“Polisi tidak menghentikan kasusmu.” Lelaki berkepala botak itu duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri, berseberangan dengan Tuan Besar yang berdiam di atas kursi putar. Ia menjeda kalimat dengan mengisap cerutu hingga asapnya mengepul dan menutupi wajah ovalnya selama beberapa detik. “Sebaiknya kamu off sementara. Pulangkan anak-anak asuhmu. Atau pekerjakan di bar dan kelab malammu. Semua akan aman.” Off? Enteng sekali kamu bicara! Tatapan tajam Tuan Besar menembus kepulan asap cerutu, mencari-cari wajah si kepala botak yang dengan tanpa beban telah memberi usul konyol. Menutup bisnis esek-esek miliknya sama dengan kehilangan enam puluh persen penghasilan. Dia belum gila sampai-sampai harus merelakan lebih dari separuh sumber pencarian tidak beroperasi. “Demi keselamatan dan reputasimu. Aku yakin, kamu tidak ingin kehilangan nama baik, bukan?” Si kepala botak mengangkat salah satu sudut bibirnya. Nama baik adalah segalanya bagi Tuan Besar. Ia tahu bagaimana caranya mer
Suara ketukan pintu menghentikan kecamuk pikiran Tuan Besar. Diletakkannya botol di atas meja tepat ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan salah satu alis terpotong memasuki perpustakaan.Tuan Besar menutup jendela dan menarik tirai. Lalu, dinyalakannya lampu dan mesin pendingin ruangan.“Tugas sudah selesai, Tuan. Siapa lagi yang harus saya bereskan?”Pria itu menghirup udara dalam-dalam. Ia selalu menyukai pertemuan di perpustakaan, menyukai bau kertas dan kayu. Seharusnya sekarang ia sedang berdiri di depan kelas atau menjadi peneliti. Namun, tragedi masa lalu telah mengubah arah hidupnya. Lalu, di sinilah ia, menjadi pembela bisnis haram.“Semua bersih?”“Saya pastikan tidak ada jejak yang tertinggal.” Lelaki itu menjawab dengan yakin kemudian menarik kedua sudut bibir ke atas. Sepasang lesung pipit tercipta ketika ia tersenyum.Tuan Besar berdiri sembari menghela napas dalam-dalam. Pandangannya tertuju pada foto keluarga yang tergantung di sisi kanan dinding perpus
Seketika ruang cuci piring menjadi gaduh ketika Seruni terkulai di lantai. Mei menjerit histeris. Suaranya mengalahkan bunyi air yang menyembur melalui selang di atas wastafel. Sementara itu, Reni berteriak meminta salah satu karyawan yang kebetulan sedang berada di sana untuk mengangkat tubuh Seruni ke ruang karyawan.“Lanjutkan pekerjaanmu,” titah Reni pada Mei. Pekerjaan masih banyak dan harus segera diselesaikan. “Biar aku yang urus Seruni.” Sungguh bukan waktu yang tepat untuk pingsan. Kenapa juga kamu pingsan saat jam sibuk? “Baik, Mbak. Tapi beneran kamu nggak perlu ditemani?”Reni menggeleng. “Aku tidak ingin kita bertiga dapat masalah karena menumpuk pekerjaan,” ujarnya seraya pergi meninggalkan ruang cuci piring.Sesaat Mei menatap tubuh Reni hingga hilang di balik dinding lalu kembali menata piring kotor di atas rak kayu untuk dibersihkan. Seingat Mei, sejak pertama kali bekerja di sini, ruangan ini berkali-kali menelan korban. Hanya Seruni yang pingsan, tetapi karyawan la
“Terima kasih, Pak. Tapi saya bisa pulang sendiri. “ Seruni memaksakan senyum.Dada Aditya berdenyar melihat senyum Seruni. Bibir tipis dengan lekuk sempurna milik gadis itu membuat laki-laki itu ingin segera menggenggam Seruni ke dalam pelukan. Sabar, Aditya. Jangan sampai rencanamu gagal karena terburu-buru. Aditya berusaha meredam gejolak dalam dirinya yang memiinta untuk segera dituntaskan.“Mari, Pak. Selamat siang.’ Seruni mengayunkan kaki meninggalkan Aditya yang masih menatapnya seperti elang hendak menangkap seekor kelinci.‘Tunggu, Seruni. Lebih baik kamu saya antar.”Seruni berbalik lalu sedikit membungkuk. “Tidak perlu, Pak, terima kasih.” Ia masih mencoba menjawaab dengan sopan sebelum berlari menjauhi Aditya.Seruni tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan laki-laki itu kalau dia bersedia diantar. Bukan ingin berburuk sangka, tetapi waspada lebih baik. Meski Aditya masih bersaudara dengan Bram dan Kai, bukan berarti sifat mereka bertiga sama. Mata Aditya mengataka
