"Bikin kopi buat siapa kamu?" tanya Ujang melihat Jevran memasak air panas.
"Pak Direktur."
"Oh, kalau buat Pak Direktur mah gulanya jangan banyak-banyak. Gak suka manis."
"Siap." Jevran menyiapkan gelas dan kopi yang ditambah sedikit gula. Belum sempat di aduk, perutnya tiba-tiba mulas. "Jang, saya titip sebentar, ya. Mau ke kamar mandi dulu," kata Jevran.
"Sok atuh. Jangan lama-lama, nanti kopinya dingin."
"Iya."
Jevran berjalan cepat ke toilet. Karen takut kopinya menjadi dingin, pria itu bergegas kembali ke pantry. Sampai di sana Ujang sudah tidak ada, padahal ia menitipkan kopi padanya. Untung saja kopi itu masih ada di tempatnya semula.
Tanpa menunggu lama Jevran membawa kopi dengan nampan ke ruang direktur. Syukurlah sekarang sudah bisa menggunakan lift, tidak seperti kemarin. Sudah jalannya harus cepat karena takut dingin, belum lagi banyak anak tangga membuat mereka harus hati-hati juga. Bergoyang sedikit sudah tumpah kopinya.
Sampai di depan ruangan direktur, Jevran mengetuknya beberapa kali.
Tok...tok..tok...
"Masuk!"
Di dalam sana ternyata Pak direktur tidak sendiri. Ada Jerry yang juga berada di sana. Sepertinya pria itu sudah pulang dari perjalanan bisnisnya ke luar kota.
"Ini, Pak, kopinya."
"Terimakasih."
"Bapak mau sekalian saya buatkan kopi?" tanya Jevran pada Jerry.
"Tidak usah." Jerry mencoba tidak menatap Jevran. Pasalnya, setiap dia menatap pria itu dengan penampilan barunya, Jerry tidak bisa menahan senyum.
Pak direktur mulai meneguk kopinya. Tapi... Pftt!
Dengan cepat pria itu mengambil tisu di atas meja dan mengelap mulutnya. Hampir saja ia menyemburkan kopi di hadapan Pak Jerry, asisten Bos. Bisa dipecat dia jika dibilang tidak sopan.
"Ada apa, Pak?" tanya Jerry. Jevran masih ada di sana menatap tanya.
"Maaf Pak Jerry sebelumnya." Direktur itu menatap Jevran dengan mata melotot. "Kopi apa yang kamu buat?!"
Jevran membenarkan kacamatanya. "Kopi biasa. Cuman kata Ujang, bapak gak terlalu suka manis. Jadi saya kurangi takaran gulanya."
"Mending kalau manis. Ini rasanya asin. Kamu mau bunuh saya?"
"Tenang dulu, Pak," kata Jerry.
"Tapi ini keterlaluan. Pak Jerry tau kalau dia ini OB baru? Masa kerjanya seperti ini."
Jerry memejamkan matanya erat. Ia menghela nafas kasar sebelum menatap dingin Jevran. "Biar saya yang urus dia. Kamu, ikut saya keruang."
Jevran sedikit membungkuk lalu mengikuti Jerry dari belakang. Sementara Pak Direktur mendengus kesal saat kopi pesanannya tidak bisa diminum. Dasar OB tidak becus!
Mereka berdua sampai di ruangan. Jerry menutup pintunya rapat. Di sisi lain Jevran bersedekap dada menantang Jerry.
"Mau marah sama gue?"
Jerry meringis. "Mana berani gue marah sama Lo?"
"Bagus."
"Tapi, Lo serius ngasih garam di kopi tadi?"
"Enggak lah. Gue yakin tadi yang gue masukin itu gula, bukan garam. Makanya gue bingung waktu dia bilang rasanya asin."
"Terus kenapa bisa begitu?"
Jevran berdecak pinggang. "Jangan-jangan ada orang iseng sama gue."
****
Jevran menghampiri Ujang yang sedang mengelap kaca. "Kamu ngerjain saya?"
"Ngerjain apa ai kamu teh?" Ujang melirik sekilas Jevran lalu kembali menyemprotkan cairan sabun.
"Gak usah bohong. Tadi saya dimarahin sama Pak Jerry soal kopi yang saya bikin buat Pak direktur. Katanya asin, padahal saya udah kasih gula. Sebelumnya juga saya titip kopi ke kamu, tapi waktu saya datang kamu gak ada."
