“Kantor polisi?” Wajah cerah Seruni mendadak berubah semuram pagi tanpa cahaya matahari. Untuk apa lagi ke kantor polisi? Ia sudah memberikan semua informasi yang diketahui, tidak ada yang tertinggal.“Kasus kamu itu belum selesai.” Bram menempelkan bibir di gelas dan meneguk jus jeruk perlahan, membiarkan rasa manis dan sedikit asam tertinggal di mulut seraya menatap paras Seruni.Gadis itu tampak manis hari ini dengan balutan tunik dan celana panjang. Dengan rambut diikat ke belakang dan poni tipis menutup dahi, Seruni benar-bernar terlihat seperti kelopak mawar baru saja merekah dihiasi embun. Segar dan menggoda untuk dipetik atau sekadar disentuh.“Saya sudah menjawab semua pertanyaan polisi, Pak. Apa masih ada yang kurang?”“Well, aku tidak tahu keterangan apa lagi yang dibutuhkan.” Bram membuka piring lalu mengedarkan pandangan ke makanan yang tersaji di meja. “Kanaya hanya menelepon kalau kamu pagi ini ditunggu Dewi di sana.”“Saya ambilkan nasinya, Pak.” Sigap Seruni mengambil
“Ya, ampun. Kamu kecelakaan di mana? Trus keadaan kamu gimana sekarang?” Dewi berseru panik. Kedua matanya melebar. Raut wajah sahabat Kanaya itu seketika berubah muram.Sembari mengusap ujung hidung, Dewi menggeser posisi, sedikit menjauhi Seruni dan Bram. Selama mendengar informasi dari seberang, raut muka perempuan itu berubah-ubah. Kadang terlihat sedih. Lalu, tampak berpikir keras dan terakhir beberapa kali kelopak matanya mengerjap. Ada yang coba ia sembunyikan dari balik bola mata cerahnya.“Oke, oke. Kita stop dulu agenda hari ini. Kita fokus ke kamu dulu. Aku segera ke sana.” Dewi menutup telepon dan kembali mendekati Seruni dan Bram yang menanti dengan wajah cemas.‘Sorry banget Mas, kita tunda dulu agenda hari ini. Lawyer kami kecelakaan.” Dewi memasukkan ponsel dan satu bendel berkas ke dalam ransel. Sebuah pulpen ia selipkan di sela kemeja.Seruni menatap takjub perempuan di hadapannya. Ada banyak hal baru yang ia dapat dari Dewi, termasuk bagaimana ia menyimpan pulpen ya
“Ada yang mau aku tanyakan ke Seruni. Penting banget.”Ekor mata Bram melirik Seruni sekilas. “Kebetulan anaknya sudah selesai kerja. Saya antar sekarang juga.”Seruni mendongak, menatap paras Bram yang tampak lelah sekaligus juga sedikit tegang. Ia mulai khawatir, sesuatu yang berat kembali menghadang langkahnya setelah sempat bahagia karena diterima menjadi asisten chef.“Apa ada masalah lagi, Pak?” tanya Seruni ketika Bram sudah menutup telepon.“Saya antar kamu ke Bethesda sebentar. Setelah itu kamu bisa pulang sendiri karena saya harus ke rumah sakit jemput Mama dan setelah itu rapat dengan dinas di pendopo propinsi.”“Saya bisa ke Bethesda sendiri, Pak.” Seruni berujar mantap. Ditatapnya Bram penuh rasa percaya diri. Ia belum tahu jalur bus ke sana, tetapi semua bisa diatasi dengan bertanya pada petugas. Tidak akan ada masalah berarti selama masih di kota. “Bapak ke rumah sakit saja jemput Nyonya.”Bram terdiam sesaat sembari jemarinya memainkan ponsel. ‘Saya antar saja. Cepat m
“I-iya.” Seruni tersenyum canggung dan sedikit gugup. Hanger dalam genggaman tangannya nyaris jatuh kalau saja ia tidak buru-buru menyadari sedang berada di ruang ganti karyawan. Bersama laki-laki asing dalam ruang tertutup membuat otak Seruni tidak berfungsi selama beberapa detik.Sebenarnya, ada dua toilet untuk putra dan putri. Namun, setelah berganti baju, mereka akan berada di ruang yang sama. Semua loker karyawan ada di sana. Kebetulan mereka giliran terakhir yang berganti pakaian karena juru masak lain mengantri lebih dulu.“Senang bisa satu tim denganmu.” Ben kembali bersuara. Bibir pria itu melengkung sempurna hingga kedua matanya agak menyipit.“Saya juga.” Seruni tidak tahu harus menjawab apa. Entah mengapa Ben telah mencerabut kemampuannya merangkai kalimat. Seruni merasa dirinya pasti terlihat bodoh di hadapan Ben.‘Kita harus cepat ke dapur. Jangan sampai juru masak terlambat.”Seruni mengangguk. Ia harus sedikit mendongak agar bisa bertemu manik mata biru milik pria it
