Metropis, Tahun 521 Dalam Kalender Kebangkitan (17 Tahun Kemudian)
Angin berembus cukup kencang hingga menerbangkan beberapa tong sampah terbuat dari baja yang diletakkan sengaja di setiap sudut Kota Metropis. Hawa dingin menusuk tulang membuat pejalan kaki memakai mantel tebal mereka saat menembus jalan. Tak jarang suara tangis bayi-bayi tak berdosa terdengar di antara angin, dan cicitan tikus dekat got, serta tumpukan sampah di antara kanal-kanal yang airnya mulai naik hingga menutupi jalanan.
Dapat diprediksi, esok pagi akan ada mayat-mayat baru yang ditemukan petugas patroli. Dan merupakan pemandangan biasa bagi masyarakat Metropis.
Kemiskinan adalah sesuatu yang harus kau salahkan dalam setiap kematian, dan siapa yang peduli pada satu dua mayat tanpa identitas di sana. Kau tak akan kekurangan apa pun dengan meningkatnya jumlah kematian di kota.
Namun, lain halnya dengan sekelompok pria yang berlari menembus gerimis di antara lorong rumah penduduk. Mereka bergerak cepat, walau dengan langkah hati-hati seolah takut membangunkan orang-orang yang pastinya memilih berlindung dalam rumah mereka yang hangat di bawah selimut tebal.
"Aku bisa merasakan dia menuju ke taman. Lihat jejak yang dia tinggalkan," ujar salah satu dari pria-pria itu. Yang lainnya mengikuti isyarat yang diberikan pria tersebut. Mereka mengikuti dari belakang masih dengan langkah kaki cepat menembus gerimis yang akan berganti hujan.
"Sial, wajah tampanku akan berubah keriput bila terus terkena air," umpat seorang pria dengan rambut keemasan sembari mengusap wajahnya yang mulus dan tentu saja tampan. Dia mengedipkan mata ketika serbuan air menerobos masuk ke kelopak matanya.
"Di saat seperti ini, tidak seharusnya kau mempersoalkan ketampananmu kawan." Sebuah tepukan mendarat di bahu si pria berambut emas. Keduanya saling memandang sengit. "Dan aku bisa pastikan wajah yang kau banggakan itu tidak akan bisa menolongmu bila kau dihadapkan pada seigere."
Si pria berambut emas melirik ke balik bahunya, pada pria yang dengan sengaja memancing emosi di tengah pengejaran tanpa ujung ini. Dia menggeram, sedang matanya mencuri pandang pada Jovi, pria yang tanpa sadar telah mereka tuakan dan mereka jadikan pemimpin tanpa syarat dalam barisan itu. Takut jika Jovi melerai perkelahian yang hendak dia mulai andai saja, Snown, sahabat baiknya tidak menengahi di tengah kemarahan yang ia rasakan.
"Kita sedang mengemban tugas mencari iblis dan kalian dengan sengaja memecah diri kalian sendiri. Hentikan sekarang juga dan teruslah bergerak." Snown menghardik keduanya. Mereka masih terus berlari tanpa berhenti sekalipun. "Dennis," bisik Snown dengan suara lemah, matanya mengisyaratkan pada si pria berambut emas untuk tidak terpancing.
Mendesah, lebih karena kesal ia tidak bisa membalas pria yang telah menghina ketampanannya, Dennis pun memutuskan untuk kembali memfokuskan pikiran pada buruan mereka.
Jovi tiba-tiba berhenti. Dia mengangkat tangan ke atas dan menyuruh pria yang bersamanya untuk menghentikan pergerakan. Keempat pria yang berbaris di belakang mulai memasang telinga dan merasakan hawa di sekitar.
"Kau tahu kita akan kesulitan menjinakkannya, dan ini seakan sia-sia saja."
Jovi menatap Gerl yang memandang barisan itu pesimis.
"Apa yang menjadi dasarmu bahwa kita tidak bisa mengalahkan yang satu ini?"
Gerl tersenyum kecut, dia tahu Jovi pasti menantangnya. Bukan maksud Gerl untuk merendahkan kelompok mereka pada tugas mengejar salah satu Iblis paling diburu sejagat.