Ujang menggaruk kepalanya. "Ya emang bukan saya atuh."
"Terus siapa?"
"Oh iya saya ingat!" Ujang menjentikan jarinya. "Jadi, waktu saya jagain kopi, ada karyawan yang masuk ke pantry. Kalau gak salah namanya teh pak Arga. Dia ngasih saya berkas buat di fotocopy. Terus Pak Arga juga mau bikin kopi, jadi saya bilang aja kalau kamu teh lagi nitip kopi sama saya. Dia bilang mau jagain sampai kamu datang."
"Tapi waktu saya datang, gak ada orang di pantry. Atau jangan-jangan...." Jevran menatap Jerry seolah memberi sinyal.
"Ini teh ulahnya Pak Arga?"
"Mungkin."
Ujang menggeleng membayangkan yang tidak-tidak. "Tapi kayaknya mah gak mungkin. Buat apa coba dia lakuin itu sama kamu? Memangnya kalian teh saling kenal?" tanya Ujang yang dibalas Jevran dengan mengangkat kedua bahunya acuh.
****
"Kak Naura, knapa dia harus nginap, sih?" Ajun mendengus.
Jevran mengulum senyum kaku, tapi hatinya menggerutu. Siapa juga yang mau menjaga bocah licik itu? Yang ada, dia dikerjai habis-habisan selama di sini."Cuma dua hari. Kamu kalau gak dijaga bisa keluyuran sama teman kamu malam-malam.""Aku udah besar, kak.""Besar apanya? Kamu itu masih SMP!"tin.. tin...Mobil hitam berhenti di depan rumah Naura. Dari jendela mobil, menyembul kepala perempuan yang melambaikan tangannya. Itu adalah teman kerja Naura di kafe.Niatnya mereka akan pergi besok pagi, tapi menurut salah satu dari mereka, lebih baik berangkat di malam hari. Lagipula mereka menyewa orang untuk membawa mobil."Temen kakak udah datang. Kakak berangkat, ya. Kamu harus nurut sama Kak Joko." Naura beralih menatap Jevran. "Kalau adik aku gak mau nurut, kamu bilang aja sama aku.""I-iya.""Dah..." Naura mengecup kening sang adik sekilas sebelum berlari ke mobil temannya. Gadis itu melambaikan tangan pada kedua laki-laki di depan rumahnya. Naura percaya Jevran orang baik. Dia akan membantunya menjaga Ajun.Diluar ekspektasi, Ajun menatap orang di depannya jengkel. Anak itu melengos masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan sepatah katapun. Jevran menggaruk kepalanya sesaat sebelum memilih ikut masuk menyusul Ajun. Di mana dia tidur?Jevran berdiri menatap Ajun yang duduk di sofa menonton tv. Dirinya terlihat seperti anak kehilangan orang tuanya, menyedihkan. Dimana harga dirinya sekarang?"Kamarnya di sebelah sana. Itu kamar bang Rival, jadi jangan berantakan." Ajun menunjuk sebuah pintu cokelat tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.Tanpa banyak bicara Jevran melangkah ke kamar yang dimaksud. Dia juga malas menanggapi ucapan anak itu. Tubuhnya terseok membawa tas berisi satu dua baju untuknya berganti. Walaupun rumahnya dekat, itu pasti merepotkan."Ahh.." Jevran merebahkan tubuhnya di atas kasur. Semua perlengkapan yang mengganggu wajahnya dilepas.Ia merasa butuh istirahat sekarang. Pekerjaannya hari ini lebih banyak dari hari pertama ia bekerja. Belum lagi hatinya masih kesal dengan pria bernama Arga itu. Bisa-bisanya dia dikerjai.Jevran berniat mencuci wajahnya yang diberi make up gelap. Untunglah di dalam kamar ini ada kamar mandi, jadi memudahkannya membersihkan make-up. Baru saja sampai di pintu kamar mandi, terdengar suara Ajun memanggil namanya."Kak Joko!"Dengan cepat Jevran memasang kembali penyamarannya. Bisa repot dia kalau sudah mencuci muka."Ada apa?" Jevran menatap Ajun yang bersedekap dada."Buatin makan! Aku laper.""Hah?""Kenapa? Aku belum makan. Mau aku bilangin kak Naura kalau kakak gak ngurusin aku?"Jevran mendengus pelan. Bukanya dia cuma disuruh menjaga bocah ini saja? Jevran saja tidak bisa masak. Mau buat apa dia?"Cepet!""Iya-iya."