"Aku baik-baik saja, Tiffany. Terima kasih. Aku bisa membayar makan siangku sendiri. Kau tak perlu repot-repot." balas Zea dengan senyuman yang agaknya hanya di mengerti oleh Tiffany, senyuman yang entah mengandung arti apa."Benarkah? Baguslah kalau begitu. Kau cukup tahu diri.""Kau ini kenapa, Tiffany? Rasa cemburumu benar-benar sudah berlebihan." timpal David seraya menggelengkan kepalanya tak jelas.Cemburu? Beo Tiffany dalam hatinya, "Tentu saja! Tentu saja aku cemburu melihatmu yang selalu berdekatan dengan gadis lain di depan mata kepalaku sendiri tanpa memikirkan perasaanku. Kau pikir aku selama ini baik-baik saja? Tidak! Aku selama ini hanya memendam semuanya. Aku benar-benar muak melihat orang yang aku sukai selalu dekat dengan gadis lain."David, Zea, dan juga Salsha sontak mendongak, menatap Tiffany dengan wajah terkejut. Orang yang ia sukai? Benarkah Tiffany mengatakan hal yang seperti itu? Salsha yang menyadari bahwa ini hanya sandiwara pun juga tak menyangka bahwa Tif
"Waw, kau sangat cantik." katanya dan Zea segera masuk ke dalam sana."Aku tak menyangka kau akan datang secepat ini." kata pria itu lagi seraya mengunci pintu kamarnya.Zea yang baru saja datang langsung duduk di sebuah sofa yang ada di sana."Hey, kenapa kau cemberut begitu?" Sang pria mengambil rahang Zea dengan kasar dan sedikit menekannya hingga si empunya meringis sakit. Agaknya, pria itu sangat tidak suka melihat wajah ditekuk Zea."Le-lepaskan!" ucap Zea terputus-putus karena cengkeraman itu terasa begitu kuat di tulang pipinya."Kau tidak suka datang ke sini? Kau keberatan? Hah?!""Ti-tidak, a-aku hanya ke-kelelahan." Pria itu berdecih seraya melepaskan cengkeramannya dengan kuat hingga Zea sedikit terdorong ke belakang. Tangan Zea bergerak menyentuh rahangnya yang sangat ngilu di sana. Sedangkan, sang pria berjalan menuju dapur dan tak lama kembali lagi dengan dua gelas minuman di tangannya. Yang Zea lihat itu adalah sebuah soda yang selalu pria itu sediakan di kulkasnya."
Tiffany melambaikan tangannya ke arah Salsha yang juga membalas lambaian tangannya. Sejenak, Tiffany menatap punggung Salsha dengan hembusan napas. Benar, ia sangat tahu bagaimana kerasnya keluarga Salsha ingin segera melihat Salsha menikah di umurnya yang masih muda, sekalipun itu bukanlah hal yang di inginkan Salsha, mungkin untuk saat ini bukanlah saatnya ia menginginkan itu. Keluarga mereka yang dikenal baik dengan banyaknya koneksi menjadikan Salsha harus menuruti semua perkataan kedua orangtuanya. Tatapan Tiffany sontak beralih pada seorang gadis yang tengah berjalan dengan sebuah minuman di tangannya. Tubuhnya yang ramping dengan lekukan yang indah membuatnya sangat menawan ketika berjalan. Dress merah di tubuhnya sangat pas di sana. Zea Anastasia, entah apa alasannya gadis itu memang acap kali berada di kantor sore hari, padahal ia hanyalah sebuah model brand ambassador perusahaan yang seharusnya datang saat event tertentu atau ada hal yang harus ia lakukan. Tapi, lihatlah mo
Tiffany mengepalkan kedua tangannya hingga kuku jarinya kian memutih, "Sepertinya, kau sangat tertarik dengan kehidupanku. Aku akui, kau memang bukanlah gadis biasa, Zea. Kau benar! Aku hidup di sebuah rumah mewah dengan uang yang melimpah, rasanya aku memang tidak perlu bekerja seperti ini, hanya saja aku juga sadar diri bahwa aku butuh kemandirian, apa aku tak cukup sadar diri? Bahkan, tanpa aku bekerja saja, hidupku sudah terjamin sampai tua nanti. Aku rasa, kau seperti ini, karena kau tidak bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga asli. Ya, asli. Aku rasa, aku yang lebih beruntung darimu, meski kedua orangtuaku bercerai, tapi mereka tidak menelantarkan anaknya di tempat sampah. Hidupmu yang sekarang tidak asli, Zea. Kau bangga memiliki keluarga angkat? Kau bangga menumpang dengan mereka." Tiffany mengamati Zea dari atas hingga bawah, "Aku juga tak yakin bahwa dari ujung rambut sampai kakimu tak ada campur tangan mereka, apalagi dengan karirmu. Sepertinya, kau yang harus mengasih
