lain adalah kakak kandung sang Bibi.
Keduanya makan dalam hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu beradu piring.
“Sebelum kau pergi ke sekolah, aku ingin kau membawa keranjang-keranjang itu ke rumah Paman James,” ucap Bibi Ema memberi perintah.
Valley mengangguk saja dan terus menghabiskan makanan.
“Dan jangan lupa untuk mengambil uang dari Agate begitu kau pulang dari sekolah,” tambah sang Bibi begitu mereka menyelesaikan sarapan.
Setelah menaruh sendok, garpu dan piring ke westafel, Valleya pun menyahut patuh.
“Baik Bibi,” jawabnya sembari berjalan menuju keluar rumah.
Agate yang Bibi Ema maksud adalah kedai makanan di mana biasanya mereka menitipkan kue-kue yang dibuat. Dan dari sanalah sumber penghasilan rumah itu berasal yaitu kue buatan Bibi untuk pesanan.
Meskipun harta yang diwariskan Ibu angkat Valleya dapat membuat mereka hidup berkecukupan, tetapi dia masih belum memiliki akses untuk menyentuh semua kekayaan itu. Termasuk sebuah Mansion yang kini ditutup dan tidak bisa dia masuki perkara usia Valleya belum menginjak dua puluh empat.
“Aku pergi Bi!” seru Valleya berpamitan, yang hanya dibalas dengan suara gumaman dari arah dapur.
Dengan langkah malas, Valleya melintasi halaman dan menyusuri jalanan di depan tanpa memperhatikan sekitar.
Sander yang sejak tadi bersandar di salah satu dahan pohon dekat rumah gadis itu, hanya bisa menggelengkan kepala ketika Valleya nyaris tertabrak sebuah kereta kuda yang melaju cepat di jalan utama. Dia menarik napas dan mengangkat tubuh gadis itu hingga bergeser ke tepi jalan dengan satu gerakan jari yang diarahkan ke udara.
Seketika tubuh Valleya berpindah dengan lembut ke sisi jalan yang lebih aman, seolah-olah ada angin yang menerbangkannya dengan sengaja, membuat gadis itu terpaku dan menatap sekitar dengan mata bergetar.
Melihat Valleya menatap sekitar dengan takut, Sander pun mengusap tengkuk karena lagi-lagi dia melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, namun bila tidak begitu Valleya dapat terluka.
Ketika Valleya menghilang di ujung jalan dengan langkah terburu-buru, Bervis pun tiba-tiba muncul di sebelah. Sayap hitamnya yang besar mengepak di udara sedang kedua tangan bersidekap dan fokus pandangan lurus ke depan, menatap kepergian Valleya menuju pusat kota.
“Ada apa kau menyusul?” tanya Sander datar sembari berdiri di dahan pohon sedang tangan berada di masing-masing saku celana.
Bervis mengalihkan pandangan dan menatap ke arah sahabat sekaligus tuannya itu.
“Tadinya kau bilang hanya ingin berkunjung untuk patroli, tetapi ini …” Tunjuk Bervis ke sekitar. “Aku tidak ingat, bahwa tujuan kita ke bumi adalah melihat gadis itu.”
Sander tersenyum samar dan menoleh sedikit ke arah Bervis yang masih melayang di sebelah.
“Apa sekarang aku harus melaporkan setiap kegiatan ketika naik ke Bumi?”
Mendengar ada sedikit nada tidak senang dari sahabatnya itu, Bervis pun menggeleng pelan.
“Maksudku bukan begitu,” bantah pria berbadan besar tersebut.
Sander membuang tatapan kembali lurus ke depan, dan dia mengibaskan tangan ke udara, menunjukan sebaiknya Bervis tidak mengingatkan lagi dengan apa yang sedang mereka lakukan di Bumi.
“Tugas kita sudah selesai,” ucap Sander sembari menatap ke arah langit yang memamerkan bentangan warna biru yang indah.
Bervis mengikuti arah pandang sahabatnya tersebut, dan dia dapat melihat rona cahaya merah pekat yang memenuhi langit, menandakan portal dunia bawah dari dimensi berbeda sedang terbuka.