*****Pagi ini Jevran bangun lebih awal. Dia membuat nasi goreng untuk sarapan. Pria itu duduk di salah satu kursi meja makan sambil menunggu Ajun yang sedang bersiap di kamarnya."Nasi goreng lagi?" tanya Ajun yang melihat ke meja makan. Tatapan tak minaat pada masakan yang dibuat Jevran. "Semalam bikin nasi goreng keasinan."Jevran meringis mengingat semalam. "Sekarang enak, kok. Aku juga udah coba.""Gak mau! Aku mau makan di luar aja.""Tapi ini nasi gorengnya banyak. Gimana?""Ajun! Kamu dimana?" suara dari depan membuat Ajun menyaut, mengabaikan pertanyaan Jevran."Di ruang makan, kak!"Tak lama terlihat sosok Arga. "Kak Arga ngapain ke sini? Kak Naura gak ada di rumah.""Iya tau, kok. Makanya kakak ke sini mau ngajak kamu berangkat bareng. Sekalian kakak ke kantor."Mata Ajun bersinar. "Naik mobil?""Iya.""Wah, ayo!""Sebentar. Kenapa dia ada di sini?" tanya Arga yang baru menyadari kehadiran Jevran."Tau, deh. Kak Naura minta dia jagain aku. Padahal Ajun kan udah gede."'Dasar bocah! Kalau sudah besar kenapa semalam minta dibuatkan makanan? Buat saja sendiri," batin Jevran."Padahal kan dia orang baru di sini. Kok Naura bisa percaya sama dia?"Ajun mengangkat kedua bahunya acuh. "Ayo berangkat sekarang aja.""Tapi kamu belum sarapan," kata Jevran menatap polos."Dia sarapan sama gue di luar. Tenang aja, makanannya dijamin enak."Mereka berdua pergi berangkat bersama. Sebelumnya Arga sempat menatap Jevran dengan tatapan mengejek. Dengan kasar, Jevran pun memasukan sesendok nasi ke dalam mulutnya."Bocah gendeng!" batinnya dalam hati.Sementara itu, Jerry kini masuk ke pantry dengan lebam di beberapa bagian wajahnya. Ia mengabaikan karyawan yang beberapa kali menanyakan kondisinya. Terserahlah mau dianggap cuek, dia tidak mau berbicara dengan orang saat ini, kecuali satu.
"Pak Jerry teh kenapa?" Ujang melongo melihat wajah Jerry yang biru-biru."Gak apa-apa. Tolong ambilin es batu.""Siap, Pak. Saya ambilin kain kompres juga."Ujang mengambil beberapa es batu yang dililit kain kompres. Ia memberikannya kepada Jerry. "Ini, Pak."Jerry meringis saat lukanya menyentuh kain. "Shh... Ngomong-ngomong OB baru itu mana?""Joko? Saya juga gak tau, Pak. Kayaknya mah telat.""Telat?"Ujang tertunduk. Dia tau orang di depannya tidak menyukai ada pegawai yang telat. Semuanya harus disiplin tanpa terkecuali. Kalau seperti ini, habis Jevran dimarahi Pak Jerry.Dari arah lain, terlihat Jevran yang baru keluar dari pintu loker. Ia sudah lengkap dengan pakaian seragamnya. Jerry melihat itu langsung memanggilnya ke pantry."Hey... Hey... Sini kamu!""A-ada apa, Pak?" bingung Jevran melihat atasannya."Kamu telat? Di sini saya gak mentoleransi orang yang telat.""Maaf, Pak. Saya-""Gak usah ngomong! Ujang, kamu bisa balik kerja," potong sang atasan cepat."Siap, Pak." Ujang melirik sekilas Jevran memberi semangat. Semoga saja, dia tidak dipecat.Setelah memastikan Ujang pergi, Jerry berbalik sesaat. "Lo tau kenapa muka gue bisa kayak gini?" tanyanya setelah Ujang pergi.Jevran tidak langsung menjawabnya.Ia memberi kode Jerry dengan melirik ke arah kamera cctv di ujung ruangan. Untuk beberapa saat, Jerry baru mengetahuinya."Kamar mandi," bisik Jerry.Ia pun berjalan lebih dulu dan disusul Jevran. Mereka pergi ke kamar mandi dan mulai memeriksa setiap bilik. Memastikan tidak ada orang selain mereka berdua."Kenapa muka Lo?" tanya Jevran."Di jalan, gue dikeroyok sama orang."Jevran menaikkan alisnya. "Kok bisa?"