memantau pergerakan agen FBI dalam meringkus dan mengejar para gembong teroris. Ia tidak ingin perjalanannya ke Irak sia-sia.
“Jadi, kau akan kembali menghadiri pengajian di Islamic Center?” tanya Malikha.
“Ya, begitulah.”
“Abdul Aziz akan datang?”
“Itu memang tujuanku. Untuk menggalang kekuatan bersamanya.”
“Kau bermaksud menjadikan Islamic Center kekuatan politik?”
Perhatian Rais teralihkan dari Malikha, menuju sebuah berita di CNN.
“Malikha, lihat ini.”
Di CNN tengah diputar sebuah video. Video itu menayangkan seorang perempuan muda. Di kepala perempuan itu ditodongkan sebuah pistol.
Dan di sebelah perempuan itu terlihat seorang pria. Pria berjanggut dan mengenakan peci.
“Siapa namamu?” tanya si pria.
“Na...Natalie Freeman...” jawab si perempuan ketakutan.
“Kenapa kau ada di sini?”
&l
Beberapa menit sebelum Magrib, Abdul Aziz dan Janna telah sampai di Islamic Center. Suasana mulai ramai dan orang-orang di sana menyambut hangat mereka. Beberapa bahkan berjabat tangan dengan Abdul Aziz.Salah satunya adalah Malikha Russel.“Ah, Ms. Russel. Akhirnya kita bertemu.” Kata Abdul Aziz.“Kehormatan bagiku, Senator.”“Panggil Abdul Aziz saja. Dan ini istriku, Janna.”Malikha berjabat tangan dengan Janna.“Jadi, ada acara khusus malam ini?” tanya Abdul Aziz.“Setahuku ya. Aku ke sini juga diajak seseorang.” Jawab Malikha.“Oh ya?”“Itu dia, baru saja memarkir mobilnya.” Malikha menunjuk ke arah kanan.Ia membiarkan Abdul Aziz dan Janna melihat orang yang ditunjuknya. Di sana Rais Hoetomo berjalan ke arah mereka dengan pakaian serba putih.Rais meninggalkan semua huru-hara tentang Natalie Freeman kepada Aisha. Ia tel
Ibadah salat Isya baru saja usai di Islamic Center of Washington. Rais Hoetomo pergi mencari udara segar di pelataran masjid. Sementara anak-anak bermain di teras. Mereka berkejar-kejaran sambil tertawa riang.“Pantas aku tidak menemukanmu di dalam.” Malikha menghampirinya.“Hai. Kemarilah.” Rais mengajak Malikha mendekat.“Kau benar-benar mendukung Abdul Aziz?”“Dari kata-kataku tadi?”“Ya.”“Begitulah.”“Bagaimana kau bisa begitu yakin?”“Malikha, ia adalah salah satu orang yang memperkenalkan wajah agama kita kepadaku. Yang bahkan sejak lahir pun aku belum melihat wajah tersebut.”“Kau sudah menceritakan itu. Tapi, adakah alasan lain?”“Tentu saja. Ia tidak hanya berkata-kata. Ia membuktikan semuanya. Ia beraksi, dengan segala kekuatan dan kekuasaannya, orang ini menumpas terorisme. Abdul membuat wa
Hening.Tidak ada ledakan.Semua orang di sana nampak harap-harap cemas.“Sialan, signal blocker.”Aisha, pikir Caliph.“Terserah, bom itu tetap akan meledak dalam lima menit.” Kata Al Qassar.“Kau hanya menggertak.”“Kau buktikan sendiri kalau begitu.”“Tidak ada pilihan, ayo lari semua ke luar!!!” suara Abdul Aziz tiba-tiba terdengar.Seluruh jamaah berhamburan ke luar. Beberapa di antara mereka ada yang saling tabrak dan terinjak. Suasana pengajian yang semula damai seolah berubah menjadi kerusuhan.Pintu keluar tidak cukup untuk semua jamaah keluar dalam waktu lima menit.“MINGGIR!!!” teriak Caliph.Caliph lalu menembakkan sesuatu dari tangannya hingga dinding yang berada di area pintu keluar hilang tanpa bekas. Jamaah pun leluasa berlari menyelamatkan diri.Caliph, Abdul Aziz, dan Janna berusaha meny