“Aku melihat hal yang berbeda,” kata Bervis sembari menatap sekitar dengan cemas.
Sander hanya tersenyum tipis.
“Tidak perlu khawatir, portal itu sedang dijaga.”
Mendengar hal itu, Bervis pun ikut tersenyum, karena itu artinya Sander baru saja menyuruh beberapa jendral kepercayaan yang berada di bawah perintahnya untuk menutup portal itu kembali.
Akan menjadi bencana bila para Iblis dari dunia bawah tanah berhasil lolos secara beramai-ramai ke Bumi, karena itu artinya akan banyak manusia yang mati, dan menjadi pekerjaan sulit, tidak hanya bagi Sander tetapi juga para Malaikat penjaga manusia.
“Apa kau melakukan ini semua karena gadis itu?”
Sander mendengus keras dan melirik Bervis tajam.
“Kau tahu bahwa semua yang kulakukan tidak hanya berpusat pada satu wanita, Bervis. Jadi, jangan menanyakan sesuatu yang sudah kau tahu jawabannya.”
Bervis memilih bungkam dan mengangguk sebanyak satu kali.
Meskipun Sander mengatakan dia menutup portal dunia bawah agar para Iblis tidak mendapat serangan dari para Malaikat, tetapi jelas sekali dia juga melakukan itu demi gadis yang tadi menjadi pusat perhatian keduanya.
Karena kehadiran gadis itu dapat membuat ketidakseimbangan bagi dua makhluk yang saat ini sedang bersitegang. Usianya sebentar lagi menginjak delapan belas, dan bila mereka tidak siaga, bisa-bisa akan terjadi kekacauan di dunia.
“Sebaiknya kita kembali,” ujar Sander yang perlahan tubuhnya menghilang dalam rona cahaya.
“Bagaimana dengan bunga itu?”
Mendengar pertanyaan tersebut, tubuh Sander yang mulai memudar akhirnya utuh kembali.
Dia melirik sahabatnya itu dengan sebelah alis naik ke dahi.
“Aku sudah menaruhnya di jendela Angel sebelum kau tiba.”
Mendengar itu, Bervis menatap Sander seolah dia gila.
“Dia itu manusia, Sander! Bagaimana bila tangannya terluka begitu memegang bunga-bunga tersebut!”
Kini, Sander balas melotot seolah Bervis yang tidak tahu apa-apa.
“Gadis itu bukan manusia, Bervis! Buktinya tangan mulusnya tidak tergores sedikit saja,” kata Chrysander membela diri dan memaparkan kenyataan saat tadi Valleya menggenggam bunga kristal itu ke dalam dekapan.
Terdengar dengusan dari Bervis yang tidak mengira Sander bisa menjadi pria paling ceroboh. Bagaimana bila kulit Valleya terbakar karena menyentuh sesuatu yang tidak berasal dari Bumi. Saat ini Valleya adalah seorang manusia, dia masih belum berubah ke wujud aslinya.
“Sekarang kau memberinya Bunga mematikan, lalu besok … apa kau akan memaksanya untuk lompat dari ketinggian saat mengajari gadis itu untuk terbang?”
Beberapa detik Sander terdiam.
Seketika Bervis merasakan keringat dingin keluar dari pori-pori begitu melihat ekspresi sahabatnya yang tampak seperti sedang mempertimbangkan ide gila barusan.
“Jangan pernah kau memiliki pemikiran seperti itu … please,” ucap Bervis dengan suara rendah.
Sander menyeringai dengan sebelah alis naik ke dahi, sedang matanya menatap Bervis seolah mengatakan; memangnya kau bisa apa bila aku melakukan hal itu?
Yang seketika membuat Bervis ingin menepuk dahi ke dahan di sebelah.
“Dia masih hitungan bayi dalam dunia mereka!” kata Bervis meninggikan suara, sementara Sander hanya mengedikan bahu seakan tidak peduli.