[ Flashback on ]"Turun Lo!" Pintu mobil Jerry diketuk oleh tiga pria berbadan besar.Sejak awal berangkat ke kantor Jerry sudah mulai curiga dengan mobil hitam yang mengintainya. Benar saja, dia dicegat saat melewati jalanan sepi. Entahlah apa yang mereka inginkan."Kalau Lo gak turun, gue pecahin kaca mobil Lo!"Mau tak mau Jerry turun dari mobil. Tiga orang itu langsung menarik Jerry dan menghempasnya ke tanah. "Dimana tuan Jevran?"Jerry menggeleng tidak tau. "Gak tau. Kalian semua siapa, hah?"Bugh! Satu pukulan mengenai wajahnya."Mana mungkin kamu gak tau? Kamu kan asisten dan teman dekatnya.""Ya terus gue harus tau semuanya gitu?"Bugh! Lagi-lagi pukulan itu dilayangkan. Kali ini sudut bibirnya berdarah. Jerry terbatuk-batuk.Salah satu dari mereka mengambil paksa ponsel Jerry mengembalikannya lagi setelah mengotak-atik beberapa saat. Jerry tidak dapat melawan karena kalah jumlah.(Flashback off)Jevran mengumpat. "Sekarang hp Lo mana?""Ada di ruangan.""CK, mereka meretas d
Sementara itu, Ajun melambaikan tangannya pada tiga temannya yang keluar club. "Hati-hati, ya!" Bersamaan dengan itu, Arga datang menghampiri Ajun dan duduk di sebalhnya."Temen-temen kamu udah pulang?""Udah, kak."Kenapa Ajun bisa berada di club malam bersama Arga? Begini ceritanya.... Awalnya, Ajun hanya pergi dengan temannya ke kafe di dekat taman kota. Lumayan jauh jaraknya dari rumah. Karena tak mau terlalu lama pergi, mereka hanya dua jam di kafe dan berniat pulang. Tapi, mereka bertemu dengan Arga. Pria itu mengajak mereka ke sini. Katanya tempat ini lebih menyenangkan daripada kafe atau semacamnya.Ajun sempat menolak karena pasti kakaknya bisa marah kalau tau. Tapi lagi-lagi Arga bisa membujuk para anak muda itu. Mereka memang hanya duduk-duduk saja tanpa memesan minum."Beneran kamu agak mau minum?" tanya Arga menuangkan sebotol bir pada gelasnya."Enggak, kak. Kalau kak Naura tau bisa habis aku.""Sedikit aja."Ajun menggeleng. "Gak usah.""Oke." Arga meneguk segelas bir
Ajun keluar dari kamarnya setelah siap dengan pakaian sekolah. Ia bangun telat karena semalam tidur terlalu larut. Sebab itu juga Ajun menelpon Arga untuk ikut kembali menebeng ke sekolah.Pemuda itu pergi ke meja makan dan membuka tudung saji. Kosong. Hey, Jevran tidak masak? Dia belum sarapan. Kalau sudah jam segini mana sempat makan di luar."Kak Joko gimana, sih?" Dengan kesal Ajun kembali menaruh tudung saji itu di meja. Tak sengaja matanya melihat secarik kertas yang ditindih gelas.(Kamu gak suka masakan aku, kan? Makan di luar aja sama Arga.)Ajun mengepalnya dan melempar asal. Di luar sana terdengar suara klakson mobil. Dengan cepat Ajun keluar, itu pasti kak Arga, pikirnya.******"Joko, kamu teh datang jam berapa? Pagi banget datangnya." Ujang menghampiri Jevran yang sudah berada di loker. Yang datang baru beberapa orang."Takut telat lagi. Nanti dimarahi sama Pak Jerry," ucapnya asal."Bagus. Itu teh namanya motivasi. Jarang loh ada orang kayak kamu. Dimarahi sama atasan t
