Hening.
Tidak ada ledakan.
Semua orang di sana nampak harap-harap cemas.
“Sialan, signal blocker.”
Aisha, pikir Caliph.
“Terserah, bom itu tetap akan meledak dalam lima menit.” Kata Al Qassar.
“Kau hanya menggertak.”
“Kau buktikan sendiri kalau begitu.”
“Tidak ada pilihan, ayo lari semua ke luar!!!” suara Abdul Aziz tiba-tiba terdengar.
Seluruh jamaah berhamburan ke luar. Beberapa di antara mereka ada yang saling tabrak dan terinjak. Suasana pengajian yang semula damai seolah berubah menjadi kerusuhan.
Pintu keluar tidak cukup untuk semua jamaah keluar dalam waktu lima menit.
“MINGGIR!!!” teriak Caliph.
Caliph lalu menembakkan sesuatu dari tangannya hingga dinding yang berada di area pintu keluar hilang tanpa bekas. Jamaah pun leluasa berlari menyelamatkan diri.
Caliph, Abdul Aziz, dan Janna berusaha meny
“Aku tidak ada hubungannya dengan dia.” Kata Iqbal Anwar.“Oh ya? Bagaimana dengan pertemuanmu dengannya beberapa hari lalu?”“Itu bukan apa-apa. Aku hanya bertemu dengannya saat itu untuk menerima dia yang menawarkan kerjasama. Tidak lebih.”“Sebaiknya kau berkata yang sebenarnya.”“Atau apa? Kau bahkan tidak tahu siapa yang kau hadapi?”“Jelaskan.”“Kau berhadapan dengan orang gila, seorang mastermind.”“Kupikir kau tadi mengatakan bahwa dirimu tidak mengenal dia.”“Aku besar di area konflik. Di Timur Tengah. Aku tahu jenis-jenis manusia yang akan membunuh tanpa perasaan. Aku juga tahu jenis-jenis manusia mastermind. Al Qassar adalah gabungan dari mereka.”Rais Hoetomo memandangi monitornya. Ia berusaha melacak ponsel yang digunakan Al Qassar. Aisha M
Silvester Morran menikmati makan malamnya yang mewah di sebuah restoran pusat kota Washington. Pelayan-pelayan yang cantik jelita telah melayani dirinya dengan baik. Ia memang memesan khusus agar dilayani oleh mereka.Dari tempatnya berada, terlihat dengan jelas hampir seluruh Washington DC. Dalam benaknya, Morran berpikir apakah suatu saat kota ini akan jatuh ke tangannya.Bukan hanya kota ini, tapi juga seluruh Amerika Serikat.Mungkin saja.Telepon Morran bergetar. Ia melihat identitas penelepon di layarnya.“Tidak ada yang bisa dibicarakan.” Jawab Morran sebelum orang di sana sempat berbicara.Ia lalu mematikan teleponnya dan melanjutkan makan malam sambil menikmati pemandangan Washington DC.Morran tidak menyadari apa yang terjadi. Ia juga tidak menyadari kedatangan sebuah sosok. Bahkan Morran juga tidak tahu kenapa suasana di sekitarnya menjadi gelap. Yang ia tahu adalah mendadak dadanya terasa sesak. Dan ia
Hari telah memasuki sore menjelang malam. Para penduduk Washington DC sedang memadati jalanan untuk pulang ke tempat tinggal masing-masing setelah seharian bekerja. Padatnya jalanan semakin bertambah dengan adanya beberapa mobil yang menyalakan sirinenya.Andrea Izmaylov dan sejumlah anggota FBI mendatangi sebuah apartemen. Mereka telah menerima laporan bahwa di sana terjadi aktivitas yang mencurigakan. Beberapa orang berwajah Arab keluar-masuk apartemen itu dan membentak orang-orang yang berpapasan dengan mereka.Sayangnya, apartemen itu telah kosong saat Andrea datang.“Telusuri seluruh apartemen. Aku ingin mendapatkan informasi yang lengkap.” Katanya.“Baik, Ma’am.”“Mereka sudah pergi.” Sebuah suara muncul entah dari mana.“Sudah berapa lama kau di sini?” tanya Andrea.“Hampir sama denganmu.” Jawab Caliph.“Aku ingin memeriksa sidik jadi yang ada di are
Aisha Mahmood membereskan peralatannya. Ia tahu bahwa tidak lama lagi Rais Hoetomo akan datang untuk menguji-coba kamera hasil pengembangan mereka untuk kasus sungguhan.Ketika Aisha memasuki ruangan kerjanya, sekretarisnya telah menunggu.“Ms. President, seseorang ingin menemui Anda.”“Siapa?”“Diona Dublin dari bagian keamanan.”“Baiklah, silakan.”Seorang perempuan paruh baya memasuki ruangan Aisha.“Selamat pagi, Ms. President.” Sapa perempuan itu.“Selamat pagi, Mrs. Dublin. Apakah ada yang bisa saya bantu?”“Tergantung apa yang bisa Anda tawarkan untuk saya.”“Maksud Anda?” Aisha memandangi Dublin, mencoba menangkap maksud perempuan ini.“Anda tidak perlu menutupinya, Ms. President. Kita tahu bahwa negara kita sedang berada di tengah perang dengan teroris. Dan tadi malam, katakan saja secara tidak dis