Bayi atau tidak, Valleya harus bisa terbang di udara. Apa gunanya memiliki sayap bila tidak bisa dipakai, meskipun sayap gadis itu belum juga tumbuh. Atau mungkin Sander memeriksanya saja, dengan membuka baju gadis itu saat sedang tidur mungkin? Bukankah dia tidak akan tahu bila tidak memeriksanya sendiri?
“Dasar mulut lemasku ini,” rutuk Bervis pada diri sendiri. Dan dia pun menatap Sander tajam sembari berkata; “Sebaiknya kita pergi sebelum kau mendapat ide yang lebih gila.”
Sander hanya tersenyum dan tubuhnya seketika hilang dalam rona cahaya, yang diikuti Bervis belakangan.
“Dasar mesum,” desis Bervis sembari memutar bola mata bersamaan dengan rona cahaya melahap tubuhnya menuju dunia bawah.
Valley baru saja keluar dari rumah Paman James setelah memberikan keranjang berisi roti, saat tiba-tiba dia berpapasan jalan dengan sepasang kekasih berwajah pucat yang seketika berhenti begitu melewati keduanya.Entah mengapa bulu kuduk Valleya berdiri, dan dia merasa firasat aneh, seolah menyuruhnya untuk menghindari pasangan berwajah beku tersebut.Jika diperhatikan dengan saksama, kulit mereka tampak tidak biasa, begitu pula dengan mata yang diarahkan pada Valleya, seakan dirinya adalah makanan, bukannya seorang manusia berjalan.Karena tidak ingin dianggap bersikap tidak sopan, Valleya pun memberi pasangan itu jalan sehingga dia menepi ke pinggir bangunan dengan kepala menunduk ke bawah, namun belum sempat dia berjalan kembali, saat tiba-tiba sang wanita memanggil yang mengakibatkan tubuh Valleya lunglai sesaat.Namun dengan cepat dia menepis perasaan lelah tersebut, dan mencoba berdiri tegak kembali, sebelum akhirnya berhenti.“Hey, apa
Chrysander membawa Valleya sampai ke ruang kesehatan sekolah, dan hanya dengan satu tatapan mata pada suster yang berjaga, dia pun dapat mempengaruhi pikiran orang di sekitar, bahwa tadi Valleya pingsan dan butuh istirahat beberapa jam saja.“Gadis itu sedang kelelahan dan butuh untuk tidur agar pulih kembali,” ucap Chrysander sembari mengunci mata sang perawat. “Apa kau mengerti?”Perawat wanita itu mengangguk kaku dan seketika wajahnya normal kembali saat ingatan perawat tersebut dipenuhi oleh kejadian buatan pemberian Chrysander, yang menunjukan bagaimana Valleya berakhir di sana.Dengan tatapan cemas, perawat itu pun akhirnya bergerak untuk memeriksa keadaan Valleya yang masih tertidur pulas di atas ranjang.Dan hanya dalam hitungan detik, Chrysander pun menghilang dari ruangan.Samar-samar Valleya melihat sosok pria menggendongnya beberapa waktu lalu, namun semua tampak begitu buram. Dengan keadaan paralyze dalam waktu
Baru saja Valleya hendak berangkat ke sekolah, saat tiba-tiba dia menemukan buket bunga yang sama seperti kemarin tergelatak di teras rumah.Langkah Valleya terhenti begitu dia mendapati bunga yang berkilau di bawah sinar matahari itu mengerlip-ngerlipkan cahaya pelangi ke segala arah, membuatnya seketika terpaku dengan tatapan penuh kekaguman.Baru saja dia membungkuk ketika menyentuh bunga tersebut, saat tiba-tiba Bibi Ema muncul dari arah dalam rumah dan mengagetkan Valleya hingga tubuhnya terlonjak kaget dan seketika menjauhi bunga kristal itu.“Astaga Bibi,” gumam Valleya sembari memegangi dada, lalu menjauhi buket bunga yang nyaris dia ambil dari atas lantai beranda.Bibi Ema hanya memandang Valleya dengan tatapan tidak senang, namun matanya beralih ke arah buket bunga yang memancarkan warna-warni cahaya ke segala arah, bagaikan permata yang dipajang di bawah sinar lampu seperti pameran dalam museum kerajaan.“Benda apa itu?
