Konsentrasi Seruni buyar seketika mendengar suara Aditya. Tanpa melihat wajah pria itu, Seruni sudah bisa membayangkan bagaimana raut muka Aditya. Seruni semakin gugup ketika semua juru masak yang sedang berada di dapur menghentikan pekerjaan hanya untuk menatapnya iba dan prihatin. Sorot mata mereka seolah sepakat kalau Seruni tengah menjadi sasaran Aditya.“Kamu hebat bisa melewati tantangan kemarin. “ Aditya mendekati Seruni. “Jangan kecewakan kepercayaan kami.” Ia pura-pura memberi penekanan pada ucapannya seraya memindai paras Seruni.“Maaf, Om. Kami sedang tidak ada waktu untuk mengobrol,” sela Kai. Bola matanya melihat jam dinding sebelum bertemu pandang dengan Aditya.Telunjuk Aditya mengetuk meja stainless. “Kamu pikir aku tidak ada kerjaan sampai-sampai bisa ngobrol saat jam kerja?” Kai dan Bram benar-benar duri dalam daging yang selalu merusak hari-hari dan rencananya. Sialnya, sampai saat ini ia belum menemukan cara untuk menyingkirkan dua keponakannya itu. Mereka bukan or
“Halo, Seruni. Kamu lembur hari ini?”Seruni terlonjak kaget, tidak menyangka Aditya sudah berdiri di sampingnya yang baru saja presensi di mesin finger print. Is menoleh dan menatap Aditya sekilas. Hatinya ketar-ketir melihat pria itu tengah menatapnya intens .“Iya, Pak.” Seruni tidak berminat menanggapi lebih panjang. Dalam hati ia berharap ada tamu yang mengenali Aditya dan mengajak pria itu mengobrol sehingga tidak perlu berlama-lama berdiri di sampingnya.“Pulang bareng saya saja. Sudah malam.” Aditya memegang arloji di pergelangan tangannya. “Jam segini Trans Jogja sudah tidak ada yang lewat. “Bola mata Seruni tertuju pada jam dinding. Pukul 22.15. Satu-satunya jalan untuk sampai ke rumah Bram hanya dengan ojek online.Hari itu Seruni memang harus kerja overtime karena tamu Festival Raja-Raja Nusantara mulai berdatangan di La Luna dan divisi Traditional Food harus menyiapkan menu sarapan hingga makan malam. Tugasnya hanya menyiapkan bahan untuk menu makan pagi yang akan dimasa
“Ingat tujuan kamu ke sini untuk kerja, bukan pacaran.” Nada bicara Bram tidak ketus, tetapi seperti mengancam, seolah Seruni telah melakukan kesalahan besar. Pria itu berdiri dengan kedua tangan tersimpan di saku celana selutut sementara bola matanya menatap lurus-lurus Seruni.“Maaf, Pak, saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Ben kecuali sebatas teman kerja.” Seruni menahan kesal yang bergumpal di dada. Ia tidak suka cara Bram menegur dan menuduh tanpa bukti. Seruni merasa diperlakukan seperti terdakwa di persidangan dengan Bram sebagai hakim tunggal.“Syukurlah kalau kalian tidak pacaran.” Bram tersenyum samar. Diam-diam sudut hatinya lega. Ya, Tuhan, perasaan apa ini? Setelah kematian Soraya, hati Bram beku. Rupanya, tanpa disadari Bram, perlahan hatinya mencair karena senyum dan binar mata Seruni. “Seringkali pekerjaan berantakan ketika antar karyawan terlibat hubungan lebih.”Seruni menghela napas, merasa Bram terlalu mencampuri kehidupannya, tetapi juga tidak punya nyali untu
Seruni membiarkan angin pagi menepuk-nepuk wajah dan tubuhnya, menyelusupkan hawa dingin lewat kulit yang hanya terlindung blouse lengan panjang. Tadi ia menolak tawaran Ben agar memakai jaketnya. Seruni berpikir Ben lebih membutuhkan jaket kulit cokelat itu karena berada di depan.Bola mata Seruni menatap takjub kiri dan kanan jalan yang dilewatinya. Benar kata orang, kota gudeg itu tidak pernah tidur. Penjaja makanan seperti memiliki shift tertentu dan bergantian mengisi ruang-ruang di tepi jalan. Tinggal di Yogyakarta tidak akan pernah kelaparan meski tak bisa memasak. Berbagai jenis menu tersaji dan bisa diperoleh dengan mudah.Tiba-tiba Seruni teringat Semarang. Kota itu pun selalu hidup. Tak jadi soal pulang jam berapa pun karena selalu ada satu dua toko atau kedai yang buka. Bahkan belakangan, tetangga tempat tinggalnya membuka layanan pesan antar makanan selama 24 jam nonstop. Satu hal yang sempat membuatnya diterpa isu memelihara babi ngepet. “Nanti kalau pulang lebih awal,