Konsentrasi Seruni buyar seketika mendengar suara Aditya. Tanpa melihat wajah pria itu, Seruni sudah bisa membayangkan bagaimana raut muka Aditya. Seruni semakin gugup ketika semua juru masak yang sedang berada di dapur menghentikan pekerjaan hanya untuk menatapnya iba dan prihatin. Sorot mata mereka seolah sepakat kalau Seruni tengah menjadi sasaran Aditya.“Kamu hebat bisa melewati tantangan kemarin. “ Aditya mendekati Seruni. “Jangan kecewakan kepercayaan kami.” Ia pura-pura memberi penekanan pada ucapannya seraya memindai paras Seruni.“Maaf, Om. Kami sedang tidak ada waktu untuk mengobrol,” sela Kai. Bola matanya melihat jam dinding sebelum bertemu pandang dengan Aditya.Telunjuk Aditya mengetuk meja stainless. “Kamu pikir aku tidak ada kerjaan sampai-sampai bisa ngobrol saat jam kerja?” Kai dan Bram benar-benar duri dalam daging yang selalu merusak hari-hari dan rencananya. Sialnya, sampai saat ini ia belum menemukan cara untuk menyingkirkan dua keponakannya itu. Mereka bukan or
“Halo, Seruni. Kamu lembur hari ini?”Seruni terlonjak kaget, tidak menyangka Aditya sudah berdiri di sampingnya yang baru saja presensi di mesin finger print. Is menoleh dan menatap Aditya sekilas. Hatinya ketar-ketir melihat pria itu tengah menatapnya intens .“Iya, Pak.” Seruni tidak berminat menanggapi lebih panjang. Dalam hati ia berharap ada tamu yang mengenali Aditya dan mengajak pria itu mengobrol sehingga tidak perlu berlama-lama berdiri di sampingnya.“Pulang bareng saya saja. Sudah malam.” Aditya memegang arloji di pergelangan tangannya. “Jam segini Trans Jogja sudah tidak ada yang lewat. “Bola mata Seruni tertuju pada jam dinding. Pukul 22.15. Satu-satunya jalan untuk sampai ke rumah Bram hanya dengan ojek online.Hari itu Seruni memang harus kerja overtime karena tamu Festival Raja-Raja Nusantara mulai berdatangan di La Luna dan divisi Traditional Food harus menyiapkan menu sarapan hingga makan malam. Tugasnya hanya menyiapkan bahan untuk menu makan pagi yang akan dimasa
“Ingat tujuan kamu ke sini untuk kerja, bukan pacaran.” Nada bicara Bram tidak ketus, tetapi seperti mengancam, seolah Seruni telah melakukan kesalahan besar. Pria itu berdiri dengan kedua tangan tersimpan di saku celana selutut sementara bola matanya menatap lurus-lurus Seruni.“Maaf, Pak, saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Ben kecuali sebatas teman kerja.” Seruni menahan kesal yang bergumpal di dada. Ia tidak suka cara Bram menegur dan menuduh tanpa bukti. Seruni merasa diperlakukan seperti terdakwa di persidangan dengan Bram sebagai hakim tunggal.“Syukurlah kalau kalian tidak pacaran.” Bram tersenyum samar. Diam-diam sudut hatinya lega. Ya, Tuhan, perasaan apa ini? Setelah kematian Soraya, hati Bram beku. Rupanya, tanpa disadari Bram, perlahan hatinya mencair karena senyum dan binar mata Seruni. “Seringkali pekerjaan berantakan ketika antar karyawan terlibat hubungan lebih.”Seruni menghela napas, merasa Bram terlalu mencampuri kehidupannya, tetapi juga tidak punya nyali untu