Saat tengah malam, suasana tenang di rumah yang Valleya tempati berubah menjadi mencekam begitu terdengar suara teriakan nyaring yang berasal dari kamar Bibi Ema. Valleya terbangun seketika dan dia berlari mendekati ke tempat bibinya berada dengan gerakan terburu-buru.“Bibi, ada apa?” tanya Valleya sembari menggedor pintu sedikit keras.Suara teriakan penuh terror itu lagi-lagi terdengar, membuat Valleya ketakutan dan cemas.“Bibi!” panggil Valleya, sembari berusaha membuka paksa kamar yang terkunci.Baru saja Valleya hendak mendobrak lagi saat tiba-tiba Bibi Ema keluar dengan mata membeliak nyalang dan melirik sekitar seolah dia baru saja dikejar oleh mimpi buruk.“Aku melihat sesuatu! Aku melihat sesuatu!” jeritnya dengan tubuh bergetar.Mendapati kondisi sang Bibi, Valleya pun membawa wanita tambun itu untuk masuk ke kamar lagi, namun Bibi Ema menahan langkah keduanya dan menggeleng cepat. Dia menolak
“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali, tidak seharusnya anak itu berada di rumahmu, tetapi kau tetap tidak mau mendengar,” ucap Bibi Dori pada Bibi Ema.“Tidak mungkin aku menolak kehadirannya, Dori. Apa kau tidak tahu bahwa kakakku tidak akan memberikan hartanya bila aku tidak mengasuh anak itu sampai melewati usia delapan belas?” jelas Bibi Ema sama sengitnya. “Bila saja tidak ada aturan demikian dalam surat wasiat yang dia tinggalkan, tentu saja aku tidak akan menerima anak itu. Bagiku, Dia hanya beban!”Kedua wanita itu membicarakan Valleya di saat gadis itu dapat mendengar dari lantai dua. Bahkan tadi, Valleya tidak sengaja melihat Bibi Dori yang melirik tajam padanya saat dia melewati pintu ketika hendak melintasi ruang tengah.“Taruh saja dia di panti penitipan sampai usianya delapan belas, dan di saat kau mendapat warisan, berikan pada mereka sejumlah uang sesuai kesepakatan,” saran Bibi Eva dengan pemi
“Apa si pria misterius dalam mimpimu masih mengganggu?” tanya Nina begitu keluar dari ruang kelas.Kepala Valleya menggeleng pelan, dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya sehingga lebih baik tidak menjelaskan apa-apa.“Oh, kalau begitu kenapa kau tampak murung begitu?”Seketika Valleya memijit kepala. Alasan perubahaan mood-nya yang buruk adalah karena dia tidak lagi merasakan keberadaan pria itu di sekitar seperti malam-malam sebelumnya. Tidak hanya itu, dia kesulitan tidur akhir-akhir ini. Pikirannya berkelana entah ke mana, dan selalu saja bayangan pria bertudung tersebut yang mengisi kepala.Sampai rasanya Valleya nyaris gila, dikarenakan pria itu terasa nyata, namun di saat bersamaan sosoknya seperti bagian mimpi.“Hhh … aku hanya lelah akhir-akhir ini,” kilahnya, tidak ingin menjelaskan apa yang dia rasakan.Percuma saja bercerita, karena Nina tidak akan percaya dan menganggap semua yang V
Hujan kembali membasahi Kota Metropis. Terlihat beberapa orang berlarian melindungi diri dari serbuan hujan, termasuk Valleya yang mempercepat langkah menuju pertokoan di pusat kota. Gadis muda itu berhenti di depan sebuah toko roti untuk berteduh.Baju merah muda yang membungkus tubuhnya basah, bahkan dari ujung kepala hingga sepatu juga ikut basah terkena guyuran hujan yang lebat.Dia memeluk diri dalam keadaan kedinginan, begitu pula beberapa orang yang berdiri berteduh tidak jauh darinya.Lama gadis itu berdiam di sana, dengan tangan menengadah ke depan, menampung tetesan-tetesan hujan yang jatuh dari atap pertokoan.Di tengah-tengah rasa dingin yang menyapa, senyum gadis itu terukir amat sempurna. Entah mengapa dia merasa senang ketika rintik-rintik hujan itu berkumpul dalam tadahan tangan mungilnya.Karena terlalu fokus bermain hujan, gadis itu tidak menyadari sosok bermantel hitam dengan topi menutupi separuh wajah tengah berdiri tepat di sa
