Hari itu, Ethan merasa pikirannya tidak pernah benar-benar fokus pada pekerjaannya. Sepanjang hari, bayangan Leva terus membayang di benaknya. Tatapannya, senyumnya, hingga cara dia membawa dirinya semuanya melekat erat di pikiran Ethan.
Ketika ia selesai dengan urusan kantor, keinginannya untuk mampir ke rumah Leva semakin sulit ia abaikan. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa ini hanyalah kunjungan biasa, seperti kunjungan sebelumnya bersama Kalaya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, itu saja, pikirnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Dengan setelan kerjanya yang masih rapi, Ethan memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan pintu rumah, mencoba mengatur napas. Ia tahu ini berisiko, tetapi dorongan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Akhirnya, ia melangkah ke rumah Leva.
Di Rumah Leva
Leva sedang duduk di ruang tamu, mengenakan dress santai berbahan satin berwarna merah marun yang sedikit longgar di bagian bahunya. Rambutnya dibiarkan tergerai, memberikan kesan santai tetapi tetap memikat. Saat ia mendengar ketukan di pintu, ia segera bangkit dan berjalan perlahan, tersenyum kecil ketika melihat siapa yang datang.
“Ethan!” sapa Leva dengan nada riang, membuka pintu lebar-lebar. “Kejutan. Aku tidak menyangka kamu akan mampir malam-malam begini.”
Ethan merasa sedikit gugup, tetapi ia tersenyum tipis. “Aku pulang kerja tadi dan berpikir untuk mampir. Semoga tidak mengganggumu.”
Leva mengangguk pelan dan membuka pintu lebih lebar. “Tentu tidak. Aku malah senang kamu datang. Masuklah.”
Ethan melangkah masuk, mencoba menjaga ekspresinya tetap netral. Tetapi aroma parfum Leva yang lembut dan suasana rumahnya yang hangat membuat Ethan semakin sulit mengendalikan dirinya.
“Duduklah,” ujar Leva sambil menunjuk sofa. “Kamu mau minum sesuatu? Kopi, teh, atau… sesuatu yang lebih santai?” tanyanya dengan nada menggoda, menatap Ethan sambil memiringkan kepalanya sedikit.
“Air putih saja,” jawab Ethan cepat, berusaha terdengar santai.
Leva tertawa kecil, lalu melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air. Gerakannya tampak lambat dan disengaja, memberikan Ethan cukup waktu untuk memperhatikan setiap detail dirinya. Dress satin itu membungkus tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya tanpa terlihat berlebihan.
Leva kembali dengan segelas air di tangannya. Ia menyerahkannya kepada Ethan, lalu duduk di sofa, tidak terlalu jauh darinya. “Jadi, apa yang membawamu ke sini malam ini? Kamu tampak… gelisah,” ujarnya sambil menatapnya dengan tajam, tetapi tetap dengan senyum di wajahnya.
Ethan meneguk air putihnya, mencoba menenangkan diri. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Kamu baru pindah juga, mungkin masih butuh bantuan atau apa.”
Leva menyilangkan kakinya, dressnya sedikit tersingkap, tetapi ia tampaknya tidak peduli. “Itu manis sekali, Ethan. Tapi aku baik-baik saja. Meskipun…,” ia berhenti sejenak, menatap Ethan dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Meskipun apa?” tanya Ethan, mencoba menjaga nada suaranya tetap normal.
“Meskipun rasanya cukup… sepi tinggal sendirian di sini,” jawab Leva pelan, matanya masih menatap langsung ke arah Ethan. “Tapi untungnya, aku punya tetangga yang perhatian seperti kamu.”
Ethan merasa tenggorokannya kering, meskipun ia baru saja minum. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Tatapan Leva membuatnya semakin sulit berpikir jernih.
Leva kemudian mendekat sedikit, jaraknya kini hanya beberapa inci dari Ethan. Ia menatapnya dengan cara yang lebih lembut, tetapi tetap penuh dengan arti. “Ethan,” katanya pelan, “aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda saat aku bersamamu. Kamu juga merasakannya, bukan?”
