Dion masih belum bisa mencerna sepenuhnya apa yang terjadi di depannya saat ini. Kala keluarga Winthrop datang ke rumah kecilnya yang sederhana di Surabaya adalah sesuatu yang begitu di luar perkiraannya selama ini. Kini, seorang pengacara perwakilan dari Winthrop meletakkan seluruh dokumen penting berisi simpanan uang yang merupakan gaji, tunjangan, pensiun serta seluruh tabungan milik Steven Juliandra dan Anggita Pratiwi.
Dion diminta untuk membaca seluruh isi dokumen yang dibuat dalam dua bahasa tersebut. Selain hak milik Steven, Winthrop juga memberikan aset kepemilikan saham dari Winthrop Corporation sesuai dengan wasiat Gerald Winthrop. Sejumlah aset seperti mobil, perhiasan juga kepemilikan properti yang merupakan hadiah Gerald untuk Steven dan Anggi.
“Jumlah seluruh uang tunai yang tersimpan dalam kotak deposit di bank Royal Caramen, Inggris adalah sebesar 150.000 poundsterling atau sebesar 2,7 milyar dua ratus enam puluh lima juta rupiah. Jumlah tabungan
Kenzi begitu bersemangat memperlihatkan kamar dan mainannya pada Dion. Terlebih Dion juga ikut membawa mainan Lego yang sudah lama diinginkan oleh Kenzi. Bagai gayung bersambut, Kenzi langsung antusias.“Kenalan dulu dong sama teman-temannya Om Dion. Mereka juga Om-Om Polisi yang baik,” ujar Dion memperkenalkan Kenzi pada Jasman dan Peter. Kenzi dengan ramah bersalaman dengan keduanya.Sisca begitu bahagia melihat tawa canda Dion pada Kenzi. Ruang bermain Kenzi jadi ramai karena Jasman dan Peter juga pintar membawa diri. Tidak ada kecanggungan dari ketiganya. Sisca bahkan membawa Kevin yang baru bangun dari tidurnya untuk ikut bermain bersama Dion.“Oh, kemari Sayang! Baru bangun ya, hhmm!” Dion mencium pipi Kevin yang terlihat riang seketika bertemu Dion.Belum pernah Sisca melihat Kenzi begitu bahagia dengan seorang pria asing seperti Dion. Bahkan pada Rico sekalipun, Kenzi tidak pernah tertawa lepas seperti sekarang. Kevin juga
Ketika saatnya pamit untuk pulang, Dion berbicara sejenak pada Kenzi. Ia mungkin hanya akan kembali ke Indonesia untuk resepsi dan tinggal di Amerika bersama Venus nantinya.“Om Dion gak mau datang lagi?” tanya Kenzi begitu tahu jika Dion akan pergi.“Bukan gak mau, Sayang. Om kan sudah punya pekerjaan baru dan tempatnya di New York. Nanti kapan-kapan Kenzi ke New York, kita bisa ketemuan.” Kenzi tersenyum lalu mengangguk. Dion pun berdiri kembali untuk pamit pada Sisca.“Aku akan kirimkan undangan pernikahanku nanti. Aku harap kamu dan anak-anak bisa hadir, acaranya di Surabaya.” Air wajah Sisca sempat berubah tapi ia berusaha tersenyum.“Baik-baik ya, sampai jumpa, Sisca! Daagh ... Kenzi!” Dion melambaikan tangannya pada Kenzi dan Sisca hanya diam saja. Dion keluar dari gerbang untuk masuk ke dalam mobilnya. Satu beban sudah dilepaskan Dion sekarang tinggal satu hal lagi.***Semenjak diusir
Laras mengamuk dengan melemparkan berbagai benda yang bisa ia raih di kamarnya. Sampai salah satu kursi lantas melayang ke arah jendela dan pecah. Betapa kagetnya Dion mendengar semua keributan itu. Pak Angsana dan Bu Desna tidak berani masuk untuk menenangkan. Jika sudah seperti ini, Laras bisa melukai dirinya sendiri.“Kita harus masuk ke dalam!” tukas Dion pada Pak Angsana dan Bu Desna. Pak Angsana sontak menggelengkan kepalanya.“Itu berbahaya, Dion!”“Tapi sudah ada yang pecah di dalam!” PRANG – bunyi pecahan makin terdengar jelas disertai dengan teriakan yang tidak jelas tentang apa yang tengah dikatakan oleh Laras.“Biar saya aja yang ke dalam!” sahut Dion lagi sudah tak tahan bersikeras masuk. Pak Dhe Halim langsung menghalangi.“Jangan Dion! Nanti kalau kamu kenapa-kenapa, gimana?” tukas Pak Dhe Halim kemudian. Dion masih bersikeras dan tetap berjalan mendekati pintu kamar.