Tubuh Valleya terasa seperti seringan bulu. Rasa pusing tiba-tiba saja menderanya begitu dia merasakan telapak kakinya berpijak pada lantai. Dan saat matanya terbuka, penglihatan Valleya tertuju pada tempat tidur yang berada di tengah-tengah ruangan.Belum sempat gadis itu menarik napas, tiba-tiba saja dia merasakan seluruh ruangan bergoyang dan kakinya kehilangan pijakan. Membuatnya nyaris luruh ke lantai andai saja sepasang tangan tidak segera menopang dirinya.Seketika kepala gadis itu pun menoleh cepat ke arah sosok pria yang berdiri di sebelah dengan tangan melingkar pada tubuh Valleya.Suara serak gadis itu pun bertanya pelan; “A-apa yang baru saja terjadi?”Bukannya memberi jawaban, Chrysander malah mengangkat tubuh Valleya ke udara, menyebabkan gadis itu menahan pekikan sembari melingkarkan kedua lengan pada leher pria itu yang tampak kokoh dan nyaman untuk dijadikan sandaran.Tanpa tahu malu, Valleya pun merebahkan kepala di sa
Valleya meronta-ronta hendak melarikan diri dari makhluk aneh yang berdiri dengan tatapan lapar ke arahnya. Seolah-olah makhluk itu ingin melahap dirinya seketika.“Makanan!” pekik makhluk yang membuka mulutnya lebar-lebar sembari memamerkan barisan gigi yang runcing, membuat Valleya semakin berteriak histeris.“Hmmmmm …. Makanan! Makanan!” Makhluk tersebut bersuara begitu nyaring hingga memekakkan telinga bagi yang mendengarnya.Dengan gerakan agresif, makhluk itu bergerak semakin dekat, menimbulkan ketakutan pada Valleya yang tubuhnya berubah kaku tiba-tiba hingga jeritan pun sulit lolos dari mulut mungilnya. Dan di tengah-tengah perasaan putus asa, Valleya merasakan radiasi hangat yang menyelimuti sekujur tubuh. Membalutnya dalam ketenangan yang mengeluarkan dirinya dari ketakutan.Di tengah-tengah isakan tangis yang tersisa, Valleya mendengar suara menggelegar bercampur amarah. Namun, entah mengapa, suara itu malah memberinya kelegaan luar biasa, dan bukan sebaliknya.“Apa kau sud
Pagi itu, Kota Metropis kembali diguyur hujan deras. Dan rasa dingin menusuk kulit membuat sebagian orang memilih untuk tetap berada di balik selimut dan rumah-rumah mereka.“Aku tidak percaya ini! Berbulan-bulan langit menurunkan hujan, seolah tanpa jeda,” gusar Bibi Ema yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah.Bibirnya mengerucut tidak senang begitu mendapati langit gelap yang ditutupi oleh awan.“Astaga, kau benar. Aku bahkan tidak pernah mengalami musim hujan sepanjang ini. Lihatlah, air menggenang di mana-mana. Tetapi anehnya, tidak pernah terjadi banjir bandang. Bukankah ini sangat tidak biasa?” tutur Bibi Eva sembari ikut menatap keluar bersama Bibi Ema.“Ya, ya. Ini fenomena yang sangat tidak biasa. Meskipun Metropis selalu diguyur hujan, tetapi tidak pernah selama ini. Bahkan, sepertinya keanehan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun ke belakang. Cobalah ingat-ingat kembali, betapa sulitnya menemukan matahari beberapa tahun terakhir.”Bibi Dori
