Keesokan harinya, Ethan terbangun dengan kepala yang terasa berat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Leva. Ia berusaha memulai hari dengan normal, tetapi ada dorongan aneh untuk sekadar memastikan apakah wanita itu ada di rumahnya. Seolah tanpa sadar, langkah kakinya membawanya kembali ke ruang kerja, tempat jendela besar memberikan pandangan langsung ke rumah Leva.
Di seberang jalan, Leva sedang berdiri di dekat jendela rumahnya, sibuk menyiram tanaman di pot kecil. Ia mengenakan tank top putih tipis yang membalut tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan siluetnya di bawah cahaya pagi. Celana pendek yang ia kenakan hanya menutupi sebagian pahanya. Ethan menatapnya dari jauh, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya ingin memastikan keadaan tetangganya, tetapi ia tahu itu bukan alasan sebenarnya.
Leva, yang merasa sedang diperhatikan, melirik ke arah jendela Ethan. Tatapannya bertemu dengan Ethan yang berdiri di sana. Ia tersenyum kecil, tetapi kali ini senyuman itu bukan hanya sekadar ramah. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang terasa seperti tantangan terselubung.
Leva menyadari apa yang ia lihat di mata Ethan. Tatapan pria itu tidak bisa berbohong. Ethan berusaha mengalihkan pandangannya dengan cepat, tetapi Leva sudah tahu ia menarik perhatian tetangga barunya, seorang pria yang tampak seperti sosok tenang, tetapi di baliknya menyimpan rasa yang terpendam.
Menarik, pikir Leva sambil menyiram pot terakhirnya. Ia menatap jendela Ethan lagi, memastikan bahwa pria itu masih di sana. Ketika ia melihat Ethan masih berdiri di tempat yang sama, wajahnya tampak gugup, namun tak bisa mengalihkan pandangan.
Sebuah ide muncul di kepala Leva. Ia tahu bagaimana dunia ini bekerja, dan bagaimana pria seperti Ethan mungkin terjebak dalam kehidupan yang monoton. Leva memutuskan untuk bermain-main sedikit. Bukan salahku kalau dia tertarik, bukan?
Hari itu, Leva sengaja memilih pakaian yang lebih menggoda. Ia mengenakan gaun tidur satin berwarna merah tua dengan tali tipis yang menggantung di bahunya. Gaun itu jatuh dengan sempurna di tubuhnya, memamerkan bagian punggungnya yang mulus dan berhenti tepat di atas pahanya. Ia membiarkan tirai jendelanya tetap terbuka, dan setiap gerakannya terlihat jelas dari rumah Ethan.
Leva pura-pura sibuk mengatur tirai, membiarkan bagian gaunnya sedikit tersingkap, memperlihatkan bagian pahanya lebih banyak dari biasanya. Ia tahu bahwa Ethan kemungkinan sedang memperhatikannya. Ia tersenyum kecil saat mendengar suara samar langkah kaki di seberang jalan.
Di dalam rumahnya, Ethan berdiri di balik tirai ruang kerjanya, mencoba untuk tidak menatap langsung, tetapi gagal. Leva terlihat begitu memikat, setiap gerakannya seolah dirancang untuk memancing perhatian. Ethan tahu ia seharusnya pergi, menutup tirai, atau memfokuskan pikirannya pada hal lain. Tapi tubuhnya seperti terpaku di tempat.
Leva berpura-pura tidak sadar akan tatapan itu, tetapi sengaja berdiri menghadap jendela. Ia memperbaiki rambutnya dengan gerakan perlahan, membiarkan gaunnya tergelincir sedikit di bahu, memperlihatkan bagian kulit yang seharusnya tersembunyi.
Ethan menelan ludah. Tubuhnya menegang, campuran antara rasa bersalah dan keinginan yang semakin sulit ia kendalikan. Ia tahu ini salah. Ia tahu seharusnya ia tidak membiarkan pikirannya melangkah lebih jauh. Tetapi sesuatu tentang Leva membuatnya tidak mampu berhenti.
Leva, di sisi lain, tersenyum samar. Ia bisa merasakan efek dari permainannya. Lelaki ini menarik, pikirnya. Tidak seperti kebanyakan pria yang dengan mudah mendekatinya, Ethan berusaha menahan diri. Tapi justru itu yang membuat Leva semakin tertarik untuk menguji batasannya.