Semua bangsanya sedang mencari makhluk tak berhati itu, tetapi Iblis ini bukan Iblis yang mudah. Dia bisa membunuh pengejarnya dari jarak yang jauh dan tidak pernah sekalipun menampakkan wujud, belum ada yang melihat wujud aslinya. Dia dipanggil si kasat mata yang licin, dan setiap berhasil lari dari para pengejar, Iblis itu terang-terangan menghina dengan sepucuk surat yang ditinggalkan tepat di samping korbannya. Selalu ada gambar sayap patah di surat dan sebuah tanda tangan berupa sebuah nama "Eros".
"Dia pikir dia siapa, meninggalkan jejak dengan mengaku sebagai Dewa Cinta yang ketampanannya menyamaiku." Dennis mendengus mengingat betapa nyentrik Iblis yang mereka kejar ini.
Harley terkikik tepat di belakang Dennis, bermaksud mengejek kawannya yang merasa konyol mendengar perkataan barusan.
"Apa!" bentak Dennis dramatis. Dia kesal setengah mati karena ditugaskan bersama Harley yang senang membuatnya marah.
"Jika Dewa Eros mendengarmu, dia pasti akan mengumumkan pada pengikutnya bahwa ada seekor burung yang mencoba bermimpi menjadi Dewa." Terlihat binar mengejek di mata Harley ketika Dennis memutar kepala ke belakang dan menuduh Harley adalah pria paling tidak sopan yang dia tahu.
"Dan kau juga harus ingat Herley, bahwa Eros memiliki sayap." Tatapan tajam Dennis seakan membakar Harley, tapi pria itu tetap memasang tampang menghina yang kentara.
"Oh, kalian berdua!" Kali ini Jovi tidak bisa diam, konsentrasinya buyar hanya karena keributan kecil yang ditimbulkan teman-teman di belakangnya. Dia nyaris saja kehilangan jejak Iblis itu hanya karena suara dua pemuda yang menghancurkan konsentrasi irish nya.
"Bagaimana?" Snown yang paling waras dari empat pria yang ia bawa bertanya dengan wajah penuh harap.
"Dua blok dari sini, dia sudah membunuh tiga wanita dan satu balita. Kurasa dia masih akan melanjutkan perburuan hingga ke sudut kota sekalipun." Jovi mempercepat langkah yang besar diikuti oleh Snown.
Tersadar telah jauh ketinggalan, Harley beserta Dennis mendesis saat menyusul, walau wajah bermusuhan keduanya masih jelas terlihat.
"Jangan lengah, dia bisa saja bersama sepasukan Iblis." Jovi memberi peringatan yang membuat Gerl nyaris menjerit ngeri.
Sebenarnya, pria dua ratus tahun itu sudah menolak masuk akademi, tetapi keluarganya memaksa karena mereka masuk dalam urutan keluarga yang terlahir dari Darah Murni Muda, salah satu garis keturunan yang levelnya dua tingkat di bawah keluarga kerajaan.
Akan sangat memalukan bila ia sebagai anak tunggul, pewaris satu-satunya gelar Estown melarikan diri dari tugas yang telah diemban sejak leluhurnya lahir.
"Jangan takut, kami bersamamu." Snown meremas lembut pundak Gerl. Dia juga seperti itu perasaannya saat pertama kali terjun bersama Jovi dan Dennis tujuh puluh tahun lalu.
***
Valleya Crowd, gadis cantik dengan wajah selembut sinar bulan terbangun dari tidur saat mendengar suara-suara kecipuk air dari atap kamar. Hujan yang tadinya hanya berupa gerimis, kini mulai menderas seolah hendak melahap Kota Metropis.
Gadis itu beranjak dari kasur dan berjalan menuju jendela, bermaksud menutupnya karena angin dengan sengaja membuat jendela-jendela itu terbuka hingga membiarkan angin dingin bersama tetes hujan memasuki ruangan yang sudah tidak lagi hangat.
"Aku benci hujan," umpatnya pelan sembari menutup jendela, namun angin kencang membuat kelopak matanya berkedip hingga dia harus menggunakan satu tangan untuk melindungi wajah sedang satunya meraih jendela yang terbuka.