Kenapa dia ada di sini? Mendadak Seruni gugup. Dipegangnya kuali kuat-kuat agar tidak lepas dari genggaman tangannya. Pria bertopi tengkorak yang pernah dilihatnya di Trans Jogja itu ada di La Luna.Suasana lobi sepagi itu sangat sepi. Hanya ada dua resepsionis di balik meja customer service sehingga keberadaan pria asing itu sangat mencolok. Ia memang tidak memakai topi, tetapi Seruni masih mengenali wajahnya dengan jelas.Seruni menghela napas. Keberadaan laki-laki itu membuatt tangannya sedikit gemetar. Melihat raut muka dan kedua matanya, ia tahu kalau si kemeja kotak-kotak tidak sungguh-sungguh sedang membaca majalah.Jadi mereka sudah sekarang sudah tahu aku di sini. Bayangan si tato kalajengking berkelebat cepat di benak Seruni. Ia yakin, si kemeja kotak-kotak adalah orang suruhan mucikari berkedok pemilik kosan putri itu. Hati Seruni mencelos memikirkan segala kemungkinan buruk yang akan dihadapinya. Ia mulai berpikir untuk pergi dari La Luna jika hotel ini memang tidak aman
‘Mas, aku bisa pinjam Seruni hari ini? Kami butuh keterangannya untuk menyusun laporan .”Sebuah pesan Whatsapp dari Dewi masuk ke ponsel Bram ketika ia baru saja tiba di La Luna.“Aku sudah nitip pesen ke Kanaya buat ngasih tahu Mas Bram. Tapi katanya Mas Bram lagi sibuk banget. Kanaya nggak berani ganggu jadi aku inisiatif buat ngehubungi Mas Bram langsung.”Bram turun dari mobil. Dihirupnya udara dalam-dalam. Langit tak lagi gelap, tetapi matahari belum menampakkan dirinya di kolong langit. Sembari melangkah melintasi halaman, Bram berpikir, kapan Kanaya membicarakan tentang kasus Seruni. Sejak Mama, Rain, dan Ran sakit, sepertinya mereka memang tidak punya kesempatan mengobrol selain membicarakan kesehatan tiga orang itu, terutama Mama dan Rain.“Setelah sempat hiatus, kami mau buka lagi kasus ini, Mas. Kami ganti lawyer karena Mia masih belum pulih seratus persen.”Bram memasukkan ponsel ke saku, sejenak mengabaikan permintaan Dewi. Ia tahu perempuan itu pasti butuh jawaban cepat
Nina mengurungkan niat ke ruang kerjanya. Kasus Seruni sangat mengganggu pikiran sehingga ia memutuskan segera menemui Kai. Kepala dapur itu harus tahu.Melangkah tergesa mengakibatkan perempuan itu nyaris bertabrakan dengan salah satu pelayan yang akan keluar dari dapur untuk mengantar pesanan pelanggan.Hampir saja pelayan itu mengomel, tetapi mulutnya kembali menutup ketika melihat lawan bicaranya. Ia memaksakan senyum sebelum buru-buru pergi. Bukan karena desakan pelanggan, melainkan karena tidak ingin mendapat makian paling pedas dari semua pegawai La Luna.‘Kalau jalan itu pakai mata, bukan dengkul.” Nina melotot. Ia sedang tidak punya banyak waktu dan tenaga untuk mengomel sehingga membiarkan pelayan itu pergi begitu saja tanpa merasakan semburan api dari mulutnya.Setelah pelayan itu pergi, Nina melanjutkan langkah. Wajah seriusnya mengendur kala memasuki dapur dan menghidu aneka aroma makanan. Perempuan itu mengedarkan pandangan, mencari Kai.“Nyari Bos Kai, Mbak?” Salah satu
