"Mam, Mam!" panggilnya mencari Jenny di sekitar parkiran mobil. Namun, Jenny sudah tidak ada di sana.
"Untuk apa berlarian seperti orang gila di situ?" teriak Aland berdiri berkacak pinggang, wajahnya tampak mengeras."Orang gila? Kau yang gila! Apa yang sudah kau rencanakan padaku, hakh? Kau pikir aku tidak mendengar semua percakapanmu dengannya tadi?" sahut Miley berteriak dari jarak mereka yang tidak dekat. Suara teriakan keduanya menggaung dari pantulan bunyi suara di dinding basemen yang tertutup."Hahaa, lucu sekali, Sayang. Tapi kenapa tadi kau diam saja di dalam mobil?" ejek Aland mendekati Miley yang gusar di balik salah satu mobil mewahnya, lalu, berhenti nyaris tidak berjarak dengannya.Aland merentangkan kedua tangannya di mobil tempat Miley menyandar, hingga gadis itu terkurung di kedua tangannya. "Kenapa tidak bisa menjawab, Sayang? Apa kau begitu cinta padaku hingga mamamu saja kau abaikan?""Tutup mulutmu itu!" berangnya merasa terhina dengan ucapan Aland barusan. "Hanya orang gila yang menyukai pria psikopat sepertimu!"Miley menelan liurnya, menatap tajam ke wajah Aland yang cuma senyum-senyum kecil."Benarkah? Buktinya kau lebih mendengarku ketimbang menemui Jenny tadi , Sayang! Padahal kau pun tahu, dia bisa memberimu ongkos pulang. Yahh, mungkin juga bisa mengganti ponselmu. Hahaa! Karena cuma lembaran ongkos pulangmu, itu kecil baginya!"Miley terdiam, seperti mencerna kebenaran ucapan Aland tersebut. Ia tidak bisa membohongi hatinya kalau ia tidak menyukai Jenny menyentuh Aland tadi. Ia juga lebih mendengar Aland yang menyuruhnya di dalam mobil, padahal jelas-jelas mendengar, Jenny ke sana untuk mencarinya.Tapi ... mengapa mamanya itu malah mencarinya pada Aland? Selama ini dia juga tahu hubungan mereka tidak baik. Apalagi mendengar Jenny menuduh mereka punya hubungan."Apa dia tahu aku bekerja padamu?" tanyanya, karena tidak mungkin Jenny tahu kalau Aland tidak memberitahunya. "Atau mungkin kau mengaku yang gak-gak padanya?" Miley mengerutkan dahi, ia yakin Aland punya rencana buruk terhadapnya sampai berbohong pada Jenny dengan mengaku-ngaku mereka memiliki hubungan. Untuk itu jugalah selama ini Aland mencarinya, seperti pengakuannya."Aku tidak mengatakan apa-apa padanya, Miley," jawab Aland lebih lembut, kemudian menurunkan tangannya dan menuntunnya. "Ayo, aku khawatir mereka terlalu lama menunggu kita," tambahnya membuka pintu mobil untuknya.Miley bak kerbau di cucuk hidung itupun ternganga dengan sikap hangat Aland. Belum hilang dari ingatannya, baru beberapa menit lalu mereka saling meneriaki. Juga sakit di puncak kepala dan pinggangnya masih terasa sakit akibat sikap kasar Aland tadi. Ia juga tidak bertanya ke mana Aland akan membawanya.Tapi sikap Aland yang sangat hangat dan lembut seperti itu, mampu melupakan amarah dan rasa sakitnya tadi. "Bukannya kita mau pulang?" tanya Miley hati-hati takut membuat Aland tersinggung dan sikapnya berubah. Bagaimanapun ia terlanjur nyaman dengan kehangatan saat ini."Belum, Sayang. Kita masih ada pertemuan kerja di sini."Miley menoleh padanya, jelas kaget mendengar jawaban Aland itu. Bukan soal pikirannya yang keliru- yang tadi berpikir mereka akan pulang hari ini, tapi kehangatan dan kelembutannya.Miley menumpulkan pandangannya di wajah Aland, berpikir mungkin pria itu hanya meledeknya."Iya, aku berjanji setelah urusan selesai, kita segera pulang."Miley meneguk salivanya, kenapa dia? Ia pun hanya bisa menjawab, "Ng ... i- iya, tidak apa-apa.""Yah?" tanya Aland menoleh padanya. Seolah tahu dengan jawabannya.Melihatnya juga mendadak lembut, mungkin Aland juga merasa aneh dengan sikapnya. Padahal wajar saja Miley