"Dia nurut, kok," ucap Jevran. Diliriknya bocah di samping yang langsung menghela napas."Bagus deh kalau begitu.""Yaudah, kalau kamu udah datang aku pulang lagi ya.""Iya. Makasih ya, Jo."Jevran mengangguk. Ia pergi ke kamar untuk mengambil barangnya ada di sana. Naura juga mengantar Jevran sampai ke luar. Ternyata Jevran ini bisa diandalkan."Sekali lagi makasih, ya.""Sama-sama Naura. Ngomong-ngomong besok weekend, kamu ada acara?"Naura berpikir sesaat kemudian menggeleng. "Gak ada. Kenapa?""Jalan-jalan, yuk."Jevran menatap dirinya di cermin. Celana hitam dengan kemeja panjang putih yang dimasukan ke celana. Ia menyemprotkan parfum di beberapa titik tubuhnya. Senyuman terukir begitu saja. Memang pada dasarnya tampan, mau penampilan seperti apapun pasti tampan. Ah, percaya diri sekali.Hari ini Jevran akan mengajak Naura pergi ke beberapa tempat. Awalnya hanya ingin membuat pria bernama Arga itu cemburu, tapi entah kenapa sekarang Jevran terlihat excited. Rasanya seperti akan b
Untungnya, dia dapat menormalkan ekspresi. Tak lama, Jevran dan Naura memutuskan untuk pergi ke rumah makan karena lelah berlarian. Kali ini Naura yang memilih menu makanannya. Sayur asem, ikan asin, sambal, tempe, tahu, dan itu semua tidak familiar di lidah Jevran."Ayo makan." Naura melirik Jevran yang hanya menatapnya tanpa berniat ikut makan."I-iya."Jevran mengambil satu tempe. Dengan ragu ia menatap sambal berwarna merah yang membuatnya menggigit bibir. Naura tau keraguan Jevran mungkin takut karena sambalnya pedas. Tapi, bukankah itu memang makanan orang kampung? Bukan mengatakan Jevran kampungan, tapi Jevran memang dari kampung."Sambalnya gak pedes, kok. Atau kamu emang gak suka makanan ini?""Suka kok, suka."Mau tak mau Jevran mulai memakannya. Tidak terlalu buruk."Oh iya, gimana kerjaan baru kamu? Lancar, kan?" tanya Naura."Lancar. Mereka juga baik sama aku.""Bagus, deh. Kalau ada yang berani sama kamu selama di Jakarta, jangan diem aja. Coba deh penampilan kamu dir
Untungnya tidak ada yang menyadarinya. Gadis bernama Aurel itu berani sekali berkata seperti itu, dengan mengatasnamakan Jevran sebagai bos.Dia pikir dia siapa?"Maaf, Pak. Ini teh ada apa?" tanya Ujang yang datang menghampiri mereka. Keributan itu mengundang beberapa para pekerjanya untuk menyaksikan hal tersebut. Sama dengan Ujang yang melihat teman kerjanya berurusan dengan orang penting."Ini, teman kamu tolong dikasih tau. Dia hampir buat Pak Wilan celaka," kata Lian.Ujang sedikit membungkuk. "Maafin Joko atuh, Pak. Dia teh OB baru, saya janji bakal awasi dia. Tapi tolong jangan dipecat ya.""Lain kali kerja yang bener. HRD di sini mana? Bisa-bisanya terima orang kerja kayak gini. Seenggaknya penampilan harus menarik, lah. Atau kerja yang bener."Kebetulan sekali HRD yang dimaksud juga ada di sana. Dia baru saja keluar dari pantry untuk membuat kopi. "Maaf sekali tapi Pak Jerry sendiri yang menyarankan, karena memang kami sedang butuh OB secepatnya.""Jerry lagi? Kayaknya dia
"Berarti benar itu ulahnya Pak Arga, bukan saya," kata Jevran."Tapi kenapa dia ngerjain kamu? Dulu yang masalah kopi itu, Pak Arga juga pelakunya. Memangnya kalian teh saling kenal? Sepertinya dia punya dendam sama kamu.""Mana saya tau Ujang. Saya baru di sini.""Iya, sih. Tapi lain kali hati-hati. Kamu teh sampe dimarahi tadi."Jevran menggaruk kepalanya. "Itu kan gak sengaja. Ngomong-ngomong, perempuan tadi tuh siapa? Galak banget.""Dia teh, neng Aurel. Anak dari pemilik perusahaan Wibisana. Emang orangnya teh galak, terus mulutnya pedes banget.""Katanya itu calon tunangannya Pak Jevran. Menurut kamu mereka cocok?" tanya Jevran lagi."Ih, kalau menurut saya mah engga. Yang satu galak, satunya lagi galak. Kalau bisa mah semoga istrinya Pak Jevran nanti orang baik. Bisa merubah sikap Pak Jevran yang kalo ngomong nyerocos."Jevran menahan tawanya. Apa selama ini dia terlihat galak di amata karyawan? Sepertinya banyak karyawan yang berpikir lebih tentang dirinya. Mungkin dengan ini