Seruni membiarkan angin pagi menepuk-nepuk wajah dan tubuhnya, menyelusupkan hawa dingin lewat kulit yang hanya terlindung blouse lengan panjang. Tadi ia menolak tawaran Ben agar memakai jaketnya. Seruni berpikir Ben lebih membutuhkan jaket kulit cokelat itu karena berada di depan.Bola mata Seruni menatap takjub kiri dan kanan jalan yang dilewatinya. Benar kata orang, kota gudeg itu tidak pernah tidur. Penjaja makanan seperti memiliki shift tertentu dan bergantian mengisi ruang-ruang di tepi jalan. Tinggal di Yogyakarta tidak akan pernah kelaparan meski tak bisa memasak. Berbagai jenis menu tersaji dan bisa diperoleh dengan mudah.Tiba-tiba Seruni teringat Semarang. Kota itu pun selalu hidup. Tak jadi soal pulang jam berapa pun karena selalu ada satu dua toko atau kedai yang buka. Bahkan belakangan, tetangga tempat tinggalnya membuka layanan pesan antar makanan selama 24 jam nonstop. Satu hal yang sempat membuatnya diterpa isu memelihara babi ngepet. “Nanti kalau pulang lebih awal,
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta
“Nay, selama Seruni belum ketemu, aku nitip rumah. Kamu fokus ngurus Mama dan anak-anak. Aku yang akan cari Seruni.’ Hari sudah gelap dan Bram masih bertahan di kantor.Lebih dari 24 jam Seruni hilang. Polisi dan tim dari NGO yang menangani kasus ini belum berhasil menemukan jejaknya. Ia seperti debu yang hilang ditiup angin.Bram memilih bertahan di kantor agar tetap bisa berpikir jernih. Di rumah, ia harus berada di samping Rain dan Ran sampai mereka tidur. Ia juga harus menghadapi wajah-wajah muram Mbok Asih dan Wulan. Mereka memang tidak banyak bertanya, tetapi mata keduanya mengungkap jauh lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan oleh mulut. Bram tidak sanggup melihat kemelut itu.“Beres, Mas. Semua aman, kok. Kamu nggak usah khawatir.”Bram mengecek jadwal kontrol sang mama. ‘Thanks, Nay. Besok Mama harus kontrol. Kamu bisa minta tolong Kai buat nganter.”Nay tertawa. ‘Nggak perlu. Aku bisa handle, kok. I’m not a little girl, Mas. Jangan bilang kamu ambil kesempatan genting in
“Aduh!” Seruni mengerang. Dadanya sakit karena Shin memelintir tangan dan menekan punggungnya ke mobil.“Sudah kukatakan, jangan coba-coba melawanku. Aku tidak sebodoh dan selemah Gou.” Shin menarik tubuh Seruni menjauhi mobil lalu mendorongnya masuk ke dalam Expander. Kamu benar-benar macan kecil, Nona. Aku tidak akan pernah melepasmu. Shin duduk di samping Seruni. Diambilnya pisau lipat lalu menempelkan ke perut Seruni. sedikit saja gadis itu bergerak, pisau akan segera bekerja merobek kulit dan menembus tubuhnya.Salah satu penjaga masuk ke mobil dan duduk di samping kanan Seruni. Diambilnya selembar kain hitam lalu menutupkannya ke mata Seruni.Seruni menahan napas, merasakan pisau tepat menempel di tubuh dan dunia yang mendadak gelap. Satu-satunya jalan agar tetap bernapas hanya dengan menyerah dan berpura-pura menjadi anak manis.Perjalanan terasa begitu lama bagi Seruni. Ia berusaha menajamkan pendengaran, berharap mendapat petunjuk di mana ia berada. Namun, tidak ada suara a
Shin mundur selangkah. ‘Makanlah dulu. Kita bicarakan soal utangmu nanti.” Melihat Seruni menurunkan tensi, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ia semakin yakin, Seruni akan jatuh ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, dilepaskannya ikatan tangan Seruni agar gadis itu bisa makan.Desisan Seruni terdengar ketika tali pengikat telah terlepas. Seruni menyeringai kesakitan sambil mengangkat tangan. Dilihatnya pergelangan tangannya memerah.“Makan.” Shin mengangkat dagu, memberi isyarat pada Seruni agar segera mengambil piring.Nyeri di tangan Seruni masih terasa. Ia bergeming dan mengabaikan perintah Shin. Sambil meniupi bagian tangan yang tergores, bayangan tubuhnya menggelepar keracunan makanan menggantung di depan mata. Ia bergidik seraya mengernyitkan dahi lalu beringsut menjauhi piring.“Kalau kamu tidak mau makan sendiri, aku akan suapi.” Shin mengangkat piring, menyendok nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Seruni.Seperti ada yang bertalu di dada Shin melihat bibir Seruni yang menge