Masayu Anastasia Himawan, 27 tahun. Cantik dan single, membutuhkan pengawasan agar tidak menjalin hubungan dengan pria mana pun,” decak Rayhan, membaca sebuah berkas yang diambilnya dari meja bos sekaligus teman baiknya.
“Bapaknya gak waras kali, ya, masa anak gadisnya yang cantik dan single tidak boleh menjalin hubungan dengan pria mana pun?” kelakar Dimas. “Di mana-mana, orang tua ingin anak gadisnya lekas mendapat jodoh, ini malah mau dikekepin sendiri gak boleh dekat dengan pria.”“Dia sudah dijodohkan,” ungkap Maximillian sinis, mengomentari keheranan dua rekannya. Sibuk, ia mengambil alih berkas dari tangan Rayhan, lantas menyatukannya bersama berkas-berkas lain milik Masayu Anastasia Himawan.“Ya, elah, hari gini masih ada saja acara perjodohan! Jaman Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih sudah lama berlalu.”Benar, jaman Siti Nurbaya telah lama berlalu. Namun, ayahnya masih saja bersikeras melanjutkan perjodohan yang telah diaturnya 20 tahun yang lalu.Ditatapanya berkas-berkas di tangannya, mencoba mengingat seperti apa sosok Masayu Anastasia yang katanya pernah begitu dekat dengannya. Selain seorang gadis kecil berkepang dua yang sangat manja dan menyebalkan, Max tidak ingat apa pun, dan ia akan dijodohkan dengan gadis seperti itu?Ayahnya memang tidak memaksa, tetapi justru Om Himawan ini yang begitu berharap mereka melanjutkan perjodohan dengan putrinya. Om Himawan menaruh harapan besar pada Max, terlebih setelah tahu perusahaan penyedia jasa keamanan yang didatanginya adalah milik Max, ia justru meminta kepada Max secara khusus untuk mengawal putrinya, padalah Max adalah bosnya.“Dia sangat cantik, Max,” kata sang ayah, mendukung sepenuhnya keinginan Om Himawan untuk menjodohkannya. “Kamu akan menyesal kalau sampai menolaknya.”“Aku tidak peduli dia cantik atau tidak, Pa. Sudah bukan jamannya main jodoh-jodohan. Jaman sudah berubah!”“Temui dia dulu, setelah itu baru kamu boleh bilang tidak.” “Sudahlah, Pa, aku akan melayani Om Himawan dengan profesional, tapi yang jelas bukan aku yang akan mengawal putrinya.”“Justru Papa ingin kamu yang menjadi pengawalnya, Max. Ayu sangat istimewa, dia bukan sekedar klien, tetapi juga calon istrimu.”“Pa,” keluhnya. “Lupakan rencana perjodohan konyol itu.”“Dia teman masa kecilmu, Max.”“Mana mungkin! Usianya delapan tahun lebih muda dariku,” sanggahnya.Sang ayah tidak menyerah, ia mengambil sebuah album foto lawas dan menyerahkannya pada Max. “Bukalah, di sana ada foto-fotomu dengan Ayu.”Ya, foto gadis kecil bergigi ompong yang bergelayut manja di tangannya. Rambut hitamnya dikepang dua. Ia hanyalah seorang anak kecil yang kebetulan dekat dengannya, bukan teman masa kecil!“Percayalah sama Papa, Max, Ayu sudah banyak berubah. Papa pernah bertemu dengannya, dia sangat cantik. Papa rasa, tidak ada salahnya mencoba. Jika kalian memang merasa tidak cocok satu sama lain, Papa tidak akan memaksa.”Kedua temannya menertawakan, Max mendengus keras. Sudah menduga bahwa ia akan segera dijadikan bahan olok-olok oleh Rayhan dan Dimas, mana kala mengakui perjodohan konyol yang diatur kedua orang tua mereka.“Kasih lihat fotonya, pengen tahu seperti apa si Ayu ini, Max. Kurasa ayahmu ada benarnya, sebaiknya mencoba dulu, jika cocok, mengapa tidak?” cetus Dimas.“Bokap nyokap minta cucu, Max, kasihanilah mereka. Kamu beneran kudu nikah, melepas masa lajang dan membangun keluarga bahagia bersama Ayu kecil yang bergigi ompong.” Rayhan ngakak keras, sangat puas mengolok sahabatnya.Max mendengus masam, “Aku tidak akan menikah dan tidak ada keinginan untuk menikah!”“Jadi, Bianca sekedar mainan, Max?” sergah Dimas.