“Aku tidak ada hubungannya dengan dia.” Kata Iqbal Anwar.“Oh ya? Bagaimana dengan pertemuanmu dengannya beberapa hari lalu?”“Itu bukan apa-apa. Aku hanya bertemu dengannya saat itu untuk menerima dia yang menawarkan kerjasama. Tidak lebih.”“Sebaiknya kau berkata yang sebenarnya.”“Atau apa? Kau bahkan tidak tahu siapa yang kau hadapi?”“Jelaskan.”“Kau berhadapan dengan orang gila, seorang mastermind.”“Kupikir kau tadi mengatakan bahwa dirimu tidak mengenal dia.”“Aku besar di area konflik. Di Timur Tengah. Aku tahu jenis-jenis manusia yang akan membunuh tanpa perasaan. Aku juga tahu jenis-jenis manusia mastermind. Al Qassar adalah gabungan dari mereka.”Rais Hoetomo memandangi monitornya. Ia berusaha melacak ponsel yang digunakan Al Qassar. Aisha M
Silvester Morran menikmati makan malamnya yang mewah di sebuah restoran pusat kota Washington. Pelayan-pelayan yang cantik jelita telah melayani dirinya dengan baik. Ia memang memesan khusus agar dilayani oleh mereka.Dari tempatnya berada, terlihat dengan jelas hampir seluruh Washington DC. Dalam benaknya, Morran berpikir apakah suatu saat kota ini akan jatuh ke tangannya.Bukan hanya kota ini, tapi juga seluruh Amerika Serikat.Mungkin saja.Telepon Morran bergetar. Ia melihat identitas penelepon di layarnya.“Tidak ada yang bisa dibicarakan.” Jawab Morran sebelum orang di sana sempat berbicara.Ia lalu mematikan teleponnya dan melanjutkan makan malam sambil menikmati pemandangan Washington DC.Morran tidak menyadari apa yang terjadi. Ia juga tidak menyadari kedatangan sebuah sosok. Bahkan Morran juga tidak tahu kenapa suasana di sekitarnya menjadi gelap. Yang ia tahu adalah mendadak dadanya terasa sesak. Dan ia
Hari telah memasuki sore menjelang malam. Para penduduk Washington DC sedang memadati jalanan untuk pulang ke tempat tinggal masing-masing setelah seharian bekerja. Padatnya jalanan semakin bertambah dengan adanya beberapa mobil yang menyalakan sirinenya.Andrea Izmaylov dan sejumlah anggota FBI mendatangi sebuah apartemen. Mereka telah menerima laporan bahwa di sana terjadi aktivitas yang mencurigakan. Beberapa orang berwajah Arab keluar-masuk apartemen itu dan membentak orang-orang yang berpapasan dengan mereka.Sayangnya, apartemen itu telah kosong saat Andrea datang.“Telusuri seluruh apartemen. Aku ingin mendapatkan informasi yang lengkap.” Katanya.“Baik, Ma’am.”“Mereka sudah pergi.” Sebuah suara muncul entah dari mana.“Sudah berapa lama kau di sini?” tanya Andrea.“Hampir sama denganmu.” Jawab Caliph.“Aku ingin memeriksa sidik jadi yang ada di are
Aisha Mahmood membereskan peralatannya. Ia tahu bahwa tidak lama lagi Rais Hoetomo akan datang untuk menguji-coba kamera hasil pengembangan mereka untuk kasus sungguhan.Ketika Aisha memasuki ruangan kerjanya, sekretarisnya telah menunggu.“Ms. President, seseorang ingin menemui Anda.”“Siapa?”“Diona Dublin dari bagian keamanan.”“Baiklah, silakan.”Seorang perempuan paruh baya memasuki ruangan Aisha.“Selamat pagi, Ms. President.” Sapa perempuan itu.“Selamat pagi, Mrs. Dublin. Apakah ada yang bisa saya bantu?”“Tergantung apa yang bisa Anda tawarkan untuk saya.”“Maksud Anda?” Aisha memandangi Dublin, mencoba menangkap maksud perempuan ini.“Anda tidak perlu menutupinya, Ms. President. Kita tahu bahwa negara kita sedang berada di tengah perang dengan teroris. Dan tadi malam, katakan saja secara tidak dis
