Ketukan pelan di depan pintu kamar membangunkan Valleya seketika, dia melirik seisi kamarnya sebelum menyahut.
"Ya Bibi, aku akan turun!"
Valleya bergegas bangun, dan merapikan kamar secepatnya sebelum memasuki kamar mandi. Pagi ini dia ada janji untuk bertemu Nina, sahabatnya, sebelum menghadiri kelas sopan santun dari salah satu guru paling dibencinya, Nona Lisbet.
Sembari merapikan lipatan rok berendanya, Valleya mematut diri di depan cermin. Tubuhnya yang montok dibalut ketat dengan blus kuning muda dipadu rok berenda kuning tua. Kalung berbandul permata merah yang tak pernah dia lepas sejak kecil memantulkan cahaya matahari pagi yang mengintip masuk dari kisi jendela.
Dia melatih senyum seperti yang Nona Lisbet ajarkan minggu lalu. Pantulan dirinya di cermin membuat Valleya puas, berputar beberapa kali, akhirnya gadis itu mengakhiri ritual paginya di depan cermin.
Suara feminim yang terdengar dari lantai bawah lagi-lagi memanggil namanya.
"Valleya! Sarapan sekarang juga!"
Gadis itu mendengus, walau enggan, akhirnya dia meninggalkan sangtuari miliknya. Valleya hendak menutup pintu kamarnya saat sebuah ingatan singgah di kepala, menghasilkan kerutan di wajahnya yang rupawan.
"Itu hanya mimpi, aku yakin pasti mimpi," ucapnya meyakinkan diri, walau keraguan jelas terlihat di wajah. Dia menggelengkan kepala, seolah hal itu dapat mengeluarkan ingatan tersebut dari kepala.
***
Nina memandang Valleya lucu, gadis tinggi langsing, berkulit putih susu itu tampak menahan tawa.
"Apa sekarang kau memasuki masa pubertasmu? Dan mimpi itu adalah petunjuk tipe pria idamanmu, ayolah Valleya percaya padaku, pasti begitu maksud dari mimpimu itu," jelas Nina dengan meyakinkan.
Valleya menatap Nina setengah percaya, sembari berpikir dan tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya.
"Apa menurutmu begitu? Tapi aku bahkan tidak melihat wajah pria itu, bagaimana aku tahu kalau pria seperti itu adalah tipeku?" Mata hijau Valleya memandang jauh pada bentangan laut biru di hadapan mereka. Keduanya duduk bersebelahan di atas pagar batu sebuah mercusuar tua. Itu adalah tempat favorit mereka sejak kecil.
"Aku tidak tahu, tapi apakah kau merasakan sesuatu saat itu?" Nina balik bertanya.
Valleya tampak tenggelam dalam pikirannya lagi, hingga akhirnya dia menggumam, "Ya, aku sedikit takut, namun juga merasa aman secara bersamaan." Dia memandang sahabatnya, lalu membuang napas. "Lihatkan, sudah kubilang mimpiku itu aneh. Bahkan aku tidak tahu apa itu nyata atau hanya mimpi, dan lagi, bagaimana mungkin seseorang merasa takut dan aman secara bersamaan."
Nina tertawa lepas melihat kebingungan juga raut kesal sahabatnya.
"Ini tidak lucu Nina, aku yakin malam tadi itu nyata, pria itu nyata, bukan mimpi pubertas seperti yang kau bilang. Usiaku tujuh belas tahun, aku sudah melewati masa puber!" Sungutnya.
"Oh lihatlah siapa yang bicara. Apa kau sadar bahwa selama tujuh belas tahun usiamu, kau tidak sekalipun menyukai pria! Bahkan Josh yang tampan saja kau tidak suka!" balas Nina membeberkan fakta yang ada.
"Aku hanya belum bertemu pria yang kusuka, itu saja Nina. Percayalah aku sudah cukup dewasa dan melewati masa puberku," kata Valleya membela diri.
