Seorang remaja laki-laki duduk di atas dahan pohon yang berada di halaman rumah tetangganya. Dia memetik buah mangga yang terlihat kuning dan memasukannya ke dalam kantung kresek, yang diikat di pinggang. Saat melihat sang pemilik pohon datang, dia langsung loncat turun ke bawah dan menepuk-nepuk telapak tangannya.
"Ajun?" Jevran terbengong melihat halaman rumahnya berantakan dengan daun dan ranting pohon mangga."Eh, kak Joko.""Kamu metik buah mangga?""Iya."Jevran mencoba untuk memasang senyum terbaiknya meski sulit. "Ini kan pohonnya di depan rumahku. Kalau bisa jangan sampe berantakan. Boleh kok ngambil buahnya, tapi-""Bilang aja gak boleh. Dasar pelit!"Lah?"Bukan gitu...""Ajun! Ngapain kamu di sana?""Aku aduin kak Naura, loh." Ajun berlari menghampiri Naura yang baru saja turun dari motor ojek. Gadis itu baru saja pulang kerja dari kafe. Melihat Ajun yang berlari, Jevran ikut berlari mengejarnya."Kak, masa aku gak boleh ngambil buah di pohonnya."Jevran menutup mulutnya rapat-rapat. Maksud dia kan bukan begitu. Mau pohon mangga itu di bawa ke rumah mereka juga masa bodoh, masalahnya Jevran tidak suka halamannya kotor dengan daun, ranting, dan mangga busuk yang berjatuhan. Masa harus disapu lagi dan lagi?"Parah banget kamu. Pohon itu udah ada dari leluhur sebelumnya. Kamu tau kalau buah dari pohon itu gak diambil? Pohonnya marah, loh. Dia merasa kalau orang-orang gak memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Terus pohonnya mau balas dendam sama pemiliknya. Tau gak balas dendamnya pake apa?"Jevran menggeleng. Dia mengikuti cerita Naura seolah itu nyata. "Apa?""Ulat bulu!"Pria itu menekan ludahnya susah payah. Ulat bulu? Membayangkannya saja membuat tubuhnya merinding."Itu ada ulat bulu!" teriak Ajun yang mengagetkan Jevran."Waaa!" Dia meloncat-loncat dan mengibaskan tubuhnya. Dengan tangan dingin ia berlari ke dalam rumah. Untuk kedua kalinya Jevran ditakut-takuti oleh ulat bulu.Naura terkekeh dan menatap adiknya. "Dapet berapa?""Banyak.""Bagus. Nanti kita buat rujak, ya!"
Entah mengapa, Jevran tersenyum dan menuruti kemauan perempuan di depannya itu. "Oke!"
Pagi ini, pria itu merasa tubuhnya pegal-pegal. Mungkin karena kemarin ia banyak naik turun tangga. Tapi seharusnya hari ini para OB sudah boleh menggunakan lift, karena Jevran juga sudah mengatakan itu pada Jerry. Mungkin benar, Jevran tidak sedekat itu dengan orang yang bekerja dengannya dulu. Sampai hal seperti itu saja dia tidak tau.
Setelah siap dengan pakaian kerjanya, Jevran keluar rumah dan mengunci pintunya. Ia duduk di kursi luar dan menggunakan sepatu hitam yang terlihat buruk. Seperti terlihat usang untuk dipakai.
"Joko! Kamu mau kemana?" Terdengar suara Naura berteriak di halaman rumahnya. Gadis itu terduduk di atas motor. Mungkin sedang menunggu adiknya, untuk mengantar sekolah bocah itu.
"Berangkat kerja," balas Jevran ikut berteriak. Wajahnya masih menunduk menatap sepatu yang masih diikat talinya.
"Wah, kamu di terima? Selamat, ya."
Jevran hanya membalasnya dengan anggukan. Saat Jevran berjalan menuju jalan, Naura kembali berteriak. "Eh, Jevran tunggu sebentar!"
Naura berlari menghampiri Jevran. Pria itu mendengus kesal melihatnya. Haduh, apa lagi ini? Bisa telat dia datang ke kantor.
