Tanpa terasa, Jevran sudah berada di sebuah mall terbesar di ibu kota.
Itu mungkin hal yang biasa bagi Jevran yang dulu, sekarang dia hanyalah Joko kampung yang tidak tau ibukota. Dirinya harus berakting untuk mendalami peran.Sejak awal mereka datang ke sana, Jevran terus memperhatikan Arga yang mencoba mendekati Naura. Seperti merangkul bahunya, menggandeng tangannya, bahkan memeluk pinggang rampingnya. Walaupun Naura terlihat risih dan mencoba menepisnya, pria itu tak berhenti begitu saja. Jevran tidak tau kenapa hatinya panas melihat hal itu seolah tak suka. Lagi-lagi dia hanya memalingkan wajah agar tak terus melihatnya."Ke sana, yuk. Bajunya bagus-bagus," kata Sisil menarik tangan Naura.Sisil melihat-lihat pakaian yang dia suka. Gadis itu mengambil barang apapun yang menarik hatinya. Sementara itu Naura terlihat bosan berada di sana. Dia tak terlalu suka berjalan-jalan di mall yang menurutnya membosankan. Tempat yang selalu ingin ia kunjungi adalah taman bermain, tempat uji adrenalin, atau tempat lain yang memberikan pengalaman baru untuknya."Kamu mau beli apa?" tanya Arga pada Naura."Aku gak belanja, deh."Sisil menoleh. "Kenapa masa cuma aku doang yang belanja?" katanya dengan menekuk bibirnya ke bawah."Yaudah aku pilih-pilih. Tapi yang di sana aja deh kayaknya." Naura pergi ke tempat kaus laki-laki. Ia melihat-lihat baju yang menurutnya bagus.Arga sudah percaya Naura memilihkannya baju. Saat Naura mengambil salah satu baju di sana, gadis itu berjalan mendekati Arga. Dia tersenyum bertepatan dengan Naura yang semakin dekat. Bukannya berhenti di hadapannya, Naura justru lurus begitu saja melewati Arga.Diluar dugaan, Naura justru menghampiri Jevran yang berada di belakang Arga sambil melihat sekitar. Arga mengepalkan tangannya erat. Awas saja dia! Beraninya membuat Naura lebih memilih si cupu Jevran."Bagus. Bajunya cocok banget buat kamu." Naura menempelkan baju pilihannya di tubuh Jevran. Benar sekali, baju itu cocok untuknya."Tapi ini pasti mahal. Gak usah, Nau.""Gak apa-apa. Aku bayarin, kok."Jevran menggeleng tak enak. "Kayaknya bajunya juga gak cocok buat aku.""Yaiyalah, baju itu terlalu bagus buat dia, Nau," celetuk Arga sekenanya. Ia ikut pergi memiih baju bersama Sisil, sementara Naura dan Jevran masih saling diam di sana.Dengan wajah kesal, Naura menggantung kembali baju yang diambilnya. Ada apa sih? Niat Naura kan baik ingin membelikan baju untuk Jevran, tapi pria itu menolaknya. Belum lagi Arga yang terlihat memojokkan Jevran sejak tadi. Bahkan sejak mereka di dalam mobil, Arga terlihat tidak suka dengan kehadiran Jevran."Nau-""Iya-iya aku ngerti," potong Naura saat Jevran terlihat merasa bersalah. Bibirnya menipis dan tangan pria itu bergerak gelisah.Naura tertawa melihatnya. Gadis itu melirik sekilas Sisil dan Arga yang sibuk berbelanja. Karena bosan berada di sini, Naura menarik tangan Jevran pergi secara diam-diam. Terserah lah jika mereka mencarinya, toh saat ini saja mereka sibuk masing-masing. Padahal niat awal adalah jalan-jalan, bukan berbelanja."Eh, mau kemana? Itu temen kamu gimana?" tanya Jevran yang mulai menuruni eskalator."Biarin aja."Jevran hanya pasrah mengikuti gadis cantik ini yang entah membawanya kemana. Tapi dalam hati dia sedikit senang pergi dari sini. Biar saja pria bernama Arga itu mencari Naura, padahal Naura sedang bersama dirinya. Jevran mengusap hidungnya yang gatal.Mereka ke luar dari mall. Jevran tak menyangka jika Naura membawanya ke sebrang. Ada seorang pedagang kaki lima yang menjual ketoprak. Satu fakta lagi, Jevran belum pernah mencobanya."Aku laper. Kita makan dulu, ya," ucap Naura duduk di salah satu bangku."Di sini?" Jevran menatap ke sekeliling."Iya, lah. Emangnya mau