“Apakah mungkin seperti itu?” tanya Darren yang seolah sedang terbebani dengan perkataan Amina.Amina menganggukkan kepalanya. “Semua bisa saja terjadi. Buktinya dia meninggalkan kamu dengan tanpa pikir panjang. Dan Sekarang begitupun saat dia kembali.”Darren menggelengkan kepalanya. “Renata tidak seperti itu.”Darren meyakinkan dalam hatinya kalau Renata tidak akan berbuat seperti itu kepadanya. Darren merasa, walaupun kebersamaan mereka cukup singkat, tapi sedikit banyaknya dia sudah mengenal Renata.“Kenapa kamu begitu yakin? Bukankah kamu mengenal dia setelah kamu menikahinya? Hanya beberapa bulan waktu yang kalian habiskan bersama, dan dalam beberapa waktu itu apakah kamu yakin sudah sangat mengenalnya?” tanya Amina.Darren menganggukkan kepalanya.“Tidak penting aku mengenalnya baru atau sudah lama. Yang penting aku yakin dengan Renata, kalau Renata tidak akan melakukan hal itu,” jawab Darren dengan yakin.Amina hanya bisa menghela nafas berat. walaupun dia masih belum rela ras
“Eh… kalian sudah selesai bermain?” tanya Darren yang tidak menjawab pertanyaan Renata alah menyunggingkan senyuman lebarnya.Renata hanya menganggukkan kepalanya, dia sedikit merasa terbebani dengan umpatan dari Darren itu. Sebab dia merasa kalau dia sudah mengganggu Darren. Sedangkan Noah telah berlari masuk ke dalam pelukan Darren, sepertinya Noah benar-benar sudah lelah sehingga dia hanya diam di dalam pelukan sang ayah.“Kamu sangat lelah?” tanya Darren kepada Noah sambil tergelak.Renata melihat ke arah Darren, menuntut penjelasan dari Darren, karena dia masih belum puas tanpa mendapatkan jawaban.“Kau belum menjawab pertanyaanku? Apakah aku mengganggu? Kenapa kau tampak marah-marah?” tanya Renata lagi.Darren memberikan kode kepada Renata untuk memelankan suaranya sebab Noah sepertinya mulai mengantuk. “Bukan kamu. Ada seorang teman yang terus menggangguku.”“Kenapa kau tidak bekerja? Bukannya katanya sekarang kau sudah jadi pengusaha café?” tanya Renata lagi.Darren menggeleng
“Astaga, ini siapa yang mengizinkan orang seperti ini masuk?” tanya Darren sembari berjalan menuju ke arah pintu untuk memastikan siapa yang datang dan mencarinya.“Dia terdengar marah-marah,” ujar Renata yang mengikuti langkah kaki Darren. Karena Renata sebenarnya sudah mau berpamitan untuk pulang. Bagi Renata, waktu hari ini bersama Noah sangat berarti.“Iya, dan herannya kenapa dia bisa masuk,” kekeh Darren yang sama sekali tidak merasa takut, Darren bahkan sudah sedikit mengenal suaranya. Namun, Darren belum pasti.Baru saja Darren berada di ruang tamu dan belum sempat menuju pintu seseorang sudah berdiri dengan berkacak pinggang. Seperti dugaannya, orang itu adalah Nana.Nana datang dengan berkacak pinggang, menggunakan kacamata hitam dan tangannya yang menenteng tas kecil. Dia menatap Darren dengan tatapan yang tajam, apalagi saat melihat ada Renata yang menyusul di belakang Darren. Nana semakin emosi, dia merasa kalau Darren sengaja mau menghancurkan karirnya.Di belakang Nana,
“Hah? Berani banget kau bilang seperti itu kepadaku?” tanya Nana kepada Renata.Mungkin Nana tidak menyangka kalau ternyata ada orang yang berani kepadanya, bahkan Renata dengan lantangnya mengatakan dia tidak mengenal Nana.“Memangnya kenapa? Kau siapa aku harus takut?” tanya Renata tetap tidak bergeming di tempatnya.Darren menahan tawa dalam hatinya, dia melihat raut wajah Nana yang sangat tidak mengenakkan mendengar Renata berbicara seperti itu.“Ku tidak kenal aku? Memangnya di rumahmu tidak ada televisi?” tanya Nana kemudian kepada Renata.“Tidak ada! Aku tidak butuh TV, karena tidak ada acara yang berbobot,” jawab Renata lantang.Nana menghela nafas, tangannya terkepal. Nana benar-benar ingin menghabiskan Renata sepertinya. Bahkan Nuna memperhatikan Renata dari bawah hingga atas. Mungkin mereka sangat heran karena ada orang yang tidak mengenal Nana.Bahkan terlihat dari wajah Renata itu dia tidaklah bohong. Dan itu wajar kalau Renata tidak mengenal Nana, sebab selama ini Renata