"Ada apa?"
"Aku mau minta tolong, boleh, ya? Besok aku sama temen-temen kerja di kafe itu mau pergi ke luar kota. Mungkin sekitar dua hari. Bos kita itu mau menikah. Nah, aku kan selama ini gak pernah ninggalin Ajun semalaman sendiri. Kamu bisa jagain dia?"
"Gimana?" Jevran mengedipkan matanya beberapa kali. Mana mau dia menjaga anak rese itu.
"Selama aku pergi, kamu nginep di rumah aku, ya. Jagain Ajun. Dia kalau gak dijagain suka pergi malem-malem sama temennya. Mau aku bawa, tapi dia harus sekolah."
"Tapi.."
"Mau, kan? Pasti mau. Kamu kan baik. Yaudah, kalau gitu aku mau bilang sama Ajun kalau kamu mau nemenin dia. Makasih Jevran." Naura berlari mencari adiknya yang masih di dalam rumah.
Di luar sana, Jevran terbengong. Sejak kapan ia menyetujuinya? Dia mau berbicara saja dipotong oleh gadis itu. Kalau begini sih namanya tidak benar. Pemaksaan!
*****
Di dakam loker para OB kini sedang heboh karena kabar gaji para OB naik. Apalagi lift sudah bisa digunakan oleh mereka. Seakan tidak percaya, mereka masih mempertanyakan kenapa itu bisa terjadi. Apalagi sekarang Bos mereka dikabarkan menghilang.
Ujang yang melihat Jevran datang langsung bergegas menghampirinya. "Joko, kamu tau tidak? Mulai hari ini gaji OB naik. Belum lagi kita udah bisa naik lift kayak karyawan lain. Wah, mimpi apa aku semalam? Kalau begini saya bisa beli kipas. Jadi gak kepanasan lagi deh di kontrakan."
"Oh, ya? Wah... Baik banget ya bos kita."
"Eh, bukan. Ini katanya perintah Pak Jerry, asistennya pak Jevran. Kalau Pak Jevran Bos kita, dia mah kabarnya hilang. Gak tau deh kabur dari rumah apa gimana."
"Emang kenapa gak mungkin kalau Pak Jevran yang suruh? Siapa tau dia lagi awasin kita semua," pancing Jevran.
"Aduh, Jev. Kamu teh OB baru. Mana tau sifat Pak Jevran kayak gimana," bisik Ujang.
"Emang gimana?"
"Orangnya teh baik sih, tapi dia gak perhatian sama pekerja kayak kita. Yang diawasi cuma karyawan kantor."
"Oh, gitu, ya." Jevran mengusap telapak tangannya yang terasa dingin.
"Iya. Udah sana kamu siap-siap. Bisa gawat kalau kita ngomongin bos besar."
Ujang kembali ke loker untuk menguncinya. Sementara Jevran mencibik pelan. 'Ujang...Ujang...padahal orang yang kamu bicarakan itu ada di depan mata.'
Para OB mulai bersiap membersihkan kantor. Ada yang menyapu, mengepel, lap kaca, sampai khusus membersihkan ruangan petinggi kantor. Ruangan direktur, manager, asisten, sampai ruangan bos besar. Contohnya Ujang, tugasnya khusus membersihkan ruangan bos. Itu lah kenapa Jevran hanya mengenal Ujang dari banyaknya OB yang ada. Dia dipercayakan keluar masuk ruangan itu untuk hal-hal tertentu.
Tentu berbeda dengan Ujang yang fokus pada satu ruangan, Jevran ditugaskan mengepel lantai 4. Tempat dimana Arga, si tengil itu berada. Ya pantas saja Jevran tidak mengenal Arga sebagai karyawannya. Pria itu berada di lantai 4, khusus Karyawan bagian pemasaran.
"Waw, ada OB di sini?"
Jevran yang baru masuk lift, mengangkat kepalanya menatap orang yang juga ikut masuk ke dalam lift. Baru saja dibucarakan, orang itu sudah menunjukan batang hidungnya. Jevran menggenggam gagang pel erat. Hanya ada mereka di dalam sana.