dimana? Orang kayak kita makannya di pinggir jalan aja."Jevran meringis mengingat dirinya sekarang adalah pria berstatus anak kampung. Dengan ragu dirinya menarik salah satu kursi di samping Naura. Padahal Naura ini anak seorang ABRI. Kakaknya juga polisi di kantor pusat, dan gadis itu juga bekerja. Jevran pikir Naura memiliki cukup banyak uang untuk mendapatkan lebih, tapi sepertinya dia anak yang sederhana."Mas, ketopraknya dua, ya. Satu pedas, yang satu biasa aja.""Siap, mbak. Ditunggu, ya."Jevran memperhatikan Naura yang memainkan ponsel. Sepertinya Jevran mulai mengagumi perempuan itu. Dia serius, Naura begitu berbeda."Mereka sadar kita gak ada," kekeh Naura sambil mengetik beberapa pesan di ponselnya."Terus gimana?""Aku suruh mereka ke sini.""Kayaknya temen kamu yang namanya Arga, suka sama kamu.""Emang," jawab Naura menanggapinya santai.Jevran mengangkat kepalanya menatap Naura lebih serius. "Kalian pacaran?"Naura tertawa. "ya enggak, Lah. Kita itu temen. Arga emang pernah nembak aku, tapi aku tolak karena Papah gak setuju aku pacaran. Papah itu ketat banget.""Jadi kalau Papah kamu kasih izin, kamu mau terima dia?""Kenapa kamu jadi nanya ke sana?" tanya Naura menatap Jevran dengan alis berkerut. Dengan cepat Jevran menggeleng, menandakan jika dirinya tak bermaksud apapun."Cuma penasaran aja.""Naura!" Seketika terdengar suara Sisil yang berlari ke arahnya bersama Arga. "Kenapa gak bilang? Kita cari kamu tadi.""Aku laper, jadi ajak Joko ke luar, deh.""Kan bisa sama kita," tambah Arga menatap sinis Jevran."Iya-iya, aku minta maaf.""Ini mbak pesanannya." Pedagang itu menaruh dua porsi ketoprak di atas meja."Makasih, mas. Pesen dua lagi ya buat temen saya," kata Naura."Siap, mbak."Sisil dan Arga duduk di kursi, berhadapan dengan Jevran dan Naura. Arga menatap Jevran seolah mengibarkan bendera perang, yang disadari oleh Jevran sendiri."Oh iya, kamu udah dapat kerjaan?" tanya Naura setelah menelan makanan di mulutnya.Jevran menggeleng pelan."Belum.""Gimana kalau kamu ngelamar ke kantor tempat Arga kerja? Ar, kalau gak salah kamu pernah bilang ada lowongan OB, kan?""Ada, sih. Tapi gimana ya, Lun, kamu tau sendiri zaman sekarang penampilan nomor satu," kata Arga cuek."Kan gak ada salahnya nyoba. Kasian dia lagi cari kerjaan.""Emangnya Arga kerja di mana?" tanya Jevran hati-hati."Cube's corporation."Jevran hampir menyemburkan makanan di mulutnya. Itu adalah salah satu perusahaan milik keluarga Abimayu yang dipimpin oleh Jevran. Jadi, Arga ini bekerja di kantornya? Ah, bagus sekali."Itu perusahaan besar. Kalau mau masuk ke sana banyak syarat dan ketentuan," kata Arga mengingatkan.Naura menoleh pada Jevran. "Kamu mau coba?""Aku pasti bisa diterima jadi OB di sana," ucap Jevran penuh yakin. Ya iya, lah. Dia kan bosnya."Nah, gitu dong. Pantang menyerah sebelum melangkah!" Naura mengacungkan kedua ibu jarinya ke atas.Sisil melihat Naura yang dekat dengan Jevran hanya cuek dan biasa saja. Kalau Arga sudah pasti tak menyukainya. Pria itu menatap tajam Jevran. Lihat saja, dia pasti tidak akan diterima di perusahaan itu. Beraninya si cupu itu dekat-dekat dengan Naura!******"Ini rumah Lo?" tanya Jerry saat memasuki rumah sederhana yang dihuni temannya."Iya! Buruan masuk, nanti ada yang liat!" Jevran mendorong Jerry masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat.Jevran meminta dia datang ke rumahnya karena ada hal yang ingin di sampaikan. Tak mau keberadaan Jerry di rumahnya diketahui orang lain, Jevran meminta pria itu datang di malam hari. Sekitar pukul 10 malam, Jerry datang dengan taxi online. Sengaja karena jika membawa mobil mungkin menarik perhatian tetangga Jevran.Jerry terus melihat-lihat isi rumah. Dapat dikatakan jauh dari