Tangan Valleya terulur ke luar, namun dengan cepat dia menariknya kembali saat sengatan dingin menyentuh telapak tangannya.
"Ah, dingin!"
Memberenggut kesal, Valleya meraih jendela-jendela terbuka itu tanpa perlakuan lembut, namun gerakannya terhenti saat ia melihat bayangan sesosok pria bermantel hitam tengah memandangnya dari atap rumah tetangga yang berada tepat di depan kamarnya.
Rasa takut menyebar ke seluruh tubuh Valleya, membuatnya membeku seketika. Tatapan sosok pria itu tiada putus memperhatikannya.
Valleya memerintahkan kakinya untuk bergerak, beranjak dari sana dan menutup jendela itu agar ia tidak lagi melihat pria menakutkan tersebut, tapi tubuhnya seolah lumpuh. Dia bahkan tidak tahu bagaimana menggerakkan tangan yang masih menggantung di udara saat hendak meraih daun jendela.
'Tetaplah menutup jendelamu Valleya, aku takkan mengganggu. Hanya ingin memandangimu.'
Tubuh Valleya tersentak, suara berat dan maskulin bergema di kepalanya.
Dia yakin pria menakutkan itulah yang baru saja mengatakan itu, tapi bagaimana? Dari balik penutup kepalanya yang hanya menunjukkan bagian hidung hingga batas dagu saja, Pria itu terlihat tidak menggerakkan bibir, kecuali tersenyum. Lalu, apa dia baru saja berhalusinasi?
Angin kencang meniup tubuh Valleya seketika, hingga membuat gadis itu terlempar jauh ke belakang dan menghempaskannya ke atas lantai. Dalam keadaan telentang, Valleya menatap nyalang ke langit-langit. Tapi tubuhnya masih menggigil ketakutan!
Demi tuhan apa itu?
Jeritnya sembari menahan ringisan. Bersusah payah hendak duduk, Valleya berteriak dengan suara tertahan, sentuhan dingin menyentuh kulit kakinya. Dia hendak duduk dan melihat apa yang terjadi, namun tubuhnya tiba-tiba terangkat ke udara dan jatuh dengan lembut di atas kasur.
Dia terkesiap, pandangannya mengarah ke luar. Dari jendelanya yang masih terbuka lebar terlihat sosok pria bermantel hitam dengan penutup kepala masih berdiri di tempatnya tadi, tidak terlihat tanda bergerak sedikitpun.
'Tidurlah, Angel. Akan kututupkan jendelamu.'
Seketika angin kembali bertiup dan daun jendela kamar itu tertutup perlahan, menghilangkan pandangan Valleya akan sosok pria bersuara maskulin bermantel hitam.
***
Bervis memandangi kumpulan pria yang memasuki gang-gang sempit di setiap Kota Metropis. Pandangannya tak lepas mengarah pada pemimpin kelompok itu. Beberapa kali dia harus mematahkan irish mereka untuk mengaburkan keberadaannya.
Dengan konsentrasi penuh dia menunjukkan arah yang salah, namun tidak semudah biasanya, salah satu dari kelompok itu memiliki irish dua kali lebih kuat dari kebanyakan bangsa Malaikat.
Sebuah tepukan di pundak membuat Bervis mendengus kesal.
"Ada perkembangan?" tanya pria bermantel hitam yang baru saja tiba dalam rona cahaya miliknya.
Bervis melirik ke samping kemudian menggangguk.
"Mereka membawa anggota baru, pewaris Estown," jawabnya.
Terdengar tawa kecil dari pria di sebelah.
"Kau tak khawatir?" tanya Bervis dengan nada kesal yang kentara.
"Untuk apa? Dia hanya remaja yang baru saja mendapat senjata, bahkan aku ragu dia tahu bagaimana menggunakannya."
Bervis menghela napas. Dia sangat mengenal sahabatnya, yang kini berdiri dengan ekspresi puas diri melihat pemburu mereka hanya berkeliling buta mencari jejak keduanya sejak tadi.