Arga memencet tombol lift. "Hoki Lo keren juga, ya. Bisa masuk kerja di sini dengan penampilan seperti itu. Terus, gue denger juga gaji OB naik, plus, mereka bisa pakai lift sekarang."
"Itu namanya rezeki."
"Iya, rezeki untuk orang kayak Lo."
Jevran memalingkan wajah. Kedua alisnya bertautan. Emangnya dia orang seperti apa?
Ting! Pintu lift terbuka.
Sebelum keluar dari lift, Arga sempat memberi peringatan keoada Jevran. "Gue ingetin sekali lagi, jangan sampe Lo suka sama Naura. Gue tau Lo tetangganya, ketemu setiap hari. Tapi gue lebih dulu kenal sama Naura."
Jevran berdecih setelah melihat Arga keluar dari lift. Dia segera mengangkat alat pel untuk mulai bekerja. Masa bodoh dengan ancaman Arga barusan.
****
Sementara itu, Wilan menatap ke luar jendela mobil. Beberapa hari ini suasana hatinya berbeda. Supir pria tua itu juga merasa kasihan melihat atasannya yang semakin kurus, dengan diterpa kabar hilangnya sang cucu. Orang-orang yang bekerja dengan Wilan pasti tau seberapa dekat ia dengan Jevran. Cucunya bukan hanya Jevran, tapi Wilan lebih menyayangi cucunya yang satu itu.
Saat pintu mobil di sampingnya terbuka, Wilan segera menoleh. "Bagaimana?"
"Tuan Jevran tidak melakukan penerbangan di bandara, Pak. Ini sudah bandara terakhir yang kita datangi."
Wilan menghela nafas. "Sepertinya bocah itu tidak pergi ke luar negeri. Bisa jadi dia masih di negara ini. Memangnya berapa uang yang dia punya setelah memblokir kartu kreditnya sendiri?"
"Bapak tenang saja. Saya dan yang lainnya akan mulai mencari ke kota terdekat."
"Bagus. Setelah kalian menemukan Jevran, saya akan beri kalian bonus tiga kali lipat."
Ajudan itu mengangguk. "Kami akan berusaha keras, Pak."
Wilan berdehem lalu meminta sang supir menjalankan mobil. Mobil itu keluar dari parkiran dan mulai melaju dengan kecepatan rata-rata. Lagi-lagi mereka pulang tanpa membawa secuil kabar tentang Jefran.
"Ini semua gara-gara Haris dan Nilam," kata Wilan tiba-tiba. Mereka yang membuat perjodohan. "Anaknya kabur, mereka juga ikut kabur ke Singapura dengan alasan bisnis."
"Saya dengar Pak Haris dan istrinya akan pulang satu Minggu lagi, Pak."
Wilan menoleh. "Benarkah? Kalau begitu ketika mereka sampai ke Indonesia, segera kabari saya. Kalau menunggu mereka datang ke rumah saya, itu gak mungkin. Saya mau langsung bertemu dengan mereka."
"Baik, Pak. Saya akan atur nanti."