kehidupan Jevran sebelumnya. Dia tidak menyangka Jevran mau tinggal di tempat seperti ini. Hidupnya bahkan selaku dilayani."Duduk sini." Jevran menepuk-nepuk kursi di sampingnya.Melihat Jevran yang terlihat semangat membuat Jerry tertawa pelan. "Ada apa, nih?""Besok gue mau ngelamar kerja jadi OB di kantor. Gue gak mau tau caranya, Lo harus terima gue besok.""Hah?"Kerja jadi OB? Dia sendiri bahkan bos besar di kantornya."Hah hoh hah hoh.... Gue bilang mau kerja jadi OB," ucap Jevran yang mulai menegaskan kata-katanya."Iya gue denger. Maksud gue, Lo itu bos. Ngapain kerja jadi OB?"Jevran menyandarkan punggungnya di kursi. "Kalau gue gak kerja, tetangga gue curiga nanti. Masa jauh-jauh merantau dari kampung cuma numpang hidup di kota orang aja.""Ya gak gitu juga. Lo kan bisa asal sebut kerja dimana gitu, tapi Lo pergi dari rumah sampe sore. Lo minta uang sama gue, pasti gue kasih. Duit Lo kan ada sama gue," kata Jerry yang tak mengerti dengan isi kepala Jevran."Gue gak mau. Pokoknya Lo harus bisa atur supaya gue bisa langsung kerja besok.""Ck, dasar kepala batu!""Makanya Lo ngikut aja kalo gue suruh.""Iya Pak Bos. Ngomong-ngomong Lo gak mau nawarin gue makanan gitu? Dari siang gue belum makan gara-gara ngurusin kerjaan yang Lo tinggal.""Gue cuma punya mie instan. Mau Lo?"Jerry membulatkan matanya. Seriously? "Lo makan mie instan, bos?""Kenapa? Mie instan itu makanan sejuta umat. Lagian gue cuma bisa masak itu doang." Jevran berjalan ke dapur untuk memasak mie.Ini sepertinya bukan Jevran. Jerry mengekor ikut masuk ke dapur. Di sana Jevran sedang memasak air dan menyiapkan bumbu ke dalam mangkuk. Melihat keadaan Jevran sekarang membuat Jerry merasa kasihan."Lo betah tinggal di sini?" tanya Jerry bersandar ke tembok dan menatap temannya yang masih fokus pada masakan."Betah gak betah," jawabnya santai."Gak mau pulang? Lo tinggal bilang ke mereka kalau lo gak mau dijodohin."Jevran menoleh. "Lo tau gak kalau perjodohan itu ada hitam di atas putih? Kalau gue batalin tanpa alasan yang jelas, nama keluarga Abimayu mungkin ikut tercoreng. Biar gue pergi dulu dari rumah. Gue mau cari bukti kalau pihak perempuan cuma mau ngambil keuntungan.""Okey, gue dukung Lo kalau gitu. Kalau Lo butuh sesuatu, bilang aja sama gue.""Ya iya, lah. Emang gue mau minta tolong sama siapa kalau bukan Lo?" Canda Jevran. Pria itu mematikan kompor dan mengambil dua mangkuk."Iya sih." Jerry berniat kembali ke ruang depan, namun ia berbalik saat mengingat sesuatu. "Gue lupa. Gue mau ngingetin Lo supaya lebih hati-hati. Dengar-dengar kakek Lo nyebar banyak anak buah buat cari Lo. Kasian gue sama kakek Wilan, dia bahkan ikut anak buahnya turun ke jalanan."Jevran menghentikan gerakan tangannya. "Kakek?""Mereka sempet lacak keberadaan Lo lewat nomor HP sama kartu kredit, tapi kayaknya gagal.""Orang tua gue gimana? Mereka juga nyari?"Jerry menggeleng. "Cuma nyuruh orang. Katanya kemarin mereka terbang ke Singapura karena ada bisnis."Jevran berdecih. Dia kira orangtuanya akan lebih perhatian setelah Jevran pergi dari rumah. Sejak kecil Jevran diurus oleh pengasuh dan selalu ditinggal orangtuanya ke luar negeri jika ada bisnis. Makanya Jevran lebih dekat dengan para pegawai di rumah dan kakeknya yang selalu mengajak bermain. Jika diingat lagi, setiap sesuatu terjadi pada Jevran, kakeknya adalah orang pertama yang membela.Saat itulah Jevran tidak mau suatu saat anaknya merasakan apa yang dirinya rasakan.Jevran tidak akan terlalu gila kerja. Itu lah kenapa sesibuk-sibuknya dia di kantor, Jevran meluangkan waktu untuk bertemu kakeknya. ****Jevran menghela nafas melihat bangunan menjulang tinggi di depannya. Mulai sekarang dia bukan bos, Jevran hanya seorang OB di kantornya sendiri.