Ethan terdiam. Kata-kata Leva terasa seperti pengakuan, tetapi juga seperti tantangan. Ia tahu apa yang Leva maksud, dan ia tahu apa yang sedang terjadi di dalam dirinya.
“Leva…” Ethan mencoba berbicara, tetapi suaranya serak.
Leva tersenyum kecil, lalu menyentuh lengan Ethan dengan lembut. “Kamu tidak perlu mengatakan apa pun sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada di sini kalau kamu butuh teman. Itu saja.”
Sentuhan itu, meskipun singkat, terasa seperti api yang membakar Ethan. Ia merasa berada di ambang sesuatu yang berbahaya, tetapi juga menggoda. Dengan napas berat, ia berdiri dari sofa, mencoba menciptakan jarak.
“Terima kasih, Leva,” katanya akhirnya. “Aku… aku harus pulang sekarang. Sudah malam.”
Leva tidak terlihat marah atau kecewa. Sebaliknya, ia tersenyum penuh arti. “Tentu saja, Ethan. Aku mengerti.”
Saat Ethan berjalan menuju pintu, Leva mengikuti di belakangnya. Sebelum Ethan melangkah keluar, Leva berbicara lagi, suaranya lembut tetapi penuh makna. “Aku senang kamu mampir. Jangan ragu untuk datang lagi kapan pun kamu mau.”
Ethan hanya mengangguk, tidak berani menoleh ke belakang. Saat ia kembali ke rumahnya, pikirannya penuh dengan bayangan Leva. Ia tahu bahwa ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.
Hari-hari setelah kunjungan malam itu, Ethan merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari, tetapi pikirannya sering kembali kepada Leva. Tatapan matanya, kata-katanya yang lembut, dan suasana yang tercipta saat mereka berbicara membuatnya merasa bingung dan terganggu. Namun, meskipun ada ketertarikan yang semakin kuat, Ethan tahu ia harus berhati-hati.Pada hari Sabtu pagi yang cerah, Ethan dan Kalaya sedang menikmati sarapan bersama di rumah. Kalaya tampak lebih ceria dari biasanya, berbicara tentang rencana weekend mereka. “Aku berpikir untuk mengunjungi beberapa toko furnitur. Mungkin kita bisa memperbarui beberapa perabot rumah,” katanya sambil menikmati secangkir kopi.Ethan hanya mengangguk, tetapi pikirannya tetap jauh, entah di mana. “Aku tidak yakin bisa ikut, ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan,” jawabnya sambil tersenyum lemah.Kalaya menatapnya curiga. “Apa kamu baik-baik saja? Kamu tampa
“Ethan?” Suara Kalaya terdengar dari lantai bawah. Ethan segera mengatur napas dan berusaha menormalkan ekspresinya sebelum menjawab.“Iya?” Ia menjawab sambil turun ke ruang tamu. Kalaya sedang berdiri di depan cermin, memperbaiki riasannya. Ethan hanya meliriknya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kamu mau ikut ke acara makan malam nanti? Ada beberapa orang penting yang harus kita temui,” kata Kalaya tanpa menoleh.Ethan menggeleng pelan. “Aku rasa aku butuh istirahat. Pindahan ini cukup melelahkan.”Kalaya hanya mengangkat bahu tanpa memaksa. Ia sudah terbiasa dengan Ethan yang belakangan ini semakin sering menghindar dari acara-acara sosial. Baginya, itu tidak terlalu penting, selama ia tetap bisa menjalankan aktivitasnya tanpa terganggu.Saat Kalaya pergi meninggalkannya sendirian di rumah, Ethan kembali ke ruang kerjanya. Ia membuka tirai jendela sedikit, sekadar untuk melihat apakah Leva masih di luar. Wanita itu kini duduk di teras rumahnya, menikmati sege
