“Ada yang mau aku tanyakan ke Seruni. Penting banget.”Ekor mata Bram melirik Seruni sekilas. “Kebetulan anaknya sudah selesai kerja. Saya antar sekarang juga.”Seruni mendongak, menatap paras Bram yang tampak lelah sekaligus juga sedikit tegang. Ia mulai khawatir, sesuatu yang berat kembali menghadang langkahnya setelah sempat bahagia karena diterima menjadi asisten chef.“Apa ada masalah lagi, Pak?” tanya Seruni ketika Bram sudah menutup telepon.“Saya antar kamu ke Bethesda sebentar. Setelah itu kamu bisa pulang sendiri karena saya harus ke rumah sakit jemput Mama dan setelah itu rapat dengan dinas di pendopo propinsi.”“Saya bisa ke Bethesda sendiri, Pak.” Seruni berujar mantap. Ditatapnya Bram penuh rasa percaya diri. Ia belum tahu jalur bus ke sana, tetapi semua bisa diatasi dengan bertanya pada petugas. Tidak akan ada masalah berarti selama masih di kota. “Bapak ke rumah sakit saja jemput Nyonya.”Bram terdiam sesaat sembari jemarinya memainkan ponsel. ‘Saya antar saja. Cepat m
“I-iya.” Seruni tersenyum canggung dan sedikit gugup. Hanger dalam genggaman tangannya nyaris jatuh kalau saja ia tidak buru-buru menyadari sedang berada di ruang ganti karyawan. Bersama laki-laki asing dalam ruang tertutup membuat otak Seruni tidak berfungsi selama beberapa detik.Sebenarnya, ada dua toilet untuk putra dan putri. Namun, setelah berganti baju, mereka akan berada di ruang yang sama. Semua loker karyawan ada di sana. Kebetulan mereka giliran terakhir yang berganti pakaian karena juru masak lain mengantri lebih dulu.“Senang bisa satu tim denganmu.” Ben kembali bersuara. Bibir pria itu melengkung sempurna hingga kedua matanya agak menyipit.“Saya juga.” Seruni tidak tahu harus menjawab apa. Entah mengapa Ben telah mencerabut kemampuannya merangkai kalimat. Seruni merasa dirinya pasti terlihat bodoh di hadapan Ben.‘Kita harus cepat ke dapur. Jangan sampai juru masak terlambat.”Seruni mengangguk. Ia harus sedikit mendongak agar bisa bertemu manik mata biru milik pria it
Konsentrasi Seruni buyar seketika mendengar suara Aditya. Tanpa melihat wajah pria itu, Seruni sudah bisa membayangkan bagaimana raut muka Aditya. Seruni semakin gugup ketika semua juru masak yang sedang berada di dapur menghentikan pekerjaan hanya untuk menatapnya iba dan prihatin. Sorot mata mereka seolah sepakat kalau Seruni tengah menjadi sasaran Aditya.“Kamu hebat bisa melewati tantangan kemarin. “ Aditya mendekati Seruni. “Jangan kecewakan kepercayaan kami.” Ia pura-pura memberi penekanan pada ucapannya seraya memindai paras Seruni.“Maaf, Om. Kami sedang tidak ada waktu untuk mengobrol,” sela Kai. Bola matanya melihat jam dinding sebelum bertemu pandang dengan Aditya.Telunjuk Aditya mengetuk meja stainless. “Kamu pikir aku tidak ada kerjaan sampai-sampai bisa ngobrol saat jam kerja?” Kai dan Bram benar-benar duri dalam daging yang selalu merusak hari-hari dan rencananya. Sialnya, sampai saat ini ia belum menemukan cara untuk menyingkirkan dua keponakannya itu. Mereka bukan or
“Halo, Seruni. Kamu lembur hari ini?”Seruni terlonjak kaget, tidak menyangka Aditya sudah berdiri di sampingnya yang baru saja presensi di mesin finger print. Is menoleh dan menatap Aditya sekilas. Hatinya ketar-ketir melihat pria itu tengah menatapnya intens .“Iya, Pak.” Seruni tidak berminat menanggapi lebih panjang. Dalam hati ia berharap ada tamu yang mengenali Aditya dan mengajak pria itu mengobrol sehingga tidak perlu berlama-lama berdiri di sampingnya.“Pulang bareng saya saja. Sudah malam.” Aditya memegang arloji di pergelangan tangannya. “Jam segini Trans Jogja sudah tidak ada yang lewat. “Bola mata Seruni tertuju pada jam dinding. Pukul 22.15. Satu-satunya jalan untuk sampai ke rumah Bram hanya dengan ojek online.Hari itu Seruni memang harus kerja overtime karena tamu Festival Raja-Raja Nusantara mulai berdatangan di La Luna dan divisi Traditional Food harus menyiapkan menu sarapan hingga makan malam. Tugasnya hanya menyiapkan bahan untuk menu makan pagi yang akan dimasa