Seorang remaja laki-laki duduk di atas dahan pohon yang berada di halaman rumah tetangganya. Dia memetik buah mangga yang terlihat kuning dan memasukannya ke dalam kantung kresek, yang diikat di pinggang. Saat melihat sang pemilik pohon datang, dia langsung loncat turun ke bawah dan menepuk-nepuk telapak tangannya."Ajun?" Jevran terbengong melihat halaman rumahnya berantakan dengan daun dan ranting pohon mangga."Eh, kak Joko.""Kamu metik buah mangga?""Iya."Jevran mencoba untuk memasang senyum terbaiknya meski sulit. "Ini kan pohonnya di depan rumahku. Kalau bisa jangan sampe berantakan. Boleh kok ngambil buahnya, tapi-""Bilang aja gak boleh. Dasar pelit!"Lah?"Bukan gitu...""Ajun! Ngapain kamu di sana?""Aku aduin kak Naura, loh." Ajun berlari menghampiri Naura yang baru saja turun dari motor ojek. Gadis itu baru saja pulang kerja dari kafe. Melihat Ajun yang berlari, Jevran ikut berlari mengejarnya."Kak, masa aku gak boleh ngambil buah di pohonnya."Jevran menutup mulutnya r
"Bikin kopi buat siapa kamu?" tanya Ujang melihat Jevran memasak air panas."Pak Direktur.""Oh, kalau buat Pak Direktur mah gulanya jangan banyak-banyak. Gak suka manis.""Siap." Jevran menyiapkan gelas dan kopi yang ditambah sedikit gula. Belum sempat di aduk, perutnya tiba-tiba mulas. "Jang, saya titip sebentar, ya. Mau ke kamar mandi dulu," kata Jevran."Sok atuh. Jangan lama-lama, nanti kopinya dingin.""Iya."Jevran berjalan cepat ke toilet. Karen takut kopinya menjadi dingin, pria itu bergegas kembali ke pantry. Sampai di sana Ujang sudah tidak ada, padahal ia menitipkan kopi padanya. Untung saja kopi itu masih ada di tempatnya semula.Tanpa menunggu lama Jevran membawa kopi dengan nampan ke ruang direktur. Syukurlah sekarang sudah bisa menggunakan lift, tidak seperti kemarin. Sudah jalannya harus cepat karena takut dingin, belum lagi banyak anak tangga membuat mereka harus hati-hati juga. Bergoyang sedikit sudah tumpah kopinya.Sampai di depan ruangan direktur, Jevran mengetuk
[ Flashback on ]"Turun Lo!" Pintu mobil Jerry diketuk oleh tiga pria berbadan besar.Sejak awal berangkat ke kantor Jerry sudah mulai curiga dengan mobil hitam yang mengintainya. Benar saja, dia dicegat saat melewati jalanan sepi. Entahlah apa yang mereka inginkan."Kalau Lo gak turun, gue pecahin kaca mobil Lo!"Mau tak mau Jerry turun dari mobil. Tiga orang itu langsung menarik Jerry dan menghempasnya ke tanah. "Dimana tuan Jevran?"Jerry menggeleng tidak tau. "Gak tau. Kalian semua siapa, hah?"Bugh! Satu pukulan mengenai wajahnya."Mana mungkin kamu gak tau? Kamu kan asisten dan teman dekatnya.""Ya terus gue harus tau semuanya gitu?"Bugh! Lagi-lagi pukulan itu dilayangkan. Kali ini sudut bibirnya berdarah. Jerry terbatuk-batuk.Salah satu dari mereka mengambil paksa ponsel Jerry mengembalikannya lagi setelah mengotak-atik beberapa saat. Jerry tidak dapat melawan karena kalah jumlah.(Flashback off)Jevran mengumpat. "Sekarang hp Lo mana?""Ada di ruangan.""CK, mereka meretas d