Keesokan harinya, Ethan terbangun dengan kepala yang terasa berat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Leva. Ia berusaha memulai hari dengan normal, tetapi ada dorongan aneh untuk sekadar memastikan apakah wanita itu ada di rumahnya. Seolah tanpa sadar, langkah kakinya membawanya kembali ke ruang kerja, tempat jendela besar memberikan pandangan langsung ke rumah Leva.Di seberang jalan, Leva sedang berdiri di dekat jendela rumahnya, sibuk menyiram tanaman di pot kecil. Ia mengenakan tank top putih tipis yang membalut tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan siluetnya di bawah cahaya pagi. Celana pendek yang ia kenakan hanya menutupi sebagian pahanya. Ethan menatapnya dari jauh, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya ingin memastikan keadaan tetangganya, tetapi ia tahu itu bukan alasan sebenarnya.Leva, yang merasa sedang diperhatikan, melirik ke arah jendela Ethan. Tatapannya bertemu dengan Ethan yang berdiri di sana. Ia tersenyum kecil, tetapi kali ini senyuman itu bukan hanya seka
Ethan duduk di sofa di ruang tamunya, merasa semakin gugup seiring detik berlalu. Leva terlihat begitu nyaman, bersandar dengan santai sambil sesekali menyesap anggurnya. Tatapannya lembut, tetapi ada sesuatu yang lain di sana sesuatu yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat.Leva menyentuh permukaan sofa dengan jari-jarinya, seolah memeriksa tekstur kainnya, sebelum pandangannya kembali pada Ethan. “Kamu terlihat tegang,” ujarnya sambil tersenyum kecil.“Oh, tidak… aku baik-baik saja,” jawab Ethan cepat, meski ia tahu jawabannya tidak meyakinkan.Leva mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke arahnya. “Kamu yakin? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu.” Suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, tetapi cukup untuk membuat Ethan merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya, sebuah ketegangan yang semakin sulit ia kendalikan.Ethan menelan ludah, mencoba menjaga jarak emosional. “Aku hanya… mungkin aku lelah saja.”Leva tertawa kecil, sebuah tawa yang hangat tetapi
Keesokan paginya, Ethan terbangun lebih awal dari biasanya. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus-menerus memutar kembali momen bersama Leva. Ada rasa bersalah yang menghantuinya, tetapi ada pula perasaan asing, campuran rasa penasaran dan ketertarikan yang sulit ia abaikan.Ia mencoba memulai harinya seperti biasa. Setelah mandi dan berpakaian, ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kalaya, istrinya, sedang duduk di meja dapur dengan secangkir kopi di tangannya, wajahnya tampak fokus pada layar ponselnya.“Pagi,” Ethan menyapa, mencoba terdengar normal.“Pagi,” jawab Kalaya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Ada rapat hari ini?”“Iya, mungkin aku akan pulang agak malam,” bohong Ethan, meskipun ia tidak punya agenda khusus untuk hari itu. Ia hanya ingin menghindari percakapan lebih lanjut.Setelah sarapan, Ethan melangkah keluar rumah dengan alasan memeriksa taman. Namun sebenarnya, ia berharap bisa melihat Leva lagi. Matanya langsung tertuju pada ruma
Hari itu, Kalaya memutuskan untuk memasak lebih banyak dari biasanya. Ia ingin memberikan kesan baik kepada Leva, tetangga baru mereka. Sebagai seorang istri yang selalu berusaha menjaga hubungan baik di lingkungan sosialnya, ia merasa perlu untuk menyambut Leva dengan cara yang hangat dan personal.“Ethan, aku pikir kita harus membawa makanan ini ke rumah Leva. Dia pasti sibuk beres-beres setelah pindah,” ujar Kalaya sambil mengemas makanan dalam kotak saji yang rapi.Ethan, yang sedang membaca berita di ponselnya, terkejut mendengar nama Leva disebut. Hatinya mendadak berdebar, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Oh, ya, itu ide yang bagus,” jawabnya datar, menyembunyikan rasa gugupnya.Tak lama kemudian, Kalaya menyelesaikan kemasannya—sebuah paket berisi hidangan khas rumahan yang hangat: lasagna buatan sendiri, salad segar, dan sebotol jus jeruk. “Kita pergi sekarang?” tanya Kalaya sambil membawa kotak makanan itu.Ethan tidak punya alasan untuk menolak. “Tentu,” jawabnya sambil ba