"Ah, sudahlah, lupakan percakapan pubertas bodoh ini." Nina merapikan poninya yang berantakan karena ditiup angin. "Kalau pria itu nyata, dia tidak mungkin meninggalkan wanita secantik dirimu Valleya, percayalah, pagi ini pasti kau tidak ada di sini bersamaku, tapi berbaring kaku di tanah peristirahatan."
Valleya terkesiap mendengar perkataan Nina. Ia memeluk tubuhnya yang tiba-tiba menggigil karena takut.
"Kau benar, pria itu bisa saja membunuhku kalau memang dia nyata." Valleya tahu, mereka harus mengakhiri pembicaraan itu di sini. Rasa takut membuat lidahnya kelu.
Nina meringis, menyadari akibat perkataannya barusan, terkadang dia kesulitan menahan bibirnya berucap tanpa berpikir. Keduanya pun terdiam, menikmati semilir angin dermaga yang berembus pelan.
Metropis bukanlah tempat yang aman, ini adalah kota dengan tingkat kematian tertinggi dan pembunuhan selalu terjadi setiap jamnya. Valleya tidak ingin mengingat mimpi itu. Nyata atau bukan, dia berharap kejadian yang sama tidak akan terulang kembali.
"Waktunya pergi Valleya, Nona Lisbet benci siswa yang terlambat." Nina mengibas rok biru selututnya. Dia membantu Valleya berdiri, dan keduanya bergegas kembali ke jalanan kota yang padat oleh kereta kuda, juga pejalan kaki.
***
Bervis menatap dua tubuh yang kini terbujur kaku di hadapannya, dia berdecak tak senang melihat pemandangan ini.
"Sepertinya mereka sedang bermain-main dengan kita," ucap Bervis sembari melirik seseorang di belakang dari balik bahu.
Lama dia memperhatikan temannya yang menatap kosong pada tubuh-tubuh tak bernyawa yang kini tergelatak di atas aspal jalan.
Sahabatnya hanya tersenyum begitu tatapan mereka bertemu.
"Aku baik-baik saja Bervis. Kembalilah bekerja, kita harus menyelesaikan ini sebelum para Malaikat itu turun untuk berburu."
Bervis mengangguk, lalu berkata, "Aku kembali ke dunia bawah lebih dulu, kita harus pulang sebelum fajar tiba. Akan kutunggu kepulanganmu, Yang Mulia." Penekanan pada panggilan Yang Mulia membuat temannya tertawa. Meski berteman, tapi Bervis selalu mengingatkan sahabatnya akan posisinya sebagai sosok yang berkuasa.
"Akan kuingat nasihatmu, aku ingin berkunjung ke suatu tempat. Pergilah."
Bervis menghela napas dan menghilang bersama angin yang membawanya, meninggalkan temannya berdiri sendiri dalam balutan kegelapan malam.
***
"Kita terlambat lagi." Jovi menatap dua tubuh yang berbaring kaku di atas aspal jalanan. Bentuk kehidupan telah meninggalkan tubuh-tubuh itu.
"Lihatlah betapa sulit menangkap iblis satu ini. Lagi-lagi dia meninggalkan jejak menjengkelkan itu," Dennis meremas kertas yang barusan ia pungut dari atas salah satu tubuh mayat pria.
"Semakin hari banyak kematian yang terjadi. Bila kita tidak bisa mengontrol para iblis yang bergerak bebas, kepunahan umat manusia hanya tinggal menghitung abad saja," ucap Snown sembari menutupi mayat-mayat itu dengan spher, selimut yang akan menjauhkan makhluk halus pemakan mayat. Setidaknya hanya ini yang bisa mereka lakukan.
"Ya, dan itu tak boleh terjadi. Kita harus memburu mereka." Semangat membara berkobar di mata Harley.
Dennis mendecih mendengar perkataan Harley barusan.
"Katakan itu bila kau berhasil menangkap satu iblis saja. Lihatlah, kau bahkan tak pernah membunuh iblis-iblis itu," ujar Dennis dengan nada mengejek.
Melihat adanya kemungkinan pertengkaran, Snown tidak tinggal diam.
