Rais Hoetomo kembali mendapati dirinya berada di Timur Tengah saat ia menginjakkan kaki di Irak. Memang ini bukan kali pertamanya berada di sini. Bahkan bukan kali pertama dalam waktu yang lama.
Tapi ini memang pertama kalinya ia datang ke Irak sebagai Rais Hoetomo.
Sebelumnya, ia selalu datang sebagai Caliph.
Terakhir kali Rais datang sebagai masyarakat sipil, menjajaki dan mengikuti kehidupan organisasi teroris, bahkan terlibat di dalam kegiatan-kegiatan mereka, adalah tujuh tahun silam. Ia telah mengalami masa-masa tersebut, dan tidak pernah ingin berhenti. Justru di saat itu, ia benar-benar mendalami alasan mengapa orang-orang tersebut menjadi teroris.
Ketika itu ia benar-benar berperan menjadi bagian dari mereka. Rais menumbuhkan jenggot dan brewok, berdagang barang ilegal untuk dana organisasi, bahkan merencanakan serangan terhadap masyarakat sipil. Sesekali Rais harus terjun ke lapangan, walaupun para pimpinan kelompok yang disusupinya lebih menyuk
“Anda hanya membuang waktu Anda.” Kata Mualimin di depan Andrea.“Mungkin saja. Tapi saya memiliki banyak waktu, Mr. Mualimin.” Jawab Andrea.“Silakan, tapi Anda tidak akan mendapatkan apa pun dari saya.”“Coba saja. Apakah sekarang ada yang akan mempedulikan Anda? Anda di sini, sendirian, menghadapi kami. Di mana teman-teman Anda?”“Saya tidak akan mengkhianati saudara-saudara saya.”“Oh ya? Lalu bagaimana dengan para mafia di Washington? Mereka saudara Anda juga?”Mualimin terdiam.“Kenapa? Anda tidak menyangka bahwa saya mengetahui itu?” lanjut Andrea.Mualimin masih diam.“Anda sudah kalah, Mr. Mualimin. Sekarang Anda tinggal menentukan sikap Anda.”“Aku akan berikan semua kontakku di Washington.”“Bagus.”“Dengan syarat.”“Anda sebenarnya tidak sedang b
memantau pergerakan agen FBI dalam meringkus dan mengejar para gembong teroris. Ia tidak ingin perjalanannya ke Irak sia-sia.“Jadi, kau akan kembali menghadiri pengajian di Islamic Center?” tanya Malikha.“Ya, begitulah.”“Abdul Aziz akan datang?”“Itu memang tujuanku. Untuk menggalang kekuatan bersamanya.”“Kau bermaksud menjadikan Islamic Center kekuatan politik?”Perhatian Rais teralihkan dari Malikha, menuju sebuah berita di CNN.“Malikha, lihat ini.”Di CNN tengah diputar sebuah video. Video itu menayangkan seorang perempuan muda. Di kepala perempuan itu ditodongkan sebuah pistol.Dan di sebelah perempuan itu terlihat seorang pria. Pria berjanggut dan mengenakan peci.“Siapa namamu?” tanya si pria.“Na...Natalie Freeman...” jawab si perempuan ketakutan.“Kenapa kau ada di sini?”&l
Beberapa menit sebelum Magrib, Abdul Aziz dan Janna telah sampai di Islamic Center. Suasana mulai ramai dan orang-orang di sana menyambut hangat mereka. Beberapa bahkan berjabat tangan dengan Abdul Aziz.Salah satunya adalah Malikha Russel.“Ah, Ms. Russel. Akhirnya kita bertemu.” Kata Abdul Aziz.“Kehormatan bagiku, Senator.”“Panggil Abdul Aziz saja. Dan ini istriku, Janna.”Malikha berjabat tangan dengan Janna.“Jadi, ada acara khusus malam ini?” tanya Abdul Aziz.“Setahuku ya. Aku ke sini juga diajak seseorang.” Jawab Malikha.“Oh ya?”“Itu dia, baru saja memarkir mobilnya.” Malikha menunjuk ke arah kanan.Ia membiarkan Abdul Aziz dan Janna melihat orang yang ditunjuknya. Di sana Rais Hoetomo berjalan ke arah mereka dengan pakaian serba putih.Rais meninggalkan semua huru-hara tentang Natalie Freeman kepada Aisha. Ia tel
Ibadah salat Isya baru saja usai di Islamic Center of Washington. Rais Hoetomo pergi mencari udara segar di pelataran masjid. Sementara anak-anak bermain di teras. Mereka berkejar-kejaran sambil tertawa riang.“Pantas aku tidak menemukanmu di dalam.” Malikha menghampirinya.“Hai. Kemarilah.” Rais mengajak Malikha mendekat.“Kau benar-benar mendukung Abdul Aziz?”“Dari kata-kataku tadi?”“Ya.”“Begitulah.”“Bagaimana kau bisa begitu yakin?”“Malikha, ia adalah salah satu orang yang memperkenalkan wajah agama kita kepadaku. Yang bahkan sejak lahir pun aku belum melihat wajah tersebut.”“Kau sudah menceritakan itu. Tapi, adakah alasan lain?”“Tentu saja. Ia tidak hanya berkata-kata. Ia membuktikan semuanya. Ia beraksi, dengan segala kekuatan dan kekuasaannya, orang ini menumpas terorisme. Abdul membuat wa