Jevran turun dari bus saat angkutan umum itu berhenti di halte bus yang dekat dengan rumahnya. Dengan langkah yang cepat Jevran melangkah pergi. Sesekali dia melirik ke belakang dengan cemas. Sejak pulang dari kantor, dia merasa diikuti. Tapi tak ada seorangpun yang terlihat mencurigakan.Lelaki itu mempercepat langkahnya. Takut jika ada orang yang memang menguntit, atau sudah mengetahui identitas Jevran. Saat berbicara dengan Jerry saja, Jevran merasa ada yang menguping di sana. Ini bahaya."Joko! Sini!" Naura yang berada di bawah pohon mangga berteriak dan melambaikan tangannya.Pria itu mengerutkan keningnya. Gadis itu sudah pulang bekerja? Tapi kenapa wajahnya terlihat murung? Tidak seperti biasanya yang selalu terlihat ceria. Karena rasa penasarannya Jevran menghampiri Naura yang duduk di rerumputan."Ada apa?""Duduk dulu!" Naura menarik Jevran duduk di sampingnya. Ikut bersandar di pohon mangga di pekarangan milik pria tersebut. "Kamu kenapa?""Aku dipecat," gumam Naura yang m
Tok.. tok.. tok...Naura yang baru saja mengganti pakaian pergi ke depan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Jevran. Pria itu merentangkan tangannya."Jevran?" Naura memeluknya dan disambut dengan hangat."Tadi aku ke toko ternyata kamu udah tutup. Jadi langsung ke sini.""Ayo masuk."Naura mengajak Jevran masuk dan kembali menutup pintunya. Jevran menatap ke sekeliling. "Ajun mana?""Baru aja pergi. Katanya mau nginep di rumah temen dua hari."Jevran mengikuti Naura yang berjalan menuju dapur. Sepertinya Naura akan membuat kue, terlihat dari bahan-bahan yang sudah disiapkan. Apakah gadis ini tidak lelah membuat kue sepanjang hari? Pria tersebut melihat-lihat belanjaan di atas meja. "Mau buat keu, ya?""Iya pesenan Jerry, katanya buat temennya. Tapi jujur ini pertama kali aku buat kue yang tinggi kayak gini," kata Naura terdengar ragu."Kamu bisa, kok. Oh iya, Ra. Besok aku mau ajak kamu makan malam. Nanti aku jemput, ya?""Makan malam di rumah kamu?" tanya Naura."Di lu
Hari demi hari berlalu. Hari ini Jevran melakukan pelepasan gips pada tangannya. Dokter sendiri yang datang ke rumah. Karena ini hari Minggu ada Naura dan Ajun juga yang menemani. Seperti kata Jevran sesibuk apapun mereka berdua setidaknya luangkan satu hari untuk bersama dan itu adalah akhir pekan.Begitu benda tersebut dilepaskan Jevran mulai merasa lega. Akhirnya hari ini tiba dimana ia bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak perlu kesusahan lagi untuk melakukannya."Silahkan pelan-pelan digerakkan tangannya. Pelan aja biar gak kaget," ucap sang dokter.Jevran mengatur nafasnya sesaat. Ia meluruskan tangan kanannya dan bergerak sesuatu arah. Kanan, kiri, atas, bawah, dan berputar sesuai arah jarum jam."Bagaimana?""Gak sakit," jawab Jevran."Kalau begitu tangannya sudah sembuh dan kembali seperti semula. Selamat, ya.""Terimakasih, dok."Nilam mengusap punggung Jevran. "Syukurlah kalau sudah sembuh total.""Kalau begitu tugas saya selesai, Pak, Bu. Saya pamit kembali ke rumah sakit