"Dari mana saja kau? Aku lelah berjaga dan ingin kembali secepatnya. Lebih baik bermain-mainnya cukup sampai di sini," sungut Bervis lelah.
"Aku hanya ingin berkunjung, memastikan Angel tidur nyenyak. Dia benci hujan dan takut akan badai."
Bervis nyaris tertawa mendengar jawaban sahabatnya.
"Tak perlu berbual, katakan saja kau ingin dia melihatmu."
Sahabatnya hanya tersenyum kemudian berbalik.
"Tidak benar. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja sebelum kita kembali pulang," ucapnya.
Sebelum menghilang ke udara, sebuah kertas jatuh ke tanah tepat di dekat tubuh pria yang jantungnya tak lagi berdetak sejak sejam lalu.
Gambar sayap patah berinisial "Eros" memenuhi kertas yang tadinya putih kini merah oleh darah yang menggenang.
Bervis memandang sahabatnya yang menghilang dalam kilasan cahaya. Dia menggeleng geli menatap kertas di sebelah tubuh mayat itu.
Tanda tangan yang tak lupa sahabatnya tinggalkan ketika perburuan berakhir.
"Waktunya pulang," bisik Bervis bersamaan dengan desah angin yang membalut tubuhnya sebelum menghilang. []
Ketukan pelan di depan pintu kamar membangunkan Valleya seketika, dia melirik seisi kamarnya sebelum menyahut."Ya Bibi, aku akan turun!"Valleya bergegas bangun, dan merapikan kamar secepatnya sebelum memasuki kamar mandi. Pagi ini dia ada janji untuk bertemu Nina, sahabatnya, sebelum menghadiri kelas sopan santun dari salah satu guru paling dibencinya, Nona Lisbet.Sembari merapikan lipatan rok berendanya, Valleya mematut diri di depan cermin. Tubuhnya yang montok dibalut ketat dengan blus kuning muda dipadu rok berenda kuning tua. Kalung berbandul permata merah yang tak pernah dia lepas sejak kecil memantulkan cahaya matahari pagi yang mengintip masuk dari kisi jendela.Dia melatih senyum seperti yang Nona Lisbet ajarkan minggu lalu. Pantulan dirinya di cermin membuat Valleya puas, berputar beberapa kali, akhirnya gadis itu mengakhiri ritual paginya di depan cermin.Suara feminim yang terdengar dari lantai bawah lagi-lagi memanggil namanya.
Valleya terkesiap begitu dia terbangun dari tidur. Matanya nyalang menatap sekitar, dan dengan degup jantung yang berdebar, dia pun turun dari kasur kemudian berlari ke luar kamar. Langkahnya terdengar buru-buru saat menuruni tangga menuju dapur, dimana dia bisa mendengar suara Bibi Ema bersama adonan roti yang dibanting di atas meja.“Bibi!” panggil Valleya setengah histeris.Seketika sang Bibi mengangkat wajah, dan menatap Valleya dengan ekspresi bertanya begitu mendapati pipinya yang pucat sedang mata membulat seperti sedang dikejar seseorang.“Ada apa?” tanya Bibi Ema sedikit kesal telah diinterupsi.Wanita tambun itu kembali mengadon kue dan tidak lagi memedulikan wajah ketakutan gadis tujuh belas tahun di hadapan.“Bibi, tadi … tadi … di kamarku,” ucap Valleya terbata sembari berusaha menarik napas dengan rakus.Paru-parunya terasa sesak, karena oksigen yang menipis drastis sejak bangun