Rais dan Aisha telah berada di tengah-tengah proses analisis mereka. Dari hasil rekaman kameranya, Rais telah memproses citra-citra yang diperoleh menjadi sebuah simulasi di layar komputer. Seperti yang diharapkan, kamera buatan mereka berhasil merekam semua suara, panggilan, sinyal, maupun perubahan udara di apartemen semalam.Dan seperti yang mereka duga, ada sebuah kontak misterius yang mengarah ke suatu tempat. Tempat itu masih berada di Washington DC.Aisha meresumekan hasil pencitraan mereka.“Ini dia identifikasi suara dan sinyal yang ada.” Katanya.Aisha memproses beberapa perintah di papan ketik, lalu muncullah identifikasi alamat yang ada.“Ini, adalah lokasi yang berhasil diidentifikasi.” Lanjutnya.“Oke, terima kasih. Kerja bagus.”“Dr. Hoetomo, saya kira kita harus memproteksi keamanan data kita lebih tinggi lagi.”“Maksudmu?”“Seorang petugas
Pagi ini cukup cerah. Ini adalah sebuah hari yang baru di Washington DC. Terutama di National Mall. Di dalamnya terdapat tempat bernama United States Holocaust Memorial Museum, yaitu museum untuk memperingati kejadian Holocaust.Hari ini, Museum Peringatan Holocaust akan dikunjungi oleh siswa dari berbagai sekolah dasar di Washington DC.Pada pukul sembilan pagi, mereka semua sudah datang dan memasuki area pelataran museum. Petugas keamanan mengatur barisan anak-anak itu. sementara guru-guru pendamping mereka terus mengingatkan agar menjadi anak-anak yang baik dan tidak merepotkan Bapak-bapak petugas keamanan.Anak-anak berbaris dengan rapi. Mereka saling bercengkerama dengan riang gembira.Di sekitar sana, Andrea Izmaylov telah datang. Matanya waspada mengamati sekitar. Beberapa saat lalu, informasi anonim telah memasuki ponselnya.Walaupun informasi tersebut anonim, tapi Andrea tahu bahwa pengirimnya adalah orang yang sangat bisa ia percaya.
Semua stasiun televisi di Amerika Serikat meliput kejadian pemboman di Holocaust Museum. Meskipun belum ada pihak yang mengklaim bertanggungjawab, namun spekulasi telah bermunculan.Nama Al Qassar disebut-sebut. Tapi yang mengejutkan, muncul juga rumor yang menyebut nama Caliph.Tiba-tiba CNN melakukan breaking news. Mereka mengatakan bahwa seorang narasumber hendak mengungkap siapa di belakang kejadian ini.Seketika perhatian para pemirsa tertuju pada CNN. Karena mereka tahu kelas CNN, maka mereka juga tahu narasumber yang didatangkan pasti tidak sembarangan. Layar pun menunjukkan pembaca berita yang sekaligus bertindak sebagai pewawancara telah memperkenalkan narasumber mereka.Dia adalah Diona Dublin.Aisha Mahmood memperhatikan layar televisi. Ia mencoba menyusun sejumlah alternatif langkah antisipasi untuk segala kemungkinan yang terjadi.“Mrs. Dublin, berapa lama Anda suda
“Mrs. Dublin, apa yang Anda lakukan?” tanya Al Qassar.“Maaf, saya tidak mengerti...” Dublin nampak ketakutan.“Sudahlah, Anda sudah mengkhianati kami.”“Maaf, ini pasti kesalahan...”“Anda tidak perlu mengelak lagi. Kini Anda mengorbankan kepentingan organisasi dan mengambil panggung demi kepentingan pribadi Anda?”Diona Dublin nampak kebingungan, ia meminta tolong kepada orang sekitarnya dan berusaha menjelaskan hal yang ia sendiri tidak mengerti.“Saya tidak ingin Anda mencuri panggung kami.” Kata Al Qassar. “Maka saya yang akan mengumumkannya. Diona Dublin bekerja bersama kami. Ialah informan utama kami. Dan ya, kami berada di balik pemboman Museum Holocaust. Jika Anda ingin mengadili orang yang paling bertanggung-jawab, maka orang itu ada di layar televisi Anda sekarang. Terima kasih.”