“Yaelah, Dim, semua orang juga tidak ingin punya istri seperti Bianca. Dia asyik dijadikan teman kencan, tapi tidak untuk dijadikan istri.” Rayhan berdecak keras. “Seberengsek-berengseknya pria, pasti ingin beristrikan perempuan baik. Lagi pula, bos besar pasti tidak akan merestui hubungan Max dengan Bianca.”Menghembuskan napas, Max menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi putarnya, lantas memutar-mutar kecil.Hampir enam bulan ia menjalin hubungan dengan Bianca, benar yang dikatakan Rayhan, ia sama sekali tidak ada niatan serius untuk menjadikannya pendamping hidup. Hingga sekarang, Max sama sekali tidak punya keinginan menikah, terlebih dengan Bianca.Max cukup beruntung, ayahnya tidak pernah memaksanya untuk menikah. Menganggap Max sudah cukup dewasa dan bisa membuat keputusan yan terbaik untuk dirinya. Namun, berbeda dengan ibunya.Ibunya adalah sosok yang sangat relijius, ia akan mengomel setiap kali Max ketahuan menjalin hubungan dengan perempuan tanpa bermaksud membawanya ke jenjang serius. Jangan ditanya, sudah berapa kali ia menyodorkan perempuan untuk dinikahi putranya, tetapi Max memilih kabur. Ia tidak akan bersedia terikat komitmen.“Berikan saja Bianca padaku, kamu urus Ayu kecilmu yang ompong itu,” lanjut Rayhan.“Sudah 20 tahun berlalu, Ray, aku tidak yakin si Ayu masih saja ompong. Dia pasti telah menjelma menjadi perempuan cantik. Kurasa, sebaiknya kamu segera menemuinya, Max, minimal melihatnya untuk meyakinkanmu.”“Apa yang perlu diyakinkan? Aku sama sekali tidak berniat menerima perjodohan konyol ini,” dengusnya. Ia menyerahkan amplop coklat besar berisi berkas-berkas Masayu Anastasia, kepada Dimas. “Kamu saja yang urus. Kirim seseorang untuk menjadi pengawalnya.”“Ayahmu ingin kamu yang menjadi pengawalnya.”“Aku bos, itu bukan tugasku,” balasnya tak acuh.“Tidak,” tolak Dimas sembari menggeleng. “Aku tidak akan melangkahi perintah ayahmu. Lakukan sendiri, Max, kuharap dia sudah tidak ompong lagi,” lanjutnya sembari terkekeh.Max menghela napas kasar, kedua temannya memilih pergi sembari menertawakannya. Si gadis ompong itu, Max tidak punya pilihan lain selain menemui dan menerima menjadi pengawal pribadinya.Bersambung …Setiap orang memiliki ratu dalam hidup, seorang perempuan yang akan selalu diprioritaskannya, termasuk Max.Dari luar, Max tampaknya merupakan seorang pria tak acuh dan dingin yang tak banyak mengekspresikan segala perasaannya, tetapi ia memiliki seorang perempuan yang sangat disayanginya, perempuan yang akan selalu diperjuangkan kebahagiaannya. Max menyayanginya lebih dari dirinya sendiri.Belum ada sepuluh menit Max duduk bersama kedua rekan sekaligus sahabatnya, bahkan kopi yang dipesannya pun masih penuh, ketika ponselnya menjerit-jerit memanggil. Terjeda semua obrolan santainya bersama Ray dan Dimas, Max mengeluarkan sebuah benda pipih persegi dari balik saku celananya.“Nyonya menelepon,” katanya sembari meletakkan telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat diam. Tanpa beranjak, ia menggeser tombol jawab di depan kedua temannya. “Ya, Ma?”“Ahmad sayang, kamu di mana, Nak?” Suara lembut menyapanya dari seberang. Max memuta