Sementara itu, Ajun melambaikan tangannya pada tiga temannya yang keluar club. "Hati-hati, ya!" Bersamaan dengan itu, Arga datang menghampiri Ajun dan duduk di sebalhnya."Temen-temen kamu udah pulang?""Udah, kak."Kenapa Ajun bisa berada di club malam bersama Arga? Begini ceritanya.... Awalnya, Ajun hanya pergi dengan temannya ke kafe di dekat taman kota. Lumayan jauh jaraknya dari rumah. Karena tak mau terlalu lama pergi, mereka hanya dua jam di kafe dan berniat pulang. Tapi, mereka bertemu dengan Arga. Pria itu mengajak mereka ke sini. Katanya tempat ini lebih menyenangkan daripada kafe atau semacamnya.Ajun sempat menolak karena pasti kakaknya bisa marah kalau tau. Tapi lagi-lagi Arga bisa membujuk para anak muda itu. Mereka memang hanya duduk-duduk saja tanpa memesan minum."Beneran kamu agak mau minum?" tanya Arga menuangkan sebotol bir pada gelasnya."Enggak, kak. Kalau kak Naura tau bisa habis aku.""Sedikit aja."Ajun menggeleng. "Gak usah.""Oke." Arga meneguk segelas bir
Ajun keluar dari kamarnya setelah siap dengan pakaian sekolah. Ia bangun telat karena semalam tidur terlalu larut. Sebab itu juga Ajun menelpon Arga untuk ikut kembali menebeng ke sekolah.Pemuda itu pergi ke meja makan dan membuka tudung saji. Kosong. Hey, Jevran tidak masak? Dia belum sarapan. Kalau sudah jam segini mana sempat makan di luar."Kak Joko gimana, sih?" Dengan kesal Ajun kembali menaruh tudung saji itu di meja. Tak sengaja matanya melihat secarik kertas yang ditindih gelas.(Kamu gak suka masakan aku, kan? Makan di luar aja sama Arga.)Ajun mengepalnya dan melempar asal. Di luar sana terdengar suara klakson mobil. Dengan cepat Ajun keluar, itu pasti kak Arga, pikirnya.******"Joko, kamu teh datang jam berapa? Pagi banget datangnya." Ujang menghampiri Jevran yang sudah berada di loker. Yang datang baru beberapa orang."Takut telat lagi. Nanti dimarahi sama Pak Jerry," ucapnya asal."Bagus. Itu teh namanya motivasi. Jarang loh ada orang kayak kamu. Dimarahi sama atasan t
"Dia nurut, kok," ucap Jevran. Diliriknya bocah di samping yang langsung menghela napas."Bagus deh kalau begitu.""Yaudah, kalau kamu udah datang aku pulang lagi ya.""Iya. Makasih ya, Jo."Jevran mengangguk. Ia pergi ke kamar untuk mengambil barangnya ada di sana. Naura juga mengantar Jevran sampai ke luar. Ternyata Jevran ini bisa diandalkan."Sekali lagi makasih, ya.""Sama-sama Naura. Ngomong-ngomong besok weekend, kamu ada acara?"Naura berpikir sesaat kemudian menggeleng. "Gak ada. Kenapa?""Jalan-jalan, yuk."Jevran menatap dirinya di cermin. Celana hitam dengan kemeja panjang putih yang dimasukan ke celana. Ia menyemprotkan parfum di beberapa titik tubuhnya. Senyuman terukir begitu saja. Memang pada dasarnya tampan, mau penampilan seperti apapun pasti tampan. Ah, percaya diri sekali.Hari ini Jevran akan mengajak Naura pergi ke beberapa tempat. Awalnya hanya ingin membuat pria bernama Arga itu cemburu, tapi entah kenapa sekarang Jevran terlihat excited. Rasanya seperti akan b
