Jerry membuka pintunya lebih lebar hingga dua sekuriti itu bisa melihat keberadaan orang yang dimaksudnya. "Nah itu Pak."
"Dia mau servis AC di ruangan ini. Saya yang panggil dia ke sini."
"Tapi pak, dia gak bawa peralatannya."
Jevran meneguk ludahnya kasar. Benar-benar sekuriti yang satu ini.
"Peralatan saya ketinggalan di bawah. Soalnya bapak-bapak ini ngejar saya segitunya," kata Jevran seolah ketakutan.
"Oh, maaf Mas. Saya pikir masnya mau ngapain."
****
Sembari berjalan menuju rumah, Jevran tertawa mengingat kejadian tadi.
Hanya saja, saat melewati sebuah gardu, Jevran sadar ada banyak preman. Awalnya dia bersikap cuek, tapi salah satu dari preman itu menghalangi jalannya. Jevran bisa membaca jika mereka mau berniat buruk padanya. Mau melawan tidak bisa, mau diam juga tidak mungkin. Bisa habis dia dikeroyok.
"Bagi duit!"
"Gak ada, bang." Dia berkata jujur. Uangnya ada di rumah dan tidak dibawa. Buktinya saja, dia harus jalan kaki dan tak bisa naik ojek sesuai keinginannya.Namun, Kerah Jevran ditarik ke atas. "Mau main-main Lo sama gua? Gak usah bohong!""Mana ada, bang. Saya gak punya uang.""Habisin aja Bos!"Jevran membulatkan matanya. Dia menelan ludahnya susah payah saat pria berbadan kekar itu menggulung lengan kaus pendeknya ke atas. Mampus! Dia tidak bisa bela diri.Bugh!"Akh!" Jevran memegang perutnya yang terasa nyeri."Anak cupu aja belagu! Orang baru Lo di sini?""I-iya," kata Jevran terbatuk-batuk.Satu pukulan kembali dilayangkan. Kini tepat di wajahnya. Kacamata Jevran sampai terjatuh."Denger ya! Setiap orang yang ketemu sama kita harus ngasih duit. Paham Lo?!"Jevran hanya mampu mengangguk. Perutnya sakit, dan sudut bibirnya mengeluarkan darah. Ini kali pertamanya Jevran seperti ini. Tak ada satupun orang yang berani menyentuh wajahnya. Banyak pula bodyguard yang siap menjaganya."Aw!" Para preman itu meringis saat sebuah batu mengenai tubuhnya. Jevran susah payah melihat ke belakang. Kalau tidak salah anak berseragam sekolah itu namanya Ajun, adiknya Naura. Dia sedang menggunakan ketapel untuk menyerang para preman."Pergi sana! Mau aku panggilan kak Naura?!""Ampun... Jangan panggil dia. Yaudah kita pergi." Para preman itu berlarian saat mendengar kata Naura. Jevran tidak tau kenapa. Sehebat apa gadis itu?Ajun berlari menghampiri Jevran yang mengambil kacamatanya, sempat terjatuh tadi. "Kak Joko gak apa-apa?"Jevran mengangguk. "Makasih.""Yaudah ayo pulang. Mau aku bantu?" Ajun membopong Jevran yang masih memegangi perutnya."Makannya, kak. Belajar bela diri. Zaman sekarang itu harus bisa jaga diri sendiri," lanjutnya.Jevran meringir pelan. "Shh, ngomong-ngomong tadi kamu sebut nama Naura. Emang ada apa sama Naura?"Ajun tertawa kecil. Ia melirik pria di sampingnya yang menunggu jawaban. "Percaya gak kalau aku bilang kak Naura pernah ngalahin mereka?""Gimana?""Iya. Dulu kak Naura juga pernah dipalak sama mereka. Cuma kak Naura ngelawan, gak kayak Kakak yang diem aja. Mereka juga takut sama Ayah. Kirain cuma penampilan kak Joko aja yang cupu, ternyata nyalinya juga kentang."Jevran memalingkan wajahnya ke samping