“Kantor polisi?” Wajah cerah Seruni mendadak berubah semuram pagi tanpa cahaya matahari. Untuk apa lagi ke kantor polisi? Ia sudah memberikan semua informasi yang diketahui, tidak ada yang tertinggal.“Kasus kamu itu belum selesai.” Bram menempelkan bibir di gelas dan meneguk jus jeruk perlahan, membiarkan rasa manis dan sedikit asam tertinggal di mulut seraya menatap paras Seruni.Gadis itu tampak manis hari ini dengan balutan tunik dan celana panjang. Dengan rambut diikat ke belakang dan poni tipis menutup dahi, Seruni benar-bernar terlihat seperti kelopak mawar baru saja merekah dihiasi embun. Segar dan menggoda untuk dipetik atau sekadar disentuh.“Saya sudah menjawab semua pertanyaan polisi, Pak. Apa masih ada yang kurang?”“Well, aku tidak tahu keterangan apa lagi yang dibutuhkan.” Bram membuka piring lalu mengedarkan pandangan ke makanan yang tersaji di meja. “Kanaya hanya menelepon kalau kamu pagi ini ditunggu Dewi di sana.”“Saya ambilkan nasinya, Pak.” Sigap Seruni mengambil
“Ya, ampun. Kamu kecelakaan di mana? Trus keadaan kamu gimana sekarang?” Dewi berseru panik. Kedua matanya melebar. Raut wajah sahabat Kanaya itu seketika berubah muram.Sembari mengusap ujung hidung, Dewi menggeser posisi, sedikit menjauhi Seruni dan Bram. Selama mendengar informasi dari seberang, raut muka perempuan itu berubah-ubah. Kadang terlihat sedih. Lalu, tampak berpikir keras dan terakhir beberapa kali kelopak matanya mengerjap. Ada yang coba ia sembunyikan dari balik bola mata cerahnya.“Oke, oke. Kita stop dulu agenda hari ini. Kita fokus ke kamu dulu. Aku segera ke sana.” Dewi menutup telepon dan kembali mendekati Seruni dan Bram yang menanti dengan wajah cemas.‘Sorry banget Mas, kita tunda dulu agenda hari ini. Lawyer kami kecelakaan.” Dewi memasukkan ponsel dan satu bendel berkas ke dalam ransel. Sebuah pulpen ia selipkan di sela kemeja.Seruni menatap takjub perempuan di hadapannya. Ada banyak hal baru yang ia dapat dari Dewi, termasuk bagaimana ia menyimpan pulpen ya
“Ada yang mau aku tanyakan ke Seruni. Penting banget.”Ekor mata Bram melirik Seruni sekilas. “Kebetulan anaknya sudah selesai kerja. Saya antar sekarang juga.”Seruni mendongak, menatap paras Bram yang tampak lelah sekaligus juga sedikit tegang. Ia mulai khawatir, sesuatu yang berat kembali menghadang langkahnya setelah sempat bahagia karena diterima menjadi asisten chef.“Apa ada masalah lagi, Pak?” tanya Seruni ketika Bram sudah menutup telepon.“Saya antar kamu ke Bethesda sebentar. Setelah itu kamu bisa pulang sendiri karena saya harus ke rumah sakit jemput Mama dan setelah itu rapat dengan dinas di pendopo propinsi.”“Saya bisa ke Bethesda sendiri, Pak.” Seruni berujar mantap. Ditatapnya Bram penuh rasa percaya diri. Ia belum tahu jalur bus ke sana, tetapi semua bisa diatasi dengan bertanya pada petugas. Tidak akan ada masalah berarti selama masih di kota. “Bapak ke rumah sakit saja jemput Nyonya.”Bram terdiam sesaat sembari jemarinya memainkan ponsel. ‘Saya antar saja. Cepat m