Untungnya, dia dapat menormalkan ekspresi. Tak lama, Jevran dan Naura memutuskan untuk pergi ke rumah makan karena lelah berlarian. Kali ini Naura yang memilih menu makanannya. Sayur asem, ikan asin, sambal, tempe, tahu, dan itu semua tidak familiar di lidah Jevran."Ayo makan." Naura melirik Jevran yang hanya menatapnya tanpa berniat ikut makan."I-iya."Jevran mengambil satu tempe. Dengan ragu ia menatap sambal berwarna merah yang membuatnya menggigit bibir. Naura tau keraguan Jevran mungkin takut karena sambalnya pedas. Tapi, bukankah itu memang makanan orang kampung? Bukan mengatakan Jevran kampungan, tapi Jevran memang dari kampung."Sambalnya gak pedes, kok. Atau kamu emang gak suka makanan ini?""Suka kok, suka."Mau tak mau Jevran mulai memakannya. Tidak terlalu buruk."Oh iya, gimana kerjaan baru kamu? Lancar, kan?" tanya Naura."Lancar. Mereka juga baik sama aku.""Bagus, deh. Kalau ada yang berani sama kamu selama di Jakarta, jangan diem aja. Coba deh penampilan kamu dir
Tok.. tok.. tok...Naura yang baru saja mengganti pakaian pergi ke depan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Jevran. Pria itu merentangkan tangannya."Jevran?" Naura memeluknya dan disambut dengan hangat."Tadi aku ke toko ternyata kamu udah tutup. Jadi langsung ke sini.""Ayo masuk."Naura mengajak Jevran masuk dan kembali menutup pintunya. Jevran menatap ke sekeliling. "Ajun mana?""Baru aja pergi. Katanya mau nginep di rumah temen dua hari."Jevran mengikuti Naura yang berjalan menuju dapur. Sepertinya Naura akan membuat kue, terlihat dari bahan-bahan yang sudah disiapkan. Apakah gadis ini tidak lelah membuat kue sepanjang hari? Pria tersebut melihat-lihat belanjaan di atas meja. "Mau buat keu, ya?""Iya pesenan Jerry, katanya buat temennya. Tapi jujur ini pertama kali aku buat kue yang tinggi kayak gini," kata Naura terdengar ragu."Kamu bisa, kok. Oh iya, Ra. Besok aku mau ajak kamu makan malam. Nanti aku jemput, ya?""Makan malam di rumah kamu?" tanya Naura."Di lu
Hari demi hari berlalu. Hari ini Jevran melakukan pelepasan gips pada tangannya. Dokter sendiri yang datang ke rumah. Karena ini hari Minggu ada Naura dan Ajun juga yang menemani. Seperti kata Jevran sesibuk apapun mereka berdua setidaknya luangkan satu hari untuk bersama dan itu adalah akhir pekan.Begitu benda tersebut dilepaskan Jevran mulai merasa lega. Akhirnya hari ini tiba dimana ia bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak perlu kesusahan lagi untuk melakukannya."Silahkan pelan-pelan digerakkan tangannya. Pelan aja biar gak kaget," ucap sang dokter.Jevran mengatur nafasnya sesaat. Ia meluruskan tangan kanannya dan bergerak sesuatu arah. Kanan, kiri, atas, bawah, dan berputar sesuai arah jarum jam."Bagaimana?""Gak sakit," jawab Jevran."Kalau begitu tangannya sudah sembuh dan kembali seperti semula. Selamat, ya.""Terimakasih, dok."Nilam mengusap punggung Jevran. "Syukurlah kalau sudah sembuh total.""Kalau begitu tugas saya selesai, Pak, Bu. Saya pamit kembali ke rumah sakit
Kemarin Jevran mengeluarkan banyak uang untuk belanja es krim anak-anak di taman. Tapi dia menikmati waktunya yang menghabiskan sebagian harinya dengan anak kecil. Semua itu menyenangkan apalagi jika ada Naura di sampingnya.Karena semakin hari semakin membaik, Jevran berusaha mencari ide agar dirinya tidak merasa bosan. Tangannya juga semakin pulih dan saat pagi tadi pemeriksaan, dokter bilang beberapa hari lagi gips sudah boleh dilepas. Itu membuatnya tenang.Setelah pulang dari rumah sakit untuk mengecek keadaannya, Jevran langsung ke tempat Naura. Ya, di toko kue tempat Naura mendapat kesibukannya. Gadis itu juga belum tau kalau Jevran akan datang ke sini sekarang. "Permisi, saya mau pesan kue.""Silahkan ma-" saat menoleh Naura terkejut melihat kehadiran Jevran. "Kamu kok di sini? Sama siapa? Kenapa gak bilang mau ke sini?""Stttt...."Jevran menempelkan telunjuknya pada mulut Naura. "Aku gak disuruh masuk?""Oh, iya. Ayo masuk."Pria itu masuk ke dalam dan melihat sekitar. Bagu