sebelum mencibik. Apa sih? Anak ini sepertinya selalu mengejeknya. Tapi jika dipikir lagi, Ajun ini baik juga mau menolong Jevran."Tau gak kenapa aku nolongin?" tanya Ajun seolah tau isi pikiran Jevran."Kenapa?""Muka kak Jevran melas banget tadi. Jadi kasian aku," kekehnya.Untuk menahan kekesalannya Jevran hanya mampu tersenyum tipis. Harus banyak-banyak bersabar menghadapi bocah sepertinya. Tapi lagi-lagi ia bersyukur karena pemuda ini menolongnya meski sedikit terlambat.Sampai di depan rumah, Ajun memanggil kakaknya yang sedang mencuci motor di teras rumah. Naura terlihat terkejut saat melihat adiknya membawa sang tetangga dalam keadaan wajah lebam. Ia menghampiri mereka setelah mematikan keran air."Joko, muka kamu kenapa?""Abis dipukuli preman," kata Ajun lebih dulu menjawab."Wah, keterlaluan. Ayo masuk biar aku bantu obatin.""Gak usah. Aku langsung pulang aja." Jevran menolak dan mengusap darah di bibirnya yang kering."Gak boleh gitu! Ajun, bawa ke dalam ayo.""Siap, kak!""EH?" kaget Jevran tak menduga. Terlebih, kala Naura sudah menariknya ke dalam rumah.****
"Pelan-pelan." Jevran menatap Naura yang sedang mengobati luka di pipinya. Gadis itu dengan telaten memberikan obat dan melakukannya secara perlahan.
Hati Jevran terenyuh. Naura memperlakukannya dengan baik disaat dia hidup sebagai lelaki sederhana. Perempuan di luar sana belum tentu mau berdekatan dengan pria jelek sepertinya. Jevran tak menyangka dia akan mendapat teangga manis seperti Naura. Walaupun kelakuannya aneh, dia memiliki hati yang tulus.
"Selesai." Naura membereskan kotak obatnya.
Sementara itu, di sebuah mansion megah, seorang pria tua duduk di kursi roda, menatap bingkai foto dihadapannya dengan tatapan kosong. Ia kehilangan cucu kesayangannya. Sudah 4 hari sejak anak itu kabur dari rumah, dia sangat merasa sedih. Hanya cucunya itu yang bisa membuatnya tertawa lepas."Gimana? Kamu sudah dapat kabar soal Jevran?" tanya pria tua itu kepada anak buah suruhannya."Belum, Pak Wilan. Kami tidak bisa melacaknya karena nomor Tuan Jevran sudah tidak aktif."Wilan menatap mereka dengan tatapan tajam. Dasar tidak berguna! "Kalian itu gimana kerjanya?! Saya suruh kalian cari Jevran aja tidak bisa?"Orang-orang itu menunduk. "Maaf, Pak. Kami cuma dapat informasi, kalau tuan Jevran sempat mengambil uang di ATM beberapa hari lalu di ATM kota ini. Sekarang kartu kreditnya juga sudah mati.""Saya gak mau tau, cari cucu saya sampai ketemu!""Baik, pak."Mereka sedikit membungkuk dan pergi untuk mencari informasi lebih. Wilan yang dikenal orang memiliki hati yang keras, hanya ak
Tanpa terasa, Jevran sudah berada di sebuah mall terbesar di ibu kota.Itu mungkin hal yang biasa bagi Jevran yang dulu, sekarang dia hanyalah Joko kampung yang tidak tau ibukota. Dirinya harus berakting untuk mendalami peran.Sejak awal mereka datang ke sana, Jevran terus memperhatikan Arga yang mencoba mendekati Naura. Seperti merangkul bahunya, menggandeng tangannya, bahkan memeluk pinggang rampingnya. Walaupun Naura terlihat risih dan mencoba menepisnya, pria itu tak berhenti begitu saja. Jevran