“Namanya Darren Zervano,” jawab lelaki dengan setelan jas sambil menatap layar kaca dengan tatapan yang tajam.“Nama orang tuanya? Bukankah dia pernah menjadi karyawan dan juga menantumu?” tanya lelaki beruban itu lagi.Dua orang itu adalah Martano dan Buston. Mereka bertemu di sebuah ruangan pribadi di rumah Buston yang terletak di sebuah perumahan elit. Buston baru saja kembali ke negeri ini untuk keperluan pribadi, yaitu melihat cucunya yang baru lahir.Selama ini Bustin menetap di luar negeri, namun tetap menjalin hubungan dengan Martano. Sehingga saat kembali ke tanah air, keduanya pasti menyempatkan diri untuk bertemu.Banyak bisnis gelap yang mereka jalani, dan sebagai pelaksana lapangannya tentu saja Martano, sedangkan Buston akan memantau dari kejauhan.“Iya. Tapi, data dan surat menyurat yang dimilikinya menyatakan dia bukanlah anak Rudi. Ayahnya bernama Arif dan ibunya bernama Amina,” jawab Martano kemudian.Iya, saat ini keduanya sedang memantau berita mengenai Darren. Dan
Martano hanya menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Aku hanya takut kalau dia menyimpan dendam kepada kita."Buston tampak tersenyum."Dia tidak akan sempat menyimpan dendam, untuk hidup saja dia pasti kesusahan," kekeh Buston sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya, sehingga ruangan itu dipenuhi dengan asap.Ruangan tempat pertemuan mereka itu memang ruang bebas merokok, terletak di lantai paling atas dengan sirkulasi udara yang memadai."Kalau begitu, aku pamit," ujar Martano dan segera meninggalkan rumah Buston. Dia harus mengurus semuanya, dan tidak mau adanya kesalahan."Silakan. Jangan lupa, pastikan kau mendapatkan informasi yang bisa dipercaya," jawab Buston.Martano memacu mobil mewahnya meninggalkan rumah mewah milik Buston. Dia juga harus mengetahui secepatnya mengenai perubahan drastis Darren. **Sementara itu….Kring! Kring! Kring!Darren yang sedang tertidur pulas terganggu dengan suara ponselnya yang menjerit-jerit karena dia lupa mematikannya sebelum tidur malam i
Keesokan harinya….“Daffa, hari ini aku akan pulang lebih cepat. Aku akan menemui seseorang,” ujar Darren kepada sekretarisnya saat waktu istirahat akan segera tiba.Daffa menganggukkan kepalanya. “Tidak kembali lagi ke kantor, Pak?”“Sepertinya tidak, karena tidak tahu pertemuan ini apakah akan memakan waktu lama, atau hanya pertemuan biasa,” jawab Darren seraya bersiap-siap untuk segera meninggalkan kantornya.Jarak dari restoran ayam jago dari kantornya memang cukup jauh, makanya Darren memilih untuk langsung pulang setelah menemui Martano.“Oke, hati-hati pak,” pesan Daffa kepada Darren.Darren hanya mengangguk dan melambaikan tangannya kepada Daffa. Dia segera menuju ke parkir mobil dan melajukan kendaraannya dengan cepat.“Martano pasti ada maunya, karena orang seperti dia tidak akan bernafas kalau tidak memiliki niat buruk kepada orang lain,” ujar Darren sepanjang perjalanan membelah kemacetan. Karena ini jam makan siang, kondisi jalanan cukup padat dan macet. Apalagi kalau ber
Darren menyunggingkan senyumannya mendengar apa yang dikatakan oleh Martano. “Baiklah, terima kasih atas undangannya.”Darren segera berdiri dan meninggalkan meja tersebut, walaupun sangat marah dia tetap menahan emosinya untuk saat ini.“Kurang ajar! Lelaki tua itu hanya membuat aku menghirup aroma makanan, tanpa diberikan kesempatan untuk menikmatinya. Dia benar-benar mempermalukanku,” ujar Darren kesal setelah keluar dari restoran yang sangat terkenal itu.Di depan Restoran Ayam Jago, Darren melihat ada sebuah warung makan yang cukup ramai juga, dan sepertinya makanan disana juga cukup menggoda. Sehingga untuk mengisi perutnya yang kosong, Darren memilih makan disana.Dan seperti yang Darren duga, dua orang bodyguard Martano mengikutinya. Bahkan keduanya juga ikut masuk ke dalam warung yang sama dengan Darren. mereka berpura-pura menjadi pelanggan dan mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari Darren.“Dia pikir aku tidak tahu dengan niat liciknya? Bahkan dia mengirimkan dua orang
“Tenang, Bu. Darren gapapa kok,” ujar Darren sambil menyunggingkan senyumannya dan menggenggam tangan Amina dengan lembut.Darren tahu, ibunya pasti sangat mendengar hal semacam itu, karena Amina tahu pasti bagaimana kejamnya Martano dan Buston menghabisi kedua orang tua Darren. Dahulu, berita kematian Rudi Zervano dan istrinya selalu menghiasi surat kabar dan televisi. Bahkan lebih dari dua bulan. Dan akhirnya lenyap bagaikan di telan bumi.“Bagaimana ibu bisa tenang. Sudah ibu katakan kamu harus hati-hati dengan Renata, bagaimanapun juga dia adalah anak satu-satunya dari Martano,” jawab Amina menatap Darren dengan pandangan yang khawatir.“Renata tidak ada hubungannya dengan ini, Bu. Jangan khawatir dengan Renata bersekongkol, walaupun mereka ayah dan anak. Tapi, hubungan keduanya tidaklah baik. Renata tidak akan ikut campur,” ujar Darren menjelaskan kepada Amina tentang Renata.Darren masih begitu yakin dengan Renata yang tidak akan melakukan hal semacam itu untuk membahayakannya.