"Bikin kopi buat siapa kamu?" tanya Ujang melihat Jevran memasak air panas."Pak Direktur.""Oh, kalau buat Pak Direktur mah gulanya jangan banyak-banyak. Gak suka manis.""Siap." Jevran menyiapkan gelas dan kopi yang ditambah sedikit gula. Belum sempat di aduk, perutnya tiba-tiba mulas. "Jang, saya titip sebentar, ya. Mau ke kamar mandi dulu," kata Jevran."Sok atuh. Jangan lama-lama, nanti kopinya dingin.""Iya."Jevran berjalan cepat ke toilet. Karen takut kopinya menjadi dingin, pria itu bergegas kembali ke pantry. Sampai di sana Ujang sudah tidak ada, padahal ia menitipkan kopi padanya. Untung saja kopi itu masih ada di tempatnya semula.Tanpa menunggu lama Jevran membawa kopi dengan nampan ke ruang direktur. Syukurlah sekarang sudah bisa menggunakan lift, tidak seperti kemarin. Sudah jalannya harus cepat karena takut dingin, belum lagi banyak anak tangga membuat mereka harus hati-hati juga. Bergoyang sedikit sudah tumpah kopinya.Sampai di depan ruangan direktur, Jevran mengetuk
[ Flashback on ]"Turun Lo!" Pintu mobil Jerry diketuk oleh tiga pria berbadan besar.Sejak awal berangkat ke kantor Jerry sudah mulai curiga dengan mobil hitam yang mengintainya. Benar saja, dia dicegat saat melewati jalanan sepi. Entahlah apa yang mereka inginkan."Kalau Lo gak turun, gue pecahin kaca mobil Lo!"Mau tak mau Jerry turun dari mobil. Tiga orang itu langsung menarik Jerry dan menghempasnya ke tanah. "Dimana tuan Jevran?"Jerry menggeleng tidak tau. "Gak tau. Kalian semua siapa, hah?"Bugh! Satu pukulan mengenai wajahnya."Mana mungkin kamu gak tau? Kamu kan asisten dan teman dekatnya.""Ya terus gue harus tau semuanya gitu?"Bugh! Lagi-lagi pukulan itu dilayangkan. Kali ini sudut bibirnya berdarah. Jerry terbatuk-batuk.Salah satu dari mereka mengambil paksa ponsel Jerry mengembalikannya lagi setelah mengotak-atik beberapa saat. Jerry tidak dapat melawan karena kalah jumlah.(Flashback off)Jevran mengumpat. "Sekarang hp Lo mana?""Ada di ruangan.""CK, mereka meretas d
Sementara itu, Ajun melambaikan tangannya pada tiga temannya yang keluar club. "Hati-hati, ya!" Bersamaan dengan itu, Arga datang menghampiri Ajun dan duduk di sebalhnya."Temen-temen kamu udah pulang?""Udah, kak."Kenapa Ajun bisa berada di club malam bersama Arga? Begini ceritanya.... Awalnya, Ajun hanya pergi dengan temannya ke kafe di dekat taman kota. Lumayan jauh jaraknya dari rumah. Karena tak mau terlalu lama pergi, mereka hanya dua jam di kafe dan berniat pulang. Tapi, mereka bertemu dengan Arga. Pria itu mengajak mereka ke sini. Katanya tempat ini lebih menyenangkan daripada kafe atau semacamnya.Ajun sempat menolak karena pasti kakaknya bisa marah kalau tau. Tapi lagi-lagi Arga bisa membujuk para anak muda itu. Mereka memang hanya duduk-duduk saja tanpa memesan minum."Beneran kamu agak mau minum?" tanya Arga menuangkan sebotol bir pada gelasnya."Enggak, kak. Kalau kak Naura tau bisa habis aku.""Sedikit aja."Ajun menggeleng. "Gak usah.""Oke." Arga meneguk segelas bir
