Bab 4 : Pagi Yang Berbeda

Keesokan paginya, Ethan terbangun lebih awal dari biasanya. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus-menerus memutar kembali momen bersama Leva. Ada rasa bersalah yang menghantuinya, tetapi ada pula perasaan asing, campuran rasa penasaran dan ketertarikan yang sulit ia abaikan.

Ia mencoba memulai harinya seperti biasa. Setelah mandi dan berpakaian, ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kalaya, istrinya, sedang duduk di meja dapur dengan secangkir kopi di tangannya, wajahnya tampak fokus pada layar ponselnya.

“Pagi,” Ethan menyapa, mencoba terdengar normal.

“Pagi,” jawab Kalaya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Ada rapat hari ini?”

“Iya, mungkin aku akan pulang agak malam,” bohong Ethan, meskipun ia tidak punya agenda khusus untuk hari itu. Ia hanya ingin menghindari percakapan lebih lanjut.

Setelah sarapan, Ethan melangkah keluar rumah dengan alasan memeriksa taman. Namun sebenarnya, ia berharap bisa melihat Leva lagi. Matanya langsung tertuju pada rumah di seberang jalan. Tirai jendela Leva masih tertutup, tetapi pintu depan rumahnya terbuka sedikit, memberikan kesan bahwa Leva sudah bangun.

Saat ia berdiri di sana, pintu rumah Leva terbuka lebih lebar, dan wanita itu muncul. Ia mengenakan pakaian olahraga, celana legging hitam dan atasan crop top yang memperlihatkan perutnya yang rata. Rambutnya diikat ekor kuda, membuat wajahnya terlihat segar dan ceria.

Leva tersenyum saat melihat Ethan. “Pagi, Ethan,” sapanya dengan suara riang.

Ethan sedikit gugup, tetapi ia berusaha tersenyum kembali. “Pagi, Leva. Kamu mau jogging?”

Leva mengangguk sambil meregangkan tubuhnya di depan pintu. Gerakannya yang lentur dan santai tidak luput dari perhatian Ethan. “Iya, aku suka jogging pagi. Biar tetap bugar,” jawabnya dengan nada santai.

“Aku biasanya jogging juga, tapi sudah lama nggak sempat,” Ethan berusaha menjaga nada suaranya tetap ringan, meskipun ia merasa sedikit canggung.

Leva tersenyum lebih lebar. “Kalau begitu, kamu harus mulai lagi. Siapa tahu kita bisa jogging bareng.”

Ethan merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Sebelum ia sempat menjawab, Leva menambahkan, “Atau, kalau kamu ada waktu nanti, mampir saja. Aku bikin smoothie yang enak. Itu rahasiaku untuk tetap energik.”

Ethan hanya bisa mengangguk, merasa terjebak antara keinginannya untuk mendekat dan rasa bersalah terhadap istrinya.

Saat Leva mulai jogging menjauh, Ethan memperhatikan langkahnya yang ringan dan percaya diri. Ia tahu ia harus berhenti memikirkan wanita itu, tetapi bayangannya semakin sulit diabaikan. *

Di Rumah Leva

Beberapa jam kemudian, Ethan tidak bisa menahan diri untuk tidak mendekati rumah Leva. Dengan alasan memeriksa tetangga baru, ia mengetuk pintu rumahnya. Tidak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka, dan Leva menyambutnya dengan senyum khasnya.

“Ethan! Masuklah,” katanya riang.

Ethan melangkah masuk, merasa sedikit gugup. Rumah Leva berbau harum aroma lavender bercampur dengan sesuatu yang manis. Leva mengenakan pakaian yang lebih santai kali ini, sebuah sweater longgar yang memperlihatkan salah satu bahunya. Ia tampak nyaman, tetapi tetap memancarkan aura yang memikat.

“Jadi, kamu nggak sibuk hari ini?” tanya Leva sambil berjalan menuju dapur kecilnya.

“Tidak terlalu,” jawab Ethan, berusaha menjaga nada suaranya tetap santai.

Leva menuangkan smoothie ke dua gelas dan menyerahkan salah satunya kepada Ethan. “Coba ini. Aku yakin kamu akan suka.”

Ethan menyesap smoothie itu dan tersenyum. “Enak. Kamu pintar membuat minuman.”

Leva tertawa kecil. “Aku punya banyak trik, Ethan. Kalau kamu mau tahu, tinggal tanya saja.”

Percakapan mereka berlanjut dengan santai, tetapi ada sesuatu di antara mereka sebuah ketegangan yang tidak pernah hilang. Leva sering kali menatap Ethan dengan cara yang membuatnya merasa gugup, tetapi juga tertarik.

Saat Ethan hendak berpamitan, Leva tiba-tiba menyentuh lengan Ethan dengan lembut. “Ethan,” katanya dengan nada serius.

“Iya?” Ethan berbalik, merasa jantungnya kembali berdebar.

Leva menatapnya dengan mata yang penuh arti. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku merasa nyaman berbicara denganmu. Kamu berbeda.”

Ethan merasa sulit menjawab. Kata-kata Leva menggema di pikirannya, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Leva menarik tangannya dengan lembut, menggenggamnya sesaat sebelum melepaskannya lagi.

“Kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada di sini,” kata Leva sambil tersenyum lembut.

Ethan mengangguk pelan sebelum melangkah keluar. Saat ia berjalan kembali ke rumahnya, pikirannya dipenuhi kebingungan. Ia tahu bahwa situasi ini semakin rumit, tetapi bagian dari dirinya tidak ingin berhenti.