"Kau sungguh melakukannya?" Tiffany menghela napas saat melihat Salsha langsung menyapanya pagi ini. Bahkan, sampai saat ini tak ada yang mempercayainya. Tiffany menatap Zea yang kini berada di meja pojok kantin tepat di samping kanannya tengah di kerumuni banyak orang dengan beribu perhatian akan kondisinya."Kenapa kau melakukannya? Kenapa kau berhubungan dengan gadis itu? Kau tahu? Sebelum kau menghancurkan namanya kau akan selalu kalah darinya, Tif! Seperti yang kau katakan, dia adalah ular yang menjelma seperti manusia. Dia bisa melakukan segala cara untuk menarik perhatian orang lain.""Ya, aku tahu. Aku juga melakukannya kemarin. Aku memang menyakitinya sampai ia jatuh ke tanah hingga asmanya kambuh dan ia di bawa ke rumah sakit."Salsha menghela napasnya, meski ia tidak terlibat hanya saja ia benar-benar memperhatikan kondisi sepupunya itu. "Aku sangat iri padanya, ada banyak orang yang menyukainya. Lihat saja, semua orang yang ada di sini sangat mengkhawatirkannya. Pantas me
"Hentikan semua omong kosongmu, Zea Anastasia. Sungguh, aku sangat muak mendengarnya. Kenapa? Apa bagimu sesulit itu menjadi diri sendiri? Kau ingin aku ajarkan bagaimana cara hidup yang baik? Hey, di sini tidak ada orang yang mendengar dan melihat kita. Jadi, kau tak usah berpura-pura lagi."Zea mengendus, "Kau—""Apa kau tak lelah selalu berpura-pura seperti itu di depan semua orang? Hey, hentikan. Hentikan semua sikap seolah kau merasa paling tersakiti, selalu merasa menjadi korban hanya untuk menarik perhatian semua orang. Bersikap lemah agar semua orang merasa iba padamu. Kau benar-benar menyedihkan, Zea Anastasia." ucap Tiffany yang sontak membuat Zea mendongak menatapnya. "Apa maksudmu? Apa sama sekali tak mengerti.""Kau gadis pintar, kau tak mungkin tak mengerti maksudku, Zea. Aku tahu bahwa kau selama ini hanya berpura-pura menjadi gadis polos dan baik hati. Kau bahkan sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit apapun." Zea yang mendengar itu sontak mengerutkan keningnya.
"Hm?""Jujur saja, aku sebenarnya bukan termasuk gadis yang ingin tahu tentang kehidupan orang lain. Tapi, kemarin, saat kau mengalami sesak napas yang menurut orang lain dikarenakan oleh ulahku, aku merasa sedikit bersalah. Tidak! Bukan merasa bersalah tapi aku merasa bertanggung jawab. Karena itulah, aku datang ke rumah sakit dan berbaik hati berniat untuk membayarnya. Namun, aku malah menemukan sebuah fakta bahwa kau sama sekali tidak memiliki penyakit apapun." Tiffany tersenyum sinis yang membuat Zea meneguk air liurnya dengan susah payah. Tubuh gadis model itu bergetar, wajah putihnya kian memucat."Zea Anastasia, menurut hasil pemeriksaan, anda sebenarnya sama sekali tidak memiliki penyakit asma. Mungkin, dapat saya katakan bahwa anda dalam kondisi sehat, baik-baik saja. Dan, sama sekali tidak me-""Bu Dokter, saya tahu itu, tapi bisakah anda merahasiakannya dari siapapun? Dari siapapun yang bertanya tentang kondisi saya. Katakan pada mereka bahwa saya benar memiliki penyakit as