Ajun keluar dari kamarnya setelah siap dengan pakaian sekolah. Ia bangun telat karena semalam tidur terlalu larut. Sebab itu juga Ajun menelpon Arga untuk ikut kembali menebeng ke sekolah.Pemuda itu pergi ke meja makan dan membuka tudung saji. Kosong. Hey, Jevran tidak masak? Dia belum sarapan. Kalau sudah jam segini mana sempat makan di luar."Kak Joko gimana, sih?" Dengan kesal Ajun kembali menaruh tudung saji itu di meja. Tak sengaja matanya melihat secarik kertas yang ditindih gelas.(Kamu gak suka masakan aku, kan? Makan di luar aja sama Arga.)Ajun mengepalnya dan melempar asal. Di luar sana terdengar suara klakson mobil. Dengan cepat Ajun keluar, itu pasti kak Arga, pikirnya.******"Joko, kamu teh datang jam berapa? Pagi banget datangnya." Ujang menghampiri Jevran yang sudah berada di loker. Yang datang baru beberapa orang."Takut telat lagi. Nanti dimarahi sama Pak Jerry," ucapnya asal."Bagus. Itu teh namanya motivasi. Jarang loh ada orang kayak kamu. Dimarahi sama atasan t
"Dia nurut, kok," ucap Jevran. Diliriknya bocah di samping yang langsung menghela napas."Bagus deh kalau begitu.""Yaudah, kalau kamu udah datang aku pulang lagi ya.""Iya. Makasih ya, Jo."Jevran mengangguk. Ia pergi ke kamar untuk mengambil barangnya ada di sana. Naura juga mengantar Jevran sampai ke luar. Ternyata Jevran ini bisa diandalkan."Sekali lagi makasih, ya.""Sama-sama Naura. Ngomong-ngomong besok weekend, kamu ada acara?"Naura berpikir sesaat kemudian menggeleng. "Gak ada. Kenapa?""Jalan-jalan, yuk."Jevran menatap dirinya di cermin. Celana hitam dengan kemeja panjang putih yang dimasukan ke celana. Ia menyemprotkan parfum di beberapa titik tubuhnya. Senyuman terukir begitu saja. Memang pada dasarnya tampan, mau penampilan seperti apapun pasti tampan. Ah, percaya diri sekali.Hari ini Jevran akan mengajak Naura pergi ke beberapa tempat. Awalnya hanya ingin membuat pria bernama Arga itu cemburu, tapi entah kenapa sekarang Jevran terlihat excited. Rasanya seperti akan b
Untungnya, dia dapat menormalkan ekspresi. Tak lama, Jevran dan Naura memutuskan untuk pergi ke rumah makan karena lelah berlarian. Kali ini Naura yang memilih menu makanannya. Sayur asem, ikan asin, sambal, tempe, tahu, dan itu semua tidak familiar di lidah Jevran."Ayo makan." Naura melirik Jevran yang hanya menatapnya tanpa berniat ikut makan."I-iya."Jevran mengambil satu tempe. Dengan ragu ia menatap sambal berwarna merah yang membuatnya menggigit bibir. Naura tau keraguan Jevran mungkin takut karena sambalnya pedas. Tapi, bukankah itu memang makanan orang kampung? Bukan mengatakan Jevran kampungan, tapi Jevran memang dari kampung."Sambalnya gak pedes, kok. Atau kamu emang gak suka makanan ini?""Suka kok, suka."Mau tak mau Jevran mulai memakannya. Tidak terlalu buruk."Oh iya, gimana kerjaan baru kamu? Lancar, kan?" tanya Naura."Lancar. Mereka juga baik sama aku.""Bagus, deh. Kalau ada yang berani sama kamu selama di Jakarta, jangan diem aja. Coba deh penampilan kamu dir
Untungnya tidak ada yang menyadarinya. Gadis bernama Aurel itu berani sekali berkata seperti itu, dengan mengatasnamakan Jevran sebagai bos.Dia pikir dia siapa?"Maaf, Pak. Ini teh ada apa?" tanya Ujang yang datang menghampiri mereka. Keributan itu mengundang beberapa para pekerjanya untuk menyaksikan hal tersebut. Sama dengan Ujang yang melihat teman kerjanya berurusan dengan orang penting."Ini, teman kamu tolong dikasih tau. Dia hampir buat Pak Wilan celaka," kata Lian.Ujang sedikit membungkuk. "Maafin Joko atuh, Pak. Dia teh OB baru, saya janji bakal awasi dia. Tapi tolong jangan dipecat ya.""Lain kali kerja yang bener. HRD di sini mana? Bisa-bisanya terima orang kerja kayak gini. Seenggaknya penampilan harus menarik, lah. Atau kerja yang bener."Kebetulan sekali HRD yang dimaksud juga ada di sana. Dia baru saja keluar dari pantry untuk membuat kopi. "Maaf sekali tapi Pak Jerry sendiri yang menyarankan, karena memang kami sedang butuh OB secepatnya.""Jerry lagi? Kayaknya dia
