"Lenganmu sedikit berdarah, kau ingin aku bawa ke rumah sakit?""Tidak perlu, Pak David. Aku baik-baik saja, ini hanya luka kecil. Sebentar lagi mungkin akan mengering dan sembuh. Lagi pula, Tiffany sudah mengatakan bahwa ia tidak sengaja, jadi aku baik-baik saja. Terima kasih, Pak David." "Apa kau yakin?" Zea mengangguk dengan senyuman yang membuat Tiffany ingin muntah. "Kau tidak usah seperti itu, aku memang tidak sengaja mendorongnya, tapi aku yakin dorongan ku tidak sekuat Spiderman yang membuatnya jatuh tersungkur. Kau tahu? Ada yang dia lebih-lebihkan di sini. Aku sama sekali tidak merasa bersalah di sini, dia duluan yang memancing emosiku, dia duluan yang menyentuhku, aku tidak suka di sentuh dengan gadis tidak tahu malu sepertinya. Salah dia—""Tiffany!" bentak David yang sukses membuat Tiffany terdiam, begitupun dengan semua orang yang ada di sana, seketika saja semuanya hening. Bahkan, jantung Tiffany merasa berdegup kencang."Jaga ucapanmu dan minta maaf padanya." jelas D
Tiffany melepaskan rangkulan Matthew dengan paksa lalu menarik tangan pria itu agar segera pergi dari tempat ini. Sudah cukup ia menjadi pusat perhatian dan di permalukan, ia tidak ingin itu semua terjadi lagi."Hey, Tif. Kenapa kau buru-buru sekali? Kau tidak ingin mengenalku pada kekasihmu ini? Atau, dia diam saja karena kau belum mengetahui surat cinta yang aku kirimkan padamu dua hari yang lalu?""Kau ini bicara apa, sih?!" gertak Tiffany yang sepertinya sudah gemas dengan tingkah Matthew."Surat cinta?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir David yang memancing perhatian semua orang."Ya, surat cinta. Apa Tiffany tidak memberitahumu bahwa ada pria lain yang akan menjadi saingan kekasihnya untuk memenangkan hatinya? Astaga, kau jahat sekali, Tif. Padahal, aku sudah memikirkan akan menjadi kekasih keduamu.""Kekasih kedua?" Lagi, pertanyaan David seolah mewakili setiap benak semua orang yang ada di sana. Tiffany mengedipkan matanya berkali-kali. Ia benar-benar tak menyangka
"Ah, kau ingin kita bermain sepeda seperti anak kecil itu? Baiklah, ayo.""Eh?" Tiffany yang terkejut sontak saja langsung mengikuti pergerakan tangan Matthew yang menuntutnya keluar dari kafe. Sungguh, bahkan ia belum sempat menyicipi ice cream itu! "Hey, kita mau kemana?""Bersepeda." jawab Matthew cepat selepas mereka sudah berhenti di tempat persewaan sepeda yang ada di pinggir taman itu. "Ini, aku sudah menyewakan dua sepeda. Ayo!"Tiffany menahan kedua kakinya untuk tidak mengikuti arah langkah Matthew. Gadis itu terdiam di tempatnya seraya menatap sang pria dengan raut wajah bingung. Tiffany sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Matthew, mengapa ia tiba-tiba mengajaknya bersepeda? "Ada apa? Bukankah, kau ingin bersepeda?"Rahang Tiffany terjatuh begitu mendengar penuturan Matthew, "Aku? Ingin bersepeda? Kapan aku mengatakannya padamu?"Matthew melepaskan genggaman tangannya pada Tiffany lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Tadi, aku pikir kau ingin bersepeda
Matthew tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, sisi lain Tiffany benar-benar menarik. Matthew yakin jika Tiffany terus seperti ini akan ada banyak sekali pria yang mengejarnya. Mungkin, ia akan menjadi salah satu pria yang menyukai setiap sisi Tiffany. "Ayo, Matthew! Susul aku juga kau bisa!" Pria itu seketika berdiri, bersiap untuk duduk kembali di atas sepeda berwarna merahnya itu."Bagaimana jika aku berhasil menyusulmu kau harus mentraktirku." "Jalankan saja sepedamu dulu! Jangan banyak omong!" teriak Tiffany lalu semakin cepat mengayuh sepeda."Baiklah, kita mulai sekarang!" hentak Matthew yang begitu semangat seraya kembali mengayuh sepedanya. Namun percuma saja, ia sama sekali tidak bisa menemukan titik seimbang tubuhnya. Sungguh, ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara menjalankan sepeda ini.Bruk.Matthew kembali jatuh tersungkur yang membuat Tiffany semakin mengembangkan senyumnya. Entah mengapa, Matthew merasa sama sekali tidak keberatan jika harus terjatuh be