Setelah beberapa saat, Leva melangkah pergi dari jendela, membiarkan Ethan dengan pikirannya yang berkecamuk. Ethan menarik napas dalam-dalam, lalu menutup tirai dengan cepat. Ia berjalan ke kamar mandi dan menyiram wajahnya dengan air dingin, mencoba menghilangkan perasaan yang mendidih dalam dirinya.
“Ini salah. Aku tidak boleh seperti ini,” gumamnya pada diri sendiri. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa Leva sudah menguasai pikirannya.
Hari itu, waktu terasa berjalan lambat bagi Ethan. Ia menghabiskan sebagian besar harinya di ruang kerjanya, mencoba menghindari pikiran tentang Leva. Namun, bayangan wanita itu sosoknya, senyumnya, dan setiap gerakan halusnya terus menghantui pikirannya.
Sore harinya, Ethan kembali berdiri di dekat jendela. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia hanya ingin memastikan keadaan sekitar, tetapi kenyataannya, ia berharap bisa melihat Leva lagi. Rasa bersalah yang menyelimutinya seolah kalah oleh rasa penasaran yang terus menggerogoti.
Di seberang jalan, Leva kembali terlihat di dekat jendela rumahnya. Kali ini, ia mengenakan pakaian santai kaos tipis dan celana pendek yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Ia sedang membersihkan jendela dengan gerakan perlahan, sesekali berhenti untuk menyeka keringat di dahinya. Cahaya matahari sore memantulkan kilaunya, memberikan kesan alami dan tak dibuat-buat.
Ethan mencoba menahan dirinya, tetapi matanya terus mengikuti setiap gerakan Leva. Saat wanita itu berbalik sedikit, gaun tipis yang dikenakannya membingkai tubuhnya dengan sempurna, membuat Ethan merasa panas dingin. Ia tahu ia harus berhenti, tetapi tubuhnya tidak menurut.
Leva, yang menyadari bahwa Ethan mengamatinya, sengaja memperlambat gerakannya. Ia membungkuk sedikit untuk mengambil kain lap yang jatuh ke lantai, membiarkan gerakannya terlihat lebih menggoda dari yang seharusnya. Sesaat kemudian, ia melirik ke arah jendela Ethan dan menyadari bahwa pria itu masih di sana, menatapnya dengan mata yang penuh perasaan campur aduk.
Ethan buru-buru mundur dari jendela, merasa seperti tertangkap basah. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, mencoba mengatur napas. Apa yang sedang aku lakukan? pikirnya dengan panik. Namun, di balik rasa bersalah itu, ada perasaan yang tidak bisa ia abaikan sebuah daya tarik yang begitu kuat terhadap Leva, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan lagi selama bertahun-tahun pernikahannya.
Leva, di sisi lain, merasa senang dengan respons Ethan. Ia tidak sepenuhnya berniat menggoda, tetapi melihat cara Ethan bereaksi membuatnya ingin bermain lebih jauh. Ada sesuatu yang menarik tentang pria itu. caranya menahan diri, tetapi tidak sepenuhnya berhasil menyembunyikan ketertarikannya.
Beberapa menit kemudian, bel pintu rumah Ethan berbunyi. Ia terkejut, merasa sedikit panik. Kalaya masih belum pulang, dan ia tidak mengharapkan tamu. Dengan hati-hati, ia berjalan ke pintu dan membukanya.
Di depan pintu, berdiri Leva dengan senyum santai di wajahnya. Ia memegang sebotol anggur merah dan dua gelas di tangannya. “Hai, Ethan,” katanya ringan. “Aku pikir, sebagai tetangga baru, mungkin kita harus mengenal satu sama lain.”
Ethan menelan ludah. Ia terdiam sejenak, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. “Oh, uh, tentu,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar sedikit gugup.
Leva tersenyum lebih lebar. “Kamu tidak sibuk, kan?”
Ethan menggeleng. Ia melangkah ke samping untuk mempersilakan Leva masuk. Wanita itu melangkah masuk dengan percaya diri, aroma parfum lembutnya mengisi udara di ruang tamu. Ethan menutup pintu di belakangnya, merasa jantungnya berdebar kencang.