Rais dan Aisha telah berada di tengah-tengah proses analisis mereka. Dari hasil rekaman kameranya, Rais telah memproses citra-citra yang diperoleh menjadi sebuah simulasi di layar komputer. Seperti yang diharapkan, kamera buatan mereka berhasil merekam semua suara, panggilan, sinyal, maupun perubahan udara di apartemen semalam.Dan seperti yang mereka duga, ada sebuah kontak misterius yang mengarah ke suatu tempat. Tempat itu masih berada di Washington DC.Aisha meresumekan hasil pencitraan mereka.“Ini dia identifikasi suara dan sinyal yang ada.” Katanya.Aisha memproses beberapa perintah di papan ketik, lalu muncullah identifikasi alamat yang ada.“Ini, adalah lokasi yang berhasil diidentifikasi.” Lanjutnya.“Oke, terima kasih. Kerja bagus.”“Dr. Hoetomo, saya kira kita harus memproteksi keamanan data kita lebih tinggi lagi.”“Maksudmu?”“Seorang petugas
Silvester Morran memasuki ruangan kantornya. Ia telah menyaksikan apa yang terjadi. Walaupun Morran menyatakan turut bersukacita atas apa yang dicapai Abdul Aziz, tapi ia tidak pernah serius mengatakannya.Bagi Morran, saat ini yang penting adalah pencalonan dirinya sebagai Presiden Amerika Serikat semakin memiliki saingan kuat. Dan ia tidak bahagia akan hal itu.“Pagi.” Sebuah suara mengagetkannya.Seseorang telah berada di ruangan kerja Morran sebelum dirinya masuk.“Ka...kau...” Morran tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.“Kejutan, bukan?” tanya orang tersebut.“Dengar, kau tidak seharusnya ada di sini.”“Begitu juga denganmu.”“Apa maksudmu?”“Kau sama sekali tidak layak berada di tempat ini. Tidak sedikit pun.”Orang itu mengokang pistol, membidik ke arah kepala Morran.“Hei, tunggu, ada apa ini?” Morr
Di kantor FBI, Andrea Izmaylov telah menerima pesan dari nomor tidak dikenal mengenai posisi Al Qassar. Walaupun nomor tersebut tidak dikenalnya, ia tahu siapa yang mengirimkan pesan tersebut. Andrea segera memerintahkan mobilisasi.“Cepat, siagakan pasukan dan bergeraklah menuju Gedung Putih!!!” perintahnya.Sementara itu di Gedung Putih, Presiden menyambut Abdul Aziz. Mereka adalah saingan berat pada pemilihan sekarang, namun Presiden merasa perlu untuk menunjukkan wajah hangat Amerika Serikat.Karena itu ia mengundang Abdul Aziz, Janna, dan Fathia, putri mereka. Presiden memandu sendiri tur mereka mengelilingi bagian dalam Gedung Putih. Ia menunjukkan kantor-kantor, sayap Barat dan Timur, bahkan Oval Office.Tidak lupa, Presiden juga menunjukkan area residency.“Ini tempat Presiden Amerika Serikat menjalani kehidupan pribadinya.” Kata Presiden.Abdul Aziz dan Janna mengangguk-a
