Nina mengurungkan niat ke ruang kerjanya. Kasus Seruni sangat mengganggu pikiran sehingga ia memutuskan segera menemui Kai. Kepala dapur itu harus tahu.Melangkah tergesa mengakibatkan perempuan itu nyaris bertabrakan dengan salah satu pelayan yang akan keluar dari dapur untuk mengantar pesanan pelanggan.Hampir saja pelayan itu mengomel, tetapi mulutnya kembali menutup ketika melihat lawan bicaranya. Ia memaksakan senyum sebelum buru-buru pergi. Bukan karena desakan pelanggan, melainkan karena tidak ingin mendapat makian paling pedas dari semua pegawai La Luna.‘Kalau jalan itu pakai mata, bukan dengkul.” Nina melotot. Ia sedang tidak punya banyak waktu dan tenaga untuk mengomel sehingga membiarkan pelayan itu pergi begitu saja tanpa merasakan semburan api dari mulutnya.Setelah pelayan itu pergi, Nina melanjutkan langkah. Wajah seriusnya mengendur kala memasuki dapur dan menghidu aneka aroma makanan. Perempuan itu mengedarkan pandangan, mencari Kai.“Nyari Bos Kai, Mbak?” Salah satu
Sekali lagi Nina mengambil sepotong brownies. Bibir berselimut lipstik merah menyala miliknya melengkung sempurna. Ia meninggalkan pastry dengan wajah seterang sinar matahari pagi. Perempuan dengan blouse agak ketat itu sempat mencari-cari Seruni sebelum pergi ke ruang kerja Kai. Niatnya untuk sedikit mengintimidasi Seruni gagal karena gadis itu tidak terlihat batang hidungnya,“Jadi, kasus apa yang melibatkan Seruni dan akan membahayakan La Luna?” Kai bertanya tanpa basa-basi pada Nina ketika ia sudah berada di ruang kerjanya ditemani aroma kopi panas yang baru saja diseduh. Sejak jam dua pagi matanya sudah terjaga dan belum istirahat sama sekali. Secangkir kopi akan membantu otaknya tetap waras sampai tengah hari.“Kamu tidak menawariku kopi? Sungguh keterlaluan!” Nina pura-pura merajuk demi mengulur waktu. Ia sedang merangkai kalimat untuk disuguhkan pada Kai agar penguasa dapur itu percaya.“Come on, Nin. Aku tahu kamu tidak sedang sungguh-sungguh ingin minum kopi.” Kai berdecak
“Nggak bisa, Bram. Tidak ada yang boleh izin atau cuti selama festival. Kalau nekat, aku kick out sekalian.”Bram menghela napas. Pandangan matanya tertuju keluar jendela. Ia sudah menduga jawaban seperti apa yang akan dilontarkan Kai. Meski demikian, tetap saja ada yang mengusik hati dan pikirannya ketika mendengar langsung.“Aku yakin, kamu pasti ingin hotel kita sukses menjamu para tamu festival demi proyek-proyek berikutnya.”Alasan yang sangat masuk akal dan Bram setuju. Ia tidak ingin mengorbankan kepentingan La Luna demi kasus hukum Seruni yang masih sumir. Saat ini, Festival Raja-Raja Nusantara harus menjadi prioritasnya.“Oke, Kai. Aku tidak akan mengusik pegawai dapur, termasuk Seruni.”“Begitu lebih baik. Aku sudah capek menghadapi Om Aditya yang kadang kurang kerjaan mengganggu Seruni. Jangan sampai kamu nambah asap di kepalaku.”Bram tertawa. “Jaga kesehatan, Kai. Aku tidak mau kamu kena stroke setelah festival selesai.”“Asal kamu tidak mengganggu, aku aman.”Lagi, Bram
“Maaf, Mas Bram, apa Seruni menginap di hotel?” Mbok Asih bertanya hati-hati ketika menata sarapan di meja makan.Wajah Bram seketika berkerut. Ditatapnya Mbok Asih dengan sorot mata heran. “Sepertinya semua karyawan dapur pulang, Mbok. Kenapa?”“Maaf, Mas. Tapi Seruni semalam tidak pulang.” Suara Mbok Asih bergetar. Jejak rasa takut terlihat jelas di matanya. Seruni sudah pernah cerita kalau ada laki-laki yang sering menguntitnya dan Mbok Asih khawatir Seruni celaka. Gadis itu tidak mungkin menginap tanpa kabar. Ia pasti menitip pesan pada Bram jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan.“Semalam separuh karyawan dapur termasuk Seruni lembur sampai hampir tengah malam , Mbok. Hari ini mereka libur. Mungkin Seruni masih tidur.” Bram meneguk jus jeruk lalu mengambil potongan apel dan memasukkannya ke mulut. Pria itu masih menganggap Seruni hanya mengunci diri di kamar karena kelelahan bekerja keras selama dua minggu.Mbok Asih menggeleng. Hatinya semakin cemas. “Saya sudah lihat kamar
