Share

The Baby - 02

Iblis: ke rmh gue

Iblis: supir gue udh di depan rmh lo

Aku yang baru selesai mandi mendengus, membaca pesan dari Sehun yang baru sempat aku buka. Tungkai ku berjalan ke arah jendela, mengintip kearah luar. Benar saja, mobil Mercedes-Benz hitam sudah terparkir di depan rumahku.

Aku bergerak cepat mengeringkan rambutku, mengganti baju santai ku dengan yang lebih layak di lihat. Setelah cukup rapih aku segera berjalan keluar.

Karena orangtua ku sedang tidak ada di rumah, jadi aku langsung pergi tanpa pamit. Masuk ke dalam mobil yang membawaku ke tempat neraka kedua setelah sekolah.

* * *

Menginjakan kaki di rumah mewah Sehun adalah hal yang paling ku benci, namun tidak bisa ku hindari. Karena apapun yang berhubungan dengan Sebastian Hunegara adalah siksaan. Seolah Sehun akan kehabisan nafas jika sehari saja tidak membuatku menderita.

Terhitung mungkin sudah lebih dari sepuluh kali aku menginjakan kaki di rumah Sehun, rumah yang luasnya berkali - kali lipat dari rumahku. Rumah ini mewah dan sangat nyaman untuk di tempati, tapi setiap aku menginjakan kaki di sini, tidak ada oranglain selain aku, Sehun dan pembantunya. Aku penasaran, tapi aku tidak berani bertanya pada Sehun. 

Aku menaiki undakan tangga menuju lantai dua karena kamar Sehun berada di lantai dua. Selama menuju ke kamar Sehun aku tidak berhenti menganggumi interior dan fasilitas mewah rumah ini, dindingnya saja lebih halus daripada kulit wajahku. Andai suasana rumah ini lebih hidup, pasti penghuni di rumah ini tidak akan kesepian.

Yang aku maksud adalah Sehun. Ya walaupun dia kejam padaku, tetap saja aku merasa kasihan padanya. Cowok iblis itu pasti merasa kesepian setiap hari karena suasana rumahnya yang selalu sepi. Aku saja tidak tau wujud siapa saja yang tinggal di kediaman rumah ini selain Sehun dan pembantunya.

Tok tok tok

Aku mengetuk pintu kamar Sehun, mengetuknya harus pakai tenaga karena pintu kamarnya terbuat dari kayu jati.

"Masuk." titah Sehun yang samar - samar aku dengar.

Mendapatkan izin dari sang empu, aku segera membuka pintu, masuk kedalam ruangan bercat abu - abu itu.

"Stop!" titah Sehun saat aku menutup pintunya.

Aku memandang Sehun dengan tatapan bertanya.

"Karena lo udah bikin gue nunggu, lo harus jalan jongkok dari situ." ujar Sehun dengan seringai jailnya.

Ini belum seberapa di banding hukuman dari Sehun yang lain, makanya tanpa protes aku segera berjalan jongkok ke arahnya. Meski dengkulku sedikit nyeri karena jarak dari pintu kamar menuju ranjang Sehun lumayan jauh, jaraknya seperti dari halaman depan rumahku ke dapur. Kamar Sehun seluas itu.

Setelah sampai di hadapan Sehun aku segera berdiri. Aku menunduk saat mendapati Sehun menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan.

"Siapa yang suruh lo berdiri?" tanya Sehun datar.

Aku mengangkat alis, tidak menyadari kesalahanku di mata Sehun.

"Gue belum suruh lo berdiri. Balik lagi sana." titah Sehun mengusir ku dengan gelagat tubuhnya.

Dengan kaki yang masih lemas, aku kembali berjalan ke pintu kamar, berjokok lalu kembali mengulang yang ku lakukan tadi. Tapi kali ini setelah sampai di hadapan Sehun, aku masih terus berjongkok, menunggu intruksi dari Sehun selanjutnya.

"Berdiri." ujar Sehun, aku menuruti.

Tanpa aba - aba Sehun menyibak bajuku, mengangkatnya sampai di bawah dada.

"Lo beneran hamil?" tanya Sehun menatap perutku serius.

Aku diam, namun saat tatapan mata Sehun menghunusku, aku segera mengangguk meskipun ragu.

Detik berikutnya aku tersungkur di lantai dengan keras, Sehun pelakunya. Aku meringis, dengan posisi yang masih tersungkur di lantai. Tubuhku bergetar saat tubuh menjulang Sehun berdiri di depanku. Tatapan mata irit cowok itu mengintimidasi ku. Bibirku kembali meringis saat telapak kaki besar Sehun menginjak perutku, menekannya secara perlahan.