"Ada apa ini? Kau baik-baik saja?" Seseorang menyela dari arah belakang Tiffany yang seketika saja berlari dan menghampiri keduanya, tidak bukan keduanya, ia datang ke arah Zea, memapah tubuh gadis itu yang hampir jatuh ke belakang. David Mahesa, pria itu datang dengan tiba-tiba dan melihat bagaimana arah tatapan matanya yang terlihat begitu tajam pada Tiffany. Pria itu dengan sigap merangkul tubuh Zea dan memapah gadis itu agar berdiri. Zea tak mengeluarkan suara sedikitpun, ia sedari tadi hanya diam. Kali ini, ia tak berbohong dengan kondisinya. Wajahnya benar-benar pucat, seputih kapas. Bahkan, bibir merahnya kini berubah seperti di lapisi bedak. Sungguh, Zea yang melihat itu sungguh tak menyangka. Tiffany Hwang gadis yang bahkan belum lama menetap di Jakarta ini dengan mudahnya mengetahui kebohongan yang selama ini ia berusaha menutupinya. Lalu, bagaimana jika semua orang tahu kebenarannya? Bagaimana jika ada orang yang mendengar percakapannya dengan Tiffany? Terutama, David. Ba
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub
"Tiffany, kau ingin keluar? Aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka." "Baiklah. Sepertinya, udara di luar lebih sejuk." Tiffany merasakan hal yang sama, bau ruangan itu sudah bukan lagi aroma lezat makanan tapi sudah didominasi aroma minuman alkohol, ia tidak menyukainya.Tanpa berpamitan lagi pada David, Tiffany segera menyusul Rosa yang sudah lebih dulu keluar. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sebuah danau kecil dengan beberapa pohon rindang di pinggirnya, gemerlap lampu yang temaram membuat suasana semakin nyaman dinikmati.Kedua gadis itu terus berjalan hingga mereka akhirnya tiba di sebuah jembatan kecil yang digunakan untuk menyebrangi sungai. Memang, di seberang sana ada kandang kuda dan juga lapangan golf. Besar sekali memang rumah Zelo. "Aroma parfummu sama sepertiku." Tiffany menyeletuk saat ia tidak sengaja mencium bau badan Rosa."Benarkah? Aku memakai parfum Channel no 5.""Benar! Aku juga memakainya, pemberian dari David."Rosa terkekeh, "Sepertinya, it
"Kau tidak ikut bermain?"Tiffany menoleh, Rosa sudah di sampingnya sedang mengikat rambut. "Tidak, aku tidak bisa bermain baseball.""Oh, benarkah? Padahal, David sangat menyukai permainan olahraga ini. Dari kecil, dia sudah sangat jago dan berlatih setelah pulang sekolah. Aku juga bisa bermain baseball karena David." Rosa berkata dengan senyumannya."Lebih menyenangkan jika kau bisa bermain baseball dengan seseorang yang kau sayangi, bukan?" Rosa melanjutkan dengan nada yang sedikit berbeda, seolah menyudutkan Tiffany.Tidak ada respon apapun yang diberikan Tiffany, ia hanya diam seraya memperhatikan Rosa yang tengah tersenyum miring ke arahnya seraya berjalan menuju sekumpulan pria itu. Di tempatnya, Tiffany hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang asik bermain. Meski pandangannya tertuju pada lapangan juga David, tapi pikirannya sedang mengambang, ia kembali mengingat kejadian semalam dengan Salsha. Bukan hal yang tidak mungkin jika Rosa menaruh perasaan pada David, mereka sud
"Kau masih ingat bagaimana prianya?"Salsha mencoba mengingat kembali, "Sedikit. Aku ingat rambutnya."Tiffany dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto yang berisi enam pria yang sedang tersenyum lebar di tengah-tengah lapangan baseball, lengkap dengan pakaian juga sebuah piala di sana."Apa ada di salah satu pria ini?"Salsha mengamatinya dengan teliti hingga ia merasa familiar dengan seorang pria di tengah-tengah, "Ini! Dia orangnya."Itu, Gilang.Setelahnya, Tiffany tidak banyak bicara, ia hanya diam mencoba mencerna apa yang terjadi selama ini. Mendapati hal ini, rasa curiga yang tadi sempat terpendam kini muncul kembali, ia menggali ingatannya dengan beberapa kejadian yang melibat Rosa belakangan ini. Gadis itu memang selalu hadir menjadi topik pertengkaran ia dan David hingga berujung salah paham."Tiffany, jika aku boleh menyarankan, kau harus berhati-hati dengan dia. Kau jangan terlalu percaya padanya. Dia memang sahabat David, tapi dia tetap orang asin