"Kenapa? Banyak pekerjaan lain yang harus aku kerjakan. Jadi, aku tidak punya waktu untuk mengurus masalahmu," jawab Darren santai sambil melihat ke arah Nana.Mendengar pengusiran dari Darren, kali ini Nuna yang berdiri di depan Nana. Sebagai seorang manager pastinya dia bertanggung jawab terhadap Nana, karena tujuan mereka mendatangi rumah Darren juga awalnya untuk mencari solusi bersama. Bukan malah bertengkar seperti ini."Darren, mohon maaf sebelumnya kalau aku mencampuri kalian. Disini selain sebagai manager, aku juga sebagai kakaknya Nana. Sebaiknya kita cari solusinya bersama-sama yang sama-sama menguntungkan," ujar Nuna pelan.Darren melihat ke arah Nuna, ada rasa kasihan sebenarnya. Namun, Darren juga sudah terlanjur marah kepada Nana."Solusi apa? Rasanya aku tidak akan memiliki solusi yang tepat untuk masalah ini, sebab aku bukanlah seseorang dari kalangan artis. Dan juga wartawan sudah melihat sendiri apa yang Nana lakukan," jawab Darren sambil menggelengkan kepalanya.Nu
Darren menggelengkan kepalanya. "Yang bilang gratis siapa? Kamu bisa beli atau sewa bangunan itu tergantung dengan kemampuanmu.""Lihat saja nanti, aku mau pikirkan lagi," jawab Renata cuek.Darren menganggukkan kepalanya, dia tahu dengan sifat Renata yang tidak akan mudah mengalah. Apalagi dengan bantuan Darren, dia takkan mudah menerimanya. Gengsi Renata terlalu tinggi."Hubungi aku kalau kau membutuhkannya. Tapi, jangan lama-lama. Takutnya sudah didahului orang lain. Karena yang memanage itu juga bukan aku, tapi dibantu Daffa," ujar Darren menjelaskan kepada Renata.Memang ada beberapa bisnis Darren dibantu oleh Daffa dalam mengaturnya. Karena Darren tidak akan sanggup kalau bekerja sendirian. Dan bangunan toko itu adalah uji coba dari Darrren. Dia ingin belajar merambah bisnis property. "Oke."Renata menjawab singkat dan tampak terdiam memperhatikan arus jalan yang cukup padat.Darren mengantarkan Renata hingga tepat di depan hotel, seperti sopir taksi. Bahkan tidak ada lagi pemb
“Namanya Darren Zervano,” jawab lelaki dengan setelan jas sambil menatap layar kaca dengan tatapan yang tajam.“Nama orang tuanya? Bukankah dia pernah menjadi karyawan dan juga menantumu?” tanya lelaki beruban itu lagi.Dua orang itu adalah Martano dan Buston. Mereka bertemu di sebuah ruangan pribadi di rumah Buston yang terletak di sebuah perumahan elit. Buston baru saja kembali ke negeri ini untuk keperluan pribadi, yaitu melihat cucunya yang baru lahir.Selama ini Bustin menetap di luar negeri, namun tetap menjalin hubungan dengan Martano. Sehingga saat kembali ke tanah air, keduanya pasti menyempatkan diri untuk bertemu.Banyak bisnis gelap yang mereka jalani, dan sebagai pelaksana lapangannya tentu saja Martano, sedangkan Buston akan memantau dari kejauhan.“Iya. Tapi, data dan surat menyurat yang dimilikinya menyatakan dia bukanlah anak Rudi. Ayahnya bernama Arif dan ibunya bernama Amina,” jawab Martano kemudian.Iya, saat ini keduanya sedang memantau berita mengenai Darren. Dan
Martano hanya menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Aku hanya takut kalau dia menyimpan dendam kepada kita."Buston tampak tersenyum."Dia tidak akan sempat menyimpan dendam, untuk hidup saja dia pasti kesusahan," kekeh Buston sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya, sehingga ruangan itu dipenuhi dengan asap.Ruangan tempat pertemuan mereka itu memang ruang bebas merokok, terletak di lantai paling atas dengan sirkulasi udara yang memadai."Kalau begitu, aku pamit," ujar Martano dan segera meninggalkan rumah Buston. Dia harus mengurus semuanya, dan tidak mau adanya kesalahan."Silakan. Jangan lupa, pastikan kau mendapatkan informasi yang bisa dipercaya," jawab Buston.Martano memacu mobil mewahnya meninggalkan rumah mewah milik Buston. Dia juga harus mengetahui secepatnya mengenai perubahan drastis Darren. **Sementara itu….Kring! Kring! Kring!Darren yang sedang tertidur pulas terganggu dengan suara ponselnya yang menjerit-jerit karena dia lupa mematikannya sebelum tidur malam i