Kemarin Jevran mengeluarkan banyak uang untuk belanja es krim anak-anak di taman. Tapi dia menikmati waktunya yang menghabiskan sebagian harinya dengan anak kecil. Semua itu menyenangkan apalagi jika ada Naura di sampingnya.Karena semakin hari semakin membaik, Jevran berusaha mencari ide agar dirinya tidak merasa bosan. Tangannya juga semakin pulih dan saat pagi tadi pemeriksaan, dokter bilang beberapa hari lagi gips sudah boleh dilepas. Itu membuatnya tenang.Setelah pulang dari rumah sakit untuk mengecek keadaannya, Jevran langsung ke tempat Naura. Ya, di toko kue tempat Naura mendapat kesibukannya. Gadis itu juga belum tau kalau Jevran akan datang ke sini sekarang. "Permisi, saya mau pesan kue.""Silahkan ma-" saat menoleh Naura terkejut melihat kehadiran Jevran. "Kamu kok di sini? Sama siapa? Kenapa gak bilang mau ke sini?""Stttt...."Jevran menempelkan telunjuknya pada mulut Naura. "Aku gak disuruh masuk?""Oh, iya. Ayo masuk."Pria itu masuk ke dalam dan melihat sekitar. Bagu
Sementara itu di atas sana kini Jevran berdiri di depan jendela. Dia sedang mencoba menghubungi Naura karena hari ini belum mendengar kabar darinya. "Kamu lagi dimana? Aku pulang hari ini kenapa gak ikut jemput aku?"'Loh, kamu udah pulang? Aku lagi di toko. Tadinya aku mau ke rumah sakit nanti sore. Tapi ternyata kamu udah pulang.'"Yaudah, gak usah."'Maaf, ya. Beneran deh hari ini ada pesanan. Sayang kalau aku tolak. Kamu gak marah, kan?' tanya Naura terdengar menyesal. Jevran terkekeh pelan. "Gak apa-apa, aku ngerti kok. Tapi besok ke sini, ya."'siap, bos.'"Papa kamu udah berangkat, Ra?"'Papa sama Bang Rival udah berangkat. Terus mereka titip salam buat kamu semoga cepet sembuh. Mereka gak sempet jenguk kamu lagi.'Naura sudah tau jika Papanya memberi restu pada hubungan Jevran dan Naura. Dia benar-benar senang dan tidak bisa mengatakan apapun lagi selain mengatakan jika dirinya bahagia. Perjuangan Jevran ternyata tidak sia-sia.Sebelum pergi Bahar juga bilang oada Naura jika
Ajun keluar dari kamarnya dengan tubuh yang lebih fresh. Karena sudah mandi setelah seharian menggunakan seragam sekolah sampai tidur di rumah sakit. Dia sudah kembali pulang hari ini.Pemuda itu berjalan menuju dapur untuk minum namun ia mengurungkan niatnya. Di sana ada Bahar, Rival, dan Naura. Ajun sedang kesal dan dia belum mau bertemu dengan mereka. Apalagi Abangnya."Mau kemana? Sini makan sama-sama," kata Naura melihat Ajun yang hendak pergi."Gak laper.""Sini, Jun. Papa mau bicara sama kamu."Ajun berdecak pelan dan kembali berbalik menghampiri mereka. Dia berdiri di samping Papanya dan tepat dihadapan Rival dan Naura. "Kenapa?""Abang kamu udah cerita sama Papa."Rival yang sedang makan menghentikan makanannya. Ia mengambil minum dan fokus pada pembicaraan. Dia juga tidak bisa menjelaskan pada Ajun sendiri jadi Rival harap dengan Papanya tau masalah ini mereka bisa sama-sama berubah.Sesaat Ajun membuang muka ke samping. Dia tak mau membicarakan masalah ini sebenarnya. "Teru
"Maafin aku.""Liat sini." Jevran meminta Naura menatapnya. "Apapun keputusan Papa kamu. Aku bakal terima itu, kok. Tapi bukan berarti aku berhenti buat perjuangin kamu.""Tapi bagi aku kamu berhasil."Gadis itu mendongak menahan air matanya agar tak terus keluar. Naura memeluk Jevran dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu kiri. Namun Jevran tersentak saat Naura melakukan itu.Jevran menahan nafasnya karena sebenarnya bahu yang kiri juga sakit, meski tak separah yang kanan. Tapi dia tak mau Naura melepaskan pelukannya. Jadi Jevran tetap membiarkan gadis itu di sana."Jangan nangis lagi. Aku gak bisa peluk kamu," ucap Jevran hanya menggenggam tangan Naura.Gadis itu terkekeh. Seketika ia duduk tegap dan menghapus air matanya. "Gak nangis, kok.""Bagus.""Eumm... Kamu lagi makan tadi? Aku ganggu dong? Aku bantuin, ya." Naura mengambil semangkuk bubur ke pangkuannya namun Jevran menahan."Aku bisa sendiri.""Tangan kamu lagi sakit. Aku suapin aja, ya."Jevran menggeleng. Sungguh