Mendarat di New Jersey setelah menempuh perjalanan 20 jam usai sekali transit, rombongan Dion dijemput untuk menuju Red tower milik James Belgenza. Keesokan harinya, Rei akan melaksanakan pernikahannya di tempat dulu orang tua Jewel menikah, setelahnya resepsi akan dilakukan di Miami. Jadi tidak ada waktu bagi Dion beristirahat. Ia langsung bersiap berganti pakaian dan bersiap-siap menjadi salah satu pengiring.“Welcome home, Dude!” Brema yang pertama melihat Dion keluar dari mobil langsung menyapa dan memeluknya.“Terima kasih.” Brema ikut menyalami keluarga Dion satu persatu sampai Cindy yang sering menonton televisi menyadari sosok Brema.“Ini bukannya Iron Chef yang di Hell Kitchen ya? Chef Brema kan?” tunjuk Cindy begitu antusias. Ayu langsung menyikut Cindy yang jadi heboh dan diperhatikan oleh banyak orang. Sementara Brema malah terkekeh dan mengangguk.“Nanti kita ngobrol ya!” Cindy langsung mengangg
"Lo bener-bener gak punya perasaan! Gue sudah gugup begini, lo malah senyum sama handphone!" tukas Jupiter menunjuk dengan penuh emosi. Ares hanya mencibir saja dan makin senyum-senyum mengetikkan balasan chat untuk Putri.Aldrich kemudian datang memeriksa persiapan Jupiter dan menarik Ares agar ia bersiap memimpin rombongan pengiring pengantin. Dion tersenyum karena Aldrich mengambil perannya untuk mempersiapkan Ares dan Jupiter. Ia pun mengambil tempat di samping Jupiter, mengapitnya bersama Rei."Ares, kamu di depan!" tunjuk Aldrich kesal karena Ares masih terus memegang ponselnya. Rei mempersiapkan Jupiter di barisan paling belakang. Ares pun menyimpan ponselnya dan mengangguk. Pintu kemudian dibuka dan Ares mulai berjalan memimpin saudaranya untuk berjalan melewati altar mengantarkan Jupiter.Iringan melodi indah dari piano yang dimainkan oleh asisten Jupiter yaitu Demian Rhodes menandakan pengantin pria memasuki gereja sebelum pengantin wanita dan pengirin
Segala yang diperjuangkan oleh Dion selama ini seolah mendapat ujungnya hari ini. Penantiannya untuk menikah serta menjadi seorang suami berakhir di altar pernikahan. Dahulu, Dion jatuh cinta pada cinta pertamanya Laras dan selalu bermimpi akan menikah dengannya suatu hari.Namun, hari ini semuanya terbalik jauh dari rencana Dion semula. Bukan Laras yang disematkan Tuhan menjadi tulang rusuknya, melainkan seorang wanita yang semula asing bagi Dion. Siapa sangka, usahanya untuk memenuhi kebutuhan menikah mempertemukannya dengan jodoh yang sebenarnya.Venus Harristian memenuhi semua hal yang diimpikan Dion Juliandra selama ini. Dion bukan pria seperti Jupiter yang megah sedari lahir dan mewarisi kepercayaan diri selayaknya ayahnya yang besar. Dion adalah pria dengan segala ketidaknyamanan hidup dan rasa percaya diri. Itulah menjelang pernikahan, Dion malah tidak bisa tidur dan merasa jika ia tengah berada dalam mimpi sangat panjang.Mansion Winthrop di Manchester
Langkah kaki Laras makin lama makin pelan. Ruangan yang ia masuki begitu asing baginya. Hanya ada beberapa meja serta kursi yang berserakan di lantai. Saat ia melihat ke atas, rembesan air masih jatuh di dekat kakinya. Tidak ada penerangan dari lampu. Cahaya hanya berasal dari bias cahaya di luar gedung.“Aaaa ...” terdengar suara teriakan sayup-sayup dari suatu arah. Laras menoleh cepat ke belakang dan suara itu hilang.“Mas? Mas Dion ...” panggil Laras mencoba meraih Dion yang seharusnya ada di tempat itu. Namun yang terdengar adalah bunyi tetesan air yang jatuh membasahi lantai keramik yang lusuh seperti baru saja terbakar. Laras kembali mendengar suara teriakan seorang pria.Ia berlari keluar dari ruangan tersebut dan berhadapan dengan koridor yang panjang.“Aaahh, tolong aku!” suara itu kembali terdengar seperti angin lalu dan hilang. Laras makin panik dan napasnya mulai tersengal. Kini ia ingat jika seharusnya ia
“Dion! Dion ... “ suara Aldrich memanggil Dion yang sedang tertidur di atas sofa bekas pesta semalam. Dion menggerang pelan dalam posisi tengkurap. Ia mendengarkan suara Aldrich yang mendorongnya dan saat ia akan mengangkat kepala, BHUG – Dion terjatuh dari atas sofa ke lantai.“Aaaahh ... uhuk ... uhuk ... aahh!” Dion terbatuk sekaligus mengerang sakit karena punggungnya yang menghantam lantai.“Oh Tuhan, kepalaku!” erang Dion lagi mulai memegang kepalanya. Posisinya masih sama yaitu di atas lantai.“Bangun, ini jam berapa!” sahut Aldrich ikut mengeram. Ternyata ia dan Dion tertidur di atas sofa dalam keadaan mabuk berat. Di kamar itu, Cass tergeletak di dekat kaki ranjang dalam keadaan yang sama.Aldrich yang masih mencoba untuk sepenuhnya membuka mata di tengah suasana kamar yang cukup berserakan lalu menendang Dion lagi.“Hei, bangun ... kita harus berangkat!” Aldrich mendo