“Adiknya Ahmad nyantri di Batang, di tempat mbahnya. Mbak Milka tidak berkenan membawa Ayu ke sana saja? Banyak anak-anak bermasalah yang dibawa ke sana, mereka dididik dengan tegas untuk menjadi pribadi yang lebih baik."Max mendengar percakapan ibunya bersama keluarga Himawan di ruang tamu. Sejujurnya ia malas harus menemui mereka, apa lagi kalau membahas urusan perjodohan, tetapi tidak punya pilihan lain.Usai mandi dan berganti pakaian santai, Max mendatangi mereka dan ikut bergabung di ruang tamu, mendengarkan keluhan keluarga Himawan mengenai tingkah putrinya yang sudah keterlaluan. Mereka hanya datang berdua, Masayu yang sedang menjadi bahan pembahasan tidak ikut serta.“Ayu bukan perempuan relijius seperti Nahla, Lys. Dia pemberontak dan suka kebebasan, terlebih dia bukan anak-anak lagi, aku tidak yakin dia bisa dipaksa untuk tinggal di pesantren,” keluh Milka.“Aku juga belum berpikir ke sana,” timpal suaminya.“Saat ini, aku hanya perlu mengawasinya setiap tingkahnya. Aku ben
Bukan sebab ayahnya yang kaya raya, bukan pula nama ibunya yang dikenal di kalangan sosialita, Masayu mengawali bisnisnya di bidang fashion murni atas kerja kerasnya sendiri.Bukan lulusan sekolah tata busana, kemampuannya dalam hal merancang busana tentunya diragukan banyak orang, termasuk orang tuanya sendiri. Mereka tidak setuju Masayu menjadi seorang desainer, terutama ayahnya.Masayu dipersiapkan sejak dini untuk menjadi penerus perusahaan sementara hingga adiknya dewasa, tetapi ia lebih memilih mengejar impiannya sendiri, mengawalinya dari nol di mana ia tidak mendapatkan dukungan dari siapa pun.Ia sering menawarkan jasanya kepada teman-teman ibunya di kalangan sosialita, memperlihatkan desain rancangannya, tetapi sering pula penolakan yang didapatnya. Mereka meragukan rancangan Masayu.Tidak menyerah, ia terus berkarya, menciptakan desain-desain yang kreatif.Nasib baiknya datang ketika ia memberikan ha
Berbalik 180 derajat sikapnya mana kala menyambut Max keluar dari ruang kerja Budi Himawan.Tangisnya yang sesenggukan musnah tak tersisa, air matanya palsunya entah pergi ke mana. Ia melipat kedua tangan ke dada sembari memasang sikap angkuh yang sangat menjengkelkan, bibirnya mengulas senyuman ejekan, merasa telah berhasil membuat Max dalam masalah besar.“Bagaimana? Apakah Papa sudah berkenan memecatmu setelah menyakiti putri kesayangannya?” ujarnya dengan mimik penuh kemenangan.Max mendengus keras, sudah menduga, ratu drama ini sedang berusaha menyingkirkannya dengan cara yang sangat kekanakan.“Kamu sungguh kekanakan,” dengus Max, tajam matanya menatap Masayu, seolah siap menghunus jantung perempuan itu dan membuatnya sekarat.Masayu tampak sangat menyebalkan, Max menahan diri untuk tidak mencekiknya hingga kehabisan napas.“Persetan, aku tidak peduli, yang terpenting aku bisa menyngkirkanmu.” Masay
“Mencintai suami orang? Busyet! Macam sudah tak ada pria lajang yang menarik saja,” decak Rayhan sembari tertawa ngakak. “Jangan-jangan karena dia ompong, jadi gak laku sampai-sampai suami orang pun diembatnya?”“Dia sudah tidak ompong,” balas Max, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lantas menyulutnya. “Dan cantik sekali.”Rayhan urung menyesap kopinya, ia menoleh, saling berpandangan dengan Dimas. “Kamu dengar itu, Dim?”“Dia sangat cantik,” gumam Dimas, keningnya berkerut dalam. “Baru kali ini aku mendengar Max memuji kecantikan seorang perempuan, tentunya selain ibunya.”“Aku tidak memuji,” bantah Max, “Hanya mengatakan yang sebenarnya.”“Bianca juga cantik, tapi kamu tidak pernah mengatakannya. Satu-satunya perempuan yang kamu sebut cantik hanyalah ibumu, dan sepertinya sekarang bertambah satu lagi.”Terdiam, Max menyesap rokoknya nikmat, lantas menghembuskan asapnya ke udara, membe
