Mereka pun memasuki restoran di hotel itu. Seorang pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka. Pelayan pria tersebut bersikap sopan ketika menyapa mereka berdua. Rhea pun mencoba membalas sikap sopannya dengan singkat.“Apakah signature menu di sini?” tanya Rhea ketika membuka menu.Pelayan tersebut dengan sigap menjawab dan menjelaskan menu unggulan mereka, “... Anda bisa menambahkan citrus soya sauce with grated radish chili, atau extra virgin olive oil.”Setelah berpikir singkat, Rhea menggeleng. “Bagaimana dengan pasta?”“Kami memiliki ....” Pelayan tersebut lagi-lagi menjelaskan jenis menu pasta mereka secara rinci dan Rhea memilih. Setelahnya pelayan pelayan mencatat pesanannya.Rhea menatap Maven. “Apa yang ingin kamu pesan?”“Sama.”Rhea mengangguk dan menyampaikannya kepada pelayan.“Baiklah, mohon tunggu sebentar
Oke, jika Rhea ingat-ingat, mungkin usia hotel ini sekitar 9 atau 10 tahun. Bagaimana cara mereka membangun usaha sebaik ini?“Koneksi dan kemampuan,” ujar Maven seolah bisa mendengar pertanyaan batin Rhea. “Selain modal, kami juga membutuhkan koneksi dan kemampuan. Lalu selain itu, yang paling penting adalah komitmen.”Ah benar juga. Komitmen itu sangat sulit dipertahankan. Apalagi jika dilakukan bersama-sama.Tetapi serius, pria muda mana yang mampu mendirikan sebuah hotel lalu berkembang pesat hingga sekarang?!Hotel ini merupakan salah satu hotel bagus dan mewah di Indonesia. Tidak hanya dari segi infrastruktur, tapi juga pelayanannya. Rhea beberapa kali menginap di sini karena pelayanannya yang memuaskan seperti hotel-hotel besar milik keluarga konglomerat di ibu kota. Haah Rhea lupa nama keluarga itu.Selang beberapa menit terdiam, Rhea mengerjapkan matanya. “... Wow.”Rhea sungguh tidak tahu jika ini hotel dari para pria jutawan.“Cade yang memegang hotel ini. Bukan berarti kam
Malam itu juga di sebuah penthouse, Andini menggigit kukunya yang rapi. Dia duduk dengan tidak sabar menunggu kepulangan suaminya. Ini sudah pukul dua pagi namun Enzo masih belum pulang. Dia sudah menghubungi dan mengirim banyak pesan sejak sore dan pria itu hanya menjawab singkat, 'Aku lembur'.Dia sangat heran, kenapa Enzo selalu lembur setiap hari? Dia bahkan tidak memiliki waktu untuk mendengar curahan hatinya.Berdecih, ia mengusap rambutnya hingga terdengar suara pintu terbuka. Dia mendongak dan melihat kedatangan Enzo dengan jas yang disampirkan di lengannya. Secara naluriah dia beranjak dari sofa dan mendekati suaminya.“Kamu belum tidur?” Enzo bertanya. Wajahnya terlihat lelah.“Bagaimana bisa aku tidur saat kamu saja belum pulang.”Enzo tersenyum mengetahui bahwa istrinya mengkhawatirkannya. Dia membuka lebar tangannya. “Kemarilah. Kamu bisa tidur se—”Perkataannya terhenti begitu Andini meraba-raba tubuhnya tanpa terlewatkan sedikit pun.“Sayang, aku benar-benar lelah. Kita
Rhea dan Enzo duduk berseberangan di sebuah kedai kopi tidak jauh dari TW Group. Dia dipaksa pria ini dengan alasan ada hal penting yang perlu mereka bicarakan. Entahlah hal penting apa yang masih ada di antara mereka, dia bahkan tidak repot-repot memikirkannya selain kebencian teramat dalam di hatinya.Sementara di sisi lain, Enzo merasa bahwa Rhea berbeda dari sebelumnya. Seolah-olah mantannya ini berubah lebih mengagumkan setelah lama tidak bertemu. Setelah pertemuan di pernikahannya, mereka tidak pernah bertemu lagi. Dia sangat sibuk sampai tidak sempat menjemput istrinya. Dan sekarang wanita ini datang dengan banyak perubahan di matanya.Tidak. Bukan hanya matanya, tetapi segalanya hingga atmosfer di sekelilingnya,“Sudah lama ya, Rhe? Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?”Selain mengenai tadi malam. “Luar biasa.”“Ini mengejutkan. Aku tidak mengira akan melihatmu di sini. Apa kamu ingin bertemu Maven?”“Ya.”“Aku dengar pameran saat ini cukup ramai peminat.”“Hmm.” Rhea melirik ja