"Dennis," disisnya.
Mendengar nada kemarahan dari suara sahabatnya, Dennis pun diam walau wajahnya menunjukkan ia tak mau mengalah.
"Aku merasakan kekuatan Iblis itu masih berada di sini, dia pasti tidak jauh dari tempat kita berdiri." Jovi memandang bangunan sekitarnya. Tempat itu gelap dan sepi, ada beberapa bangunan yang dindingnya rusak dimakan waktu.
"Aku juga merasakan hal yang sama," Kata Gerl ikut membenarkan.
Keempat pria lainnya menatap Gerl percaya. Sebagai keturunan Estown dia memiliki kemampuan perasa yang lebih kuat dari bangsa malaikat lainnya.
"Apa kau bisa memprediksi keberadaannya?" tanya Snown ingin tahu.
Gerl menatap keempat lainnya dengan pandangan cemas. Wajahnya tegang dan beberapakali dia menelan saliva.
"Ya," jawabnya dengan parau.
Saat itu juga Jovi dan yang lainnya tahu, bahwa mereka tak akan suka mendengarkan jawaban Malaikat muda ini.
"Dia berada tepat di... sana." Tunjuknya tepat di sebelah kanan Dennis.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang memekakkan telinga para Malaikat itu. Kelimanya membungkuk kesakitan sembari menutupi telinga mereka.
‘Kerja bagus, Estown, kau seperti apa yang kuharapkan.’
Suara gemuruh itu berhenti begitu suara parau dan berat tersebut berbisik di udara. Saat tubuh mereka tak lagi terpengaruh oleh kekuatan mengikat itu, kelimanya mencari-cari sekitar. Namun tak ada yang berubah dari sana.
"Apa aku tak salah dengar? Iblis itu memuji Gerl," ucap Harley tak percaya.
Mereka berlima saling tatap, bingung sesaat akan situasi yang baru saja dialami.
"Aku tak mengira selama ini dia berada di antara kita, makhluk sekuat apa dia?" Snown dan yang lainnya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Cukup kuat hingga kita tak bisa merasakan keberadaannya." Dan mereka pun terdiam begitu Jovi mengatakan fakta tersebut.
***
Valleya kembali terbangun, dia berguling di atas kasur. Ini sudah entah keberapa kalinya dia terbangun malam ini hanya karena mendengar suara kecil. Matanya berat, ia sangat mengantuk, tapi otaknya menginginkan sebaliknya.
Gadis itu melirik jam di atas meja belajar, pukul dua dini hari. Masih terlalu pagi dan dia butuh waktu istirahat. Besok dia harus membantu Bibi Ema mengantarkan kue-kue pesanan pelanggan.
Valleya mencoba untuk tidur kembali, namun akhirnya dia menyerah. Masih dalam keadaan setengah sadar, gadis itu duduk di atas kasur, dan saat itulah ia merasakan ada sesuatu yang aneh.
Tubuhnya tegang seketika, instingnya memberi peringatan bahwa dia tak sendirian di kamar itu.
"Siapa?" bisiknya takut, dia meremas seprei kasur kuat-kuat, antisipasi akan kemungkinan yang ada.
Siluet hitam bergerak pelan, keluar dari bayangan gelap di sudut kamar dekat jendela di hadapannya. Sosok itu berhenti saat sinar bulan menyirami setengah tubuhnya.
Dari tempatnya duduk, Valleya tak bisa melihat wajah pria itu yang masih bersembunyi di balik gelap. Hanya bagian dada hingga kaki yang terkena cahaya bulan, namun dia bisa merasakan bahwa sosok pria di hadapannya sedang tersenyum.
Tubuh Valleya mulai bergetar, ia ingin berteriak tapi mulutnya terkunci rapat seakan ada sesuatu yang mengendalikan.
‘Aku datang hanya ingin melihatmu, kembalilah tidur.’
Suara itu begitu dalam dan berat, namun sedikit parau.
