Bab 76Setiap manusia membawa takdirnya masing-masing. Hidup mati semua sudah digariskan oleh yang kuasa. Begitu pun dengan Mas Agung, yang pada akhirnya menyerah pada takdirnya. Lelaki itu meninggal tepat ketika aku melafalkan doa-doa di telinganya.Mas Agung meninggal. Menyisakan kesedihan pada orang-orang yang ditinggalkannya. Termasuk padaku, Adi, orang tua dan seluruh kerabat. Tidak ada yang menyangka lelaki berusia 36 tahun tersebut harus kembali kepada sang pencipta, dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.Wajah Yuda yang marah karena aku menghindarinya dan terpaksa memilih pergi untuk menenangkan diri ke kampung halaman, hadir saat pemakaman tiba. Lelaki itu menghampiri dan terus mencoba untuk menenangkan Adi yang bersedih, dan tidak mau menghentikan tangisan di depan pusara Mas Agung yang telah tertimbun tanah."Maafkan aku, Mbak, aku tidak tahu jika pada akhirnya–""Sudahlah, Yud, ini bukan salahmu. Lagi pula kamu tidak melakukan kesalahan apapun," kataku sambil meningg
Bab 77Pada akhirnya setelah memikirkan keadaan yang terjadi, aku memutuskan untuk menerima Yuni bekerja di tempatku. Selain alasan kemanusiaan, aku juga merasa kasihan padanya. Hidup tanpa orang tua, dengan dua anak dan tanpa suami, tentu saja membuat wanita itu merasa sedih dan kekurangan biaya. Setidaknya aku yang tidak bisa memberi apa-apa, bisa menawarkan pekerjaan yang halal untuknya. Agar mereka juga tidak kesulitan untuk bertahan hidup. Selain itu, Adi juga jadi punya teman, yaitu Dea yang setiap hari selalu mengajaknya bermain dan belajar bersama, sambil mengasuh bayi kecil yang menurut Yuni usianya baru menginjak tiga bulan. Bayi kecil yang lucu, yang bentuk wajah dan hidung serta bibirnya mirip dengan Mas Agung dan Adi. Sesekali kupandangi mereka yang tampak asik dengan bercanda sambil memainkan permainan. Dan tanpa terasa aku terharu melihat ketiganya, yang sama-sama tidak memiliki ayah, dan hanya memiliki seorang ibu yang single parent sepertiku dan juga Yuni. Bed
Bab 78Aku menatap Andreas tak percaya saat ini, mendengar apa yang dituturkan oleh mulutnya barusan. Ternyata penyakit Amira memang tertular dari ibunya sendiri."Gaya hidup Winda yang kelewat batas dan jauh dari hal-hal baik, menyebabkan Amira terkena dampaknya. Wanita itu selain gemar mabuk-mabukan juga sangat gemar sekali merokok, bahkan berbungkus-bungkus rokok dihabiskan dalam waktu satu hari tanpa henti. Wanita itu juga sering begadang dan kumpul-kumpul dengan teman-temannya yang tidak berguna itu, dibandingkan bersama dengan anak dan suaminya di rumah." Kelihatan tangan Andreas mengepal kuat saat menuturkannya. Mungkin dia masih menyimpan kekesalan kepada wanita yang bernama Winda barusan."Oh ya, ngomong-ngomong dimana wanita itu sekarang? Apakah kalian sudah berpisah?""Dia meninggal karena overdosis saat pesta minuman di salah satu hotel mewah bersama teman-temannya. ketika itu, Amira baru berusia 2 bulan. Winda sering marah dan stres karena berat badannya naik drastis.
