Leandra mendengarkan penjelasan Tian dengan ekspresi tidak percaya.“Sebentar, bukankah permintaan mantan kekasih Bapak itu adalah tentang pendamping yang dia pilihkan sebagai penggantinya?”Tian mengangguk kalem.“Pendamping yang ditunjuk itu adalah Nezia,” katanya tenang. “Karena dia sahabat Celine, jadi begitulah ....”Leandra tambah semakin tak percaya rasanya, tidak menyangka kalau ternyata Nezia akan melakukan segala cara demi mengabulkan permintaan terakhir sang sahabat.“Kenapa Bapak tidak menerima Bu Nezia?” tanya Leandra ingin tahu. “Maksud saya ... dia tidak perlu menggunakan segala cara seperti ini seandainya Bapak menerima Bu Nezia.”Tian menggeleng.“Saya sudah tegaskan di awal kalau saya bukan barang, paham?” tukasnya. “Saya dioper ke orang lain setelah Celine pergi, memangnya itu adil?”Leandra menarik napas.“Ya ... Bapak punya hak untuk menerima atau bahkan menolak,” katanya sependapat. “Tapi tidak ada salahnya kalau—ini hanya seandainya, misal Bapak mau men
Tian terdiam cukup lama mendengar penuturan Leandra.“Semoga Bapak tidak tersinggung dengan semua ucapan saya,” ujar Leandra. “Saya begini juga ... karena memikirkan masa depan Bapak yang lebih layak dihabiskan bersama orang yang tepat.”Leandra menarik napas dalam-dalam, berusaha menyadarkan dirinya bahwa dia tidak bisa lagi egois setelah tahu kekurangan yang ada pada dirinya. Tian memang bukan calon suami yang buruk, tetapi dia tidak akan tega membiarkannya hidup tanpa penerus generasi.“Satu hal yang kamu juga harus tahu,” ucap Tian sebelum pergi. “Masa depan itu misteri.”Hati Leandra sesak bagaikan terimpit sebongkah batu besar ketika Tian menatapnya untuk terakhir kali sebelum pergi.Kenapa hati aku rasanya sakit sekali ya, pikir Leandra ketika dia tiba di kamar. Bahkan rasanya lebih sakit jika dibandingkan saat dia dikhianati Rendra.Sementara itu di kediaman orang tua Rendra ....“Aku kan sudah cuti dari kantor, jadi kalau aku mau beli sesuatu harus pakai uang kamu.” Si
Leandra hampir tidak pernah lagi melihat Tian mampir ke klinik sejak pembicaraan mereka yang terakhir, dia bertanya-tanya sendiri kira-kira apa penyebab sang bos tidak muncul.Untuk menghindari Nezia, atau justru Leandra?Memangnya siapa aku, batin Leandra seraya menghela napas panjang.Dia bukan tidak merasa bersalah karena telah menolak permintaan Tian, tapi hati kecilnya melarang demi kebahagiaan Tian itu sendiri.Leandra trauma dengan pernikahan sebelumnya, dia tidak ingin lagi mengalami pedihnya disudutkan untuk sesuatu yang di luar kuasanya. Karena itu dengan sangat terpaksa di menolak pinangan Tian, bahkan pasangan suami istri yang muncul lebih dulu untuk melamarnya.“Tante!” “Eh, kenapa ini?” Leandra langsung memeluk Ivana begitu tantenya membuka pintu.“Nggak apa-apa, Tante ...” ucap Leandra sambil melepas pelukannya. “Kangen.”Ivana geleng-geleng kepala dan menyuruh keponakannya untuk masuk.“Kamu kapan nengok orang tua kamu?” tanya Ivana sambil duduk di kursi de
