Bab 20Sudah dua jam lamanya, kami bertiga berkeliling berjalan-jalan dari satu toko ke toko lainnya, hingga kaki terasa pegal dan akhirnya memilih duduk di bangku tunggu sambil melihat Adi bermain mandi bola.Yuda masih setia mengikuti kebersamaan kami. Dia pun tampak tidak keberatan membawa barang-barang belanjaan, yang isinya kebanyakan mainan kebutuhan sekolah dan baju-baju yang kubeli untuk Adi. Kami sudah seperti suami istri dan anak."Kamu nggak bosen ngikutin kami terus? Jika kamu bosan sebaiknya pergi saja. Atau kamu mungkin mau ketemu lagi sama Anisa," kataku sambil menatapnya karena tak enak hati jika terus-terusan diikuti olehnya. Lagipula kami bukan siapa-siapa bagi Yuda. Dan rasanya aneh dan sedikit risih duduk berdekatan dengannya, meskipun Yuda terlihat sama sekali tidak keberatan sepertinya."Memangnya kenapa sih, kalau aku ngikutin, Mbak? Apakah ada yang salah ya?" Yuda tersenyum manis menetap dalam manik mataku. Aku segera membuang pandangan ke arah lain. Risih seka
Bab 21Apa sebenarnya yang dipikirkan lelaki itu hingga dia berani sekali menyuruhku untuk memasak makanan untuk teman-temannya yang sama sekali tidak kukenal itu. Ingatanku tertuju pada hutang Mas Agung yang sangat besar. Apakah mereka salah satu teman-teman Mas Agung yang sama-sama tukang judi. Entahlah, tapi sepertinya mereka memang bukan orang baik-baik, terlihat dari cara mereka bertamu, sama sekali tidak menghormati tuan rumah.Mas Agung dan Zahra pun cenderung tidak berbaur dengan mereka di depan dan lebih memilih berdiam diri dalam kamar. Sesuatu hal yang sangat aneh menurutku.Aku menghampiri Adi di kamarnya. Anak itu tampak sedang belajar dengan serius. Segera kuhampiri dan duduk di atas ranjangnya yang berwarna biru."Belum beres belajarnya, Di.""Belum, Bu. Sedikit lagi." Anak itu kembali melihat buku pelajaran.Aku menunggunya sambil berbaring menahan rasa kantuk yang luar biasa, mungkin efek kelelahan setelah jalan-jalan seharian tadi makanya mataku terasa berat.Entah
Bab 22Bu Dian yang telah kukirimi pesan sebelumnya, tiba di rumah bertepatan dengan saat Adi hendak berangkat ke sekolah."Aku berangkat sekolah dulu ya, Bu," kataanak itu menyalamiku dan langsung pergi."Indira, kenapa rumahnya berantakan begini?" tanya wanita yang berusia 37 tahun itu melihat ruang tamu yang berserakan."Itu semalam ada temannya suami, makannya belum aku beresin," kataku sambil tersenyum dan mengajaknya ke dapur."Tumben biasanya kamu paling rajin dan rumahnya selalu terawat bersih," katanya dengan kerutan di keningnya. Mungkin heran karena kebiasaanku yang selalu bersih dan tak suka dengan rumah yang berantakan. Tapi tidak kali ini, aku akan membiarkan semuanya sampai Mas Agung dan Zahra yang membersihkannya sendiri, agar mereka tahu rasanya merawat rumah agar terawat itu seperti apa."Ya udah yuk, sekarang kita bikin adonan, banyak banget lah pesanan hari ini.""Kalau soal kerjaan mah sia
Bab 23"Mbak kan yang tadi masuk ke rumahku, terus mencuri uangku! Ayo ngaku, Mbak. Dasar pencuri!!" tuding Yanti sambil menunjuk tepat ke wajahku yang menganga mendengar penuturannya yang tidak masuk akal itu. Mencuri? Yang benar saja. Seumur hidup aku tidak pernah mencuri uang siapapun, apalagi itu uang Yanti di rumah mertua pula. "Hei, Yanti. Kenapa kamu menuduh Mbak tanpa alasan!?" kataku merasa tidak terima dengan tuduhannya yang keji itu. Lagi pula pula dari mana dia punya uang. Bukankah dia hanya seorang pengangguran selama ini. Bahkan kuliah pun tidak benar dan kerjaannya hanya kumpul-kumpul tidak jelas bersama dengan teman-temannya yang sama-sama begajulan."Aku tidak menuduh Mbak. Kata tetangga, Mbak barusan masuk ke rumahku bukan, terus disaat yang bersamaan uangku juga hilang. Lalu jika bukan Mbak, siapa lagi yang mencurinya. Lagipula Mbak itu pasti tidak dinafkahi oleh Mas Agung karena dia sekarang sudah punya Zahra?!" tudingnya