Hening.Tidak ada ledakan.Semua orang di sana nampak harap-harap cemas.“Sialan, signal blocker.”Aisha, pikir Caliph.“Terserah, bom itu tetap akan meledak dalam lima menit.” Kata Al Qassar.“Kau hanya menggertak.”“Kau buktikan sendiri kalau begitu.”“Tidak ada pilihan, ayo lari semua ke luar!!!” suara Abdul Aziz tiba-tiba terdengar.Seluruh jamaah berhamburan ke luar. Beberapa di antara mereka ada yang saling tabrak dan terinjak. Suasana pengajian yang semula damai seolah berubah menjadi kerusuhan.Pintu keluar tidak cukup untuk semua jamaah keluar dalam waktu lima menit.“MINGGIR!!!” teriak Caliph.Caliph lalu menembakkan sesuatu dari tangannya hingga dinding yang berada di area pintu keluar hilang tanpa bekas. Jamaah pun leluasa berlari menyelamatkan diri.Caliph, Abdul Aziz, dan Janna berusaha meny
“Aku tidak ada hubungannya dengan dia.” Kata Iqbal Anwar.“Oh ya? Bagaimana dengan pertemuanmu dengannya beberapa hari lalu?”“Itu bukan apa-apa. Aku hanya bertemu dengannya saat itu untuk menerima dia yang menawarkan kerjasama. Tidak lebih.”“Sebaiknya kau berkata yang sebenarnya.”“Atau apa? Kau bahkan tidak tahu siapa yang kau hadapi?”“Jelaskan.”“Kau berhadapan dengan orang gila, seorang mastermind.”“Kupikir kau tadi mengatakan bahwa dirimu tidak mengenal dia.”“Aku besar di area konflik. Di Timur Tengah. Aku tahu jenis-jenis manusia yang akan membunuh tanpa perasaan. Aku juga tahu jenis-jenis manusia mastermind. Al Qassar adalah gabungan dari mereka.”Rais Hoetomo memandangi monitornya. Ia berusaha melacak ponsel yang digunakan Al Qassar. Aisha M
Silvester Morran menikmati makan malamnya yang mewah di sebuah restoran pusat kota Washington. Pelayan-pelayan yang cantik jelita telah melayani dirinya dengan baik. Ia memang memesan khusus agar dilayani oleh mereka.Dari tempatnya berada, terlihat dengan jelas hampir seluruh Washington DC. Dalam benaknya, Morran berpikir apakah suatu saat kota ini akan jatuh ke tangannya.Bukan hanya kota ini, tapi juga seluruh Amerika Serikat.Mungkin saja.Telepon Morran bergetar. Ia melihat identitas penelepon di layarnya.“Tidak ada yang bisa dibicarakan.” Jawab Morran sebelum orang di sana sempat berbicara.Ia lalu mematikan teleponnya dan melanjutkan makan malam sambil menikmati pemandangan Washington DC.Morran tidak menyadari apa yang terjadi. Ia juga tidak menyadari kedatangan sebuah sosok. Bahkan Morran juga tidak tahu kenapa suasana di sekitarnya menjadi gelap. Yang ia tahu adalah mendadak dadanya terasa sesak. Dan ia
Hari telah memasuki sore menjelang malam. Para penduduk Washington DC sedang memadati jalanan untuk pulang ke tempat tinggal masing-masing setelah seharian bekerja. Padatnya jalanan semakin bertambah dengan adanya beberapa mobil yang menyalakan sirinenya.Andrea Izmaylov dan sejumlah anggota FBI mendatangi sebuah apartemen. Mereka telah menerima laporan bahwa di sana terjadi aktivitas yang mencurigakan. Beberapa orang berwajah Arab keluar-masuk apartemen itu dan membentak orang-orang yang berpapasan dengan mereka.Sayangnya, apartemen itu telah kosong saat Andrea datang.“Telusuri seluruh apartemen. Aku ingin mendapatkan informasi yang lengkap.” Katanya.“Baik, Ma’am.”“Mereka sudah pergi.” Sebuah suara muncul entah dari mana.“Sudah berapa lama kau di sini?” tanya Andrea.“Hampir sama denganmu.” Jawab Caliph.“Aku ingin memeriksa sidik jadi yang ada di are