Tawa Ivander menyembur keras, puas sekali ia menertawakan kekesalan adik sepupunya.Jengkel, Masayu mendelik tajam sembari melemparinya bantal sofa, merasa percuma menceritakan kedongkolannya pada Ivander.Pria itu sedang berbahagia, sebentar lagi akan menikah dengan perempuan yang dicintainya. Dunianya di sekitarnya terasa berwarna, mana mungkin dapat melihat keruh wajah Masayu.“Dia bajingan bukan? Pokoknya kamu harus membantuku menyingkirkan dia. Bayangan, Van, bayangkan! Dia bilang ke Papa aku mabuk dan menggodanya, Ya Tuhan! Bedebah itu bilang, tidak tertarik padaku meski aku sangat cantik dan menggoda, dia tidak mau meladeni sebab memegang teguh ajaran ibunya untuk menghormati perempuan. Cih, sok alim! Aku harus cari kebobrokannya, aku yakin dia tidak sealim itu!”“Max memang tidak suci, tapi bukan pria bajingan seperti yang kamu tuduhkan.” Tawa Ivander memelan, ia sampai batuk-batuk menertawakan adik sepupunya. “Mungkin memang kamu yang tidak menarik di matanya.”“Sialan kamu,
Butik selalu sepi ketika pagi hari, untuk itu, Masayu sengaja datang terlambat, toh tidak ada sesuatu yang mendesak.Sebenarnya Masayu tidak perlu datang ke butik setiap hari, kecuali untuk bertemu dengan klien secara khusus, sudah ada asisten dan karyawan butik yang dapat menghandel segalanya.Namun, terbiasa berjuang dan bekerja keras sejak awal, ia tidak bisa membiarkan semua urusan ditangani orang lain.Masayu lebih senang mengerjakan banyak hal sendiri, termasuk menemui para tamu yang datang ke butik. Ia sering turun tangan langsung untuk melayani para tamu, ketika karyawannya sedang istirahat.Pukul 10 pagi, ia baru tiba di butik setelah mengerjai Max habis-habisan. Wajahnya berseri-seri, sarat akan kepuasan. Mungkin ibunya akan mengomelinya setelah menyadari perbuatannya, tetapi Masayu tidak peduli, yang terpenting ia berhasil membuat Max kesal setengah mati.Bunyi gemericik air shower terdengar dari kamar mandi. Masayu cekikikan puas. Max sedang mandi di kamar mandi butiknya s
Kehidupan di kalangan orang-orang beruang, tidak selamanya seindah dalam novel-novel yang dibaca Masayu semaja remaja.Suami tampan dan setia, uang yang mengalir bak air bah, hidup bahagia dan penuh kasih sayang. Sangat sempurna untuk sebuah dongeng, tetapi tidak dalam kehidupan realita.Nyatanya, selain para selebriti yang memang membutuhkan sebagai penunjang penampilan, orang-orang yang datang ke butik Masayu banyak juga dari kalangan para sosialita yang kesepian, salah satunya Tante MirnaSudah dua tahun Tante Mirna menjadi pelanggan tetap, boleh dibilang ia merupakan pelanggan sejak Masayu masih berjuang, belum mendirikan butik seperti sekarang. Tante Mirna cukup dekat dengannya dan sering mengeluhkan hidupnya yang dirasa sangat tidak adil.Suaminya kaya raya, tetapi tidak setia. Setahun terakhir, Tante Mirna terlibat perang dingin dengan suaminya, mereka hidup seatap tetapi bak orang asing yang tidak saling mengenal.Tante Mirna sangat kecewa dengan suaminya setelah perselingkuha
Ada yang berbeda dalam hidup Max, dalam lima hari ini terasa seperti ada yang hilang.Sementara yang dimaksud Milka ternyata hingga batas waktu yang tidak dapat dipastikan. Masayu masih belum kembali, ayahnya beberapa kali menghubungi Max, menanyakan keberadaannya. Namun, Max sama tidak tahunya.“Tante bilang, Ayu hanya butuh waktu menyendiri, Om. Memang Tante tidak bilang sama Om kalau sudah bertemu Ayu?”Semakin ia merasa ada yang disembunyikan perempuan itu, mana kala mendapat jawaban Himawan. Milka tidak mengatakan apa-apa pada suaminya.“Om akan menanyakannya nanti. Milka benar, kita tidak perlu berlebihan mencemaskan Ayu, dia hanya sedang merajuk, nanti juga akan kembali.”“Tapi ini sudah lima hari, Om.”“Tidak apa-apa, Max, anak itu sudah dewasa, ibunya juga sudah mengatakan dia baik-baik saja.”Mungkin memang hanya perasaan Max saja yang berlebihan, ayah dan ibunya Ma