Aroma kayu dari pegunungan memenuhi indra pencium Valleya, begitu segar, dan aroma ini semakin tercium kuat begitu pria misterius itu mendekat, namun sayang Valleya tetap tak bisa melihat wajah pria itu jelas, karena pria tersebut sengaja membelakangi cahaya bulan.
Kepala pria itu ditutupi tudung mantel hitam yang membalut keseluruhan tubuhnya, tidak ada sedikit pun kulit yang terlihat, sehingga Valleya tidak tahu warna kulit pria itu.
Valleya mengamati pria di hadapannya. Pria itu tinggi dan besar, dagunya yang tidak tertutup tudung berbentuk persegi dan kokoh, sosoknya yang kuat memang sangat mengintimidasi.
Valleya mencoba untuk bicara lagi, dengan suara bergetar dia kembali bertanya.
"Siapa kau?"
Tapi lagi-lagi pria itu hanya diam mengamati sembari tersenyum.
"Chrysander," bisiknya sebelum menghilang dalam balutan cahaya bulan. []
Valleya terkesiap begitu dia terbangun dari tidur. Matanya nyalang menatap sekitar, dan dengan degup jantung yang berdebar, dia pun turun dari kasur kemudian berlari ke luar kamar. Langkahnya terdengar buru-buru saat menuruni tangga menuju dapur, dimana dia bisa mendengar suara Bibi Ema bersama adonan roti yang dibanting di atas meja.“Bibi!” panggil Valleya setengah histeris.Seketika sang Bibi mengangkat wajah, dan menatap Valleya dengan ekspresi bertanya begitu mendapati pipinya yang pucat sedang mata membulat seperti sedang dikejar seseorang.“Ada apa?” tanya Bibi Ema sedikit kesal telah diinterupsi.Wanita tambun itu kembali mengadon kue dan tidak lagi memedulikan wajah ketakutan gadis tujuh belas tahun di hadapan.“Bibi, tadi … tadi … di kamarku,” ucap Valleya terbata sembari berusaha menarik napas dengan rakus.Paru-parunya terasa sesak, karena oksigen yang menipis drastis sejak bangun
Ketika pagi tiba, Valleya menemukan sebuket bunga yang sangat indah di depan jendela.Lama dia terdiam menatap kelopak pelangi pada bunga-bunga beraneka jenis, namun tidak pernah dia temui sebelumnya. Seolah bunga-bunga tersebut tidak tumbuh di bumi melainkan surga.Setiap bunga-bunga itu tampak berkilau bagai taburan kristal yang menempel di setiap daun, batang, dan kelopak dengan aneka warna pelangi begitu diterpa cahaya sinar mentari pagi.Dengan ragu-ragu Valleya menyentuh buket tersebut, sedang kepalanya menatap sekitar. Pada atap rumah di hadapan yang terlihat dari jendela kamar, serta langit biru yang menunjukan cuaca begitu cerah dengan semilir angin pagi menyentuh pipi.“Dari siapa bunga ini?” gumamnya penuh tanya ketika menaruh buket itu ke dalam pelukan.Tidak mungkin seekor burung membawa benda sebesar itu terbang di angksa dan menjatuhkannya tepat di depan jendela Valleya.Dengan diliputi perasaan mengganjal, gadis t
Valley baru saja keluar dari rumah Paman James setelah memberikan keranjang berisi roti, saat tiba-tiba dia berpapasan jalan dengan sepasang kekasih berwajah pucat yang seketika berhenti begitu melewati keduanya.Entah mengapa bulu kuduk Valleya berdiri, dan dia merasa firasat aneh, seolah menyuruhnya untuk menghindari pasangan berwajah beku tersebut.Jika diperhatikan dengan saksama, kulit mereka tampak tidak biasa, begitu pula dengan mata yang diarahkan pada Valleya, seakan dirinya adalah makanan, bukannya seorang manusia berjalan.Karena tidak ingin dianggap bersikap tidak sopan, Valleya pun memberi pasangan itu jalan sehingga dia menepi ke pinggir bangunan dengan kepala menunduk ke bawah, namun belum sempat dia berjalan kembali, saat tiba-tiba sang wanita memanggil yang mengakibatkan tubuh Valleya lunglai sesaat.Namun dengan cepat dia menepis perasaan lelah tersebut, dan mencoba berdiri tegak kembali, sebelum akhirnya berhenti.“Hey, apa