Ketika pagi tiba, Valleya menemukan sebuket bunga yang sangat indah di depan jendela.Lama dia terdiam menatap kelopak pelangi pada bunga-bunga beraneka jenis, namun tidak pernah dia temui sebelumnya. Seolah bunga-bunga tersebut tidak tumbuh di bumi melainkan surga.Setiap bunga-bunga itu tampak berkilau bagai taburan kristal yang menempel di setiap daun, batang, dan kelopak dengan aneka warna pelangi begitu diterpa cahaya sinar mentari pagi.Dengan ragu-ragu Valleya menyentuh buket tersebut, sedang kepalanya menatap sekitar. Pada atap rumah di hadapan yang terlihat dari jendela kamar, serta langit biru yang menunjukan cuaca begitu cerah dengan semilir angin pagi menyentuh pipi.“Dari siapa bunga ini?” gumamnya penuh tanya ketika menaruh buket itu ke dalam pelukan.Tidak mungkin seekor burung membawa benda sebesar itu terbang di angksa dan menjatuhkannya tepat di depan jendela Valleya.Dengan diliputi perasaan mengganjal, gadis t
Valley baru saja keluar dari rumah Paman James setelah memberikan keranjang berisi roti, saat tiba-tiba dia berpapasan jalan dengan sepasang kekasih berwajah pucat yang seketika berhenti begitu melewati keduanya.Entah mengapa bulu kuduk Valleya berdiri, dan dia merasa firasat aneh, seolah menyuruhnya untuk menghindari pasangan berwajah beku tersebut.Jika diperhatikan dengan saksama, kulit mereka tampak tidak biasa, begitu pula dengan mata yang diarahkan pada Valleya, seakan dirinya adalah makanan, bukannya seorang manusia berjalan.Karena tidak ingin dianggap bersikap tidak sopan, Valleya pun memberi pasangan itu jalan sehingga dia menepi ke pinggir bangunan dengan kepala menunduk ke bawah, namun belum sempat dia berjalan kembali, saat tiba-tiba sang wanita memanggil yang mengakibatkan tubuh Valleya lunglai sesaat.Namun dengan cepat dia menepis perasaan lelah tersebut, dan mencoba berdiri tegak kembali, sebelum akhirnya berhenti.“Hey, apa
Chrysander membawa Valleya sampai ke ruang kesehatan sekolah, dan hanya dengan satu tatapan mata pada suster yang berjaga, dia pun dapat mempengaruhi pikiran orang di sekitar, bahwa tadi Valleya pingsan dan butuh istirahat beberapa jam saja.“Gadis itu sedang kelelahan dan butuh untuk tidur agar pulih kembali,” ucap Chrysander sembari mengunci mata sang perawat. “Apa kau mengerti?”Perawat wanita itu mengangguk kaku dan seketika wajahnya normal kembali saat ingatan perawat tersebut dipenuhi oleh kejadian buatan pemberian Chrysander, yang menunjukan bagaimana Valleya berakhir di sana.Dengan tatapan cemas, perawat itu pun akhirnya bergerak untuk memeriksa keadaan Valleya yang masih tertidur pulas di atas ranjang.Dan hanya dalam hitungan detik, Chrysander pun menghilang dari ruangan.Samar-samar Valleya melihat sosok pria menggendongnya beberapa waktu lalu, namun semua tampak begitu buram. Dengan keadaan paralyze dalam waktu
Baru saja Valleya hendak berangkat ke sekolah, saat tiba-tiba dia menemukan buket bunga yang sama seperti kemarin tergelatak di teras rumah.Langkah Valleya terhenti begitu dia mendapati bunga yang berkilau di bawah sinar matahari itu mengerlip-ngerlipkan cahaya pelangi ke segala arah, membuatnya seketika terpaku dengan tatapan penuh kekaguman.Baru saja dia membungkuk ketika menyentuh bunga tersebut, saat tiba-tiba Bibi Ema muncul dari arah dalam rumah dan mengagetkan Valleya hingga tubuhnya terlonjak kaget dan seketika menjauhi bunga kristal itu.“Astaga Bibi,” gumam Valleya sembari memegangi dada, lalu menjauhi buket bunga yang nyaris dia ambil dari atas lantai beranda.Bibi Ema hanya memandang Valleya dengan tatapan tidak senang, namun matanya beralih ke arah buket bunga yang memancarkan warna-warni cahaya ke segala arah, bagaikan permata yang dipajang di bawah sinar lampu seperti pameran dalam museum kerajaan.“Benda apa itu?