Sementara itu di atas sana kini Jevran berdiri di depan jendela. Dia sedang mencoba menghubungi Naura karena hari ini belum mendengar kabar darinya. "Kamu lagi dimana? Aku pulang hari ini kenapa gak ikut jemput aku?"'Loh, kamu udah pulang? Aku lagi di toko. Tadinya aku mau ke rumah sakit nanti sore. Tapi ternyata kamu udah pulang.'"Yaudah, gak usah."'Maaf, ya. Beneran deh hari ini ada pesanan. Sayang kalau aku tolak. Kamu gak marah, kan?' tanya Naura terdengar menyesal. Jevran terkekeh pelan. "Gak apa-apa, aku ngerti kok. Tapi besok ke sini, ya."'siap, bos.'"Papa kamu udah berangkat, Ra?"'Papa sama Bang Rival udah berangkat. Terus mereka titip salam buat kamu semoga cepet sembuh. Mereka gak sempet jenguk kamu lagi.'Naura sudah tau jika Papanya memberi restu pada hubungan Jevran dan Naura. Dia benar-benar senang dan tidak bisa mengatakan apapun lagi selain mengatakan jika dirinya bahagia. Perjuangan Jevran ternyata tidak sia-sia.Sebelum pergi Bahar juga bilang oada Naura jika
Ajun keluar dari kamarnya dengan tubuh yang lebih fresh. Karena sudah mandi setelah seharian menggunakan seragam sekolah sampai tidur di rumah sakit. Dia sudah kembali pulang hari ini.Pemuda itu berjalan menuju dapur untuk minum namun ia mengurungkan niatnya. Di sana ada Bahar, Rival, dan Naura. Ajun sedang kesal dan dia belum mau bertemu dengan mereka. Apalagi Abangnya."Mau kemana? Sini makan sama-sama," kata Naura melihat Ajun yang hendak pergi."Gak laper.""Sini, Jun. Papa mau bicara sama kamu."Ajun berdecak pelan dan kembali berbalik menghampiri mereka. Dia berdiri di samping Papanya dan tepat dihadapan Rival dan Naura. "Kenapa?""Abang kamu udah cerita sama Papa."Rival yang sedang makan menghentikan makanannya. Ia mengambil minum dan fokus pada pembicaraan. Dia juga tidak bisa menjelaskan pada Ajun sendiri jadi Rival harap dengan Papanya tau masalah ini mereka bisa sama-sama berubah.Sesaat Ajun membuang muka ke samping. Dia tak mau membicarakan masalah ini sebenarnya. "Teru
"Maafin aku.""Liat sini." Jevran meminta Naura menatapnya. "Apapun keputusan Papa kamu. Aku bakal terima itu, kok. Tapi bukan berarti aku berhenti buat perjuangin kamu.""Tapi bagi aku kamu berhasil."Gadis itu mendongak menahan air matanya agar tak terus keluar. Naura memeluk Jevran dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu kiri. Namun Jevran tersentak saat Naura melakukan itu.Jevran menahan nafasnya karena sebenarnya bahu yang kiri juga sakit, meski tak separah yang kanan. Tapi dia tak mau Naura melepaskan pelukannya. Jadi Jevran tetap membiarkan gadis itu di sana."Jangan nangis lagi. Aku gak bisa peluk kamu," ucap Jevran hanya menggenggam tangan Naura.Gadis itu terkekeh. Seketika ia duduk tegap dan menghapus air matanya. "Gak nangis, kok.""Bagus.""Eumm... Kamu lagi makan tadi? Aku ganggu dong? Aku bantuin, ya." Naura mengambil semangkuk bubur ke pangkuannya namun Jevran menahan."Aku bisa sendiri.""Tangan kamu lagi sakit. Aku suapin aja, ya."Jevran menggeleng. Sungguh