Chrysander membawa Valleya sampai ke ruang kesehatan sekolah, dan hanya dengan satu tatapan mata pada suster yang berjaga, dia pun dapat mempengaruhi pikiran orang di sekitar, bahwa tadi Valleya pingsan dan butuh istirahat beberapa jam saja.“Gadis itu sedang kelelahan dan butuh untuk tidur agar pulih kembali,” ucap Chrysander sembari mengunci mata sang perawat. “Apa kau mengerti?”Perawat wanita itu mengangguk kaku dan seketika wajahnya normal kembali saat ingatan perawat tersebut dipenuhi oleh kejadian buatan pemberian Chrysander, yang menunjukan bagaimana Valleya berakhir di sana.Dengan tatapan cemas, perawat itu pun akhirnya bergerak untuk memeriksa keadaan Valleya yang masih tertidur pulas di atas ranjang.Dan hanya dalam hitungan detik, Chrysander pun menghilang dari ruangan.Samar-samar Valleya melihat sosok pria menggendongnya beberapa waktu lalu, namun semua tampak begitu buram. Dengan keadaan paralyze dalam waktu
Baru saja Valleya hendak berangkat ke sekolah, saat tiba-tiba dia menemukan buket bunga yang sama seperti kemarin tergelatak di teras rumah.Langkah Valleya terhenti begitu dia mendapati bunga yang berkilau di bawah sinar matahari itu mengerlip-ngerlipkan cahaya pelangi ke segala arah, membuatnya seketika terpaku dengan tatapan penuh kekaguman.Baru saja dia membungkuk ketika menyentuh bunga tersebut, saat tiba-tiba Bibi Ema muncul dari arah dalam rumah dan mengagetkan Valleya hingga tubuhnya terlonjak kaget dan seketika menjauhi bunga kristal itu.“Astaga Bibi,” gumam Valleya sembari memegangi dada, lalu menjauhi buket bunga yang nyaris dia ambil dari atas lantai beranda.Bibi Ema hanya memandang Valleya dengan tatapan tidak senang, namun matanya beralih ke arah buket bunga yang memancarkan warna-warni cahaya ke segala arah, bagaikan permata yang dipajang di bawah sinar lampu seperti pameran dalam museum kerajaan.“Benda apa itu?
Saat tengah malam, suasana tenang di rumah yang Valleya tempati berubah menjadi mencekam begitu terdengar suara teriakan nyaring yang berasal dari kamar Bibi Ema. Valleya terbangun seketika dan dia berlari mendekati ke tempat bibinya berada dengan gerakan terburu-buru.“Bibi, ada apa?” tanya Valleya sembari menggedor pintu sedikit keras.Suara teriakan penuh terror itu lagi-lagi terdengar, membuat Valleya ketakutan dan cemas.“Bibi!” panggil Valleya, sembari berusaha membuka paksa kamar yang terkunci.Baru saja Valleya hendak mendobrak lagi saat tiba-tiba Bibi Ema keluar dengan mata membeliak nyalang dan melirik sekitar seolah dia baru saja dikejar oleh mimpi buruk.“Aku melihat sesuatu! Aku melihat sesuatu!” jeritnya dengan tubuh bergetar.Mendapati kondisi sang Bibi, Valleya pun membawa wanita tambun itu untuk masuk ke kamar lagi, namun Bibi Ema menahan langkah keduanya dan menggeleng cepat. Dia menolak