"Berarti benar itu ulahnya Pak Arga, bukan saya," kata Jevran."Tapi kenapa dia ngerjain kamu? Dulu yang masalah kopi itu, Pak Arga juga pelakunya. Memangnya kalian teh saling kenal? Sepertinya dia punya dendam sama kamu.""Mana saya tau Ujang. Saya baru di sini.""Iya, sih. Tapi lain kali hati-hati. Kamu teh sampe dimarahi tadi."Jevran menggaruk kepalanya. "Itu kan gak sengaja. Ngomong-ngomong, perempuan tadi tuh siapa? Galak banget.""Dia teh, neng Aurel. Anak dari pemilik perusahaan Wibisana. Emang orangnya teh galak, terus mulutnya pedes banget.""Katanya itu calon tunangannya Pak Jevran. Menurut kamu mereka cocok?" tanya Jevran lagi."Ih, kalau menurut saya mah engga. Yang satu galak, satunya lagi galak. Kalau bisa mah semoga istrinya Pak Jevran nanti orang baik. Bisa merubah sikap Pak Jevran yang kalo ngomong nyerocos."Jevran menahan tawanya. Apa selama ini dia terlihat galak di amata karyawan? Sepertinya banyak karyawan yang berpikir lebih tentang dirinya. Mungkin dengan ini
Tok.. tok.. tok...Naura yang baru saja mengganti pakaian pergi ke depan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Jevran. Pria itu merentangkan tangannya."Jevran?" Naura memeluknya dan disambut dengan hangat."Tadi aku ke toko ternyata kamu udah tutup. Jadi langsung ke sini.""Ayo masuk."Naura mengajak Jevran masuk dan kembali menutup pintunya. Jevran menatap ke sekeliling. "Ajun mana?""Baru aja pergi. Katanya mau nginep di rumah temen dua hari."Jevran mengikuti Naura yang berjalan menuju dapur. Sepertinya Naura akan membuat kue, terlihat dari bahan-bahan yang sudah disiapkan. Apakah gadis ini tidak lelah membuat kue sepanjang hari? Pria tersebut melihat-lihat belanjaan di atas meja. "Mau buat keu, ya?""Iya pesenan Jerry, katanya buat temennya. Tapi jujur ini pertama kali aku buat kue yang tinggi kayak gini," kata Naura terdengar ragu."Kamu bisa, kok. Oh iya, Ra. Besok aku mau ajak kamu makan malam. Nanti aku jemput, ya?""Makan malam di rumah kamu?" tanya Naura."Di lu
Hari demi hari berlalu. Hari ini Jevran melakukan pelepasan gips pada tangannya. Dokter sendiri yang datang ke rumah. Karena ini hari Minggu ada Naura dan Ajun juga yang menemani. Seperti kata Jevran sesibuk apapun mereka berdua setidaknya luangkan satu hari untuk bersama dan itu adalah akhir pekan.Begitu benda tersebut dilepaskan Jevran mulai merasa lega. Akhirnya hari ini tiba dimana ia bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak perlu kesusahan lagi untuk melakukannya."Silahkan pelan-pelan digerakkan tangannya. Pelan aja biar gak kaget," ucap sang dokter.Jevran mengatur nafasnya sesaat. Ia meluruskan tangan kanannya dan bergerak sesuatu arah. Kanan, kiri, atas, bawah, dan berputar sesuai arah jarum jam."Bagaimana?""Gak sakit," jawab Jevran."Kalau begitu tangannya sudah sembuh dan kembali seperti semula. Selamat, ya.""Terimakasih, dok."Nilam mengusap punggung Jevran. "Syukurlah kalau sudah sembuh total.""Kalau begitu tugas saya selesai, Pak, Bu. Saya pamit kembali ke rumah sakit