tidak tau kenapa hatinya panas melihat hal itu seolah tak suka. Lagi-lagi dia hanya memalingkan wajah agar tak terus melihatnya."Ke sana, yuk. Bajunya bagus-bagus," kata Sisil menarik tangan Naura.Sisil melihat-lihat pakaian yang dia suka. Gadis itu mengambil barang apapun yang menarik hatinya. Sementara itu Naura terlihat bosan berada di sana. Dia tak terlalu suka berjalan-jalan di mall yang menurutnya membosankan. Tempat yang selalu ingin ia kunjungi adalah taman bermain, tempat uji a
"Mereka sempet lacak keberadaan Lo lewat nomor HP sama kartu kredit, tapi kayaknya gagal.""Orang tua gue gimana? Mereka juga nyari?"Jerry menggeleng. "Cuma nyuruh orang. Katanya kemarin mereka terbang ke Singapura karena ada bisnis."Jevran berdecih. Dia kira orangtuanya akan lebih perhatian setelah Jevran pergi dari rumah. Sejak kecil Jevran diurus oleh pengasuh dan selalu ditinggal orangtuanya ke luar negeri jika ada bisnis. Makanya Jevran lebih dekat dengan para pegawai di rumah dan kakeknya yang selalu mengajak bermain. Jika diingat lagi, setiap sesuatu terjadi pada Jevran, kakeknya adalah orang pertama yang membela.Saat itulah Jevran tidak mau suatu saat anaknya merasakan apa yang dirinya rasakan.Jevran tidak akan terlalu gila kerja. Itu lah kenapa sesibuk-sibuknya dia di kantor, Jevran meluangkan waktu untuk bertemu kakeknya. ****Jevran menghela nafas melihat bangunan menjulang tinggi di depannya. Mulai sekarang dia bukan bos, Jevran hanya seorang OB di kantornya sendiri.
Seorang remaja laki-laki duduk di atas dahan pohon yang berada di halaman rumah tetangganya. Dia memetik buah mangga yang terlihat kuning dan memasukannya ke dalam kantung kresek, yang diikat di pinggang. Saat melihat sang pemilik pohon datang, dia langsung loncat turun ke bawah dan menepuk-nepuk telapak tangannya."Ajun?" Jevran terbengong melihat halaman rumahnya berantakan dengan daun dan ranting pohon mangga."Eh, kak Joko.""Kamu metik buah mangga?""Iya."Jevran mencoba untuk memasang senyum terbaiknya meski sulit. "Ini kan pohonnya di depan rumahku. Kalau bisa jangan sampe berantakan. Boleh kok ngambil buahnya, tapi-""Bilang aja gak boleh. Dasar pelit!"Lah?"Bukan gitu...""Ajun! Ngapain kamu di sana?""Aku aduin kak Naura, loh." Ajun berlari menghampiri Naura yang baru saja turun dari motor ojek. Gadis itu baru saja pulang kerja dari kafe. Melihat Ajun yang berlari, Jevran ikut berlari mengejarnya."Kak, masa aku gak boleh ngambil buah di pohonnya."Jevran menutup mulutnya r
"Bikin kopi buat siapa kamu?" tanya Ujang melihat Jevran memasak air panas."Pak Direktur.""Oh, kalau buat Pak Direktur mah gulanya jangan banyak-banyak. Gak suka manis.""Siap." Jevran menyiapkan gelas dan kopi yang ditambah sedikit gula. Belum sempat di aduk, perutnya tiba-tiba mulas. "Jang, saya titip sebentar, ya. Mau ke kamar mandi dulu," kata Jevran."Sok atuh. Jangan lama-lama, nanti kopinya dingin.""Iya."Jevran berjalan cepat ke toilet. Karen takut kopinya menjadi dingin, pria itu bergegas kembali ke pantry. Sampai di sana Ujang sudah tidak ada, padahal ia menitipkan kopi padanya. Untung saja kopi itu masih ada di tempatnya semula.Tanpa menunggu lama Jevran membawa kopi dengan nampan ke ruang direktur. Syukurlah sekarang sudah bisa menggunakan lift, tidak seperti kemarin. Sudah jalannya harus cepat karena takut dingin, belum lagi banyak anak tangga membuat mereka harus hati-hati juga. Bergoyang sedikit sudah tumpah kopinya.Sampai di depan ruangan direktur, Jevran mengetuk