Saat tengah malam, suasana tenang di rumah yang Valleya tempati berubah menjadi mencekam begitu terdengar suara teriakan nyaring yang berasal dari kamar Bibi Ema. Valleya terbangun seketika dan dia berlari mendekati ke tempat bibinya berada dengan gerakan terburu-buru.“Bibi, ada apa?” tanya Valleya sembari menggedor pintu sedikit keras.Suara teriakan penuh terror itu lagi-lagi terdengar, membuat Valleya ketakutan dan cemas.“Bibi!” panggil Valleya, sembari berusaha membuka paksa kamar yang terkunci.Baru saja Valleya hendak mendobrak lagi saat tiba-tiba Bibi Ema keluar dengan mata membeliak nyalang dan melirik sekitar seolah dia baru saja dikejar oleh mimpi buruk.“Aku melihat sesuatu! Aku melihat sesuatu!” jeritnya dengan tubuh bergetar.Mendapati kondisi sang Bibi, Valleya pun membawa wanita tambun itu untuk masuk ke kamar lagi, namun Bibi Ema menahan langkah keduanya dan menggeleng cepat. Dia menolak
“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali, tidak seharusnya anak itu berada di rumahmu, tetapi kau tetap tidak mau mendengar,” ucap Bibi Dori pada Bibi Ema.“Tidak mungkin aku menolak kehadirannya, Dori. Apa kau tidak tahu bahwa kakakku tidak akan memberikan hartanya bila aku tidak mengasuh anak itu sampai melewati usia delapan belas?” jelas Bibi Ema sama sengitnya. “Bila saja tidak ada aturan demikian dalam surat wasiat yang dia tinggalkan, tentu saja aku tidak akan menerima anak itu. Bagiku, Dia hanya beban!”Kedua wanita itu membicarakan Valleya di saat gadis itu dapat mendengar dari lantai dua. Bahkan tadi, Valleya tidak sengaja melihat Bibi Dori yang melirik tajam padanya saat dia melewati pintu ketika hendak melintasi ruang tengah.“Taruh saja dia di panti penitipan sampai usianya delapan belas, dan di saat kau mendapat warisan, berikan pada mereka sejumlah uang sesuai kesepakatan,” saran Bibi Eva dengan pemi
Valleya meronta-ronta hendak melarikan diri dari makhluk aneh yang berdiri dengan tatapan lapar ke arahnya. Seolah-olah makhluk itu ingin melahap dirinya seketika.“Makanan!” pekik makhluk yang membuka mulutnya lebar-lebar sembari memamerkan barisan gigi yang runcing, membuat Valleya semakin berteriak histeris.“Hmmmmm …. Makanan! Makanan!” Makhluk tersebut bersuara begitu nyaring hingga memekakkan telinga bagi yang mendengarnya.Dengan gerakan agresif, makhluk itu bergerak semakin dekat, menimbulkan ketakutan pada Valleya yang tubuhnya berubah kaku tiba-tiba hingga jeritan pun sulit lolos dari mulut mungilnya. Dan di tengah-tengah perasaan putus asa, Valleya merasakan radiasi hangat yang menyelimuti sekujur tubuh. Membalutnya dalam ketenangan yang mengeluarkan dirinya dari ketakutan.Di tengah-tengah isakan tangis yang tersisa, Valleya mendengar suara menggelegar bercampur amarah. Namun, entah mengapa, suara itu malah memberinya kelegaan luar biasa, dan bukan sebaliknya.“Apa kau sud
Pagi itu, Kota Metropis kembali diguyur hujan deras. Dan rasa dingin menusuk kulit membuat sebagian orang memilih untuk tetap berada di balik selimut dan rumah-rumah mereka.“Aku tidak percaya ini! Berbulan-bulan langit menurunkan hujan, seolah tanpa jeda,” gusar Bibi Ema yang sejak tadi mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah.Bibirnya mengerucut tidak senang begitu mendapati langit gelap yang ditutupi oleh awan.“Astaga, kau benar. Aku bahkan tidak pernah mengalami musim hujan sepanjang ini. Lihatlah, air menggenang di mana-mana. Tetapi anehnya, tidak pernah terjadi banjir bandang. Bukankah ini sangat tidak biasa?” tutur Bibi Eva sembari ikut menatap keluar bersama Bibi Ema.“Ya, ya. Ini fenomena yang sangat tidak biasa. Meskipun Metropis selalu diguyur hujan, tetapi tidak pernah selama ini. Bahkan, sepertinya keanehan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa tahun ke belakang. Cobalah ingat-ingat kembali, betapa sulitnya menemukan matahari beberapa tahun terakhir.”Bibi Dori