“Rumahmu sangat indah,” puji Leva sambil meletakkan botol anggur di meja ruang tamu. Ia menoleh ke arah Ethan, memandangnya dengan tatapan penuh arti. “Pindahan ke tempat baru pasti melelahkan, ya?”
“Iya, cukup melelahkan,” jawab Ethan, berusaha terdengar santai meskipun dadanya terasa sesak.
Leva menuangkan anggur ke dalam dua gelas, lalu menyerahkan salah satunya kepada Ethan. “Anggap saja ini sebagai ucapan selamat datang,” katanya sambil tersenyum.
Ethan menerima gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia tahu ini salah. Ia tahu seharusnya ia menjaga jarak. Tetapi tatapan Leva, senyumnya, dan kehadirannya yang begitu dekat membuat pikirannya sulit berpikir jernih.
Leva duduk di sofa, menyilangkan kakinya dengan santai. Gerakan itu terlihat begitu natural, tetapi bagi Ethan, setiap gerakan Leva seolah memiliki daya tarik tersendiri. Ia mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi matanya terus tertarik kembali ke arahnya.
“Kamu sudah lama menikah?” tanya Leva tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Ethan terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi ia mencoba menjawab dengan tenang. “Iya, sudah beberapa tahun.”
Leva tersenyum kecil. “Kamu kelihatan seperti pria yang setia.”
Ethan hanya tertawa kecil, mencoba menghindari tatapan Leva. “Aku mencoba yang terbaik,” jawabnya singkat.
Leva menyesap anggurnya perlahan, lalu menatap Ethan dengan mata yang tajam namun lembut. “Kadang, kesetiaan itu diuji bukan karena kita ingin, tapi karena keadaan,” katanya dengan nada pelan.
Ethan tidak menjawab. Kata-kata Leva terasa seperti menyentuh sesuatu yang mendalam di dalam dirinya, sesuatu yang selama ini ia coba abaikan. Ia tahu percakapan ini menuju arah yang berbahaya, tetapi ia tidak bisa menemukan cara untuk menghentikannya.
Saat itu, Ethan menyadari bahwa kehadiran Leva bukan hanya sekadar tetangga baru. Wanita itu membawa sesuatu yang bisa mengguncang dunianya. sebuah daya tarik yang sulit ia lawan, dan sebuah ancaman bagi kehidupan yang selama ini ia jalani.
Ethan duduk di sofa di ruang tamunya, merasa semakin gugup seiring detik berlalu. Leva terlihat begitu nyaman, bersandar dengan santai sambil sesekali menyesap anggurnya. Tatapannya lembut, tetapi ada sesuatu yang lain di sana sesuatu yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat.Leva menyentuh permukaan sofa dengan jari-jarinya, seolah memeriksa tekstur kainnya, sebelum pandangannya kembali pada Ethan. “Kamu terlihat tegang,” ujarnya sambil tersenyum kecil.“Oh, tidak… aku baik-baik saja,” jawab Ethan cepat, meski ia tahu jawabannya tidak meyakinkan.Leva mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke arahnya. “Kamu yakin? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu.” Suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, tetapi cukup untuk membuat Ethan merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya, sebuah ketegangan yang semakin sulit ia kendalikan.Ethan menelan ludah, mencoba menjaga jarak emosional. “Aku hanya… mungkin aku lelah saja.”Leva tertawa kecil, sebuah tawa yang hangat tetapi
Keesokan paginya, Ethan terbangun lebih awal dari biasanya. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus-menerus memutar kembali momen bersama Leva. Ada rasa bersalah yang menghantuinya, tetapi ada pula perasaan asing, campuran rasa penasaran dan ketertarikan yang sulit ia abaikan.Ia mencoba memulai harinya seperti biasa. Setelah mandi dan berpakaian, ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kalaya, istrinya, sedang duduk di meja dapur dengan secangkir kopi di tangannya, wajahnya tampak fokus pada layar ponselnya.“Pagi,” Ethan menyapa, mencoba terdengar normal.“Pagi,” jawab Kalaya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Ada rapat hari ini?”“Iya, mungkin aku akan pulang agak malam,” bohong Ethan, meskipun ia tidak punya agenda khusus untuk hari itu. Ia hanya ingin menghindari percakapan lebih lanjut.Setelah sarapan, Ethan melangkah keluar rumah dengan alasan memeriksa taman. Namun sebenarnya, ia berharap bisa melihat Leva lagi. Matanya langsung tertuju pada ruma