“Apa yang kalian bicarakan?”“Tidak ada yang penting. Bagaimana dengan mobilku?”Tidak ada yang penting? “Lalu mengapa mengobrol sangat lama?”“Apa? Kami tidak. Tunggu, mobilku—”“Ibnu akan datang mengambilnya.”“Sudah kubilang kamu tidak perlu repot-repot. Kamu pasti sibuk pagi ini.”“Tidak ada urusan mendesak yang perlu ditangani. Jadi, pembicaraan tidak penting apa yang kalian bicarakan?”Dengan tangannya yang digenggam ketika mereka berjalan di basement, Rhea mendadak berhenti hingga Maven ikut terhenti.Rhea membasahi bibirnya. “Lihat, ini benar-benar membingungkanku. Apa kamu marah? Tingkahmu sangat aneh sejak tadi malam. Memangnya apa kesalahan yang telah aku lakukan?”Maven memejamkan mata, menghela napas samar dan dalam, lalu berbalik.Rhea berujar lagi, “Kamu tahu betapa takutnya aku tadi malam? Setidaknya bicara dulu dan katakan apa masalahmu supaya aku tahu garis mana yang tidak boleh kulewati.”“Mau berapa banyak orang lagi yang perlu aku peringatkan?”“… Apa yang kamu bi
Seorang pria bersandar di jendela dengan salah satu tangan berada di dalam saku celana sedangkan tangan lainnya menggoyangkan pelan gelas wiski. Tatapannya yang dalam dan tenang menatap ke langit malam di luar jendela unit apartemen tersebut."Sir."Begitu sekretarisnya memanggilnya, dia pun menoleh dan menatap pria yang memegang tumpukan kertas. Dia berjalan menuju meja kopi sambil mendengarkan perkataan sekretarisnya, Albar."Ini daftar wanita yang lajang. Dan ini yang memiliki kekasih. Lalu ini yang sudah bertunangan."Mengambil satu tumpukan pertama, dia mengembuskan napas singkat. Karena perintah kakeknya, dia harus menambah jam kerjanya demi hal yang tidak berguna seperti ini.Dan setelah memakan waktu 1 jam, dia akhirnya memilih empat nama. Empat wanita yang berpotensial melahirkan seorang penerus untuknya."Buat janji temu dengan mereka satu per satu." Setidaknya dia harus melihat langsung mereka untuk diseleksi sekali lagi."Baik. Saya akan mengambil sekitar 2 jam kosong Anda
“Kamu ingat hari itu? Hari pertama kita bertemu di kampus? Kamu tersenyum lebar dan banyak wanita yang mengelilingimu.” Enzo sering membicarakan topik ini ketika mereka berpacaran. “Saat itu aku sadar aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama ketika melihat senyuman indahmu.”Di luar pintu utama apartemen, Rhea mendenguskan tawa. “Keparat itu bicara omong kosong.”Dia menatap langit malam yang cerah. Bulan terlihat jelas dan bersinar terang. Bintang-bintang bertabur menghiasi langit. Tidak ada awan. Tidak ada tanda-tanda akan hujan.Dia tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri. “Bahkan langit tidak ingin menangis untukku.”“Kenapa harus?” suara seorang pria bertanya padanya di sampingnya.Tanpa menoleh, dia menanggapi, “Aku baru saja ditipu keka— tidak, mantanku. Dia berselingkuh dan mencampakkanku. Dia berkata aku gila, bukankah dia yang lebih gila? Dan sekarang aku menyesal karena tidak bisa menendang bolanya tadi.”Pria itu menatapnya. “Apa kamu tidak sakit hati?”“Yah, jujur
Prosesi pemakaman pagi itu berjalan khidmat dan lancar dengan diiringi rintik-rintik hujan. Kolega ayahnya, teman-teman ibunya, bahkan beberapa rekan kerja dan teman kuliah Rhea menghadiri pemakaman tersebut. Semua orang yang menghadiri pemakaman mulai pergi secara bertahap menyisakan Ivanka, Rhea, dan satu tamu mereka. Bahkan pamannya, adik kandung ayahnya sudah pergi bersama istri dan anak-anaknya.Ivanka menoleh ke belakang di mana seorang pria asing sedang sibuk berbicara dengan sopirnya di samping sebuah mobil. Tadi malam dia dibuat kaget dengan Rhea karena bukannya membawa Enzo, anaknya malah membawa pria yang tidak dia kenal ke rumah sakit. Dan sekarang pria itu juga datang ke pemakaman hari ini. Dia kemudian menatap anaknya yang duduk di depan makam ayahnya.“Mungkin ini bukan waktu yang tepat tapi Mama ingin kamu menjawab dua pertanyaan Mama. Di mana Enzo? Andini juga tidak—”“Ma,” potong Rhea pelan membuat Ivanka berhenti bicara. “siapa itu Enzo dan Andini?”“… Rhe.”“Apa mer