Bab 79Angin dingin berhembus di penghujung bulan September, saat terdengar suara ketukan pintu dari arah depan, dan mau tak mau membuatku harus membukanya."Ada paket, Bu." Seorang kurir mengangsurkan bingkisan dan sebuket bunga mawar."Tapi aku merasa tidak memesannya, Mas." Jujur aku merasa heran tiba-tiba mendapat mawar sepagi ini dengan bingkisan yang dibawanya. Lelaki yang tengah mengenakan jas hujan dan helm itu, hanya tersenyum menatap ke arahku. Senyum polos yang cukup menggemaskan. "Saya hanya disuruh untuk mengantar, silakan diterima.""Baiklah." Akhirnya dengan terpaksa kuterima bingkisan itu dan buru-buru segera masuk ke dalam rumah, karena udara dingin dari rintik air hujan membasahi tubuhku yang saat ini tidak mengenakan payung. Kuletakkan bingkisan itu di atas meja, sebelum akhirnya membuka sweater dan kerudung yang kupakai barusan, karena basahnya hampir menembus ke dalam kulit kepalaku.Rupanya mawar putih itu dikirim oleh Andreas. [Selamat ulang tahun, Indira. K
Bab 80Akhirnya sampai juga ke tempat yang dituju. Disana Andreas dan Amara sudah menunggu."Indira …."Entah apa yang dilihat lelaki itu dariku. Mamun matanya seperti berbinar saat menatap ke arahku, dengan penampilanku yang memang membuatku merasa berbeda kali ini. Gaun panjang berwarna hitam dengan taburan swarovski di bagian dada, ditambah dengan kerudung warna senada, membuat mata Andreas dan juga Amara seperti terpukau. Anak kecil itu mengangkat dua jempol untukku."Cantik." Satu kata keluar dari bibir Andreas. Dengan mata yang tak berkedip dia mendekat dan mengangsurkan setangkai mawar merah ke arahku. Dengan ragu kuraih juga pada akhirnya. Aku memang tersenyum, tapi jujur merasa pujian itu tak membuatku senang."Mama sangat cantik sekali. Iya kan, Pa?" puji Amara sambil kudekati gadis itu yang seketika kusentuh tangannya tapi langsung terasa sangat dingin. "Iya, sangat cantik.""Makasih Amira dan
Bab 81Pelukan Yuda terasa tenang, saat dia menyergapku masuk ke dalam pelukannya, membuat sanubariku nyaman saat mendengar lembut ucapannya."Sudah, jangan menangis lagi. Setelah ini kamu harus bahagia. Kalau perlu aku akan menikahimu segera, agar jangan sampai lelaki itu mengganggumu lagi dengan alasan anaknya yang tengah sakit itu. Karena jujur aku tidak sesabar itu untuk menghadapi kalian. Terutama menghadapi kamu yang selalu polos dan mau saja diajak pergi kemanapun oleh lelaki beranak satu itu!" "Aku hanya kasihan kepada anaknya, lagi pula aku tidak punya perasaan apapun kepada Andreas. Dia juga tidak pernah mengatakan apapun padaku tentang perasaannya, dan kupikir dia melakukannya hanya demi Amira saja."Yuda melerai pelukannya, dan langsung menjawil hidungku dengan gemas. Dapat kudengar dia menghela nafas lega."Kamu itu kalau dikasih tahu selalu tidak menurut, dan selalu melihat dari pandangan kamu sendiri. Padahal aku mengatakan semua ini, karena aku sayang padamu dan aku m
Bab 82"Meskipun Mas Agung memilih menyerahkan semua itu pada kamu dan anakmu, tapi kalian tidak sepenuhnya berhak. Setidaknya berikan bagianku juga, karena aku juga sangat membutuhkannya! Jangan jadi wanita serakah, Mbak!!" Zahra bicara sambil menggebrak meja. Aku memundurkan posisiku saat Yuda menarik tanganku perlahan. Zahra terlihat sangat emosi. "Kau boleh mengambil semuanya jika memang uang dan properti itu ada di tanganku. Tapi, seperti yang kau lihat, aku tidak memegangnya sama sekali. Bahkan aku tidak mengetahui dari mana almarhum Mas Agung mempunyai uang dan properti itu. Mungkin kau bisa menjelaskannya?!" Aku membalikkan ucapannya. Saat Zahra menata lekat pada manik mataku. Namun aku tidak gentar, meski sepertinya perempuan itu tengah mencari kebenaran dalam mataku. Tapi tentu saja kuharap dia tahu jika aku memang tengah berkata jujur.Wanita itu mendengus seperti kesal kemudian menarik nafas panjang dan membuang muka."Baiklah, jika kamu benar-benar tidak mengetahuinya.
Bab 83"Mbak Indira, ada perkelahian di depan." Anton, salah seorang pegawai di toko yang tadi pamitan pulang, berseru dari pintu penghubung. Aku dan Bu Dian langsung berpandangan."Siapa?" tanya Bu Dian sambil bergerak ke depan. Aku turut mengekor di belakangnya. Rasa penasaran langsung mendera, takut jika Yuda dan Andreas lah yang bertengkar, mengingat tingkah mereka yang seperti 'Tom and Jerry'."Pak Yuda dan temannya Mbak Indira, Bu." Nah kan, sudah kuduga kedua orang itu yang bertengkar."Ayo Indira, kita lihat," ucap Bu Dian yang langsung kubalas dengan anggukan kepala. Tak sabar rasanya ingin melihat mereka kenapa sampai bertengkar seperti itu.Benar saja, di depan sana, tepatnya di parkiran. Yuda dan Andreas sedang saling adu kekuatan di atas tanah entah sedang memperebutkan apa. Yang jelas, amarah keduanya seperti tidak terbendung, bahkan ketika beberapa orang mulai melerai keduanya dan menarik agar menjauh. Terlihat nafas keduanya masih ngos-ngosan dan saling emosi."Ada ap