[ Flashback on ]"Turun Lo!" Pintu mobil Jerry diketuk oleh tiga pria berbadan besar.Sejak awal berangkat ke kantor Jerry sudah mulai curiga dengan mobil hitam yang mengintainya. Benar saja, dia dicegat saat melewati jalanan sepi. Entahlah apa yang mereka inginkan."Kalau Lo gak turun, gue pecahin kaca mobil Lo!"Mau tak mau Jerry turun dari mobil. Tiga orang itu langsung menarik Jerry dan menghempasnya ke tanah. "Dimana tuan Jevran?"Jerry menggeleng tidak tau. "Gak tau. Kalian semua siapa, hah?"Bugh! Satu pukulan mengenai wajahnya."Mana mungkin kamu gak tau? Kamu kan asisten dan teman dekatnya.""Ya terus gue harus tau semuanya gitu?"Bugh! Lagi-lagi pukulan itu dilayangkan. Kali ini sudut bibirnya berdarah. Jerry terbatuk-batuk.Salah satu dari mereka mengambil paksa ponsel Jerry mengembalikannya lagi setelah mengotak-atik beberapa saat. Jerry tidak dapat melawan karena kalah jumlah.(Flashback off)Jevran mengumpat. "Sekarang hp Lo mana?""Ada di ruangan.""CK, mereka meretas d
Sementara itu, Ajun melambaikan tangannya pada tiga temannya yang keluar club. "Hati-hati, ya!" Bersamaan dengan itu, Arga datang menghampiri Ajun dan duduk di sebalhnya."Temen-temen kamu udah pulang?""Udah, kak."Kenapa Ajun bisa berada di club malam bersama Arga? Begini ceritanya.... Awalnya, Ajun hanya pergi dengan temannya ke kafe di dekat taman kota. Lumayan jauh jaraknya dari rumah. Karena tak mau terlalu lama pergi, mereka hanya dua jam di kafe dan berniat pulang. Tapi, mereka bertemu dengan Arga. Pria itu mengajak mereka ke sini. Katanya tempat ini lebih menyenangkan daripada kafe atau semacamnya.Ajun sempat menolak karena pasti kakaknya bisa marah kalau tau. Tapi lagi-lagi Arga bisa membujuk para anak muda itu. Mereka memang hanya duduk-duduk saja tanpa memesan minum."Beneran kamu agak mau minum?" tanya Arga menuangkan sebotol bir pada gelasnya."Enggak, kak. Kalau kak Naura tau bisa habis aku.""Sedikit aja."Ajun menggeleng. "Gak usah.""Oke." Arga meneguk segelas bir
Ajun keluar dari kamarnya setelah siap dengan pakaian sekolah. Ia bangun telat karena semalam tidur terlalu larut. Sebab itu juga Ajun menelpon Arga untuk ikut kembali menebeng ke sekolah.Pemuda itu pergi ke meja makan dan membuka tudung saji. Kosong. Hey, Jevran tidak masak? Dia belum sarapan. Kalau sudah jam segini mana sempat makan di luar."Kak Joko gimana, sih?" Dengan kesal Ajun kembali menaruh tudung saji itu di meja. Tak sengaja matanya melihat secarik kertas yang ditindih gelas.(Kamu gak suka masakan aku, kan? Makan di luar aja sama Arga.)Ajun mengepalnya dan melempar asal. Di luar sana terdengar suara klakson mobil. Dengan cepat Ajun keluar, itu pasti kak Arga, pikirnya.******"Joko, kamu teh datang jam berapa? Pagi banget datangnya." Ujang menghampiri Jevran yang sudah berada di loker. Yang datang baru beberapa orang."Takut telat lagi. Nanti dimarahi sama Pak Jerry," ucapnya asal."Bagus. Itu teh namanya motivasi. Jarang loh ada orang kayak kamu. Dimarahi sama atasan t