Istana bawah tanah tampak begitu hening. Suasana gelap yang selalu menyelimuti kota mati itu pun terasa begitu suram. Bahkan, para iblis dan makhluk malam yang tinggal di dalamnya seolah-olah enggan untuk berkeliaran, dan masing-masing dari mereka tampak memilih untuk tetap diam di tempat peristirahatan pribadi.Akan tetapi, berbeda dengan para makhluk malam di strata terbawah, seorang Jendral berambut pirang dan berbadan tegap nan tegas terlihat berjalan melintasi kota bersama sepasukan iblis berseragam serupa. Hitam dan gelap. Bagaikan bayangan yang selalu menyelimuti aura kumpulan pria-pria itu.“Yang Mulia tidak akan senang jika kita berpatroli ke permukaan bumi, Jendral,” ucap salah satu dari pasukan tersebut dengan tatapan lurus ke tanah pijakannya. “Anda sangat mengerti, dia tidak akan membiarkan kita begitu saja bila datang ke sana mencarinya.”Terdengar suara helaan panjang, menandakan sang Jendral mendengarkan nasihat barusan. Dari caranya bernapas, siapapun yang mendengar t
Jantung Valleya berdetak teramat kencang. Seolah-olah organ paling penting itu hendak meledak dari sarangnya. Sementara Chrysander yang dapat mendengar debaran jantung gadis itu hanya mengulas seringai kecil di sudut bibir.“Ah … aku tidak mengira kau sangat bersemangat,” bisiknya diikuti kekehan pelan sembari menjatuhkan kecupan panjang di sekitar tengkuk Valleya, yang membuat gadis itu merinding karenanya. “Dengarkanlah detak jantungmu berirama begitu merdu dan itu membuat candu.”Chrysander membawa jemari Valleya ke dalam dekapan hangat tangan kokohnya, lalu pria itu pun menaruh jari-jemari lentik itu di atas dada Valleya yang bergetar.“See … kau bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaanmu, Angel,” ucapnya, sembari melepaskan tubuh gadis itu dari dekapan.Sepersekian detik kemudian, Chrysander mulai menjauh, hingga akhirnya pria itu duduk di atas ranjang seperti posisinya semula ketika Valleya masuk di awal tadi.Tubuh Valleya yang baru saja kehilangan kehangatan dari Chrysander t
“Paman John!” panggil Valleya begitu dia membuka pintu sebuah toko roti.Tampak seorang pria dewasa berparas cukup rupawan dengan gurat usia di sudut mata dan dahi keluar dari sebuah pintu di belakang ruangan.“Hey Princess,” sapanya begitu Valleya melangkah ke arah konter. “Aku membawakan pesan dari Bibi.”Mendengar ucapan Valleya, seketika pria itu mendekati sebuah meja dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalamnya. Jemarinya tampak menghitung beberapa lembar uang yang berasal dari amplop tersebut.“Apa kau baru saja dari tempat Miss Fudge?” tanya John setelah dia menghitung pembayaran.Pria paruh baya itu pun berjalan ke arah Valleya yang menunggunya di seberang konter.“Hu umm,” gumam gadis itu diikuti anggukan kepala. “Miss Fudge sangat sibuk, sehingga aku tidak bisa berbicara dengannya. Ada banyak hal yang harus dia persiapkan untuk Festival.”John hanya mengulas senyum sembari menyerahkan amplop cokelat yang ada di tangan.“Ya, semua orang sangat antusias dengan festival
