Tiffany melambaikan tangannya ke arah Salsha yang juga membalas lambaian tangannya. Sejenak, Tiffany menatap punggung Salsha dengan hembusan napas. Benar, ia sangat tahu bagaimana kerasnya keluarga Salsha ingin segera melihat Salsha menikah di umurnya yang masih muda, sekalipun itu bukanlah hal yang di inginkan Salsha, mungkin untuk saat ini bukanlah saatnya ia menginginkan itu. Keluarga mereka yang dikenal baik dengan banyaknya koneksi menjadikan Salsha harus menuruti semua perkataan kedua orangtuanya. Tatapan Tiffany sontak beralih pada seorang gadis yang tengah berjalan dengan sebuah minuman di tangannya. Tubuhnya yang ramping dengan lekukan yang indah membuatnya sangat menawan ketika berjalan. Dress merah di tubuhnya sangat pas di sana. Zea Anastasia, entah apa alasannya gadis itu memang acap kali berada di kantor sore hari, padahal ia hanyalah sebuah model brand ambassador perusahaan yang seharusnya datang saat event tertentu atau ada hal yang harus ia lakukan. Tapi, lihatlah mo
Tiffany mengepalkan kedua tangannya hingga kuku jarinya kian memutih, "Sepertinya, kau sangat tertarik dengan kehidupanku. Aku akui, kau memang bukanlah gadis biasa, Zea. Kau benar! Aku hidup di sebuah rumah mewah dengan uang yang melimpah, rasanya aku memang tidak perlu bekerja seperti ini, hanya saja aku juga sadar diri bahwa aku butuh kemandirian, apa aku tak cukup sadar diri? Bahkan, tanpa aku bekerja saja, hidupku sudah terjamin sampai tua nanti. Aku rasa, kau seperti ini, karena kau tidak bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga asli. Ya, asli. Aku rasa, aku yang lebih beruntung darimu, meski kedua orangtuaku bercerai, tapi mereka tidak menelantarkan anaknya di tempat sampah. Hidupmu yang sekarang tidak asli, Zea. Kau bangga memiliki keluarga angkat? Kau bangga menumpang dengan mereka." Tiffany mengamati Zea dari atas hingga bawah, "Aku juga tak yakin bahwa dari ujung rambut sampai kakimu tak ada campur tangan mereka, apalagi dengan karirmu. Sepertinya, kau yang harus mengasih
"Kau sungguh melakukannya?" Tiffany menghela napas saat melihat Salsha langsung menyapanya pagi ini. Bahkan, sampai saat ini tak ada yang mempercayainya. Tiffany menatap Zea yang kini berada di meja pojok kantin tepat di samping kanannya tengah di kerumuni banyak orang dengan beribu perhatian akan kondisinya."Kenapa kau melakukannya? Kenapa kau berhubungan dengan gadis itu? Kau tahu? Sebelum kau menghancurkan namanya kau akan selalu kalah darinya, Tif! Seperti yang kau katakan, dia adalah ular yang menjelma seperti manusia. Dia bisa melakukan segala cara untuk menarik perhatian orang lain.""Ya, aku tahu. Aku juga melakukannya kemarin. Aku memang menyakitinya sampai ia jatuh ke tanah hingga asmanya kambuh dan ia di bawa ke rumah sakit."Salsha menghela napasnya, meski ia tidak terlibat hanya saja ia benar-benar memperhatikan kondisi sepupunya itu. "Aku sangat iri padanya, ada banyak orang yang menyukainya. Lihat saja, semua orang yang ada di sini sangat mengkhawatirkannya. Pantas me
"Hentikan semua omong kosongmu, Zea Anastasia. Sungguh, aku sangat muak mendengarnya. Kenapa? Apa bagimu sesulit itu menjadi diri sendiri? Kau ingin aku ajarkan bagaimana cara hidup yang baik? Hey, di sini tidak ada orang yang mendengar dan melihat kita. Jadi, kau tak usah berpura-pura lagi."Zea mengendus, "Kau—""Apa kau tak lelah selalu berpura-pura seperti itu di depan semua orang? Hey, hentikan. Hentikan semua sikap seolah kau merasa paling tersakiti, selalu merasa menjadi korban hanya untuk menarik perhatian semua orang. Bersikap lemah agar semua orang merasa iba padamu. Kau benar-benar menyedihkan, Zea Anastasia." ucap Tiffany yang sontak membuat Zea mendongak menatapnya. "Apa maksudmu? Apa sama sekali tak mengerti.""Kau gadis pintar, kau tak mungkin tak mengerti maksudku, Zea. Aku tahu bahwa kau selama ini hanya berpura-pura menjadi gadis polos dan baik hati. Kau bahkan sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit apapun." Zea yang mendengar itu sontak mengerutkan keningnya.