Sekali lagi Nina mengambil sepotong brownies. Bibir berselimut lipstik merah menyala miliknya melengkung sempurna. Ia meninggalkan pastry dengan wajah seterang sinar matahari pagi. Perempuan dengan blouse agak ketat itu sempat mencari-cari Seruni sebelum pergi ke ruang kerja Kai. Niatnya untuk sedikit mengintimidasi Seruni gagal karena gadis itu tidak terlihat batang hidungnya,“Jadi, kasus apa yang melibatkan Seruni dan akan membahayakan La Luna?” Kai bertanya tanpa basa-basi pada Nina ketika ia sudah berada di ruang kerjanya ditemani aroma kopi panas yang baru saja diseduh. Sejak jam dua pagi matanya sudah terjaga dan belum istirahat sama sekali. Secangkir kopi akan membantu otaknya tetap waras sampai tengah hari.“Kamu tidak menawariku kopi? Sungguh keterlaluan!” Nina pura-pura merajuk demi mengulur waktu. Ia sedang merangkai kalimat untuk disuguhkan pada Kai agar penguasa dapur itu percaya.“Come on, Nin. Aku tahu kamu tidak sedang sungguh-sungguh ingin minum kopi.” Kai berdecak
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta
“Nay, selama Seruni belum ketemu, aku nitip rumah. Kamu fokus ngurus Mama dan anak-anak. Aku yang akan cari Seruni.’ Hari sudah gelap dan Bram masih bertahan di kantor.Lebih dari 24 jam Seruni hilang. Polisi dan tim dari NGO yang menangani kasus ini belum berhasil menemukan jejaknya. Ia seperti debu yang hilang ditiup angin.Bram memilih bertahan di kantor agar tetap bisa berpikir jernih. Di rumah, ia harus berada di samping Rain dan Ran sampai mereka tidur. Ia juga harus menghadapi wajah-wajah muram Mbok Asih dan Wulan. Mereka memang tidak banyak bertanya, tetapi mata keduanya mengungkap jauh lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan oleh mulut. Bram tidak sanggup melihat kemelut itu.“Beres, Mas. Semua aman, kok. Kamu nggak usah khawatir.”Bram mengecek jadwal kontrol sang mama. ‘Thanks, Nay. Besok Mama harus kontrol. Kamu bisa minta tolong Kai buat nganter.”Nay tertawa. ‘Nggak perlu. Aku bisa handle, kok. I’m not a little girl, Mas. Jangan bilang kamu ambil kesempatan genting in
“Aduh!” Seruni mengerang. Dadanya sakit karena Shin memelintir tangan dan menekan punggungnya ke mobil.“Sudah kukatakan, jangan coba-coba melawanku. Aku tidak sebodoh dan selemah Gou.” Shin menarik tubuh Seruni menjauhi mobil lalu mendorongnya masuk ke dalam Expander. Kamu benar-benar macan kecil, Nona. Aku tidak akan pernah melepasmu. Shin duduk di samping Seruni. Diambilnya pisau lipat lalu menempelkan ke perut Seruni. sedikit saja gadis itu bergerak, pisau akan segera bekerja merobek kulit dan menembus tubuhnya.Salah satu penjaga masuk ke mobil dan duduk di samping kanan Seruni. Diambilnya selembar kain hitam lalu menutupkannya ke mata Seruni.Seruni menahan napas, merasakan pisau tepat menempel di tubuh dan dunia yang mendadak gelap. Satu-satunya jalan agar tetap bernapas hanya dengan menyerah dan berpura-pura menjadi anak manis.Perjalanan terasa begitu lama bagi Seruni. Ia berusaha menajamkan pendengaran, berharap mendapat petunjuk di mana ia berada. Namun, tidak ada suara a
Shin mundur selangkah. ‘Makanlah dulu. Kita bicarakan soal utangmu nanti.” Melihat Seruni menurunkan tensi, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ia semakin yakin, Seruni akan jatuh ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, dilepaskannya ikatan tangan Seruni agar gadis itu bisa makan.Desisan Seruni terdengar ketika tali pengikat telah terlepas. Seruni menyeringai kesakitan sambil mengangkat tangan. Dilihatnya pergelangan tangannya memerah.“Makan.” Shin mengangkat dagu, memberi isyarat pada Seruni agar segera mengambil piring.Nyeri di tangan Seruni masih terasa. Ia bergeming dan mengabaikan perintah Shin. Sambil meniupi bagian tangan yang tergores, bayangan tubuhnya menggelepar keracunan makanan menggantung di depan mata. Ia bergidik seraya mengernyitkan dahi lalu beringsut menjauhi piring.“Kalau kamu tidak mau makan sendiri, aku akan suapi.” Shin mengangkat piring, menyendok nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Seruni.Seperti ada yang bertalu di dada Shin melihat bibir Seruni yang menge