Istana bawah tanah tampak begitu hening. Suasana gelap yang selalu menyelimuti kota mati itu pun terasa begitu suram. Bahkan, para iblis dan makhluk malam yang tinggal di dalamnya seolah-olah enggan untuk berkeliaran, dan masing-masing dari mereka tampak memilih untuk tetap diam di tempat peristirahatan pribadi.Akan tetapi, berbeda dengan para makhluk malam di strata terbawah, seorang Jendral berambut pirang dan berbadan tegap nan tegas terlihat berjalan melintasi kota bersama sepasukan iblis berseragam serupa. Hitam dan gelap. Bagaikan bayangan yang selalu menyelimuti aura kumpulan pria-pria itu.“Yang Mulia tidak akan senang jika kita berpatroli ke permukaan bumi, Jendral,” ucap salah satu dari pasukan tersebut dengan tatapan lurus ke tanah pijakannya. “Anda sangat mengerti, dia tidak akan membiarkan kita begitu saja bila datang ke sana mencarinya.”Terdengar suara helaan panjang, menandakan sang Jendral mendengarkan nasihat barusan. Dari caranya bernapas, siapapun yang mendengar t
Jantung Valleya berdetak teramat kencang. Seolah-olah organ paling penting itu hendak meledak dari sarangnya. Sementara Chrysander yang dapat mendengar debaran jantung gadis itu hanya mengulas seringai kecil di sudut bibir.“Ah … aku tidak mengira kau sangat bersemangat,” bisiknya diikuti kekehan pelan sembari menjatuhkan kecupan panjang di sekitar tengkuk Valleya, yang membuat gadis itu merinding karenanya. “Dengarkanlah detak jantungmu berirama begitu merdu dan itu membuat candu.”Chrysander membawa jemari Valleya ke dalam dekapan hangat tangan kokohnya, lalu pria itu pun menaruh jari-jemari lentik itu di atas dada Valleya yang bergetar.“See … kau bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaanmu, Angel,” ucapnya, sembari melepaskan tubuh gadis itu dari dekapan.Sepersekian detik kemudian, Chrysander mulai menjauh, hingga akhirnya pria itu duduk di atas ranjang seperti posisinya semula ketika Valleya masuk di awal tadi.Tubuh Valleya yang baru saja kehilangan kehangatan dari Chrysander t
“Paman John!” panggil Valleya begitu dia membuka pintu sebuah toko roti.Tampak seorang pria dewasa berparas cukup rupawan dengan gurat usia di sudut mata dan dahi keluar dari sebuah pintu di belakang ruangan.“Hey Princess,” sapanya begitu Valleya melangkah ke arah konter. “Aku membawakan pesan dari Bibi.”Mendengar ucapan Valleya, seketika pria itu mendekati sebuah meja dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalamnya. Jemarinya tampak menghitung beberapa lembar uang yang berasal dari amplop tersebut.“Apa kau baru saja dari tempat Miss Fudge?” tanya John setelah dia menghitung pembayaran.Pria paruh baya itu pun berjalan ke arah Valleya yang menunggunya di seberang konter.“Hu umm,” gumam gadis itu diikuti anggukan kepala. “Miss Fudge sangat sibuk, sehingga aku tidak bisa berbicara dengannya. Ada banyak hal yang harus dia persiapkan untuk Festival.”John hanya mengulas senyum sembari menyerahkan amplop cokelat yang ada di tangan.“Ya, semua orang sangat antusias dengan festival