“Kamu tahu, kita penghuni terakhir dapur La Luna semalam. Tidak ada Seruni atau karyawan lain di sana.”Kai menjawab dengan suara serak ketika Bram menelepon. Pria itu pasti sedang tidur dan Bram telah membangunkannya. Untuk itu Bram harus bersiap menerima semburan uap panas dari singa yang dibangunkan tanpa permisi itu.“Bisakah kamu berhenti menggangguku? Aku butuh istirahat. Jangan sampai kamu seperti Om Adit yang pagi buta sudah minta ini itu seolah aku robot yang bisa on sepanjang waktu.”Gerutuan Kai masih berlanjut. Bram terdiam sesaat. Kai benar, mereka memang makhluk terakhir di semesta dapur La Luna. Lalu, ke mana Seruni? Atau dia sudah dapat kosan dan menginap di sana?“Kamu tahu, dengan siapa Seruni biasa pulang?”“Ya, Tuhan!” Kai berdecak. “Aku bukan bapaknya Seruni. Aku tidak pernah ikut campur dengan siapa karyawanku pulang.” Kali ini nada bicara Kai terdengar kesal.“Yah, siapa tahu kebetulan kamu lihat waktu dia pulang.” Bram ngeyel. Dalam penyelidikan suatu kasus, se
“Kok, bisa, Pak, dia tidak pulang?” Ben berseru panik. “Memang semalam dia minta turun di depan halte.”“Jadi kamu nggak nganter sampai depan rumah?” Nada bicara Bram meninggi, antara kesal dan kaget. Ditariknya tirai jendela hingga sinar matahari tepat mengenai wajahnya yang tegang. Kedua matanya menatap pintu gerbang dan halte Trans Jogja bergantian. Jika Seruni turun di depan halte, butuh waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit jalan kaki untuk sampai gerbang. Waktu yang cukup lama bagi penjahat terlatih untuk menculiknya.“Tidak, Pak. Seruni yang minta. Katanya tidak enak sama Bapak kalau dianter sampai halaman.”Mendengar jawaban Ben, kemarahan yang nyaris menyembur dari mulut Bram seketika terhenti. Ia teringat pembicaraannya dengan Seruni tempo hari. Tuduhan tak berdasar pada Seruni telah menyebabkan gadis itu menantang bahaya. Kini, bisa dikatakan, ialah penyebab Seruni hilang.‘Oke, Ben, terima kasih infonya.” Bram merasa tidak ada gunanya lagi memperpanjang pembicaraan
Aku di mana?Pertanyaan itu menyeruak di benak Seruni ketika kelopak matanya terbuka dan mendapati dirinya berada di sebuah ruang gelap. Tembok tempatnya bersandar dan lantai tempatnya berpijak terasa dingin dan lembab. Dari bau debu yang tercium hidung, Seruni menduga kalau ia disekap di sebuah ruang kosong yang mungkin tidak pernah digunakan dalam waktu lama.Di mana aku? Siapa yang membawaku ke sini? Apakah Gou sudah menemukanku?” Seruni ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan sehelai kain berbau apak sehingga yang terdengar hanya erangan. Seruni membuang napas kasar ketika mengetahui tangan dan kakinya pun terikat kuat sehingga tidak bisa digerakkan sama sekali.Kenapa aku bisa lengah sampai tertangkap Gou lagi? Setelah berusaha melepas ikatan dengan cara menggerakkan tangan dan kaki yang berujung kegagalan dan hanya menghasilkan rasa perih di bagian yang terikat, Seruni memutuskan untuk diam. Ia harus tenang agar bisa mencari jalan keluar dari tempat gelap ini.Dada Seruni be