Hari itu, Kalaya memutuskan untuk memasak lebih banyak dari biasanya. Ia ingin memberikan kesan baik kepada Leva, tetangga baru mereka. Sebagai seorang istri yang selalu berusaha menjaga hubungan baik di lingkungan sosialnya, ia merasa perlu untuk menyambut Leva dengan cara yang hangat dan personal.“Ethan, aku pikir kita harus membawa makanan ini ke rumah Leva. Dia pasti sibuk beres-beres setelah pindah,” ujar Kalaya sambil mengemas makanan dalam kotak saji yang rapi.Ethan, yang sedang membaca berita di ponselnya, terkejut mendengar nama Leva disebut. Hatinya mendadak berdebar, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Oh, ya, itu ide yang bagus,” jawabnya datar, menyembunyikan rasa gugupnya.Tak lama kemudian, Kalaya menyelesaikan kemasannya—sebuah paket berisi hidangan khas rumahan yang hangat: lasagna buatan sendiri, salad segar, dan sebotol jus jeruk. “Kita pergi sekarang?” tanya Kalaya sambil membawa kotak makanan itu.Ethan tidak punya alasan untuk menolak. “Tentu,” jawabnya sambil ba
Hari itu, Ethan merasa pikirannya tidak pernah benar-benar fokus pada pekerjaannya. Sepanjang hari, bayangan Leva terus membayang di benaknya. Tatapannya, senyumnya, hingga cara dia membawa dirinya semuanya melekat erat di pikiran Ethan.Ketika ia selesai dengan urusan kantor, keinginannya untuk mampir ke rumah Leva semakin sulit ia abaikan. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa ini hanyalah kunjungan biasa, seperti kunjungan sebelumnya bersama Kalaya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, itu saja, pikirnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.Dengan setelan kerjanya yang masih rapi, Ethan memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan pintu rumah, mencoba mengatur napas. Ia tahu ini berisiko, tetapi dorongan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Akhirnya, ia melangkah ke rumah Leva.Di Rumah LevaLeva sedang duduk di ruang tamu, mengenakan dress santai berbahan satin berwarna merah marun yang sedikit longgar di bagian bahunya. Rambutnya dibiarka
Hari-hari setelah kunjungan malam itu, Ethan merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari, tetapi pikirannya sering kembali kepada Leva. Tatapan matanya, kata-katanya yang lembut, dan suasana yang tercipta saat mereka berbicara membuatnya merasa bingung dan terganggu. Namun, meskipun ada ketertarikan yang semakin kuat, Ethan tahu ia harus berhati-hati.Pada hari Sabtu pagi yang cerah, Ethan dan Kalaya sedang menikmati sarapan bersama di rumah. Kalaya tampak lebih ceria dari biasanya, berbicara tentang rencana weekend mereka. “Aku berpikir untuk mengunjungi beberapa toko furnitur. Mungkin kita bisa memperbarui beberapa perabot rumah,” katanya sambil menikmati secangkir kopi.Ethan hanya mengangguk, tetapi pikirannya tetap jauh, entah di mana. “Aku tidak yakin bisa ikut, ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan,” jawabnya sambil tersenyum lemah.Kalaya menatapnya curiga. “Apa kamu baik-baik saja? Kamu tampa