"Ibu?" cicit Matthew pelan namun masih bisa di dengar semua orang. Sungguh, ia sama sekali tak menyangka bahwa wanita itu adalah ibu dari Tiffany. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penuaan meski anaknya sudah dewasa dan bekerja. Luar biasa!Tiffany yang mendengar penuturan Matthew hanya bisa menghela napas lelah. Entah apa yang harus ia jelaskan pada pria itu setelah ini. Jujur saja, Tiffany juga merasa sangat malu. Aib keluarganya diketahui banyak orang. Itu benar-benar memalukan.Sedangkan, wanita itu langsung mengalihkan pandangannya pada Matthew yang rupanya kini sedang menatapnya, mengerjap singkat lalu tersenyum ramah."Siapa dia? Apa dia kekasihmu, Tiffany? Ah, kau tidak pernah mengenalkannya pada Ibu.""Ah, Tante. Aku dan Tiffany, kami hanya te—""Memangnya, apa pedulimu padaku? Kau bahkan sama sekali tidak terlihat tertarik dengan kehidupanku. Aku makan atau tidak saja kau sama sekali tidak peduli. Tak usah berpura-pura menjadi ibu yang perhatian di depan orang lain. Itu
Bagi Zea Anastasia, hidup di panti asuhan selama delapan tahun sangatlah berbeda dengan hidup bersama dengan kedua orang di sebuah rumah. Setiap hari, ia tak hanya membantu pengurus panti untuk membersihkan tempat mereka, tapi juga membantu mengurus anak-anak panti asuhan lainnya yang memiliki nasib sama dengannya. Menurutnya, hidup di panti asuhan bukanlah menjadi masalah besar baginya. Tapi, setiap hari yang disuguhkan dengan ponsel membuat Zea juga ingin merasakan hal luar. Tepatnya, ketika ia melihat sebuah wanita yang berjalan berlenggak-lenggok di atas sebuah karpet merah membuatnya sangat tertarik. Bahkan, ia sudah berlatih demi tercapainya impian itu. Agaknya, Tuhan mengabulkan keinginannya. Tiga bulan setelah ia terus berlatih yang hanya berbekal ponsel, itu pun ada waktunya, hanya malam saja ia bisa beristirahat, dari pagi hingga sore ia akan membantu ibu panti merawat anak-anak panti asuhan yang lain yang lebih kecil darinya. Tak lama, ada sebuah keluarga yang mengadopsiny
"Aku baik-baik saja, Tiffany. Terima kasih. Aku bisa membayar makan siangku sendiri. Kau tak perlu repot-repot." balas Zea dengan senyuman yang agaknya hanya di mengerti oleh Tiffany, senyuman yang entah mengandung arti apa."Benarkah? Baguslah kalau begitu. Kau cukup tahu diri.""Kau ini kenapa, Tiffany? Rasa cemburumu benar-benar sudah berlebihan." timpal David seraya menggelengkan kepalanya tak jelas.Cemburu? Beo Tiffany dalam hatinya, "Tentu saja! Tentu saja aku cemburu melihatmu yang selalu berdekatan dengan gadis lain di depan mata kepalaku sendiri tanpa memikirkan perasaanku. Kau pikir aku selama ini baik-baik saja? Tidak! Aku selama ini hanya memendam semuanya. Aku benar-benar muak melihat orang yang aku sukai selalu dekat dengan gadis lain."David, Zea, dan juga Salsha sontak mendongak, menatap Tiffany dengan wajah terkejut. Orang yang ia sukai? Benarkah Tiffany mengatakan hal yang seperti itu? Salsha yang menyadari bahwa ini hanya sandiwara pun juga tak menyangka bahwa Tif
"Waw, kau sangat cantik." katanya dan Zea segera masuk ke dalam sana."Aku tak menyangka kau akan datang secepat ini." kata pria itu lagi seraya mengunci pintu kamarnya.Zea yang baru saja datang langsung duduk di sebuah sofa yang ada di sana."Hey, kenapa kau cemberut begitu?" Sang pria mengambil rahang Zea dengan kasar dan sedikit menekannya hingga si empunya meringis sakit. Agaknya, pria itu sangat tidak suka melihat wajah ditekuk Zea."Le-lepaskan!" ucap Zea terputus-putus karena cengkeraman itu terasa begitu kuat di tulang pipinya."Kau tidak suka datang ke sini? Kau keberatan? Hah?!""Ti-tidak, a-aku hanya ke-kelelahan." Pria itu berdecih seraya melepaskan cengkeramannya dengan kuat hingga Zea sedikit terdorong ke belakang. Tangan Zea bergerak menyentuh rahangnya yang sangat ngilu di sana. Sedangkan, sang pria berjalan menuju dapur dan tak lama kembali lagi dengan dua gelas minuman di tangannya. Yang Zea lihat itu adalah sebuah soda yang selalu pria itu sediakan di kulkasnya."