Valleya keluar dari kamarnya dalam keadaan bersungut-sungut sembari menggeleng kesal akan pembicaraannya dengan Chrysander pagi ini. Dia bahkan ingin melemparkan sesuatu pada pria itu, karena tidak memberinya jawaban yang memuaskan. “Orang-orang memanggilku Yang Mulia,” gumam Valleya, menirukan cara bicaranya yang terdengar menyebalkan di telinga. Dengan pipi sedikit menggembung dan bibir mengerucut, Valleya pun menuruni tangga hingga tiba ke depan pintu. Namun, masih dengan gerutuan mengenai Chrysander pagi ini. “Lalu, jika kau Yang Mulia, apakah aku seorang Puteri?” ejeknya, pada makhluk yang secara tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa berpamitan lebih dahulu. Semakin menambah kekesalan Valleya setelah ditinggal pergi oleh Chrysander bersama udara panas yang mengelilingi saat pria itu lenyap dalam hembusan angin. Tangan gadis itu pun memutar knop pintu, dan dia membukanya dengan satu hentakan. “Dia pria yang aneh, dan... aneh,” tambah Valleya dengan anggukan kepala. Baru sa
“Kau ... bukan manusia?” tanya Valleya dengan nada terjeda. Gadis itu bahkan terlihat memiringkan sedikit kepalanya, sembari mengedipkan mata berkali-kali. Hingga tanpa sadar, keduanya hanya saling pandang untuk beberapa waktu. Dengan wajah datar, Chrysander mengangguk samar. Pria itu bahkan terlihat mengulas senyuman tipis, yang semakin membuat Valleya menahan napas. Karena, tanpa pria itu sadari, pesonanya mampu melunakkan hati setiap wanita. Dan Valleya tidak masuk dalam pengecualian. “Ya ... Kau tidak terlihat seperti manusia,” gumam Valleya seketika, yang semakin melebarkan senyuman Chrysander, menjadikan gadis itu tersadar akan ucapannya barusan. Dengan satu tangan berada di mulut, Valleya pun beringsut ke sudut ruangan. Hal itu tentu saja memancing gelak tawa pria itu. “Apa kau baru saja memujiku, Angel?” Dengan satu alis naik mendekati dahi, Chrysander menatap Valleya sedikit sensual, yang semakin membua
Seketika Valleya terkesiap saat mendengar suara Chrysander yang muncul dari balik bahu. Gadis itu pun berputar cepat, dan tubuhnya nyaris terjatuh karena pergerakan yang tiba-tiba. Untung saja Chrysander menahan pinggang Valleya. Sehingga kepalanya tidak membentur permukaan lantai yang keras. "Ka-kau, bagaimana...," ucap gadis itu terbata.Dia melirik ke arah Bunga Kristal yang tidak bergerak dari tempatnya tadi. Dan anehnya, bunga itu tetap berada di posisi semula, dengan batang dan dedaunan yang seolah membeku di udara. Tidak terlihat tanda-tanda bunga itu barusan menyerang. "Bu-bunga itu." Tunjuk Valleya pada Bunga Kristal di atas meja. Dengan gumaman pelan, dia pun mengadukan apa yang dialaminya pada pria di sebelah; "Bunga itu mengeluarkan api. Sama seperti yang Bibi alami."Tangan Valleya mencengkram kuat pergelangan Chrysander, hingga membuat jubah hitamnya mengkerut. Namun, tampaknya pria itu tidak begitu peduli, dan
Suara langkah kaki yang melintasi lorong, menarik perhatian Bervis seketika. Pria itu mengintip ke arah sosok Chrysander dari balik daun pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Lirikan matanya menyipit, menandakan bahwa dia tidak senang dengan kedatangan tuannya secara mendadak. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak turun ke bumi siang hari, Yang Mulia," ucapnya, membuat langkah Chrysander terhenti di dekat anak tangga. Perlahan-lahan kepalanya pun terangkat, dan pandangannya jatuh ke arah Bervis yang telah berdiri di hadapan. Dengan senyuman malas, Chrysander pun mengangkat bahu. Acuh. Dia hendak melanjutkan langkah kembali, namun lagi-lagi Bervis bersuara. "Aku hanya ingin kau berhati-hati, para malaikat itu sedang memperluas pencarian."Mendengar peringatan serius dari nada suara temannya itu, Chrysander pun menautkan kedua alis. "Aku tahu," jawabnya datar. "Dan intensitas kekuatan gadis