“Ethan?” Suara Kalaya terdengar dari lantai bawah. Ethan segera mengatur napas dan berusaha menormalkan ekspresinya sebelum menjawab.“Iya?” Ia menjawab sambil turun ke ruang tamu. Kalaya sedang berdiri di depan cermin, memperbaiki riasannya. Ethan hanya meliriknya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kamu mau ikut ke acara makan malam nanti? Ada beberapa orang penting yang harus kita temui,” kata Kalaya tanpa menoleh.Ethan menggeleng pelan. “Aku rasa aku butuh istirahat. Pindahan ini cukup melelahkan.”Kalaya hanya mengangkat bahu tanpa memaksa. Ia sudah terbiasa dengan Ethan yang belakangan ini semakin sering menghindar dari acara-acara sosial. Baginya, itu tidak terlalu penting, selama ia tetap bisa menjalankan aktivitasnya tanpa terganggu.Saat Kalaya pergi meninggalkannya sendirian di rumah, Ethan kembali ke ruang kerjanya. Ia membuka tirai jendela sedikit, sekadar untuk melihat apakah Leva masih di luar. Wanita itu kini duduk di teras rumahnya, menikmati sege
Hari-hari setelah kunjungan malam itu, Ethan merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari, tetapi pikirannya sering kembali kepada Leva. Tatapan matanya, kata-katanya yang lembut, dan suasana yang tercipta saat mereka berbicara membuatnya merasa bingung dan terganggu. Namun, meskipun ada ketertarikan yang semakin kuat, Ethan tahu ia harus berhati-hati.Pada hari Sabtu pagi yang cerah, Ethan dan Kalaya sedang menikmati sarapan bersama di rumah. Kalaya tampak lebih ceria dari biasanya, berbicara tentang rencana weekend mereka. “Aku berpikir untuk mengunjungi beberapa toko furnitur. Mungkin kita bisa memperbarui beberapa perabot rumah,” katanya sambil menikmati secangkir kopi.Ethan hanya mengangguk, tetapi pikirannya tetap jauh, entah di mana. “Aku tidak yakin bisa ikut, ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan,” jawabnya sambil tersenyum lemah.Kalaya menatapnya curiga. “Apa kamu baik-baik saja? Kamu tampa
Hari itu, Ethan merasa pikirannya tidak pernah benar-benar fokus pada pekerjaannya. Sepanjang hari, bayangan Leva terus membayang di benaknya. Tatapannya, senyumnya, hingga cara dia membawa dirinya semuanya melekat erat di pikiran Ethan.Ketika ia selesai dengan urusan kantor, keinginannya untuk mampir ke rumah Leva semakin sulit ia abaikan. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa ini hanyalah kunjungan biasa, seperti kunjungan sebelumnya bersama Kalaya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, itu saja, pikirnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.Dengan setelan kerjanya yang masih rapi, Ethan memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan pintu rumah, mencoba mengatur napas. Ia tahu ini berisiko, tetapi dorongan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Akhirnya, ia melangkah ke rumah Leva.Di Rumah LevaLeva sedang duduk di ruang tamu, mengenakan dress santai berbahan satin berwarna merah marun yang sedikit longgar di bagian bahunya. Rambutnya dibiarka
Hari itu, Kalaya memutuskan untuk memasak lebih banyak dari biasanya. Ia ingin memberikan kesan baik kepada Leva, tetangga baru mereka. Sebagai seorang istri yang selalu berusaha menjaga hubungan baik di lingkungan sosialnya, ia merasa perlu untuk menyambut Leva dengan cara yang hangat dan personal.“Ethan, aku pikir kita harus membawa makanan ini ke rumah Leva. Dia pasti sibuk beres-beres setelah pindah,” ujar Kalaya sambil mengemas makanan dalam kotak saji yang rapi.Ethan, yang sedang membaca berita di ponselnya, terkejut mendengar nama Leva disebut. Hatinya mendadak berdebar, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Oh, ya, itu ide yang bagus,” jawabnya datar, menyembunyikan rasa gugupnya.Tak lama kemudian, Kalaya menyelesaikan kemasannya—sebuah paket berisi hidangan khas rumahan yang hangat: lasagna buatan sendiri, salad segar, dan sebotol jus jeruk. “Kita pergi sekarang?” tanya Kalaya sambil membawa kotak makanan itu.Ethan tidak punya alasan untuk menolak. “Tentu,” jawabnya sambil ba