Valleya keluar dari kamarnya dalam keadaan bersungut-sungut sembari menggeleng kesal akan pembicaraannya dengan Chrysander pagi ini. Dia bahkan ingin melemparkan sesuatu pada pria itu, karena tidak memberinya jawaban yang memuaskan. “Orang-orang memanggilku Yang Mulia,” gumam Valleya, menirukan cara bicaranya yang terdengar menyebalkan di telinga. Dengan pipi sedikit menggembung dan bibir mengerucut, Valleya pun menuruni tangga hingga tiba ke depan pintu. Namun, masih dengan gerutuan mengenai Chrysander pagi ini. “Lalu, jika kau Yang Mulia, apakah aku seorang Puteri?” ejeknya, pada makhluk yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa berpamitan lebih dahulu. Semakin menambah kekesalan Valleya setelah ditinggal pergi oleh Chrysander bersama udara panas yang mengelilingi saat pria itu lenyap dalam hembusan angin. Tangan gadis itu pun memutar knop pintu, dan dia membukanya dengan satu hentakan. “Dia pria yang aneh, dan... aneh,” tambah Valleya dengan anggukan kepala. Baru sa
“Kau ... bukan manusia?” tanya Valleya dengan nada terjeda. Gadis itu bahkan terlihat memiringkan sedikit kepalanya, sembari mengedipkan mata berkali-kali. Hingga tanpa sadar, keduanya hanya saling pandang untuk beberapa waktu. Dengan wajah datar, Chrysander mengangguk samar. Pria itu bahkan terlihat mengulas senyuman tipis, yang semakin membuat Valleya menahan napas. Karena, tanpa pria itu sadari, pesonanya mampu melunakkan hati setiap wanita. Dan Valleya tidak masuk dalam pengecualian. “Ya ... Kau tidak terlihat seperti manusia,” gumam Valleya seketika, yang semakin melebarkan senyuman Chrysander, menjadikan gadis itu tersadar akan ucapannya barusan. Dengan satu tangan berada di mulut, Valleya pun beringsut ke sudut ruangan. Hal itu tentu saja memancing gelak tawa pria itu. “Apa kau baru saja memujiku, Angel?” Dengan satu alis naik mendekati dahi, Chrysander menatap Valleya sedikit sensual, yang semakin membua
Seketika Valleya terkesiap saat mendengar suara Chrysander yang muncul dari balik bahu. Gadis itu pun berputar cepat, dan tubuhnya nyaris terjatuh karena pergerakan yang tiba-tiba. Untung saja Chrysander menahan pinggang Valleya. Sehingga kepalanya tidak membentur permukaan lantai yang keras. "Ka-kau, bagaimana...," ucap gadis itu terbata.Dia melirik ke arah Bunga Kristal yang tidak bergerak dari tempatnya tadi. Dan anehnya, bunga itu tetap berada di posisi semula, dengan batang dan dedaunan yang seolah membeku di udara. Tidak terlihat tanda-tanda bunga itu barusan menyerang. "Bu-bunga itu." Tunjuk Valleya pada Bunga Kristal di atas meja. Dengan gumaman pelan, dia pun mengadukan apa yang dialaminya pada pria di sebelah; "Bunga itu mengeluarkan api. Sama seperti yang Bibi alami."Tangan Valleya mencengkram kuat pergelangan Chrysander, hingga membuat jubah hitamnya mengkerut. Namun, tampaknya pria itu tidak begitu peduli, dan
Suara langkah kaki yang melintasi lorong, menarik perhatian Bervis seketika. Pria itu mengintip ke arah sosok Chrysander dari balik daun pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Lirikan matanya menyipit, menandakan bahwa dia tidak senang dengan kedatangan tuannya secara mendadak. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak turun ke bumi siang hari, Yang Mulia," ucapnya, membuat langkah Chrysander terhenti di dekat anak tangga. Perlahan-lahan kepalanya pun terangkat, dan pandangannya jatuh ke arah Bervis yang telah berdiri di hadapan. Dengan senyuman malas, Chrysander pun mengangkat bahu. Acuh. Dia hendak melanjutkan langkah kembali, namun lagi-lagi Bervis bersuara. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, para malaikat itu sedang memperluas pencarian."Mendengar peringatan serius dari nada suara temannya itu, Chrysander pun menautkan kedua alis. "Aku tahu," jawabnya datar. "Dan intensitas kekuatan gadis