“Ingat tujuan kamu ke sini untuk kerja, bukan pacaran.” Nada bicara Bram tidak ketus, tetapi seperti mengancam, seolah Seruni telah melakukan kesalahan besar. Pria itu berdiri dengan kedua tangan tersimpan di saku celana selutut sementara bola matanya menatap lurus-lurus Seruni.“Maaf, Pak, saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Ben kecuali sebatas teman kerja.” Seruni menahan kesal yang bergumpal di dada. Ia tidak suka cara Bram menegur dan menuduh tanpa bukti. Seruni merasa diperlakukan seperti terdakwa di persidangan dengan Bram sebagai hakim tunggal.“Syukurlah kalau kalian tidak pacaran.” Bram tersenyum samar. Diam-diam sudut hatinya lega. Ya, Tuhan, perasaan apa ini? Setelah kematian Soraya, hati Bram beku. Rupanya, tanpa disadari Bram, perlahan hatinya mencair karena senyum dan binar mata Seruni. “Seringkali pekerjaan berantakan ketika antar karyawan terlibat hubungan lebih.”Seruni menghela napas, merasa Bram terlalu mencampuri kehidupannya, tetapi juga tidak punya nyali untu
Seruni membiarkan angin pagi menepuk-nepuk wajah dan tubuhnya, menyelusupkan hawa dingin lewat kulit yang hanya terlindung blouse lengan panjang. Tadi ia menolak tawaran Ben agar memakai jaketnya. Seruni berpikir Ben lebih membutuhkan jaket kulit cokelat itu karena berada di depan.Bola mata Seruni menatap takjub kiri dan kanan jalan yang dilewatinya. Benar kata orang, kota gudeg itu tidak pernah tidur. Penjaja makanan seperti memiliki shift tertentu dan bergantian mengisi ruang-ruang di tepi jalan. Tinggal di Yogyakarta tidak akan pernah kelaparan meski tak bisa memasak. Berbagai jenis menu tersaji dan bisa diperoleh dengan mudah.Tiba-tiba Seruni teringat Semarang. Kota itu pun selalu hidup. Tak jadi soal pulang jam berapa pun karena selalu ada satu dua toko atau kedai yang buka. Bahkan belakangan, tetangga tempat tinggalnya membuka layanan pesan antar makanan selama 24 jam nonstop. Satu hal yang sempat membuatnya diterpa isu memelihara babi ngepet. “Nanti kalau pulang lebih awal,
Kenapa dia ada di sini? Mendadak Seruni gugup. Dipegangnya kuali kuat-kuat agar tidak lepas dari genggaman tangannya. Pria bertopi tengkorak yang pernah dilihatnya di Trans Jogja itu ada di La Luna.Suasana lobi sepagi itu sangat sepi. Hanya ada dua resepsionis di balik meja customer service sehingga keberadaan pria asing itu sangat mencolok. Ia memang tidak memakai topi, tetapi Seruni masih mengenali wajahnya dengan jelas.Seruni menghela napas. Keberadaan laki-laki itu membuatt tangannya sedikit gemetar. Melihat raut muka dan kedua matanya, ia tahu kalau si kemeja kotak-kotak tidak sungguh-sungguh sedang membaca majalah.Jadi mereka sudah sekarang sudah tahu aku di sini. Bayangan si tato kalajengking berkelebat cepat di benak Seruni. Ia yakin, si kemeja kotak-kotak adalah orang suruhan mucikari berkedok pemilik kosan putri itu. Hati Seruni mencelos memikirkan segala kemungkinan buruk yang akan dihadapinya. Ia mulai berpikir untuk pergi dari La Luna jika hotel ini memang tidak aman
‘Mas, aku bisa pinjam Seruni hari ini? Kami butuh keterangannya untuk menyusun laporan .”Sebuah pesan Whatsapp dari Dewi masuk ke ponsel Bram ketika ia baru saja tiba di La Luna.“Aku sudah nitip pesen ke Kanaya buat ngasih tahu Mas Bram. Tapi katanya Mas Bram lagi sibuk banget. Kanaya nggak berani ganggu jadi aku inisiatif buat ngehubungi Mas Bram langsung.”Bram turun dari mobil. Dihirupnya udara dalam-dalam. Langit tak lagi gelap, tetapi matahari belum menampakkan dirinya di kolong langit. Sembari melangkah melintasi halaman, Bram berpikir, kapan Kanaya membicarakan tentang kasus Seruni. Sejak Mama, Rain, dan Ran sakit, sepertinya mereka memang tidak punya kesempatan mengobrol selain membicarakan kesehatan tiga orang itu, terutama Mama dan Rain.“Setelah sempat hiatus, kami mau buka lagi kasus ini, Mas. Kami ganti lawyer karena Mia masih belum pulih seratus persen.”Bram memasukkan ponsel ke saku, sejenak mengabaikan permintaan Dewi. Ia tahu perempuan itu pasti butuh jawaban cepat