Keesokan paginya, Ethan terbangun lebih awal dari biasanya. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus-menerus memutar kembali momen bersama Leva. Ada rasa bersalah yang menghantuinya, tetapi ada pula perasaan asing, campuran rasa penasaran dan ketertarikan yang sulit ia abaikan.Ia mencoba memulai harinya seperti biasa. Setelah mandi dan berpakaian, ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kalaya, istrinya, sedang duduk di meja dapur dengan secangkir kopi di tangannya, wajahnya tampak fokus pada layar ponselnya.“Pagi,” Ethan menyapa, mencoba terdengar normal.“Pagi,” jawab Kalaya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Ada rapat hari ini?”“Iya, mungkin aku akan pulang agak malam,” bohong Ethan, meskipun ia tidak punya agenda khusus untuk hari itu. Ia hanya ingin menghindari percakapan lebih lanjut.Setelah sarapan, Ethan melangkah keluar rumah dengan alasan memeriksa taman. Namun sebenarnya, ia berharap bisa melihat Leva lagi. Matanya langsung tertuju pada ruma
Ethan duduk di sofa di ruang tamunya, merasa semakin gugup seiring detik berlalu. Leva terlihat begitu nyaman, bersandar dengan santai sambil sesekali menyesap anggurnya. Tatapannya lembut, tetapi ada sesuatu yang lain di sana sesuatu yang membuat udara di antara mereka terasa lebih berat.Leva menyentuh permukaan sofa dengan jari-jarinya, seolah memeriksa tekstur kainnya, sebelum pandangannya kembali pada Ethan. “Kamu terlihat tegang,” ujarnya sambil tersenyum kecil.“Oh, tidak… aku baik-baik saja,” jawab Ethan cepat, meski ia tahu jawabannya tidak meyakinkan.Leva mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat ke arahnya. “Kamu yakin? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu.” Suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, tetapi cukup untuk membuat Ethan merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya, sebuah ketegangan yang semakin sulit ia kendalikan.Ethan menelan ludah, mencoba menjaga jarak emosional. “Aku hanya… mungkin aku lelah saja.”Leva tertawa kecil, sebuah tawa yang hangat tetapi
Keesokan harinya, Ethan terbangun dengan kepala yang terasa berat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Leva. Ia berusaha memulai hari dengan normal, tetapi ada dorongan aneh untuk sekadar memastikan apakah wanita itu ada di rumahnya. Seolah tanpa sadar, langkah kakinya membawanya kembali ke ruang kerja, tempat jendela besar memberikan pandangan langsung ke rumah Leva.Di seberang jalan, Leva sedang berdiri di dekat jendela rumahnya, sibuk menyiram tanaman di pot kecil. Ia mengenakan tank top putih tipis yang membalut tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan siluetnya di bawah cahaya pagi. Celana pendek yang ia kenakan hanya menutupi sebagian pahanya. Ethan menatapnya dari jauh, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya ingin memastikan keadaan tetangganya, tetapi ia tahu itu bukan alasan sebenarnya.Leva, yang merasa sedang diperhatikan, melirik ke arah jendela Ethan. Tatapannya bertemu dengan Ethan yang berdiri di sana. Ia tersenyum kecil, tetapi kali ini senyuman itu bukan hanya seka
“Ethan?” Suara Kalaya terdengar dari lantai bawah. Ethan segera mengatur napas dan berusaha menormalkan ekspresinya sebelum menjawab.“Iya?” Ia menjawab sambil turun ke ruang tamu. Kalaya sedang berdiri di depan cermin, memperbaiki riasannya. Ethan hanya meliriknya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain.“Kamu mau ikut ke acara makan malam nanti? Ada beberapa orang penting yang harus kita temui,” kata Kalaya tanpa menoleh.Ethan menggeleng pelan. “Aku rasa aku butuh istirahat. Pindahan ini cukup melelahkan.”Kalaya hanya mengangkat bahu tanpa memaksa. Ia sudah terbiasa dengan Ethan yang belakangan ini semakin sering menghindar dari acara-acara sosial. Baginya, itu tidak terlalu penting, selama ia tetap bisa menjalankan aktivitasnya tanpa terganggu.Saat Kalaya pergi meninggalkannya sendirian di rumah, Ethan kembali ke ruang kerjanya. Ia membuka tirai jendela sedikit, sekadar untuk melihat apakah Leva masih di luar. Wanita itu kini duduk di teras rumahnya, menikmati sege