Masayu hanya perlu waktu sebentar untuk menyendiri. Namun, tak urung ia tetap resah memikirkannya.Semalam suntuk Max tidak dapat tidur, mencari Masayu ke sana-kemari.Max baru akan datang ke kantor keesokan paginya, meminta bantuan kedua temannya untuk ikut melacak keberadaan Masayu, tetapi Milka sudah meneleponnya terlebih dahulu, memintanya berhenti mencari.“Tante sudah bicara dengannya, dia baik-baik saja,” katanya. “Tidak apa-apa, Max, tidak usah mencarinya lagi.”Ya, Max tidak perlu mencarinya, harusnya ia lega mendengar perempuan itu baik-baik saja. Namun, entah mengapa hatinya justru sebaliknya.Insting Max yang tajam mencium sesuatu yang tidak beres, hanya dengan mendengar nada suara Milka. Alih-alih kelegaan, suara perempuan itu justru seperti seorang yang sedang dilanda ketakutan.Max kian resah, ia belum bisa percaya sebelum melihatnya secara langsung.“Apakah dia sud
Rumah yang sudah 27 tahun ditempatinya, tak lagi memberikan kenyamanan. Segala kehangatan di dalamnya seolah lenyap begitu saja tanpa bekas.Hari-harinya penuh dengan perdebatan panas yang ikut memanaskan kepalanya sebab tersulut oleh amarah, membuatnya tidak betah berlama-lama di rumah.Taka da lagi tempat yang dirasanya nyaman. Di butik, ada Max yang keberadaannya sangat tidak ia harapkan. Sementara di rumah pun tak lagi menawarkan kenyamanan.Sebagaimana hari-hari sebelumnya, malam itu perdebatan sengit antara ia dan ayahnya, kembali pecah.Jika sebelum-sebelumnya duduk permasalahannya adalah keberatan Masayu yang merasa terkekang, kehadiran Max membuatnya merasa tidak diberi ruang kebebasan sama sekali, maka kali ini masalahnya lebih serius.Ayahnya baru saja kedatangan tamu yang tak lain adalah Lucas, ayahnya Max. Mereka mengobrol lama, rupanya sedang membicarakan perjodohan antara Masayu dan Max.
Sudah waktunya mereka saling bicara untuk memperbaiki hubungan, terlebih Larissa telah menjadi kakak sepupunya.Selain belum berani, selama ini Masayu sengaja memberi waktu Larissa agar siap. Perempuan itu menjadi orang yang paling terluka, hubungannya dengan Masayu pun merenggang, tentunya tidak mudah membuatnya serta-merta dapat menerima permintaan maaf Masayu. Malam itu, usai ijab qobul pernikahan Larissa dengan Ivander, ia memberanikan diri meminta waktu pada Ivander untuk mengajak Larissa bicara.Jantungnya berdetak kencang, tangannya terasa dingin, sejujurnya ia gugup dan takut, khawatir Larissa akan menamparnya, lantas mentah-mentah menolak permintaan maafnya.Sepenuhnya sadar, kesalahan Masayu terlalu besar, ia membuat perempuan itu kehilangan suami, Malik dan Larissa bercerai sebab Masayu, wajar seandainya Larissa menolak permintaan maafnya.Menarik napas, lantas menghembuskannya, demikian hingga berkali
Nama Malik kembali mencuat ke permukaan, membangkitkan kesedihannya.Pertunangan mereka telah kandas, kedua orang tuanya tidak merestui hubungannya dengan Malik. Hubungan mereka memang salah, tapi biar bagaimanapun, pria itu masih mendiami hatinya.Meski telah bertekad mengakhiri dan melupakan, tetapi tidak mudah mengenyahkan sosoknya begitu saja, terlebih Malik merupakan cinta pertamanya, satu-satunya pria yang berhasil membuat Masayu merasakan jatuh cinta.Mendengar namanya, mampu membangkitkan kesedihannya. Bertemu dengan orang yang memiliki hubungan erat dengan pria itu, membuat Masayu kembali mengingatnya.Malik pernah bercerita, ibunya sudah tua dan tinggal sendirian di desa yang sangat jauh dari ibukota.Pria itu pernah mengutarakan keinginannya untuk membawa istrinya dan mengajaknya hidup sederhana, kala itu Masayu belum tahu Malik telah memiliki seorang istri.Ia beranggapan, istri yan