marah padanya karena telah menyakitinya."Maafin aku," ucap Aland bersiap mengemudi mobil."Iya, tapi aku bisa bertanya?"Aland kembali menoleh padanya. Raut wajahnya tampak cemas seperti ada hal yang dia takutkan dari pertanyaan Miley. "Iya?""Kenapa kamu membawaku kemari untuk bertemu Jenny? Seharusnya kamu bertanya dulu sebelum ke Paris," kata Miley berpikir saat ini mereka memang ada di Paris. Ia berpikir begitu karena pengakuan Aland waktu itu, Jenny tinggal di Paris bersama suami barunya."Paris? Kamu bermimpi, Sayang?" tanya Aland meraih sesuatu dari dashboard mobil ketika mobil mereka mentok di tembok basemen.Klikk ... tembok yang tadi menyatu perlahan terbelah menjadi dua bagian.Miley tergeleng-geleng melihatnya, dalam hati ia mengagumi kemewahan Aland. Pantas saja sejak tadi ia tidak melihat pintu atau tangga di sana. Nyatanya Aland telah memfasilitasi rumahnya itu dengan kerja sistem remote control."Nah, lihat! Diluaran sana masih hujan salju, meski sudah lebih baik dari hari lalu. Itu artinya kita masih di Jepang ini, Sayang," ucap Aland menekan kembali remote untuk menutup pintu basemen. "Kamu juga tahu, di bulan sekarang tidak mungkin ada salju di Paris, Sayang."Hakh! Mana tahu bulan berapa sekarang? Kapan mereka tiba, atau sudah berapa lama di Jepang saja ia tidak tahu! Mustahil juga tahu musim apa di Paris saat ini. Selama ini ia berpindah-pindah tempat dalam kondisi tidak sadar, entah itu tertidur atau pingsan, karena obat tidur tetes atau suntik, Miley tidak tahu sama sekali."Tapi kamu bilang waktu itu Jenny tinggal di Paris, 'kan? Jadi kalau kita masih di Jepang, berarti kamu yang menyuruhnya kemari?"***Aland gugup, tidak tahu harus menjawab apa pada Miley. Bahkan dia sendiri juga sempat kaget ketika Jenny tiba-tiba menelepon sudah ada di Jepang, dan ingin bertemu dengannya.Memang sebelum mereka bercerai, Aland pernah berjanji kepadanya untuk mencari keberadaan Miley. Dan, setelah dia bertemu dengan Miley, dia pun seolah lupa janjinya dulu kepada Jenny.Rasa rindu dan cintanya kepada Miley yang semakin besar, membuatnya melakukan segala cara untuk membuat Miley tetap bersamanya. Dia bahkan berjanji tidak akan pernah melepas Miley lagi. "Aku tidak menyuruhnya kemari, Sayang."Siapa juga yang bisa percaya itu. Miley bisa melihat sendiri pertemuan Aland dan Jenny tadi bukan cuma kebetulan, tapi sudah di rencanakan. Bukankah Jenny mendatangi rumah Aland?"Tunggu, tadi kamu bilang itu rumahmu?" tanya Miley penuh selidik. Dan dijawab anggukan cepat dari Aland. "Lalu, kenapa selama ini kau membawaku tinggal di hotel?" Lagi tanyanya merasa aneh saja harus menginap di hotel padahal punya rum
Aland membatu. Pertanyaannya tadi sama saja membunuh dirinya. "Eh, m- maksudnya apa ada orang yang tahu kamu bekerja padaku?"Miley menggeleng lemah. Selama ini ia menyembunyikan lamaran kerjanya ke perusahaan Aland Corp dari teman-temannya. Ia malu karena modal nekat saja menjatuhkan lamarannya ke sana- yang kebetulan menawarkan gaji yang fantastis.Ia malu berkali-kali gagal diterima di perusahaan lain. Juga ia tidak yakin akan diterima bekerja di perusahaan Aland Corp, karena sama sekali tidak berpengalaman sebagai sekretaris pribadi."Kekasihmu mungkin?" tanya Aland menaikkan alisnya, bukan seperti bertanya tapi lebih ingin menyelidiki kehidupan pribadi Miley."Aku tidak punya kekasih," jawab Miley memang selalu miris dalam masalah percintaan. "Ohh, benarkah?" Melihat hanya Miley mengangguk, Aland tersenyum manis. Tapi Miley tidak peduli Aland akan mengejeknya karena itu. Miley mengikuti Aland masuk ke sebuah restoran, ia juga tidak menolak saat Aland merangkul mesra pundaknya.