Penjara Distrik Columbia yang baru saja menerima tamu istimewa semalam tidak terlihat akan mendapat kejutan di hari yang baru ini. Betapa tidak, malam sebelumnya mereka baru saja merayakan keberhasilan gabungan pasukan MPDC, SWAT, dan Garda Nasional dalam meringkus seorang teroris paling berbahaya di Washington.Tapi kini, justru keadaan berbalik. Orang tersebut berjalan dengan bebasnya di area penjara, bahkan tidak ada seorang pun petugas keamanan yang mencegahnya.Al Qassar berdiri di hadapan kepala penjara.Di sekitar mereka, pasukan berseragam petugas penjara berjaga-jaga sambil bersiap dengan senjata masing-masing.“Kau... benar-benar orang gila.” Kata kepala penjara.“Jika kau tidak keberatan, akuilah, bahwa pasukanmu lebih loyal kepadaku dibandingkan bos mereka sendiri.”Si kepala penjara terdiam menahan geram.“Aku tahu kau marah. Aku tahu kau juga sedih. Tapi inilah kenyataan. Kau harus belajar u
Washington Monument, keesokan harinya.Podium telah disiapkan. Tidak ada panggung khusus, hanya podium. Masyarakat Washington telah ramai memenuhi area tersebut. Pers juga tidak tertinggal.Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi. Abdul Aziz menaiki podium. Janna menyaksikan di antara masyarakat Washington.Sementara dari sisi lain kota, di sebuah griya tawang, Rais Hoetomo menyaksikan CNN yang meliput Abdul Aziz.“Telah banyak tersebar berita dalam beberapa waktu ke belakang ini. Berita-berita yang membahas tentang pencalonan sejumlah nama sebagai Presiden Amerika Serikat. Banyak nama yang beredar, di antaranya nama saya. Tapi hal itu bukan menjadi perhatian saya pada waktu-waktu tersebut.“Perhatian saya tertuju kepada timbulnya kelompok-kelompok ekstremis dan teroris, baik di Amerika Serikat maupun seluruh dunia. Aksi dari kelompok-kelompok tersebut, sejak awal saya percaya, tidak mewakili apa pun di atas muka bumi i
Abdul Aziz telah berada di mobil evakuasi. Sesuai rencana, pasukan SWAT akan segera membawanya pergi sesaat setelah Al Qassar datang.Sasaran mereka adalah Al Qassar. Sejak awal, tidak ada niat dari pasukan SWAT maupun MPDC untuk membiarkan Abdul Aziz menjadi umpan yang akan disantap Al Qassar.Di depan dan belakang mobil yang ditumpangi Abdul Aziz, terdapat masing-masing dua mobil SWAT yang mengawal mereka. Sekilas, mereka tampak aman.Namun itu hanya nampaknya.Mobil pengawal paling belakang tiba-tiba terjungkal. Dari bawahnya terlihat api berkobar.Di belakang mereka, terlihat pasukan Al Qassar.Al Qassar memang bukan orang bodoh. Ia tahu bahwa sejak awal tidak mungkin mereka menempatkan senatornya sebagai tumbal.Karena itu ia menempatkan seorang Al Qassar palsu untuk menyerang Northwest, sementara ia sendiri mengamati ke mana Abdul Aziz akan dibawa pergi.Kini Al Qassar hanya me
Jika dibandingkan dengan peperangan-peperangan yang telah dialaminya, baik di Timur Tengah maupun tempat lain, malam ini bukanlah hal yang aneh bagi Rais. Ia akan berhadapan dengan satu atau sekelompok teroris.Dan ini bukan hal baru baginya.Tapi Rais tahu bahwa ia harus tetap waspada. Al Qassar bukan teroris biasa. Ia adalah seorang mastermind. Bahkan masih belum dapat dipastikan apakah Al Qassar akan memakan umpan Rais.Jika umpan ini berhasil, Al Qassar akan menyerang Abdul Aziz di Northwest. Saat itulah Rais akan beraksi.Rais juga menyadari bahwa Al Qassar tidak akan datang sendirian. Orang ini tidak cukup bodoh untuk menghadapi pasukan MPDC seorang diri. Ia pasti membawa pasukannya.Dalam hatinya Rais berharap semua rencananya bersama Abdul Aziz berhasil. Lalu Al Qassar akan ditangkap dan dipenjarakan dengan keamanan maksimum sebelum menerima hukuman terberat dari pengadilan. Mungkin hukuman mati.Tapi seperti yang telah dika