“Aku kenapa nggak minta tolong saja sama Devi, ya?” batin Leandra dalam hati ketika dia sedang berdiri di depan klinik menunggu ojek datang. “Malas banget bertemu sama Silvi.”Ketika ojek yang dipesan Leandra datang, dia tidak memiliki pilihan lain dan segera naik untuk mengantarkan pesanan Silvi ke rumah Rendra.“Ini uangnya, tunggu sebentar. Nanti saya tambah ongkosnya,” pinta Leandra sambil turun dari motor dan segera masuk ke halaman rumah mantan mertuanya yang terbuka lebar.“Permisi!” ucap Leandra dengan nada formal. “Permisi, paket!”Kondisi rumah saat itu dalam keadaan sepi dan tidak tampak seorangpun.“Permisi, Bu Silvi? Bu Widi? Aku mau antar paket!” seru Leandra lagi.Tidak berapa lama kemudian, Silvi muncul dengan wajah mengantuk seraya meletakkan tangan di atas perutnya.“Vi, ada paket!” kata Leandra sambil menyodorkan barang pesanannya. “Total yang harus kamu bayar sekitar tiga ratus dua puluh ribu.”Silvi mengangguk.“Masuk dulu, aku mau ambil uang di kamar.” D
Leandra menerima uang itu dan menghitungnya, kemudian menyerahkan kembalian kepada Silvi. “Aku tidak akan diam saja kalau kamu sampai membuat aku dalam kesulitan,” ancam Leandra yang kesabarannya sudah setipis tisu.“Kamu takut ya, Mbak?” tanya Silvi dengan nada menang. “Bukan salahku, kamu datang di saat yang salah. Itu saja.”Leandra melempar pandang penuh benci kepada Silvi, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kediaman mantan mertuanya.“Lea? Eh, ada apa?” Ivana terkejut ketika keponakannya langsung menerobos masuk begitu dia membuka pintu.“Tante, aku ... kayaknya aku dalam masalah besar!” jawab Leandra gelisah sambil duduk di kursi.“Masalah apa lagi?” “Mantan mertua aku jatuh dari tangga,” jawab Leandra yang lantas menceritakan apa yang terjadi di kediaman orang tua Rendra.“... padahal aku Cuma antar pesanan dari klinik aku, tapi malah jadi begini ...” Leandra menutup ceritanya.“Licik sekali istrinya Rendra itu,” geram Ivana tidak habis pikir. “Kalau mereka bisa mem
“Apa? Rujuk sama kamu?” desis Leandra tak percaya. “Kamu jangan gila, aku mampu kok cari pengacara yang hebat.”Dia lantas mengambil ponselnya dan pura-pura menelepon seseorang.“Ya sudah, siap-siap saja kamu masuk penjara!” tepis Rendra. “Aku sudah kasih kamu kesempatan, tapi kamu nggak menganggap baik niat aku ini.”Leandra menghela napas, pikirannya mulai semrawut setelah mendengar ucapan Rendra yang seakan memberi racun dan penawarnya sekaligus.“Aku akan memikirkannya,” kata Leandra antara pasrah dan terpaksa.“Memikirkannya?” cemooh Rendra. “Kamu kira kamu punya banyak waktu? Seluruh saksi dan bukti pasti mengarah ke kamu, Lea. Kamu nggak punya pilihan selain menerima tawaran aku untuk rujuk.”Leandra tidak segera menjawab.“Gimana, kamu mau menerima tawaran aku atau enggak?” tanya Rendra lagi. “Aku belum bisa jawab sekarang,” kata Leandra sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. “Tapi pada intinya kamu pasti lebih percaya sama Silvi daripada aku kan?”“Menurut kamu?