"Apakah seserius itu?" tanya Darren dalam hatinya setelah Arras mematikan sambungan telepon tanpa salam.Darren benar-benar dibuat keheranan, karena sepertinya Arras juga sangat mengkhawatirkannya, sehingga meminta Darren segera menemuinya. Padahal Darren belum menceritakan secara keseluruhan tentang pertemuannya dengan Martano."Semua orang saat ini begitu takut saat aku berhubungan dengan Martano. Apakah wajahku ini begitu mirip papa, sehingga akan mudah dikenali oleh Martano?" tanya Darren sambil menatap wajahnya di cermin.Samar, dia tidak terlalu mengingat dengan jelas lagi wajah ayahnya. Sebab, kerasnya hidup selama ini membuat Darren terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Walaupun Darren masih menyimpan foto kedua orang tuanya. Namun, Darren merasa tidak tidak terlalu mirip.Darren menghela nafas berat, dan kemudian segera menemui seluruh karyawannya untuk melancarkan rencananya.Darren tahu apa yang dia sampaikan kepada para karyawan di rumahnya itu terdengar sangat konyol.
Arras menghela nafas berat. “Kita harus atur ulang semua rencana.”“Maksudnya? Kita akan percepat?” tanya Darren yang merasa tidak sabar untuk melihat kehancuran Martano dan Buston.Bagi Darren, selagi kedua orang itu masih bebas di luar sana, semua permasalahan belum selesai. Dan mereka berdua harus segera mendapatkan keadilannya.Arras menganggukkan kepalanya.“Saat ini perusahaan kamu juga sudah mulai normal. Keuntungan sudah mulai stabil, dan sudah siap masuk ke dalam dunia persaingan. Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang tahu siapa pemilik perusahaan itu, semuanya berjalan sesuai rencana,” ujar Arras yang kembali menikmati sarapannya dengan begitu nikmat.Bahkan di sela-sela obrolan seriusnya, Arras juga menceritakan kalau ubi rebus itu adalah sarapan yang paling disukainya. Karena hal itu mengingatkan perjuangannya dulu bersama ayahnya Darren selama di panti asuhan. Mereka sering kekurangan makanan, sehingga mereka selalu memanfaatkan lahan yang sempit menanam ubi yang bisa
"Menungguku? Astaga, ada apa lagi ini?" tanya Darren kesal.Darren masih mengamati ke sekeliling dari dalam mobilnya. Dia belum memutuskan untuk turun ataukah kembali pergi meninggalkan cafe. Alih-alih mau menenangkan diri di cafe tersebut, Darren malah semakin tidak tenang."Saya sudah menjelaskan kepada mereka kalau pak Darren tidak berada di cafe. Tapi, mereka ngotot mau menunggu. Dan mereka malah ada yang menanyakan alamat rumah pak Darren kalau kami tetap meminta mereka pergi," ujar Ninda pada menit berikutnya.Darren tidak sepenuhnya mendengar apa yang Ninda katakan, sebab saat ini dia sedang fokus mencari cara untuk melewati kerumunan itu."Baiklah, Ninda," jawab Darren yang terdengar putus asa."Apa yang bisa saya bantu, pak?" tanya Ninda yang merasa tidak enak kepada Darren karena tidak bisa berbuat apapun. Masalahnya memang tidak ada jalan lain untuk Darren masuk ke cafe tersebut selain melewati kerumunan itu