Tok.. tok.. tok...Naura yang baru saja mengganti pakaian pergi ke depan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Jevran. Pria itu merentangkan tangannya."Jevran?" Naura memeluknya dan disambut dengan hangat."Tadi aku ke toko ternyata kamu udah tutup. Jadi langsung ke sini.""Ayo masuk."Naura mengajak Jevran masuk dan kembali menutup pintunya. Jevran menatap ke sekeliling. "Ajun mana?""Baru aja pergi. Katanya mau nginep di rumah temen dua hari."Jevran mengikuti Naura yang berjalan menuju dapur. Sepertinya Naura akan membuat kue, terlihat dari bahan-bahan yang sudah disiapkan. Apakah gadis ini tidak lelah membuat kue sepanjang hari? Pria tersebut melihat-lihat belanjaan di atas meja. "Mau buat keu, ya?""Iya pesenan Jerry, katanya buat temennya. Tapi jujur ini pertama kali aku buat kue yang tinggi kayak gini," kata Naura terdengar ragu."Kamu bisa, kok. Oh iya, Ra. Besok aku mau ajak kamu makan malam. Nanti aku jemput, ya?""Makan malam di rumah kamu?" tanya Naura."Di lu
Hari demi hari berlalu. Hari ini Jevran melakukan pelepasan gips pada tangannya. Dokter sendiri yang datang ke rumah. Karena ini hari Minggu ada Naura dan Ajun juga yang menemani. Seperti kata Jevran sesibuk apapun mereka berdua setidaknya luangkan satu hari untuk bersama dan itu adalah akhir pekan.Begitu benda tersebut dilepaskan Jevran mulai merasa lega. Akhirnya hari ini tiba dimana ia bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak perlu kesusahan lagi untuk melakukannya."Silahkan pelan-pelan digerakkan tangannya. Pelan aja biar gak kaget," ucap sang dokter.Jevran mengatur nafasnya sesaat. Ia meluruskan tangan kanannya dan bergerak sesuatu arah. Kanan, kiri, atas, bawah, dan berputar sesuai arah jarum jam."Bagaimana?""Gak sakit," jawab Jevran."Kalau begitu tangannya sudah sembuh dan kembali seperti semula. Selamat, ya.""Terimakasih, dok."Nilam mengusap punggung Jevran. "Syukurlah kalau sudah sembuh total.""Kalau begitu tugas saya selesai, Pak, Bu. Saya pamit kembali ke rumah sakit
Kemarin Jevran mengeluarkan banyak uang untuk belanja es krim anak-anak di taman. Tapi dia menikmati waktunya yang menghabiskan sebagian harinya dengan anak kecil. Semua itu menyenangkan apalagi jika ada Naura di sampingnya.Karena semakin hari semakin membaik, Jevran berusaha mencari ide agar dirinya tidak merasa bosan. Tangannya juga semakin pulih dan saat pagi tadi pemeriksaan, dokter bilang beberapa hari lagi gips sudah boleh dilepas. Itu membuatnya tenang.Setelah pulang dari rumah sakit untuk mengecek keadaannya, Jevran langsung ke tempat Naura. Ya, di toko kue tempat Naura mendapat kesibukannya. Gadis itu juga belum tau kalau Jevran akan datang ke sini sekarang. "Permisi, saya mau pesan kue.""Silahkan ma-" saat menoleh Naura terkejut melihat kehadiran Jevran. "Kamu kok di sini? Sama siapa? Kenapa gak bilang mau ke sini?""Stttt...."Jevran menempelkan telunjuknya pada mulut Naura. "Aku gak disuruh masuk?""Oh, iya. Ayo masuk."Pria itu masuk ke dalam dan melihat sekitar. Bagu