“Mas, gimana?” tanya Silvi ketika Rendra tiba di rumah. “Ada perkembangan soal ayah kamu?”“Sepertinya ayah kena stroke,” jawab Rendra sekadarnya. “Entah, tadi aku cuma dengar sekilas saat ibu bicara sama dokter ... aku nggak terlalu fokus karena sempat mampir ke kantor polisi.”“Terus Mbak Lea gimana, jadi dipenjara?” kejar Silvi bersemangat.“Belum, tadi dia masih dimintai keterangan. Lea tetap pada keterangannya kalau dia nggak mendorong ayah sampai jatuh ke tangga.” Rendra menjelaskan dengan nada tidak puas.“Aku justru heran kalau Mbak Lea mau mengaku,” komentar Silvi sambil meraih lengan Rendra. “Namanya kejahatan pasti akan berusaha dia tutup-tutupi, aku sebenarnya juga nggak tega kalau dia sampai masuk penjara.”Rendra terdiam. Sejujurnya dia hampir-hampir tidak percaya kalau Leandra yang mencelakai sang ayah, tapi kesaksian Silvi dan Widi tentu tidak bisa dia kesampingkan begitu saja.Leandra harus dihukum setimpal jika dia terbukti melakukan kejahatan itu, batin Rendra
“Maksud Bapak?” tanya Leandra sambil menoleh.Bahkan di malam yang gelap sekalipun, dia masih bisa melihat wajah Tian yang tampak serius.“Kekurangan kamu masih bisa ditoleransi dengan mengadopsi anak,” jawab Tian logis. “Jaman sekarang teknologi sudah semakin canggih, uang bisa dicari untuk pengobatan atau terapi.”“Itu artinya Bapak masih mengharapkan keturunan dari saya kan?” sahut Leandra menyimpulkan. “Sedangkan dokter sendiri sudah cek dan memvonis saya mandul, Pak ... saya khawatir nantinya Bapak kecewa karena harapan itu tidak pernah akan ada untuk saya.”Tian belum sempat berkomentar karena tepat saat itu rekannya memanggil dari dalam mobil.“Wajib lapor seminggu tiga kali, jangan lupa.” Tian berpesan, setelah itu dia masuk ke mobil dan berlalu.Malam itu Leandra langsung masuk kamar dan tidur tanpa membersihkan wajahnya lebih dulu. Dia sudah sangat lelah, hingga panggilan Ivana untuk menyuruhnya makan pun tidak dia pedulikan.“Lea, cepat makan!” suruh Ivana berulang k
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
“Saya harap juga begitu,” timpal Tian, masih dengan ekspresi wajah yang tenang. “Apa maksud kamu?” “Sudah, Mas. Jangan diperpanjang, biar Pak Tian lapor polisi saja ....” “Maksudnya biar dia melaporkan aku ke polisi?” “Bukan melaporkan kamu, tapi melaporkan hilangnya Mbak Lea, Mas!” Silvi meralat, sedikit ngegas karena Rendra terlalu sentimen dalam merespons kata-katanya. Mendengar itu, Tian justru tersenyum samar. Dia punya dugaan, tapi dirinya berharap kalau dugaannya itu salah. “Tentu saja saya akan melaporkan kasus ini ke polisi, saya tidak pernah tahu siapa penjahat yang sebenarnya ....” “Kamu menuduh kami ya?” potong Rendra menahan marah. Tian geleng-geleng kepala. “Kenapa ya dari tadi Anda selalu merasa bahwa saya menuduh Anda?” Dia berkomentar. “Istri Anda saja berpikir lebih bijak, kenapa Anda sendiri memperturutkan emosi? Jangan membuat orang lain merasa makin curiga dengan sikap Anda ini.” Tian langsung meninggalkan kantor Rendra dengan perasaan tidak menentu, dia
Cittt!Suara decit mobil terdengar beradu pada halaman parkir ketika Tian menginjak rem, setelah itu dia turun dan berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumah.“Bik Asih! Pak Adi!”Pemilik nama yang pertama kali muncul adalah asih.“Pak Tian! Syukurlah Bapak pulang juga—Bu Lea, Pak!”“Pelan-pelan bicaranya, Bik! Sebenarnya apa yang terjadi sama Bu Lea?”Asih menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan ulang kejadian yang telah diceritakan Adi kepadanya.“Kalau begitu di mana Pak Adi sekarang?” tanya Tian yang tidak bisa menutupi rasa paniknya membayangkan Leandra bertemu orang jahat dalam keadaan hamil besar seperti itu.“Saya akan panggilkan, Pak!” Asih buru-buru menghilang ke halaman belakang rumah.Ketika Asih kembali bersama Adi, Tian bergegas mengajaknya pergi ke kantor polisi karena dia tidak mungkin menunggu hingga waktu dua kali dua puluh empat jam.Setelah melapor, Tian segera mengabari orang tua Leandra dan juga orang tuanya sendiri.Reaksi mereka tentu saja su