“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali, tidak seharusnya anak itu berada di rumahmu, tetapi kau tetap tidak mau mendengar,” ucap Bibi Dori pada Bibi Ema.“Tidak mungkin aku menolak kehadirannya, Dori. Apa kau tidak tahu bahwa kakakku tidak akan memberikan hartanya bila aku tidak mengasuh anak itu sampai melewati usia delapan belas?” jelas Bibi Ema sama sengitnya. “Bila saja tidak ada aturan demikian dalam surat wasiat yang dia tinggalkan, tentu saja aku tidak akan menerima anak itu. Bagiku, Dia hanya beban!”Kedua wanita itu membicarakan Valleya di saat gadis itu dapat mendengar dari lantai dua. Bahkan tadi, Valleya tidak sengaja melihat Bibi Dori yang melirik tajam padanya saat dia melewati pintu ketika hendak melintasi ruang tengah.“Taruh saja dia di panti penitipan sampai usianya delapan belas, dan di saat kau mendapat warisan, berikan pada mereka sejumlah uang sesuai kesepakatan,” saran Bibi Eva dengan pemi
“Apa si pria misterius dalam mimpimu masih mengganggu?” tanya Nina begitu keluar dari ruang kelas.Kepala Valleya menggeleng pelan, dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya sehingga lebih baik tidak menjelaskan apa-apa.“Oh, kalau begitu kenapa kau tampak murung begitu?”Seketika Valleya memijit kepala. Alasan perubahaan mood-nya yang buruk adalah karena dia tidak lagi merasakan keberadaan pria itu di sekitar seperti malam-malam sebelumnya. Tidak hanya itu, dia kesulitan tidur akhir-akhir ini. Pikirannya berkelana entah ke mana, dan selalu saja bayangan pria bertudung tersebut yang mengisi kepala.Sampai rasanya Valleya nyaris gila, dikarenakan pria itu terasa nyata, namun di saat bersamaan sosoknya seperti bagian mimpi.“Hhh … aku hanya lelah akhir-akhir ini,” kilahnya, tidak ingin menjelaskan apa yang dia rasakan.Percuma saja bercerita, karena Nina tidak akan percaya dan menganggap semua yang V
Valleya meronta-ronta hendak melarikan diri dari makhluk aneh yang berdiri dengan tatapan lapar ke arahnya. Seolah-olah makhluk itu ingin melahap dirinya seketika.“Makanan!” pekik makhluk yang membuka mulutnya lebar-lebar sembari memamerkan barisan gigi yang runcing, membuat Valleya semakin berteriak histeris.“Hmmmmm …. Makanan! Makanan!” Makhluk tersebut bersuara begitu nyaring hingga memekakkan telinga bagi yang mendengarnya.Dengan gerakan agresif, makhluk itu bergerak semakin dekat, menimbulkan ketakutan pada Valleya yang tubuhnya berubah kaku tiba-tiba hingga jeritan pun sulit lolos dari mulut mungilnya. Dan di tengah-tengah perasaan putus asa, Valleya merasakan radiasi hangat yang menyelimuti sekujur tubuh. Membalutnya dalam ketenangan yang mengeluarkan dirinya dari ketakutan.Di tengah-tengah isakan tangis yang tersisa, Valleya mendengar suara menggelegar bercampur amarah. Namun, entah mengapa, suara itu malah memberinya kelegaan luar biasa, dan bukan sebaliknya.“Apa kau sud
Pagi itu, Kota Metropis kembali diguyur hujan deras. Dan rasa dingin menusuk kulit membuat sebagian orang memilih untuk tetap berada di balik selimut dan rumah-rumah mereka.“Aku tidak percaya ini! Berbulan-bulan langit menurunkan hujan, seolah tanpa jeda,” gusar Bibi Ema yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah.Bibirnya mengerucut tidak senang begitu mendapati langit gelap yang ditutupi oleh awan.“Astaga, kau benar. Aku bahkan tidak pernah mengalami musim hujan sepanjang ini. Lihatlah, air menggenang di mana-mana. Tetapi anehnya, tidak pernah terjadi banjir bandang. Bukankah ini sangat tidak biasa?” tutur Bibi Eva sembari ikut menatap keluar bersama Bibi Ema.“Ya, ya. Ini fenomena yang sangat tidak biasa. Meskipun Metropis selalu diguyur hujan, tetapi tidak pernah selama ini. Bahkan, sepertinya keanehan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun ke belakang. Cobalah ingat-ingat kembali, betapa sulitnya menemukan matahari beberapa tahun terakhir.”Bibi Dori