Aland mengulum senyum. "Aku baik-baik saja, Miley! Tidak perlu khawatir." Miley menikmati sentuhan lembut tangannya di lengan berbulu halus Aland, perasaannya begitu mudah berubah-ubah. Entah bagaimana perasaannya bisa begitu peka hanya dengan kulit tangannya yang bersentuhan kulit tangan pria- yang ia katai psikopat, pria gila, dan buaya itu."Tentang Jenny tadi?" tanya Miley mulai berani mempermainkan jemari lentiknya di bulu-bulu halus yang menutupi kulit tangan kekar Aland."Tidak ada apa-apa, Sayang. Mungkin Jenny hanya salah paham saja." Sepertinya, Aland masih peduli pada Jenny. Padahal tadi ia juga mendengar jelas, Jenny tengah mengancam Aland dari pengakuan kedua pengawal tadi. Apa dia masih menyimpan perasaan sama Jenny? Tiba-tiba saja hatinya terasa dongkol dengan rasa campur aduk yang sulit ia gambarkan.Sepanjang perjalanan Miley banyak membisu. Aland juga seolah larut dengan pikirannya. "Apa kamu ingin sesuatu sebelum pulang?" tanya Aland tanpa melepas pandangannya da
Bukannya menjawab. Bibirnya yang sibuk memberikan kecupan di kedua pipi Miley, bergerak cepat menerkam bibir merah jambunya, lantas menguncinya. Miley dengan kesadaran masih separuh itu, antara masih dalam mimpi atau terbangun dari tidur. Empot-empotan sampai kesulitan bernapas. Ia memukul-mukul dada Aland agar pria nakal itu memberinya ruang untuk mengisi oksigen ke dalam paru-parunya. "L- lepaskan! Aku kesulitan bernapas! Hah, hah, hah," pinta Miley saat memiliki ruang untuk bersuara dengan napasnya terengah-engah."Sayang ... aku tidak bisa menahannya lagi," desisnya memelas di sela napasnya yang masih memburu. Wajahnya juga tampak memerah menahan hasrat liarnya. Namun, segera dijawab sarkas. "Apa yang sudah kau lakukan?" berang Miley bergerak cepat menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya, sesaat setelah menyadari tubuh bagian atasnya terpampang tanpa penutup. Wajahnya memerah antara merasa malu dan marah, tetapi tatapan nakal A
"Lepaskan! Sakit, Aland!" Miley meringis ketika kepalanya dengan sengaja diapit dikedua lutut kaki Aland. Suara berdengung keras terasa di gendang telinganya, rasanya kepalanya seperti akan meledak karena itu. Miley tidak berani mengangkat wajahnya, sebenarnya ia tahu apa yang direncanakan Aland, dengan mengapit kepalanya di sana. Ia yakin dengan mengangkat wajahnya saja, bibirnya akan bersentuhan dengan aset pribadi Aland."Arghh! Brengsek!" geram Aland mendorong Miley dengan lututnya.Miley terus menyurut mundur menjaga jarak dari Aland. Hatinya sedikit lega terlepas dari rasa takut dalam pikirannya tadi.Namun, pria itu kembali berjalan santai dengan tubuhnya yang masih bertelanjang bulat. Tanpa merasa risih kendati Miley terus menjauhkan pandangan dari aset pribadinya yang menegang itu. "Mungkin kau lebih menginginkan ini, Sayang?" kata Aland menyerempet dirinya yang mentok di sudut ruangan. Seraya menunjukkan botol kecil yang