“Pak, saya kok khawatir sama Bu Lea!” Asisten rumah tangga Tian tergopoh-gopoh mendatangi penjaga sekaligus tukang kebun yang sedang bersih-bersih dekat pintu gerbang. “Kenapa, Bik? Saya juga ketemu tadi, Bu Lea bilang mau antar makan siang buat Pak Tian ... padahal kandungannya sudah sebesar itu.” “Coba susul, Pak! Minimal sampai Bu Lea benar-benar dapat taksi!” “Ya sudah, Bik! Saya jadi ikutan khawatir, takut lahiran di jalan ....” “Jangan bercanda, Pak!” “Bibik tenang, jangan bikin saya tambah panik begini!” Tukang kebun bernama Adi itu segera meletakkan sapu dan serokannya, kemudian terburu-buru menyusul Leandra yang sudah lebih dulu pergi. Leandra sedang berdiri di pinggir jalan besar yang terletak di depan gang perumahan untuk menunggu taksi yang lewat. “Kok tumben sepi begini,” batin Leandra dalam hati. “Bisa-bisa Mas Tian telat makan siang.” Leandra memandang arlojinya dengan resah, dia mulai lelah berdiri dan juga sedikit kepanasan. Tidak lama setelah itu, sebuah ta
Silvi mengamati sikap Rendra lebih teliti daripada hari-hari biasanya. Sejak keributan yang terjadi di rumah pribadi mereka beberapa waktu yang lalu, dia berusaha memberikan perhatian yang lebih baik kepada sang suami. “Kamu mau dimasakin apa, Mas?” tanya Silvi tepat ketika Rendra tiba di rumah. “Tumben kamu masak,” komentar Rendra dengan kening berkerut. “Memangnya salah kalau aku masak buat suami aku sendiri?” balas Silvi sambil tersenyum. “Sekalian aku juga mau masak buat ibu juga.” “Ibu aku ada sakit darah tinggi, kamu nggak bisa sembarangan masak.” Rendra mengingatkan. “Ya makanya ini aku tanya sama kamu biar nggak salah,” kata Silvi berusaha sabar, meski dalam hati dia ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Namun, apa pun akan dia lakukan supaya rumah tangganya dengan Rendra tetap utuh terlepas apa yang terjadi. “Aku sudah kenyang,” tandas Rendra sambil mengendurkan dasinya. “Ada bibik yang masak untuk makan malam nanti.” Sebelum Silvi sempat berkomentar, Rendra langsun
Leandra mengerjabkan matanya ketika Tian menunjukkan selembar undangan setelah pulang kerja. “Apa ini, Mas?” tanya Leandra tidak mengerti. “Kamu buka saja, tapi jangan kaget.” Tian berpesan. Karena penasaran, Leandra segera mengamati sampul undangan itu dan lantang terpana. “Dari Rendra dan Silvi!” katanya terkejut sembari membuka plastik yang melapisi surat undangan itu. “Syukuran Nayra ... anak mereka? Kapan kamu dapat undangan ini, Mas?” “Tadi aku mampir ke klinik dan dikasih Nezia,” jawab Tian. “Kamu mau datang atau tidak?” Leandra berpikir cukup lama sebelum menjawab. “Kalau tidak mau datang, tidak masalah.” Tian seolah mengerti kebimbangan yang dirasakan Leandra. “Aku malah heran karena mereka mengundang kamu, menurut aku aneh saja.” Leandra menatap suaminya. “Terus apa tujuan mereka mengundang aku ya, Mas?” Tian mengangkat bahu. “Mungkin mau menunjukkan sesuatu? Atau Rendra mau memastikan kalau kamu sebentar lagi akan punya anak?” Leandra tersenyum getir, apa saja yang
“Aku tidak ada hubungan apa pun sama Silvi.” Rendra menatap Denis tidak percaya, dia heran karena pria itu tidak segera angkat kaki dari rumah pribadinya. “Kita sudah bahas ini sejak pertama kali kamu mencurigai aku ada apa-apa sama Silvi,” kata Denis melanjutkan. “Sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku bukan orang ketika di antara kalian.” Rendra mendengus pelan. Pagi itu dia sengaja mampir ke rumah pribadinya sebelum berangkat kerja, dan siapa sangka kalau Denis masih punya muka untuk tetap tinggal di sana hingga masa sewa selesai. “Maling mana ada yang mau mengaku,” kata Rendra datar. “Kamu ini lucu sekali,” komentar Denis. “Justru karena aku terbukti tidak salah, aku masih berani tinggal di rumah ini karena masa sewanya masih tersisa ... Bukankah kita juga sudah sepakat di depan satpam perumahan? Kalau aku terbukti salah, mereka pasti sudah mengusirku dari kemarin.” Rendra menatap Denis dengan penuh curiga, tapi pria itu terlihat tidak terganggu sama sekali. “Sudah selesai masa