Istana bawah tanah tampak begitu hening. Suasana gelap yang selalu menyelimuti kota mati itu pun terasa begitu suram. Bahkan, para iblis dan makhluk malam yang tinggal di dalamnya seolah-olah enggan untuk berkeliaran, dan masing-masing dari mereka tampak memilih untuk tetap diam di tempat peristirahatan pribadi.Akan tetapi, berbeda dengan para makhluk malam di strata terbawah, seorang Jendral berambut pirang dan berbadan tegap nan tegas terlihat berjalan melintasi kota bersama sepasukan iblis berseragam serupa. Hitam dan gelap. Bagaikan bayangan yang selalu menyelimuti aura kumpulan pria-pria itu.“Yang Mulia tidak akan senang jika kita berpatroli ke permukaan bumi, Jendral,” ucap salah satu dari pasukan tersebut dengan tatapan lurus ke tanah pijakannya. “Anda sangat mengerti, dia tidak akan membiarkan kita begitu saja bila datang ke sana mencarinya.”Terdengar suara helaan panjang, menandakan sang Jendral mendengarkan nasihat barusan. Dari caranya bernapas, siapapun yang mendengar t
Jantung Valleya berdetak teramat kencang. Seolah-olah organ paling penting itu hendak meledak dari sarangnya. Sementara Chrysander yang dapat mendengar debaran jantung gadis itu hanya mengulas seringai kecil di sudut bibir.“Ah … aku tidak mengira kau sangat bersemangat,” bisiknya diikuti kekehan pelan sembari menjatuhkan kecupan panjang di sekitar tengkuk Valleya, yang membuat gadis itu merinding karenanya. “Dengarkanlah detak jantungmu berirama begitu merdu dan itu membuat candu.”Chrysander membawa jemari Valleya ke dalam dekapan hangat tangan kokohnya, lalu pria itu pun menaruh jari-jemari lentik itu di atas dada Valleya yang bergetar.“See … kau bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaanmu, Angel,” ucapnya, sembari melepaskan tubuh gadis itu dari dekapan.Sepersekian detik kemudian, Chrysander mulai menjauh, hingga akhirnya pria itu duduk di atas ranjang seperti posisinya semula ketika Valleya masuk di awal tadi.Tubuh Valleya yang baru saja kehilangan kehangatan dari Chrysander t
“Paman John!” panggil Valleya begitu dia membuka pintu sebuah toko roti.Tampak seorang pria dewasa berparas cukup rupawan dengan gurat usia di sudut mata dan dahi keluar dari sebuah pintu di belakang ruangan.“Hey Princess,” sapanya begitu Valleya melangkah ke arah konter. “Aku membawakan pesan dari Bibi.”Mendengar ucapan Valleya, seketika pria itu mendekati sebuah meja dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalamnya. Jemarinya tampak menghitung beberapa lembar uang yang berasal dari amplop tersebut.“Apa kau baru saja dari tempat Miss Fudge?” tanya John setelah dia menghitung pembayaran.Pria paruh baya itu pun berjalan ke arah Valleya yang menunggunya di seberang konter.“Hu umm,” gumam gadis itu diikuti anggukan kepala. “Miss Fudge sangat sibuk, sehingga aku tidak bisa berbicara dengannya. Ada banyak hal yang harus dia persiapkan untuk Festival.”John hanya mengulas senyum sembari menyerahkan amplop cokelat yang ada di tangan.“Ya, semua orang sangat antusias dengan festival