"Heh! Bangun!"Dengan susah payah Jevran meraih satu pack tisu dan melemparnya ke arah sofa dimana Jerry dan Ajun tengah tidur di sana. Sayang sekali meleset. Ia mencari benda lain yang aman untuk dilempar.Semalam mereka bilang akan menjaga Jevran 24 jam. Tapi buktinya semalaman mereka tidur pulas sedangkan Jevran masih sadar dan terus menatap langit-langit ruangan. Padahal semalam hanya ditinggal tidur sebentar tapi begitu Jevran bangun karena haus mereka sudah tidur semua. "Ini udah jam berapa? Bangun! Sebenarnya yang sakit siapa sih? Kenapa jadi gue yang jagain mereka," kata Jevran kesal.Pria itu mengambil botol plastik bekas minum yang sudah habis. Kembali dilempar ke arah mereka namun tetap tidak ada yang bangun. Ini kebo semua."Ish! Berisik apaan sih ganggu orang tidur aja."Jevran mendelik melihat Jerry yang merenggangkan tubuhnya. "Bangun! Katanya mau jagain tapi dua-duanya malah tidur.""Eh, iya ya?""Bantuin geu ke kamar mandi buruan. Gue pengen kencing."Jerry masih sem
"Pah, Jevran sadar, Pah!" Nilam menepuk pundak Haris agar suaminya menoleh. Setelah lama menunggu Jevran terlihat mulai sadar. Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali menyeimbangkan cahaya yang masuk ke Indra pengelihatannya. "Jevran? Kamu denger Mama? Ini Mama sayang."Jevran meringis pelan ketika merasa tubuhnya seperti tak bisa digerakan. Apalagi bagian bahu membuatnya ngilu dan pegal. "Mah? Minum," ucapnya terbata-bata. "Sini, pakai sedotan aja." Haris membantu Jevran minum air melalui sedotan."Naura mana?"Sepasang suami istri itu saling tatap. "Udah pulang.""Tapi dia baik-baik aja?""Kamu gak usah khawatirkan Naura, dia aman. Sekarang fokus sama kesembuhan kamu dulu. Ada keluhan gak? Biar Papa panggilkan Dokter."Jevran menggeleng pelan. "Gak ada."Tok... Tok... Tok... "Loh, Ajun? Kok bisa datang sama Jerry?" tanya Haris."Tau nih Om. Ketemu di jalan terus maksa mau ke sini buat jenguk Jevran.""Tapi itu masih pakai seragam sekah," kata Nilam bingung.Ajun tersenyum ca
"Apa aku bilang? Kamu itu cuma anak mami yang gak bisa apa-apa tanpa ajudan kamu itu. Jadi gimana kamu mau bebasin Naura sedangkan kamu kesakitan kayak gini?"Jevran tak mendengarkan perkataan Aurel dengan baik. Dia hanya sedang merasakan sakit yang luar biasa. Di kepalanya hanya berputar suara Naura yang mengalun. Jika Jevran seperti ini apa yang akan terjadi lada gadis itu?Tak ada tenaga lagi untuk melawan. Jevran pasrah karena tangannya sudah mati rasa. Punya kesadaran untuk membuka mata saja sudah bersyukur.Aurel melepaskan bekapan mulut Naura. "Silahkan. Ada kata-kata terakhir sebelum kalian berpisah?""Tolong bebasin Jevran. Dia kesakitan. Biar aku aja yang gantiin dia.""Eum, romantis banget. Tapi gak ngaruh. Jadi gimana kalau kalian berdua aja yang sama-sama pergi?"Di sisa kesadarannya Jevran merasakan tak ada lagi tangan yang menginjak bahunya. Mereka berdua justru berjalan menghampiri Naura. "Jangan sentuh Naura!" ucapnya pelan.Mereka menghiraukan perkataan Naura. Jevran