“Ahmad masih suka pacaran, masih hobi mabuk-mabukan juga?” tuntut Eyang Hasna. Perempuan itu menatap Max dan Masayu bergantian.“Mabuknya sudah sembuh, tapi pacarnya ada di mana-mana,” jawab ibunya, mewakili.“Tidak, Eyang,” ralatnya kalem. “Aku tidak pernah pacaran.”“Lha, itu, yang bolak-balik ganti itu namanya apa?”“Teman kencan, Ma, beda sama pacaran.”“Intinya sama saja, sama-sama jalan dengan perempuan yang bukan mahramu,” gerutu ibunya.Eyang Hasna mengibaskan tangan, lantas memijat keningnya yang berdenyut. Max memang menjadi masalah serius dalam keluarga mereka, tidak mudah mengubahnya menjadi pria alim seperti ayahnya. “Bilang sama Abah Ulil, Lys, untuk segera menikahkan mereka.”“Eyang, tadi itu beneran tidak ada apa-apa, kok, bukan sebuah kesengajaan. Max hanya berusaha menolongku,” ulang Masayu, entah yang ke berapa, tetapi mereka tidak mau mendengar penjelasannya. Berpel
Tidak seburuk yang dibayangkannya, meski jauh berbeda denga kehidupannya di Jakarta, tinggal di pesantren cukup menyenangkan.Hari ketiga tinggal di Batang, Masayu sudah cukup memahami kondisi sekitarnya. Kampung relijius, demikian ia menyebut tempat itu.Sepanjang penglihatannya, Masayu mendapati semua perempuan berjilbab, tentunya kecuali anak-anak. Penduduknya juga sangat ramah saling menyapa, termasuk kepada Masayu meski tidak mengenal.Dalam tiga hari, ia banyak diajak mengunjungi saudara-saudara Tante Lysa. Batang benar-benar indah, suasana pedesaan yang kental sangat disukainya, sejuk dengan pemandangan yang eksotis.Masayu suka bangun pagi-pagi sekedar untuk melihat kabut yang menutupi hamparan perkebunan teh yang menjadi pemandangan ketika ia membuka jendela kamarnya, terlebih kala senja, ia dapat menyaksikan matahari terbenam yang sangat indah. Seketika, Masayu dibuat jatuh cinta.Tante Lysa sengaja mem
Senyuman Umik Salma dan Tante Lysa mengembang lebar, melihat kemunculan Masayu bersama Nahla.Malu-malu, Masayu ikut bergabung bersama mereka, penampilan barunya membuatnya semakin memancarkan aura kecantikannya.Dibalut gamis panjang yang dibelinya bersama Nahla dan Max, Masayu memadukan penampilannya dengan jilbab warna senada. Nahla mengajarinya cara menggunakan jilbab, simpel, hanya jilbab segitiga yang dijepit menggunakan peniti.Masih belum sempurna, tetapi sudah cukup baik untuk seseorang yang sepanjang 27 tahun hidupnya belum pernah mengenakan jilbab.Dengan penampilannya, Masayu merasa menyatu dengan lingkungan sekitar, tidak lagi merasa menjadi alien yang baru turun ke bumi.“Ayu cantik sekali, Nduk,” kata Umik Salma. Perempuan tua yang lemah lembut itu tersenyum, mengaguminya, Masayu tersipu malu.Seluruh keluarga Tante Lysa memiliki cara yang unik menegur seseorang. Mereka tidak menegurny
Malu, perasaan itu tumbuh dengan sendirinya meski keluarga Tante Lysa tidak mengatakan apa-apa.Mengenakan celana jeans yang menjadi pakaian sehari-harinya, dipadukan dengan kaos longgar, sementara rambutnya yang sebahu diekor kuda, penampilan paling sopan yang pernah diperlihatkannya. Namun, tetap saja, di tempat itu Masayu merasa penampulannya sangat terbuka.Lingkungan di sekitarnya jauh berbeda dengan di Jakarta. Di sini, jangankan perempuan dewasa, anak-anak SD pun semuanya mengenakan pakaian tertutup, dari ujung kepala hingga ujung kaki.Eyang Hasna tidak mengatakan apa-apa, demikian pula dengan Tante Lysa, mereka mengobrol banyak di rumah, ramah menanyainya banyak hal. Eyang Hasna sangat baik, lembut seperti Tante Lysa, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung soal penampilannya yang tidak wajar di sana.Menjelang sore, Tante Lysa mengajak Masayu berkunjung ke rumah Abah Ulil. Tidak lebih dari 100 meter dari rumah Eyang Hasna, Masayu bersama perempuan itu berjalan kaki. Namun, r