Kemarin Jevran mengeluarkan banyak uang untuk belanja es krim anak-anak di taman. Tapi dia menikmati waktunya yang menghabiskan sebagian harinya dengan anak kecil. Semua itu menyenangkan apalagi jika ada Naura di sampingnya.Karena semakin hari semakin membaik, Jevran berusaha mencari ide agar dirinya tidak merasa bosan. Tangannya juga semakin pulih dan saat pagi tadi pemeriksaan, dokter bilang beberapa hari lagi gips sudah boleh dilepas. Itu membuatnya tenang.Setelah pulang dari rumah sakit untuk mengecek keadaannya, Jevran langsung ke tempat Naura. Ya, di toko kue tempat Naura mendapat kesibukannya. Gadis itu juga belum tau kalau Jevran akan datang ke sini sekarang. "Permisi, saya mau pesan kue.""Silahkan ma-" saat menoleh Naura terkejut melihat kehadiran Jevran. "Kamu kok di sini? Sama siapa? Kenapa gak bilang mau ke sini?""Stttt...."Jevran menempelkan telunjuknya pada mulut Naura. "Aku gak disuruh masuk?""Oh, iya. Ayo masuk."Pria itu masuk ke dalam dan melihat sekitar. Bagu
Sementara itu di atas sana kini Jevran berdiri di depan jendela. Dia sedang mencoba menghubungi Naura karena hari ini belum mendengar kabar darinya. "Kamu lagi dimana? Aku pulang hari ini kenapa gak ikut jemput aku?"'Loh, kamu udah pulang? Aku lagi di toko. Tadinya aku mau ke rumah sakit nanti sore. Tapi ternyata kamu udah pulang.'"Yaudah, gak usah."'Maaf, ya. Beneran deh hari ini ada pesanan. Sayang kalau aku tolak. Kamu gak marah, kan?' tanya Naura terdengar menyesal. Jevran terkekeh pelan. "Gak apa-apa, aku ngerti kok. Tapi besok ke sini, ya."'siap, bos.'"Papa kamu udah berangkat, Ra?"'Papa sama Bang Rival udah berangkat. Terus mereka titip salam buat kamu semoga cepet sembuh. Mereka gak sempet jenguk kamu lagi.'Naura sudah tau jika Papanya memberi restu pada hubungan Jevran dan Naura. Dia benar-benar senang dan tidak bisa mengatakan apapun lagi selain mengatakan jika dirinya bahagia. Perjuangan Jevran ternyata tidak sia-sia.Sebelum pergi Bahar juga bilang oada Naura jika
Ajun keluar dari kamarnya dengan tubuh yang lebih fresh. Karena sudah mandi setelah seharian menggunakan seragam sekolah sampai tidur di rumah sakit. Dia sudah kembali pulang hari ini.Pemuda itu berjalan menuju dapur untuk minum namun ia mengurungkan niatnya. Di sana ada Bahar, Rival, dan Naura. Ajun sedang kesal dan dia belum mau bertemu dengan mereka. Apalagi Abangnya."Mau kemana? Sini makan sama-sama," kata Naura melihat Ajun yang hendak pergi."Gak laper.""Sini, Jun. Papa mau bicara sama kamu."Ajun berdecak pelan dan kembali berbalik menghampiri mereka. Dia berdiri di samping Papanya dan tepat dihadapan Rival dan Naura. "Kenapa?""Abang kamu udah cerita sama Papa."Rival yang sedang makan menghentikan makanannya. Ia mengambil minum dan fokus pada pembicaraan. Dia juga tidak bisa menjelaskan pada Ajun sendiri jadi Rival harap dengan Papanya tau masalah ini mereka bisa sama-sama berubah.Sesaat Ajun membuang muka ke samping. Dia tak mau membicarakan masalah ini sebenarnya. "Teru
"Maafin aku.""Liat sini." Jevran meminta Naura menatapnya. "Apapun keputusan Papa kamu. Aku bakal terima itu, kok. Tapi bukan berarti aku berhenti buat perjuangin kamu.""Tapi bagi aku kamu berhasil."Gadis itu mendongak menahan air matanya agar tak terus keluar. Naura memeluk Jevran dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu kiri. Namun Jevran tersentak saat Naura melakukan itu.Jevran menahan nafasnya karena sebenarnya bahu yang kiri juga sakit, meski tak separah yang kanan. Tapi dia tak mau Naura melepaskan pelukannya. Jadi Jevran tetap membiarkan gadis itu di sana."Jangan nangis lagi. Aku gak bisa peluk kamu," ucap Jevran hanya menggenggam tangan Naura.Gadis itu terkekeh. Seketika ia duduk tegap dan menghapus air matanya. "Gak nangis, kok.""Bagus.""Eumm... Kamu lagi makan tadi? Aku ganggu dong? Aku bantuin, ya." Naura mengambil semangkuk bubur ke pangkuannya namun Jevran menahan."Aku bisa sendiri.""Tangan kamu lagi sakit. Aku suapin aja, ya."Jevran menggeleng. Sungguh