Hari-hari setelah kunjungan malam itu, Ethan merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari, tetapi pikirannya sering kembali kepada Leva. Tatapan matanya, kata-katanya yang lembut, dan suasana yang tercipta saat mereka berbicara membuatnya merasa bingung dan terganggu. Namun, meskipun ada ketertarikan yang semakin kuat, Ethan tahu ia harus berhati-hati.Pada hari Sabtu pagi yang cerah, Ethan dan Kalaya sedang menikmati sarapan bersama di rumah. Kalaya tampak lebih ceria dari biasanya, berbicara tentang rencana weekend mereka. “Aku berpikir untuk mengunjungi beberapa toko furnitur. Mungkin kita bisa memperbarui beberapa perabot rumah,” katanya sambil menikmati secangkir kopi.Ethan hanya mengangguk, tetapi pikirannya tetap jauh, entah di mana. “Aku tidak yakin bisa ikut, ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan,” jawabnya sambil tersenyum lemah.Kalaya menatapnya curiga. “Apa kamu baik-baik saja? Kamu tampa
Hari itu, Ethan merasa pikirannya tidak pernah benar-benar fokus pada pekerjaannya. Sepanjang hari, bayangan Leva terus membayang di benaknya. Tatapannya, senyumnya, hingga cara dia membawa dirinya semuanya melekat erat di pikiran Ethan.Ketika ia selesai dengan urusan kantor, keinginannya untuk mampir ke rumah Leva semakin sulit ia abaikan. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa ini hanyalah kunjungan biasa, seperti kunjungan sebelumnya bersama Kalaya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, itu saja, pikirnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.Dengan setelan kerjanya yang masih rapi, Ethan memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan pintu rumah, mencoba mengatur napas. Ia tahu ini berisiko, tetapi dorongan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Akhirnya, ia melangkah ke rumah Leva.Di Rumah LevaLeva sedang duduk di ruang tamu, mengenakan dress santai berbahan satin berwarna merah marun yang sedikit longgar di bagian bahunya. Rambutnya dibiarka
Hari itu, Kalaya memutuskan untuk memasak lebih banyak dari biasanya. Ia ingin memberikan kesan baik kepada Leva, tetangga baru mereka. Sebagai seorang istri yang selalu berusaha menjaga hubungan baik di lingkungan sosialnya, ia merasa perlu untuk menyambut Leva dengan cara yang hangat dan personal.“Ethan, aku pikir kita harus membawa makanan ini ke rumah Leva. Dia pasti sibuk beres-beres setelah pindah,” ujar Kalaya sambil mengemas makanan dalam kotak saji yang rapi.Ethan, yang sedang membaca berita di ponselnya, terkejut mendengar nama Leva disebut. Hatinya mendadak berdebar, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Oh, ya, itu ide yang bagus,” jawabnya datar, menyembunyikan rasa gugupnya.Tak lama kemudian, Kalaya menyelesaikan kemasannya—sebuah paket berisi hidangan khas rumahan yang hangat: lasagna buatan sendiri, salad segar, dan sebotol jus jeruk. “Kita pergi sekarang?” tanya Kalaya sambil membawa kotak makanan itu.Ethan tidak punya alasan untuk menolak. “Tentu,” jawabnya sambil ba