Sementara itu di atas sana kini Jevran berdiri di depan jendela. Dia sedang mencoba menghubungi Naura karena hari ini belum mendengar kabar darinya. "Kamu lagi dimana? Aku pulang hari ini kenapa gak ikut jemput aku?"'Loh, kamu udah pulang? Aku lagi di toko. Tadinya aku mau ke rumah sakit nanti sore. Tapi ternyata kamu udah pulang.'"Yaudah, gak usah."'Maaf, ya. Beneran deh hari ini ada pesanan. Sayang kalau aku tolak. Kamu gak marah, kan?' tanya Naura terdengar menyesal. Jevran terkekeh pelan. "Gak apa-apa, aku ngerti kok. Tapi besok ke sini, ya."'siap, bos.'"Papa kamu udah berangkat, Ra?"'Papa sama Bang Rival udah berangkat. Terus mereka titip salam buat kamu semoga cepet sembuh. Mereka gak sempet jenguk kamu lagi.'Naura sudah tau jika Papanya memberi restu pada hubungan Jevran dan Naura. Dia benar-benar senang dan tidak bisa mengatakan apapun lagi selain mengatakan jika dirinya bahagia. Perjuangan Jevran ternyata tidak sia-sia.Sebelum pergi Bahar juga bilang oada Naura jika
Ajun keluar dari kamarnya dengan tubuh yang lebih fresh. Karena sudah mandi setelah seharian menggunakan seragam sekolah sampai tidur di rumah sakit. Dia sudah kembali pulang hari ini.Pemuda itu berjalan menuju dapur untuk minum namun ia mengurungkan niatnya. Di sana ada Bahar, Rival, dan Naura. Ajun sedang kesal dan dia belum mau bertemu dengan mereka. Apalagi Abangnya."Mau kemana? Sini makan sama-sama," kata Naura melihat Ajun yang hendak pergi."Gak laper.""Sini, Jun. Papa mau bicara sama kamu."Ajun berdecak pelan dan kembali berbalik menghampiri mereka. Dia berdiri di samping Papanya dan tepat dihadapan Rival dan Naura. "Kenapa?""Abang kamu udah cerita sama Papa."Rival yang sedang makan menghentikan makanannya. Ia mengambil minum dan fokus pada pembicaraan. Dia juga tidak bisa menjelaskan pada Ajun sendiri jadi Rival harap dengan Papanya tau masalah ini mereka bisa sama-sama berubah.Sesaat Ajun membuang muka ke samping. Dia tak mau membicarakan masalah ini sebenarnya. "Teru
"Maafin aku.""Liat sini." Jevran meminta Naura menatapnya. "Apapun keputusan Papa kamu. Aku bakal terima itu, kok. Tapi bukan berarti aku berhenti buat perjuangin kamu.""Tapi bagi aku kamu berhasil."Gadis itu mendongak menahan air matanya agar tak terus keluar. Naura memeluk Jevran dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu kiri. Namun Jevran tersentak saat Naura melakukan itu.Jevran menahan nafasnya karena sebenarnya bahu yang kiri juga sakit, meski tak separah yang kanan. Tapi dia tak mau Naura melepaskan pelukannya. Jadi Jevran tetap membiarkan gadis itu di sana."Jangan nangis lagi. Aku gak bisa peluk kamu," ucap Jevran hanya menggenggam tangan Naura.Gadis itu terkekeh. Seketika ia duduk tegap dan menghapus air matanya. "Gak nangis, kok.""Bagus.""Eumm... Kamu lagi makan tadi? Aku ganggu dong? Aku bantuin, ya." Naura mengambil semangkuk bubur ke pangkuannya namun Jevran menahan."Aku bisa sendiri.""Tangan kamu lagi sakit. Aku suapin aja, ya."Jevran menggeleng. Sungguh