"Heh! Bangun!"Dengan susah payah Jevran meraih satu pack tisu dan melemparnya ke arah sofa dimana Jerry dan Ajun tengah tidur di sana. Sayang sekali meleset. Ia mencari benda lain yang aman untuk dilempar.Semalam mereka bilang akan menjaga Jevran 24 jam. Tapi buktinya semalaman mereka tidur pulas sedangkan Jevran masih sadar dan terus menatap langit-langit ruangan. Padahal semalam hanya ditinggal tidur sebentar tapi begitu Jevran bangun karena haus mereka sudah tidur semua. "Ini udah jam berapa? Bangun! Sebenarnya yang sakit siapa sih? Kenapa jadi gue yang jagain mereka," kata Jevran kesal.Pria itu mengambil botol plastik bekas minum yang sudah habis. Kembali dilempar ke arah mereka namun tetap tidak ada yang bangun. Ini kebo semua."Ish! Berisik apaan sih ganggu orang tidur aja."Jevran mendelik melihat Jerry yang merenggangkan tubuhnya. "Bangun! Katanya mau jagain tapi dua-duanya malah tidur.""Eh, iya ya?""Bantuin geu ke kamar mandi buruan. Gue pengen kencing."Jerry masih sem
"Pah, Jevran sadar, Pah!" Nilam menepuk pundak Haris agar suaminya menoleh. Setelah lama menunggu Jevran terlihat mulai sadar. Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali menyeimbangkan cahaya yang masuk ke Indra pengelihatannya. "Jevran? Kamu denger Mama? Ini Mama sayang."Jevran meringis pelan ketika merasa tubuhnya seperti tak bisa digerakan. Apalagi bagian bahu membuatnya ngilu dan pegal. "Mah? Minum," ucapnya terbata-bata. "Sini, pakai sedotan aja." Haris membantu Jevran minum air melalui sedotan."Naura mana?"Sepasang suami istri itu saling tatap. "Udah pulang.""Tapi dia baik-baik aja?""Kamu gak usah khawatirkan Naura, dia aman. Sekarang fokus sama kesembuhan kamu dulu. Ada keluhan gak? Biar Papa panggilkan Dokter."Jevran menggeleng pelan. "Gak ada."Tok... Tok... Tok... "Loh, Ajun? Kok bisa datang sama Jerry?" tanya Haris."Tau nih Om. Ketemu di jalan terus maksa mau ke sini buat jenguk Jevran.""Tapi itu masih pakai seragam sekah," kata Nilam bingung.Ajun tersenyum ca
"Apa aku bilang? Kamu itu cuma anak mami yang gak bisa apa-apa tanpa ajudan kamu itu. Jadi gimana kamu mau bebasin Naura sedangkan kamu kesakitan kayak gini?"Jevran tak mendengarkan perkataan Aurel dengan baik. Dia hanya sedang merasakan sakit yang luar biasa. Di kepalanya hanya berputar suara Naura yang mengalun. Jika Jevran seperti ini apa yang akan terjadi lada gadis itu?Tak ada tenaga lagi untuk melawan. Jevran pasrah karena tangannya sudah mati rasa. Punya kesadaran untuk membuka mata saja sudah bersyukur.Aurel melepaskan bekapan mulut Naura. "Silahkan. Ada kata-kata terakhir sebelum kalian berpisah?""Tolong bebasin Jevran. Dia kesakitan. Biar aku aja yang gantiin dia.""Eum, romantis banget. Tapi gak ngaruh. Jadi gimana kalau kalian berdua aja yang sama-sama pergi?"Di sisa kesadarannya Jevran merasakan tak ada lagi tangan yang menginjak bahunya. Mereka berdua justru berjalan menghampiri Naura. "Jangan sentuh Naura!" ucapnya pelan.Mereka menghiraukan perkataan Naura. Jevran