Keesokan paginya, Ethan terbangun lebih awal dari biasanya. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus-menerus memutar kembali momen bersama Leva. Ada rasa bersalah yang menghantuinya, tetapi ada pula perasaan asing, campuran rasa penasaran dan ketertarikan yang sulit ia abaikan.Ia mencoba memulai harinya seperti biasa. Setelah mandi dan berpakaian, ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kalaya, istrinya, sedang duduk di meja dapur dengan secangkir kopi di tangannya, wajahnya tampak fokus pada layar ponselnya.“Pagi,” Ethan menyapa, mencoba terdengar normal.“Pagi,” jawab Kalaya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Ada rapat hari ini?”“Iya, mungkin aku akan pulang agak malam,” bohong Ethan, meskipun ia tidak punya agenda khusus untuk hari itu. Ia hanya ingin menghindari percakapan lebih lanjut.Setelah sarapan, Ethan melangkah keluar rumah dengan alasan memeriksa taman. Namun sebenarnya, ia berharap bisa melihat Leva lagi. Matanya langsung tertuju pada ruma
Ethan duduk di sofa di ruang tamunya, merasa semakin gugup seiring detik berlalu. Leva terlihat begitu nyaman, bersandar dengan santai sambil sesekali menyesap anggurnya. Tatapannya lembut, tetapi ada sesuatu yang lain di sana sesuatu yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat.Leva menyentuh permukaan sofa dengan jari-jarinya, seolah memeriksa tekstur kainnya, sebelum pandangannya kembali pada Ethan. “Kamu terlihat tegang,” ujarnya sambil tersenyum kecil.“Oh, tidak… aku baik-baik saja,” jawab Ethan cepat, meski ia tahu jawabannya tidak meyakinkan.Leva mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke arahnya. “Kamu yakin? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu.” Suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, tetapi cukup untuk membuat Ethan merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya, sebuah ketegangan yang semakin sulit ia kendalikan.Ethan menelan ludah, mencoba menjaga jarak emosional. “Aku hanya… mungkin aku lelah saja.”Leva tertawa kecil, sebuah tawa yang hangat tetapi
Keesokan harinya, Ethan terbangun dengan kepala yang terasa berat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Leva. Ia berusaha memulai hari dengan normal, tetapi ada dorongan aneh untuk sekadar memastikan apakah wanita itu ada di rumahnya. Seolah tanpa sadar, langkah kakinya membawanya kembali ke ruang kerja, tempat jendela besar memberikan pandangan langsung ke rumah Leva.Di seberang jalan, Leva sedang berdiri di dekat jendela rumahnya, sibuk menyiram tanaman di pot kecil. Ia mengenakan tank top putih tipis yang membalut tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan siluetnya di bawah cahaya pagi. Celana pendek yang ia kenakan hanya menutupi sebagian pahanya. Ethan menatapnya dari jauh, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya ingin memastikan keadaan tetangganya, tetapi ia tahu itu bukan alasan sebenarnya.Leva, yang merasa sedang diperhatikan, melirik ke arah jendela Ethan. Tatapannya bertemu dengan Ethan yang berdiri di sana. Ia tersenyum kecil, tetapi kali ini senyuman itu bukan hanya seka
“Ethan?” Suara Kalaya terdengar dari lantai bawah. Ethan segera mengatur napas dan berusaha menormalkan ekspresinya sebelum menjawab.“Iya?” Ia menjawab sambil turun ke ruang tamu. Kalaya sedang berdiri di depan cermin, memperbaiki riasannya. Ethan hanya meliriknya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kamu mau ikut ke acara makan malam nanti? Ada beberapa orang penting yang harus kita temui,” kata Kalaya tanpa menoleh.Ethan menggeleng pelan. “Aku rasa aku butuh istirahat. Pindahan ini cukup melelahkan.”Kalaya hanya mengangkat bahu tanpa memaksa. Ia sudah terbiasa dengan Ethan yang belakangan ini semakin sering menghindar dari acara-acara sosial. Baginya, itu tidak terlalu penting, selama ia tetap bisa menjalankan aktivitasnya tanpa terganggu.Saat Kalaya pergi meninggalkannya sendirian di rumah, Ethan kembali ke ruang kerjanya. Ia membuka tirai jendela sedikit, sekadar untuk melihat apakah Leva masih di luar. Wanita itu kini duduk di teras rumahnya, menikmati sege