“I-iya.” Seruni tersenyum canggung dan sedikit gugup. Hanger dalam genggaman tangannya nyaris jatuh kalau saja ia tidak buru-buru menyadari sedang berada di ruang ganti karyawan. Bersama laki-laki asing dalam ruang tertutup membuat otak Seruni tidak berfungsi selama beberapa detik.Sebenarnya, ada dua toilet untuk putra dan putri. Namun, setelah berganti baju, mereka akan berada di ruang yang sama. Semua loker karyawan ada di sana. Kebetulan mereka giliran terakhir yang berganti pakaian karena juru masak lain mengantri lebih dulu.“Senang bisa satu tim denganmu.” Ben kembali bersuara. Bibir pria itu melengkung sempurna hingga kedua matanya agak menyipit.“Saya juga.” Seruni tidak tahu harus menjawab apa. Entah mengapa Ben telah mencerabut kemampuannya merangkai kalimat. Seruni merasa dirinya pasti terlihat bodoh di hadapan Ben.‘Kita harus cepat ke dapur. Jangan sampai juru masak terlambat.”Seruni mengangguk. Ia harus sedikit mendongak agar bisa bertemu manik mata biru milik pria it
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta
“Nay, selama Seruni belum ketemu, aku nitip rumah. Kamu fokus ngurus Mama dan anak-anak. Aku yang akan cari Seruni.’ Hari sudah gelap dan Bram masih bertahan di kantor.Lebih dari 24 jam Seruni hilang. Polisi dan tim dari NGO yang menangani kasus ini belum berhasil menemukan jejaknya. Ia seperti debu yang hilang ditiup angin.Bram memilih bertahan di kantor agar tetap bisa berpikir jernih. Di rumah, ia harus berada di samping Rain dan Ran sampai mereka tidur. Ia juga harus menghadapi wajah-wajah muram Mbok Asih dan Wulan. Mereka memang tidak banyak bertanya, tetapi mata keduanya mengungkap jauh lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan oleh mulut. Bram tidak sanggup melihat kemelut itu.“Beres, Mas. Semua aman, kok. Kamu nggak usah khawatir.”Bram mengecek jadwal kontrol sang mama. ‘Thanks, Nay. Besok Mama harus kontrol. Kamu bisa minta tolong Kai buat nganter.”Nay tertawa. ‘Nggak perlu. Aku bisa handle, kok. I’m not a little girl, Mas. Jangan bilang kamu ambil kesempatan genting in
“Aduh!” Seruni mengerang. Dadanya sakit karena Shin memelintir tangan dan menekan punggungnya ke mobil.“Sudah kukatakan, jangan coba-coba melawanku. Aku tidak sebodoh dan selemah Gou.” Shin menarik tubuh Seruni menjauhi mobil lalu mendorongnya masuk ke dalam Expander. Kamu benar-benar macan kecil, Nona. Aku tidak akan pernah melepasmu. Shin duduk di samping Seruni. Diambilnya pisau lipat lalu menempelkan ke perut Seruni. sedikit saja gadis itu bergerak, pisau akan segera bekerja merobek kulit dan menembus tubuhnya.Salah satu penjaga masuk ke mobil dan duduk di samping kanan Seruni. Diambilnya selembar kain hitam lalu menutupkannya ke mata Seruni.Seruni menahan napas, merasakan pisau tepat menempel di tubuh dan dunia yang mendadak gelap. Satu-satunya jalan agar tetap bernapas hanya dengan menyerah dan berpura-pura menjadi anak manis.Perjalanan terasa begitu lama bagi Seruni. Ia berusaha menajamkan pendengaran, berharap mendapat petunjuk di mana ia berada. Namun, tidak ada suara a
Shin mundur selangkah. ‘Makanlah dulu. Kita bicarakan soal utangmu nanti.” Melihat Seruni menurunkan tensi, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ia semakin yakin, Seruni akan jatuh ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, dilepaskannya ikatan tangan Seruni agar gadis itu bisa makan.Desisan Seruni terdengar ketika tali pengikat telah terlepas. Seruni menyeringai kesakitan sambil mengangkat tangan. Dilihatnya pergelangan tangannya memerah.“Makan.” Shin mengangkat dagu, memberi isyarat pada Seruni agar segera mengambil piring.Nyeri di tangan Seruni masih terasa. Ia bergeming dan mengabaikan perintah Shin. Sambil meniupi bagian tangan yang tergores, bayangan tubuhnya menggelepar keracunan makanan menggantung di depan mata. Ia bergidik seraya mengernyitkan dahi lalu beringsut menjauhi piring.“Kalau kamu tidak mau makan sendiri, aku akan suapi.” Shin mengangkat piring, menyendok nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Seruni.Seperti ada yang bertalu di dada Shin melihat bibir Seruni yang menge