Bab 24Aku segera pulang ke rumah saat mentari sore hampir tenggelam. Bersama dengan Adi diboncengan, setelah tadi Bu Dewi dan Yuda ikut menenangkanku yang tersulut emosi.Dasar anak itu kurang ajar sekali, berani-beraninya dia mempermalukanku dan berusaha memfitnahku. Awas saja jika sampai Ayah Mertua mendengarnya dan mengatakan hal lain, aku tak segan-segan menamparnya di depan keluarganya sendiri. Aku tidak peduli.Setelah beberapa menit melewati perjalanan, akhirnya sampai juga di rumah. Terlihat pintu yang terbuka dan tampak jelas terdengar suara orang tengah mengobrol di dalam.Ternyata orang yang kemarin bertamu tidak sopan itu kembali datang ke rumah dengan formasi yang sama. Lima orang. Dan dengan tak tahu malunya mereka mengobrol sambil tertawa keras dan mengepulkan asap dari mulut mereka.Karena tak kulihat keberadaan Mas Agung dan Zahra, baiklah, kita lihat bagaimana jika aku bereaksi kepada mereka dan memberi sedikit pelajara
Bab 25Benar saja, pada akhirnya Mas Agung menuruti semua perintahku. Meskipun istrinya terlihat bermalas-malasan dengan wajah cemberut seperti tidak ikhlas dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal itu bekas kekacauan yang telah diperbuat oleh tamu Mas Agung, harusnya dia tahu diri.Aku sengaja duduk di sofa ruang tamu yang telah di lap oleh Mas Agung sebelumnya, sambil membuka ponsel dan melihat semua pesan yang masuk ke nomorku dari para pelanggan. Sebagian mereka merasa puas atas kue dan donat yang kubuat dan kukirimkan pada mereka tepat waktu.Alhamdulillah, aku bersyukur jika hasil yang kukerjakan tidak sia-sia, karena bagiku kepuasan pelanggan adalah tujuan utama. Lagipula kue-kue dan donat yang kujual harganya pun lumayan agak mahal karena terbuat dari bahan-bahan kualitas premium, tapi terjamin kualitasnya."Enak sekali ya, duduk-duduk tanpa ngelakuin apapun," cibir Zahra sambil berkacak pinggang dan melemparkan sapu ke arahku. Untunglah tidak sampai kena.Aku masih duduk s
Bab 26Kupandangi mereka satu-persatu."Kenapa kalian diam?! Tunggu apa lagi, cepat bereskan sisanya yang belum tuntas," hardikku, menatap tajam kepada Zahra dan Mas Agung agar mereka tahu bahwa perkataanku tidak main-main. Masa bodo dengan ucapan ayah Zahra barusan. "Jika kalian mau tinggal di rumahku, maka harus mematuhi apa yang kusuruh dan jangan pernah membuat rumahku berantakan. Kalian dengar?""Apa kamu tidak mendengar apa yang Papaku tadi bicarakan, Mbak!? Sepertinya kupingmu budek hingga kamu tidak bisa menyimak dengan baik apa yang Papaku ucapkan." Zahra bicara masih dengan sikap sombongnya sambil berkacak pinggang. Dia pikir aku takut sama ancaman mereka yang sama sekali tidak mempengaruhiku itu. No!"Aku tidak peduli apa yang ayahmu katakan dan apa yang dia rencanakan. Ini rumahku dan sudah seharusnya kamu dan suamimu itu mengikuti aturan di rumah ini. Lagi pula ancaman ayahmu itu hanya kuanggap seperti dengungan lalat di telingaku.""Mbak!! Kamu benar-benar keterlaluan k
Bab 27Waktu masih menunjukan pukul dua pagi, saat sayup-sayup kudengar suara desahan dari kamar tamu. Siapalagi kalau bukan ulah Zahra dan Mas Agung.Ya Tuhan, rupanya mereka lagi bermesraan. Padahal sudah kuperingatkan wanita itu. Tapi sepertinya ucapanku hanya angin lalu yang masuk telinga kanan, dan keluar dari telinga kiri. Benar-benar bebal mereka.Gegas kuhampiri dan berdiri di depan pintu kamar tamu itu sambil menajamkan telinga. Suara desahannya semakin jelas terdengar, membuatku jijik kala mendengar erangan dua sejoli yang tengah mendaki asmara tersebut."Ih geli, deh. Kamu kuat banget, Yang." Suara manja dan tawa renyah Zahra terdengar jelas masuk ketelinga, disusul suara manja cekikikan."Tapi suka kan?" tanya lawan mainnya, suaranya lebih lembut kali ini, seperti bukan suara Mas Agung yang khas."Iya, tapi pelan-pelan saja." Lagi, Zahra menjawab manja."Biasanya juga heboh," timpal lelaki itu dengan suara serak dan bergairah disaat bersamaan."Stt! Diam deh, jangan berisi