Valleya keluar dari kamarnya dalam keadaan bersungut-sungut sembari menggeleng kesal akan pembicaraannya dengan Chrysander pagi ini. Dia bahkan ingin melemparkan sesuatu pada pria itu, karena tidak memberinya jawaban yang memuaskan. “Orang-orang memanggilku Yang Mulia,” gumam Valleya, menirukan cara bicaranya yang terdengar menyebalkan di telinga. Dengan pipi sedikit menggembung dan bibir mengerucut, Valleya pun menuruni tangga hingga tiba ke depan pintu. Namun, masih dengan gerutuan mengenai Chrysander pagi ini. “Lalu, jika kau Yang Mulia, apakah aku seorang Puteri?” ejeknya, pada makhluk yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa berpamitan lebih dahulu. Semakin menambah kekesalan Valleya setelah ditinggal pergi oleh Chrysander bersama udara panas yang mengelilingi saat pria itu lenyap dalam hembusan angin. Tangan gadis itu pun memutar knop pintu, dan dia membukanya dengan satu hentakan. “Dia pria yang aneh, dan... aneh,” tambah Valleya dengan anggukan kepala. Baru sa
“Kau ... bukan manusia?” tanya Valleya dengan nada terjeda. Gadis itu bahkan terlihat memiringkan sedikit kepalanya, sembari mengedipkan mata berkali-kali. Hingga tanpa sadar, keduanya hanya saling pandang untuk beberapa waktu. Dengan wajah datar, Chrysander mengangguk samar. Pria itu bahkan terlihat mengulas senyuman tipis, yang semakin membuat Valleya menahan napas. Karena, tanpa pria itu sadari, pesonanya mampu melunakkan hati setiap wanita. Dan Valleya tidak masuk dalam pengecualian. “Ya ... Kau tidak terlihat seperti manusia,” gumam Valleya seketika, yang semakin melebarkan senyuman Chrysander, menjadikan gadis itu tersadar akan ucapannya barusan. Dengan satu tangan berada di mulut, Valleya pun beringsut ke sudut ruangan. Hal itu tentu saja memancing gelak tawa pria itu. “Apa kau baru saja memujiku, Angel?” Dengan satu alis naik mendekati dahi, Chrysander menatap Valleya sedikit sensual, yang semakin membua
Seketika Valleya terkesiap saat mendengar suara Chrysander yang muncul dari balik bahu. Gadis itu pun berputar cepat, dan tubuhnya nyaris terjatuh karena pergerakan yang tiba-tiba. Untung saja Chrysander menahan pinggang Valleya. Sehingga kepalanya tidak membentur permukaan lantai yang keras. "Ka-kau, bagaimana...," ucap gadis itu terbata.Dia melirik ke arah Bunga Kristal yang tidak bergerak dari tempatnya tadi. Dan anehnya, bunga itu tetap berada di posisi semula, dengan batang dan dedaunan yang seolah membeku di udara. Tidak terlihat tanda-tanda bunga itu barusan menyerang. "Bu-bunga itu." Tunjuk Valleya pada Bunga Kristal di atas meja. Dengan gumaman pelan, dia pun mengadukan apa yang dialaminya pada pria di sebelah; "Bunga itu mengeluarkan api. Sama seperti yang Bibi alami."Tangan Valleya mencengkram kuat pergelangan Chrysander, hingga membuat jubah hitamnya mengkerut. Namun, tampaknya pria itu tidak begitu peduli, dan
Suara langkah kaki yang melintasi lorong, menarik perhatian Bervis seketika. Pria itu mengintip ke arah sosok Chrysander dari balik daun pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Lirikan matanya menyipit, menandakan bahwa dia tidak senang dengan kedatangan tuannya secara mendadak. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak turun ke bumi siang hari, Yang Mulia," ucapnya, membuat langkah Chrysander terhenti di dekat anak tangga. Perlahan-lahan kepalanya pun terangkat, dan pandangannya jatuh ke arah Bervis yang telah berdiri di hadapan. Dengan senyuman malas, Chrysander pun mengangkat bahu. Acuh. Dia hendak melanjutkan langkah kembali, namun lagi-lagi Bervis bersuara. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, para malaikat itu sedang memperluas pencarian."Mendengar peringatan serius dari nada suara temannya itu, Chrysander pun menautkan kedua alis. "Aku tahu," jawabnya datar. "Dan intensitas kekuatan gadis