"Hm?""Jujur saja, aku sebenarnya bukan termasuk gadis yang ingin tahu tentang kehidupan orang lain. Tapi, kemarin, saat kau mengalami sesak napas yang menurut orang lain dikarenakan oleh ulahku, aku merasa sedikit bersalah. Tidak! Bukan merasa bersalah tapi aku merasa bertanggung jawab. Karena itulah, aku datang ke rumah sakit dan berbaik hati berniat untuk membayarnya. Namun, aku malah menemukan sebuah fakta bahwa kau sama sekali tidak memiliki penyakit apapun." Tiffany tersenyum sinis yang membuat Zea meneguk air liurnya dengan susah payah. Tubuh gadis model itu bergetar, wajah putihnya kian memucat."Zea Anastasia, menurut hasil pemeriksaan, anda sebenarnya sama sekali tidak memiliki penyakit asma. Mungkin, dapat saya katakan bahwa anda dalam kondisi sehat, baik-baik saja. Dan, sama sekali tidak me-""Bu Dokter, saya tahu itu, tapi bisakah anda merahasiakannya dari siapapun? Dari siapapun yang bertanya tentang kondisi saya. Katakan pada mereka bahwa saya benar memiliki penyakit as
"Ada apa ini? Kau baik-baik saja?" Seseorang menyela dari arah belakang Tiffany yang seketika saja berlari dan menghampiri keduanya, tidak bukan keduanya, ia datang ke arah Zea, memapah tubuh gadis itu yang hampir jatuh ke belakang. David Mahesa, pria itu datang dengan tiba-tiba dan melihat bagaimana arah tatapan matanya yang terlihat begitu tajam pada Tiffany. Pria itu dengan sigap merangkul tubuh Zea dan memapah gadis itu agar berdiri. Zea tak mengeluarkan suara sedikitpun, ia sedari tadi hanya diam. Kali ini, ia tak berbohong dengan kondisinya. Wajahnya benar-benar pucat, seputih kapas. Bahkan, bibir merahnya kini berubah seperti di lapisi bedak. Sungguh, Zea yang melihat itu sungguh tak menyangka. Tiffany Hwang gadis yang bahkan belum lama menetap di Jakarta ini dengan mudahnya mengetahui kebohongan yang selama ini ia berusaha menutupinya. Lalu, bagaimana jika semua orang tahu kebenarannya? Bagaimana jika ada orang yang mendengar percakapannya dengan Tiffany? Terutama, David. Ba
"David....""Aku paling tidak suka jika apa yang sudah menjadi milikku disentuh apalagi disakiti oleh orang lain. Kau ingat ini baik-baik, Zea!"Lagi, Zea menitikkan air mata tak percaya. Terutama, saat kini David berlalu pergi dari hadapannya. Punggung pria itu semakin jauh dari pandangannya. Ini semua tidak benar! Ia tidak menduga bahwa semuanya akan terbongkar secepat ini, apalagi selama ini ia sudah dibodohi oleh David. Perkataan pria Bali itu padanya benar-benar membuatnya sangat terkejut.***Goffee JakartaCafe ini menawarkan konsep tempat makan indoor modern dengan menu andalan berupa minuman kopi beraneka rasa, seperti Avogato (kopi rasa alpukat), Goffee Latte Gula Aren,Black Coffee, Royal Regal, Pandan Lattee, Earl Grey, dll. Secara keseluruhan, cafe ini tergolong cukupnyaman untuk dijadikan sebagai tempat ngumpul dan nongkrong di waktu luang. Terlebih banderol harga makanan yang ditawarkannya pun tergolong cukup ramah kantong.Itu sebabnya, mengapa ketiga manusia ini memi
"Wah, sepertinya idemu ini sangat bagus, Tif!""Dan, kau Matthew! Mulai sekarang, aku menerimamu menjadi kekasihku! Ya, anggap saja kau adalah kekasih keduaku.""Hah?""Ya, apa kau tak mengerti? Apa kau sudah tidak berniat menjadi kekasih keduaku?""Hm?"***David yang baru saja sampai di loby kantor mengernyit bingung. Tak seperti hari-hari sebelumnya, pria itu tak menemukan seorang gadis yang biasa nunggunya di depan lobby hanya untuk masuk ke dalam kantor ini bersamanya. Nihil! Otak harga mulai berpikir apakah ia lebih dulu datang ke kantor pagi ini ketimbang sosok Tiffany? Tapi, ternyata dugaannya salah. David dapat menangkap sosok gadis itu berjalan lebih dulu darinya. Itu berarti, ia telah datang seperti biasa tanpa menunggunya lagi. "Pagi!" Sapaan itu terdengar saat ia masuk ke dalam kantor. Ada beberapa gadis yang memang setiap hari menyiapkannya seperti itu termasuk Tiffany. Namun sekarang, gadis itu hanya berbalik menatapku sejenak lalu kembali berjalan seakan tak melihat k