"Heh! Bangun!"Dengan susah payah Jevran meraih satu pack tisu dan melemparnya ke arah sofa dimana Jerry dan Ajun tengah tidur di sana. Sayang sekali meleset. Ia mencari benda lain yang aman untuk dilempar.Semalam mereka bilang akan menjaga Jevran 24 jam. Tapi buktinya semalaman mereka tidur pulas sedangkan Jevran masih sadar dan terus menatap langit-langit ruangan. Padahal semalam hanya ditinggal tidur sebentar tapi begitu Jevran bangun karena haus mereka sudah tidur semua. "Ini udah jam berapa? Bangun! Sebenarnya yang sakit siapa sih? Kenapa jadi gue yang jagain mereka," kata Jevran kesal.Pria itu mengambil botol plastik bekas minum yang sudah habis. Kembali dilempar ke arah mereka namun tetap tidak ada yang bangun. Ini kebo semua."Ish! Berisik apaan sih ganggu orang tidur aja."Jevran mendelik melihat Jerry yang merenggangkan tubuhnya. "Bangun! Katanya mau jagain tapi dua-duanya malah tidur.""Eh, iya ya?""Bantuin geu ke kamar mandi buruan. Gue pengen kencing."Jerry masih sem
"Pah, Jevran sadar, Pah!" Nilam menepuk pundak Haris agar suaminya menoleh. Setelah lama menunggu Jevran terlihat mulai sadar. Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali menyeimbangkan cahaya yang masuk ke Indra pengelihatannya. "Jevran? Kamu denger Mama? Ini Mama sayang."Jevran meringis pelan ketika merasa tubuhnya seperti tak bisa digerakan. Apalagi bagian bahu membuatnya ngilu dan pegal. "Mah? Minum," ucapnya terbata-bata. "Sini, pakai sedotan aja." Haris membantu Jevran minum air melalui sedotan."Naura mana?"Sepasang suami istri itu saling tatap. "Udah pulang.""Tapi dia baik-baik aja?""Kamu gak usah khawatirkan Naura, dia aman. Sekarang fokus sama kesembuhan kamu dulu. Ada keluhan gak? Biar Papa panggilkan Dokter."Jevran menggeleng pelan. "Gak ada."Tok... Tok... Tok... "Loh, Ajun? Kok bisa datang sama Jerry?" tanya Haris."Tau nih Om. Ketemu di jalan terus maksa mau ke sini buat jenguk Jevran.""Tapi itu masih pakai seragam sekah," kata Nilam bingung.Ajun tersenyum ca
"Apa aku bilang? Kamu itu cuma anak mami yang gak bisa apa-apa tanpa ajudan kamu itu. Jadi gimana kamu mau bebasin Naura sedangkan kamu kesakitan kayak gini?"Jevran tak mendengarkan perkataan Aurel dengan baik. Dia hanya sedang merasakan sakit yang luar biasa. Di kepalanya hanya berputar suara Naura yang mengalun. Jika Jevran seperti ini apa yang akan terjadi lada gadis itu?Tak ada tenaga lagi untuk melawan. Jevran pasrah karena tangannya sudah mati rasa. Punya kesadaran untuk membuka mata saja sudah bersyukur.Aurel melepaskan bekapan mulut Naura. "Silahkan. Ada kata-kata terakhir sebelum kalian berpisah?""Tolong bebasin Jevran. Dia kesakitan. Biar aku aja yang gantiin dia.""Eum, romantis banget. Tapi gak ngaruh. Jadi gimana kalau kalian berdua aja yang sama-sama pergi?"Di sisa kesadarannya Jevran merasakan tak ada lagi tangan yang menginjak bahunya. Mereka berdua justru berjalan menghampiri Naura. "Jangan sentuh Naura!" ucapnya pelan.Mereka menghiraukan perkataan Naura. Jevran