"Heh! Bangun!"Dengan susah payah Jevran meraih satu pack tisu dan melemparnya ke arah sofa dimana Jerry dan Ajun tengah tidur di sana. Sayang sekali meleset. Ia mencari benda lain yang aman untuk dilempar.Semalam mereka bilang akan menjaga Jevran 24 jam. Tapi buktinya semalaman mereka tidur pulas sedangkan Jevran masih sadar dan terus menatap langit-langit ruangan. Padahal semalam hanya ditinggal tidur sebentar tapi begitu Jevran bangun karena haus mereka sudah tidur semua. "Ini udah jam berapa? Bangun! Sebenarnya yang sakit siapa sih? Kenapa jadi gue yang jagain mereka," kata Jevran kesal.Pria itu mengambil botol plastik bekas minum yang sudah habis. Kembali dilempar ke arah mereka namun tetap tidak ada yang bangun. Ini kebo semua."Ish! Berisik apaan sih ganggu orang tidur aja."Jevran mendelik melihat Jerry yang merenggangkan tubuhnya. "Bangun! Katanya mau jagain tapi dua-duanya malah tidur.""Eh, iya ya?""Bantuin geu ke kamar mandi buruan. Gue pengen kencing."Jerry masih sem
"Pah, Jevran sadar, Pah!" Nilam menepuk pundak Haris agar suaminya menoleh. Setelah lama menunggu Jevran terlihat mulai sadar. Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali menyeimbangkan cahaya yang masuk ke Indra pengelihatannya. "Jevran? Kamu denger Mama? Ini Mama sayang."Jevran meringis pelan ketika merasa tubuhnya seperti tak bisa digerakan. Apalagi bagian bahu membuatnya ngilu dan pegal. "Mah? Minum," ucapnya terbata-bata. "Sini, pakai sedotan aja." Haris membantu Jevran minum air melalui sedotan."Naura mana?"Sepasang suami istri itu saling tatap. "Udah pulang.""Tapi dia baik-baik aja?""Kamu gak usah khawatirkan Naura, dia aman. Sekarang fokus sama kesembuhan kamu dulu. Ada keluhan gak? Biar Papa panggilkan Dokter."Jevran menggeleng pelan. "Gak ada."Tok... Tok... Tok... "Loh, Ajun? Kok bisa datang sama Jerry?" tanya Haris."Tau nih Om. Ketemu di jalan terus maksa mau ke sini buat jenguk Jevran.""Tapi itu masih pakai seragam sekah," kata Nilam bingung.Ajun tersenyum ca
"Apa aku bilang? Kamu itu cuma anak mami yang gak bisa apa-apa tanpa ajudan kamu itu. Jadi gimana kamu mau bebasin Naura sedangkan kamu kesakitan kayak gini?"Jevran tak mendengarkan perkataan Aurel dengan baik. Dia hanya sedang merasakan sakit yang luar biasa. Di kepalanya hanya berputar suara Naura yang mengalun. Jika Jevran seperti ini apa yang akan terjadi lada gadis itu?Tak ada tenaga lagi untuk melawan. Jevran pasrah karena tangannya sudah mati rasa. Punya kesadaran untuk membuka mata saja sudah bersyukur.Aurel melepaskan bekapan mulut Naura. "Silahkan. Ada kata-kata terakhir sebelum kalian berpisah?""Tolong bebasin Jevran. Dia kesakitan. Biar aku aja yang gantiin dia.""Eum, romantis banget. Tapi gak ngaruh. Jadi gimana kalau kalian berdua aja yang sama-sama pergi?"Di sisa kesadarannya Jevran merasakan tak ada lagi tangan yang menginjak bahunya. Mereka berdua justru berjalan menghampiri Naura. "Jangan sentuh Naura!" ucapnya pelan.Mereka menghiraukan perkataan Naura. Jevran