"Bukan nya kemarin gue perintah lo buat gugurin?"

"Lo dengarkan? Perintah!"

"Lo gak usah berharap ketinggian, najis tau gak punya anak dari rahim lo!"

Aku memejamkan mata, menikmati ribuan duri yang menusuk hatiku. Kenapa rasanya lebih sakit daripada saat Sehun memukuli ku hingga kebiruan? Ucapan Sehun barusan bener - benar membuatku semakin tidak berarti.

Aku semakin meringis saat kaki Sehun semakin menekan perutku. Apa anakku akan selamat setelah ini?

Apa menyiksa ku saja kurang puas untuknya hingga Sehun tega menyiksa darah dagingnya sendiri yang bahkan belum lahir ke dunia.

Sehun mengeluarkan dompet kulitnya dari saku celana yang di kenakan, melempari wajahku dengan sejumlah uang.

"Gugurin." ujar Sehun lalu beranjak ke sofa.

Berkali - kali aku menelan amarah, sabar adalah keahlianku. Dengan tertatih aku mencoba berdiri, mengumpulkan uang Sehun yang berserakan di lantai, kemudian aku taruh di atas nakas. Kalau pun harus ku guguri kandungan ini, aku tidak sudi memakai uang darinya. Meskipun di matanya aku tidak memiliki harga diri, tetap saja memakai uang yang bukan milik ku adalah hal yang tidak baik.

"Ambilin remot tivi dong." titah Sehun.

Aku menggeleng samar, padahal remot tivi hanya beberapa jengkal di hadapannya. Apa mata Sehun tidak berfungsi? Atau tubuhnya lumpuh?

Jangan meniru Sehun, malas itu sifat setan.

"Nyalain." ujar Sehun saat aku menyodorkan remot tivi. Jariku langsung menekan tombol on pada remot.

"Kerjain tugas gue. Tuh bukunya di meja belajar. Waktunya lima belas menit." titah Sehun yang membuatku segera beranjak ke meja belajarnya.

Aku membuka buku tugas milik Sehun, mengerjakan soal - soal di sana sambil berdiri, karena aku akan dapat hukuman jika duduk di kursi meja belajarnya dengan lancang. Apa aku sudah pernah mengatakan kalau Sehun ini sebenarnya salah satu murid kebanggaan SMA Senopati, bukan karena Papahnya pemilik sekolah, tapi karena Sehun pintar dan selalu menjadi anak yang namanya berada di peringkat paling atas. Bahkan dibuku tugas yang ia kerjakan sendiri nilainya tidak ada yang di bawah 90. Tapi, entah kenapa dia selalu menyuruhku untuk mengerjakan tugas rumahnya.

"Sepuluh menit lagi, pung." teriak Sehun, gerakan tanganku semakin cepat menulis jawaban. Padahal tugas Sehun di kumpulkan besok, tapi dia hanya memberiku waktu 15 menit, Sehun memang tidak bisa membiarkanku tenang sebentar saja.

"Selesai." kataku sambil menghela nafas lega.

"Ikut gue" titah Sehun beranjak keluar dari kamarnya. Aku mengikuti Sehun dari belakang.

"Lo pel lantai rumah gue, dari lantai satu sampai lantai tiga, seluruh ruangan kecuali kamar bokap gue." ujar Sehun membuat pembantunya yang berdiri tak jauh dariku tersentak kaget.

Aku mengangguk patuh seakan sudah siap mental menerima konsekuensiku jika menginjakan kaki di rumah ini. Ini alasanku menyebut rumah Sehun adalah neraka kedua setelah sekolah.

Mataku terbelalak saat Sehun mematahkan gagang kain pelnya sebelum diberikan padaku.

"Yang bersih ya." kata Sehun tersenyum dengan muka menyebalkan nya, setelah mengatakan itu Sehun kembali beranjak ke kamarnya.

Aku mendesah berat, menatap kain pel yang terpisah dari gagangnya. Kalau seperti ini aku akan menghabiskan banyak tenaga karena harus mengepel dengan cara merangkak. Berdiri saja sudah memakai banyak waktu dan tenaga apa lagi merangkak.

"Semangat!" kataku menyemangati diri sendiri. Menyedihkan.

Comments (13)
goodnovel comment avatar
Retno Ratri
penulisnya suka kekerasan... stop baca nya
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Sadissss dan Kejammmm Sekali masih Sekolah sdh Jahat Seperti gitu .
goodnovel comment avatar
Ndarie Juma
jujur aja ya Thor..rasa2 ny wlpun ini novel enggk pntas banget dibaca..wlpun hanya novel.. SMA mnggambarkan ktidak moralan ...ya sudah lah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status