02.30 am“Saudara sekalian, perubahan di posisi perolehan suara terus terjadi. Fenomena yang terjadi dari detik ke detik semakin tidak terprediksi. Saat ini secara mengejutkan, Massachussets berada di posisi puncak perolehan suara menggeser Washington yang lima belas menit lalu menjadi pendulang suara terbanyak. “Sejumlah netizen yang mengaku sebagai warga Massachussets mengatakan bahwa mereka menduga kuat bahwa warga Washington memveto Massachussets sebanyak mungkin untuk menyelamatkan negara bagian mereka.“Netizen yang mengaku sebagai warga Massachussets ini mulai melakukan provokasi kepada seluruh warga negara bagian lain agar memveto Washington. Mereka bahkan menyebarkan tagar #VoteWashington di Twitter. Hal ini segera ditanggapi oleh sejumlah netizen yang mengaku sebagai warga Washington yang membalas dengan tagar #VoteMassachussets sambil mereka juga membantah tuduhan yang di
01.00 amWarga negara Amerika Serikat terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang berusaha melarikan diri dari negaranya. Mereka mencoba melakukan segala cara untuk menembus perbatasan ke Meksiko dan Kanada.Perdana Menteri Kanada telah membuka perbatasan negaranya untuk mempersilakan orang-orang dari Amerika Serikat yang hendak berlindung di negeri tersebut. Meskipun ada beberapa pemeriksaan oleh petugas, namun semua itu hanya dilakukan sebagai syarat administratif untuk memastikan orang yang mengungsi tidak memiliki catatan criminal apalagi tercatat sebagai teroris.Sementara pemerintah Meksiko memberlakukan kebijakan yang jauh berbeda. Meksiko menutup perbatasan sehingga para pengungsi dari Amerika Serikat menumpuk di daerah batas antara dua negara.Ada belasan ribu orang Amerika yang berada di perbatasan Meksiko dan menunggu pemerintah negara tetangga mereka tersebut membuka perbatasannya dan mengizinkan mereka
Iqbal Anwar membalas tatapan Abdul Aziz. Mereka berdua beradu pandang tanpa berkedip. Iqbal mengeluarkan senyum liciknya. Sementara Abdul Aziz masih bergeming.Abdul Aziz berdiri dan duduk di sisi meja tempat Iqbal duduk.“Aku tidak ingin membuang banyak waktu di sini. Jadi, sebaiknya kau bekerja sama.” Kata Abdul Aziz.Iqbal tersenyum lagi.“Aku tahu kau berusaha mempermainkan kami. Tapi percayalah, di sini bukan tempat kau bisa melakukan itu. Pikirkanlah, berapa lama kau akan bisa bertahan dengan terus bersikap seperti ini.”“Memangnya apa yang akan kau lakukan?”“Itu bukan wewenangku. Bahkan bukan hakku untuk berada di sini dan menginterogasimu. Tapi aku bisa berada di sini, di hadapanmu, tanpa ada satu pun petugas yang mendampingiku. Kau tahu kenapa? Karena mereka sudah muak terhadapmu sehingga harus memintaku untuk turun tangan. Dan kau tahu? Aku tidak memiliki dasar pelatihan interogasi. Karena