“Kamu sudah pastikan gadis itu benar Seruni?”Tuan Besar menatap lurus-lurus Shin. Hari masih pagi dan matahari baru saja muncul dari celah langit. Sinarnya menerobos masuk lewat jendela besar di ruang perpustakaan yang dibiarkan terbuka. Secangkir kopi panas tersaji di atas meja. Uapnya membawa aroma bunga yang segar.“Sudah, Tuan. Dia memang Seruni.”Shin mengembangkan cuping hidung. Ia menyukai kopi beraroma bunga atau kacang-kacangan dari timur Indonesia. Ia lebih memilih kopi ketimbangan minuman beralkohol. Shin selalu menggenggam nasihat sang ibu agar menghindari minuman keras dan daging babi. Meski menghabiskan waktu dalam bisnis gelap, Shin tidak pernah mengotori perutnya dengan dua barang haram itu.“Bagus.” Tuan Besar menghirup uap kopinya lalu mengambil satu bendel uang kertas berwarna merah. “Sesuai janjiku. Ini hadiah untukmu.”“Terima kasih, Tuan.” Shin mengangguk hormat. “Tapi saya belum bawa gadis itu ke hadapan Tuan. Tugas saya belum selesai. Saya belum berhak atas ha
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta
“Nay, selama Seruni belum ketemu, aku nitip rumah. Kamu fokus ngurus Mama dan anak-anak. Aku yang akan cari Seruni.’ Hari sudah gelap dan Bram masih bertahan di kantor.Lebih dari 24 jam Seruni hilang. Polisi dan tim dari NGO yang menangani kasus ini belum berhasil menemukan jejaknya. Ia seperti debu yang hilang ditiup angin.Bram memilih bertahan di kantor agar tetap bisa berpikir jernih. Di rumah, ia harus berada di samping Rain dan Ran sampai mereka tidur. Ia juga harus menghadapi wajah-wajah muram Mbok Asih dan Wulan. Mereka memang tidak banyak bertanya, tetapi mata keduanya mengungkap jauh lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan oleh mulut. Bram tidak sanggup melihat kemelut itu.“Beres, Mas. Semua aman, kok. Kamu nggak usah khawatir.”Bram mengecek jadwal kontrol sang mama. ‘Thanks, Nay. Besok Mama harus kontrol. Kamu bisa minta tolong Kai buat nganter.”Nay tertawa. ‘Nggak perlu. Aku bisa handle, kok. I’m not a little girl, Mas. Jangan bilang kamu ambil kesempatan genting in
“Aduh!” Seruni mengerang. Dadanya sakit karena Shin memelintir tangan dan menekan punggungnya ke mobil.“Sudah kukatakan, jangan coba-coba melawanku. Aku tidak sebodoh dan selemah Gou.” Shin menarik tubuh Seruni menjauhi mobil lalu mendorongnya masuk ke dalam Expander. Kamu benar-benar macan kecil, Nona. Aku tidak akan pernah melepasmu. Shin duduk di samping Seruni. Diambilnya pisau lipat lalu menempelkan ke perut Seruni. sedikit saja gadis itu bergerak, pisau akan segera bekerja merobek kulit dan menembus tubuhnya.Salah satu penjaga masuk ke mobil dan duduk di samping kanan Seruni. Diambilnya selembar kain hitam lalu menutupkannya ke mata Seruni.Seruni menahan napas, merasakan pisau tepat menempel di tubuh dan dunia yang mendadak gelap. Satu-satunya jalan agar tetap bernapas hanya dengan menyerah dan berpura-pura menjadi anak manis.Perjalanan terasa begitu lama bagi Seruni. Ia berusaha menajamkan pendengaran, berharap mendapat petunjuk di mana ia berada. Namun, tidak ada suara a
Shin mundur selangkah. ‘Makanlah dulu. Kita bicarakan soal utangmu nanti.” Melihat Seruni menurunkan tensi, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ia semakin yakin, Seruni akan jatuh ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, dilepaskannya ikatan tangan Seruni agar gadis itu bisa makan.Desisan Seruni terdengar ketika tali pengikat telah terlepas. Seruni menyeringai kesakitan sambil mengangkat tangan. Dilihatnya pergelangan tangannya memerah.“Makan.” Shin mengangkat dagu, memberi isyarat pada Seruni agar segera mengambil piring.Nyeri di tangan Seruni masih terasa. Ia bergeming dan mengabaikan perintah Shin. Sambil meniupi bagian tangan yang tergores, bayangan tubuhnya menggelepar keracunan makanan menggantung di depan mata. Ia bergidik seraya mengernyitkan dahi lalu beringsut menjauhi piring.“Kalau kamu tidak mau makan sendiri, aku akan suapi.” Shin mengangkat piring, menyendok nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Seruni.Seperti ada yang bertalu di dada Shin melihat bibir Seruni yang menge