Miley tidak lagi memikirkan Aland yang bisa saja merendahkannya karena itu. Rasa aneh itu terus berkejaran dalam dirinya, memaksanya ingin mengulang aktivitas mereka tadi."Miley!" hardik Aland memutar dengan menepis tangannya. "Jaga sikap murahanmu itu!" Aland mendorongnya ke belakang. "Aku tidak mau melihatmu bersikap begitu lagi!" Lagi marahnya menatapnya dengan kebencian."Apa yang salah? Kau bilang sudah biasa melakukannya? Sekarang kau tidak perlu mencekoki minumanku dengan obat tidurmu itu. Kau bisa melakukannya sekarang denganku." "Shit, aku bilang hentikan kegilaanmu itu, Gadis bodoh! Kau tahu Miley, saat ini aku tidak punya waktu berdebat denganmu!" Aland memunggunginya. "Segera tutupi tubuhmu itu!""Hahaa! Apa kau takut membuktikan ucapanmu tadi, Aland?" tantang Miley mendekat, dan berhenti saat mereka sudah berhadapan. Ia semakin berani mempermainkan dasi Aland di sela kerah kemejanya. Jemari lentiknya perlahan turun menye
"K- kita mau pindah hotel?" "Tidak, tapi kita pulang sekarang, Sayang," jawab Aland tanpa menolehMiley terbelalak mendengarnya. Bola matanya bergeser ke jam dinding. "Kenapa tidak menunggu besok pagi saja, Aland?""Kita harus meninggalkan hotel ini sebelum Jenny tiba kemari, Sayang.""Hahk! Untuk apa dia kemari?" "Untuk mencari tahu kalau kamu ada bersamaku saat ini. Jenny mengotot kalau kita sudah memiliki hubungan sebelum perceraian kami waktu itu.""Gila! Urusannya, kamu dengan siapa saat ini, apa? Bukankah dia sudah punya suami? Dia juga tidak ada urusan dengan siapa aku berhubungan dekat?" Miley tidak senang Jenny seolah ingin mengurusi kehidupannya saat ini. Padahal dulu ia diusir, hingga ia hidup melarat pun mamanya itu tidak mencarinya."Sudah selesai?" tanyanya memperhatikan Miley."Kenakan mantelmu, di luar sangat dingin."Miley mengangguk dan mengikutinya keluar. Di lantai bawah mereka tel
"Maafin aku," ucap Aland tidak menyangka rasa cintanya yang besar telah mengubah dirinya menjadi seorang monster bagi Miley. "Tidak perlu minta maaf. Aku cukup minta satu hal padamu," ujarnya, karena itu yang ia takutkan saat mereka tiba nanti. Ia bingung akan tinggal di mana nantinya. "Yah, apa itu?""Izinkan aku tetap tinggal di apartemen kemarin. Kamu bisa memotong uang sewanya dari gajiku nanti."Aland tersentak, hatinya teriris mendengar itu.Dia tidak menyangka Miley sampai kepikiran ke sana. Padahal dia sendiri yang membuang ponsel dan dompetnya, yang sebenarnya dia tahu cuma itu barang milik Miley. Aland tidak berhenti mengutuki dirinya hanya menyulitkan Miley karena rasa cintanya yang semakin menggila. Rasa takut kehilangannya membuatnya menjadi egois. Beruntung saat ini Miley masih sabar dengan sikap gilanya itu."Maaf, apartemen tempatmu itu sudah ditempati orang lain," dustanya hanya karena tidak ingin M